At Tauhid edisi VII/36
Oleh: Tim Buletin At Tauhid
Ritual mempersembahkan tumbal atau
sesajen kepada makhuk halus atau jin yang dianggap sebagai penunggu atau
penguasa tempat keramat tertentu adalah kebiasaan syirik yaitu
menyekutukan Allah ta’ala dengan makhluk yang sudah berlangsung
turun-temurun di masyarakat kita. Mereka meyakini makhluk halus
tersebut memiliki kemampuan untuk memberikan kebaikan atau menimpakan
malapetaka kepada siapa saja, sehingga dengan mempersembahkan tumbal
atau sesajen mereka berharap dapat meredam kemarahan makhluk halus itu
dan agar segala permohonan mereka dipenuhinya.
Kebiasaan ini sudah ada sejak zaman jahiliyah sebelum Allah ta’ala mengutus RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan tauhid dan memerangi kesyirikan dengan segala bentuknya.
Allah ta’ala berfirman,
“Dan bahwasanya ada beberapa orang
dari kalangan manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki
dari kalangan jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan
kesalahan.” (QS. Al-Jin: 6).
Artinya, orang-orang di zaman Jahiliyah
meminta perlindungan kepada para jin dengan mempersembahkan ibadah dan
penghambaan diri kepada para jin tersebut, seperti menyembelih hewan
kurban sebagai tumbal, bernadzar, meminta pertolongan dan lain-lain.
(Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir 4/550, Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 890, at-Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid hal. 317 dan kitab Hum Laisu Bisyai‘ hal. 4)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata,
“Jin (syaitan) mendapatkan kesenangan dengan manusia menaatinya,
menyembahnya, mengagungkannya dan berlindung kepadanya (berbuat syirik
dan kufur kepada Allah ta’ala). Sedangkan manusia mendapatkan
kesenangan dengan dipenuhi dan tercapainya keinginannya dengan sebab
bantuan dari para jin untuk memuaskan keinginannya. Maka, orang yang
menghambakan diri pada jin, sebagai imbalannya jin tersebut akan
membantunya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.” (Lihat kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 273)
Hukum Tumbal dan Sesajen dalam Islam
Mempersembahkan kurban yang berarti mengeluarkan sebagian harta dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala (Lihat definisi ini di kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 282), adalah suatu bentuk ibadah besar dan agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah ta’ala. Sebagaimana dalam firmanNya,
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku,
sembelihanku (kurbanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb
semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah).’” (QS. Al-An’aam: 162-163).
Dalam ayat lain, Allah ta’ala berfirman kepada NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Maka, dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2).
Kedua ayat ini menunjukkan agungnya
keutamaan ibadah shalat dan berkurban, karena melakukan dua ibadah ini
merupakan bukti kecintaan kepada Allah ta’ala dan pemurnian
agama bagiNya semata, serta pendekatan diri kepadaNya dengan hati, lisan
dan anggota badan, juga dengan menyembelih kurban yang merupakan
pengorbanan harta yang dicintai jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya,
yaitu Allah ta’ala. (Lihat kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 228)
Oleh karena itu, maka mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allah ta’ala
(baik itu jin, makhluk halus ataupun manusia) dengan tujuan untuk
mengagungkan dan mendekatkan diri kepadanya, yang dikenal dengan istilah
tumbal atau sesajen, adalah perbuatan dosa yang sangat besar, bahkan
merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar
dari agama Islam. (Lihat kitab Syarhu Shahiihi Muslim 13/141, al-Qaulul Mufiid ‘Ala Kitaabit Tauhiid 1/215 dan kitab at-Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid hal. 146)
Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selainNya.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan ancaman besar bagi orang yang menyembelih (berkurban) untuk selainNya, dengan laknat Allah ta’ala
yaitu dijauhkan dari rahmatNya. Karena perbuatan ini termasuk dosa yang
sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah ta’ala, sehingga pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat Allah ta’ala dan dijauhkan dari rahmatNya. (Keterangan Syaikh Shalih Alu Syaikh dalam kitab at Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid hal. 146)
Penting sekali untuk diingatkan dalam
pembahasan ini, bahwa faktor utama yang menjadikan besarnya keburukan
perbuatan ini, bukanlah semata-mata karena besar atau kecilnya kurban
yang dipersembahkan kepada selainNya, tetapi karena besarnya pengagungan
dan ketakutan dalam hati orang yang mempersembahkan kurban tersebut
kepada selainNya, yang semua ini merupakan ibadah hati yang agung yang
hanya pantas ditujukan kepada Allah ta’ala semata.
Oleh karena itu, meskipun kurban yang
dipersembahkan sangat kecil dan remeh, bahkan seekor lalat sekalipun,
jika disertai dengan pengagungan dan ketakutan dalam hati kepada
selainNya, maka ini juga termasuk perbuatan syirik besar. (Lihat kitab Fathul Majid hal. 178 dan 179)
Hukum Berpartisipasi dan Membantu dalam Acara Tumbal dan Sesajen
Setelah kita mengetahui bahwa melakukan ritual jahiliyyah
ini adalah dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik
kepada Allah, yang berarti terkena ancaman dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya, Allah tidak akan
mengampuni (dosa) perbuatan syirik (menyekutukan-Nya), dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia
telah berbuat dosa yang sangat besar.” (QS. An Nisaa’: 48).
Maka, ikut berpartisipasi dan membantu
terselenggaranya acara ini dalam segala bentuknya, adalah termasuk dosa
yang sangat besar, karena termasuk tolong-menolong dalam perbuatan
maksiat yang sangat besar kepada Allah, yaitu perbuatan syirik.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya.” (QS. Al-Ma’idah: 2).
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Dalam ayat ini) Allah ta’ala
memerintahkan kepada hamba-hambaNya yang beriman untuk saling menolong
dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, yang ini adalah al-birr
(kebajikan), dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mungkar, yang ini
adalah ketakwaan, serta melarang mereka dari saling membantu dalam
kebatilan dan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan maksiat.” ( Lihat
kitab Tafsir Ibnu Katsir 2/5)
Dan dalam hadits shahih tentang haramnya
perbuatan riba dan haramnya ikut membantu serta mendukung perbuatan
ini, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat orang yang memakan riba, orang yang mengusahakannya, orang
yang menulis transaksinya, dan dua orang yang menjadi saksinya, mereka
semua sama (dalam perbuatan dosa).” (HR. Muslim)
Imam an-Nawawi berkata, “Dalam hadits
ini terdapat dalil yang menunjukkan diharamkannya mendukung
terselenggaranya perbuatan maksiat.” (Lihat Kitab Syarhu Shahiihi Muslim 11/26)
Hukum Memanfaatkan Makanan Harta yang Digunakan untuk Tumbal (Sesajen)
Jika makanan tersebut berupa hewan
sembelihan, maka tidak boleh dimanfaatkan dalam bentuk apapun, baik
untuk dimakan atau dijual, karena hewan sembelihan tersebut
dipersembahkan kepada selain Allah ta’ala, maka dagingnya
haram dimakan dan najis, sama hukumnya dengan daging bangkai. (Lihat
keterangan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam catatan kaki beliau terhadap
kitab Fathul Majiid hal. 175)
Allah ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang
dipersembahkan kepada selain Allah.” (QS. Al-Baqarah: 173).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika
menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Semua hewan yang disembelih untuk
selain Allah tidak boleh dimakan dagingnya.” (Lihat kitab Daqaiqut Tafsiir 2/130)
Dan karena daging ini haram dimakan, maka berarti haram untuk diperjual-belikan, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya, Allah ta’ala jika mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan harganya (diperjualbelikan).” (HR Ahmad 1/293, Ibnu Hibban no. 4938 dan lain-lain, Dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani dalam kitab Ghaayatul Maraam no. 318)
Adapun jika makanan tersebut selain
hewan sembelihan, demikian juga harta, maka sebagian ulama ada yang
mengharamkannya dan menyamakan hukumnya dengan hewan sembelihan yang
dipersembahkan kepada selain Allah ta’ala. (Lihat keterangan Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy dalam catatan kaki beliau terhadap kitab Fathul Majiid hal. 174)
Akan tetapi pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, insya Allah,
adalah pendapat yang dikemukakan oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz yang
membolehkan pemanfaatan makanan dan harta tersebut, selain sembelihan,
karena hukum asal makanan atau harta tersebut adalah halal dan telah
ditinggalkan oleh pemiliknya.
Penutup
Demikianlah tulisan ringkas ini, semoga bermanfaat bagi semua orang yang membacanya untuk kebaikan dunia dan akhiratnya.
Wa shalallahu wa sallama wa baraka
‘ala nabiyyina Muhammadin wa alihi wa shahbihi ajma’in. Wa akhiru
da’wana anilhamdulillahi rabbil ‘alamin.
(Diringkas dengan perubahan redaksional dari artikel tulisan ustadz Abdullah Taslim, MA yang berjudul “Tumbal dan Sesajen Tradisi Syirik Warisan Jahiliyah” yang terdapat dalam website www.muslim.or.id)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer