JADWAL SHALAT SUBUH DIPERMASALAHKAN
Oleh
Abu Ibrohim Muhammad Ali AM Hafidzahullah
MUQODDIMAH
Salah satu syarat sahnya shalat adalah masuknya waktu shalat tersebut.
Apabila shalat dilakukan sebelum waktunya atau sesudah waktunya berlalu
maka tidak sah. Allah Subha ahu wa Ta’ala berfirman.
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [an-Nisa 4 : 103]
Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi waktu-waktu shalat secara global dalam
al-Qur’an (seperti dalam al-Isra 127 : 78) dan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun telah menjelaskannya secara terperinci dalam
beberapa hadits beliau (seperti HR Muslim : 612, dan lainnya) [1].
Tanda-tanda masuknya waktu shalat dapat dilihat dan diketahui oleh
siapapun dengan penglihatan masing-masing. Hanya saja sebagian
tanda-tanda tersebut berbeda-beda tingkat kemudahan dalam melihatnya.
Masuknya waktu Maghrib misalnya, sangat jelas karena dalam hadits-hadits
disebutkan bahwa awal waktunya disandarkan kepada terbenamnya matahari.
Hal ini berbeda dengan waktu Subuh, di mana tanda masuknya (terbit
fajar) tergolong paling samar dibandingkan dengan tanda-tanda masuknya
waktu shalat yang lain.
Zaman dahulu untuk melihat tanda-tanda masuknya awal dan akhir waktu
shalat sangatlah mudah. Akan tetapi ketika zaman mulai berubah, dengan
banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan, belum lagi
dengan banyaknya penerangan-penerangan buatan dan berbagai macam alat
transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya
yang tebal cukup mempengaruhi kondisi langit. Hal tersebut mempengaruhi
tingat kesulitan melihat tanda-tanda awal waktu masuk shalat terutama
waktu shalat Subuh. Saat itulah kaum muslimin berijtihad (mencari jalan)
untuk mengetahui tanda masuknya shalat yang menjadi samar, di antaranya
yaitu dengan membuat jadwal waktu-waktu shalat berdasarkan atas
penglihatan sebelumnya dan mengikuti jadwal-jadwal yang ada di
negara-negara Islam.
Di Saudi Arabia misalnya, pemerintahnya berpegang kepada jadwal ini
untuk menentukan waktu shalat bagi penduduknya, dan manusia pun
berpegang kepada jadwal ini sejak kepemimpinan raja Abdul Aziz alu
Su’ud hingga hari ini. [2]
AWAL MULA TIMBUL KERANCUAN WAKTU SUBUH[3]
Sekitar dua puluh tahun yang lalu muncul beberapa orang mempermasalahkan
jadwal-jadwal waktu shalat yang telah ada. Mereka menuduh bahwa jadwal
waktu shalat tersebut tidak tepat, yaitu terlalu mendahului dari waktu
sebenarnya sekitar 20 menit [4]. Mereka mengajak orang-orang untuk
menyaksikan secara langsung terbitnya fajar, sebagian orang mengambil
pendapatnya dan sebagian yang lain eggan mengikutinya.
Ketika permasalahan tersebut semakin mulai membuat orang ragu dan
bingung. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku Mufti Umam Saudi
Arabia pada saat itu menugaskan Lajnah khusus (suatu lembaga) untuk
meninjau ulang, melihat dan meneliti kembali keabsahan jadwal-jadwal
waktu shalat terutama jadwal waktu shalat pada kalender Ummul Quro
(kalender resmi yang berlaku di KSA). Setelah diteliti dengan cermat,
Lajnah tersebut berkesimpulan dan memutuskan bahwa waktu-waktu shalat
yang sebenarnya bersesuaian dengan jadwal-jadwal yang dipakai oleh kaum
muslimin (jadwal waktu shalat Ummul Quro), tidak ada yang salah. Dengan
demikian hilanglah kerancuan permasalahan tersebut.
Hanya saja akhir-akhir ini kerancuan tersebut muncul kembali dan semakin
diperbincangkan, kemudian Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah
selaku Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia sepeninggal Syaikh Abdul Aziz
bin Baz rahimahullah, membantah kerancuan ini berdasarkan bukti-bukti
yang sampai kepadanya berupa saksi-saksi yang menguatkan kebenaran
jadwal-jadwal waktu shalat, ditambah kenyataan yang berjalan selama ini
bahwa jadwal-jadwal tersebut dipakai tanpa adanya kesalahan. Demikianlah
apa yang dikuatkan oleh Syaikh Dr Shalih Al-Fauzan hafidzahullah dan
Syaikh Jad Al-Haq Hafidzahullah (syaikhul Azhar), juga dikuatkan oleh
Ahli Falak Dr Shalih bin Muhammad Al-Ujairi Hafidzahullah.[5]
WAKTU SHUBUH DIMULAI DENGAN TERBITNYA FAJAR SHODIQ
Kita ketahui bersama bahwa waktu shalat shubuh dimulai dengan masuknya
saat terbit fajar shodiq, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini. Oleh
karena itu shalat Shubuh biasa disebut shalat fajar. Namun yang perlu
diperhatikan adalah bahwa fajar ada dua macam, fajar shodiq dan fajar
kadzib, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
الفجر فجران فجر يحرم فية الطعام وتحل فية الصلأة وفجر تحرم فية الصلأة ويحل فية الطعام
“Fajar itu ada dua , pertama fajar (shodiq) yang haram saat itu makanan
dan halal shalat (subuh), dan fajar yang lain (kadzib) haram shalat
(subuh) dan halal makanan” [HR Ibnu Khuzaimah 1/52/2, Al-Hakim 1/425 dan
dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah 2/314]
PERBEDAAN FAJAR SHODIQ DAN KADZIB
Para ulama menjelaskan beberapa perbedaan antara Fajar pertama dengan kedua sebagai berikut :
1). Fajar pertama memanjang dari timur ke barat, sedangkan fajar kedua membentang dari utara ke selatan.
2). Cahaya fajar pertama bersifat sementara kemudian kembali gelap lagi,
sedangkan cahaya fajar kedua terus bertambah, tidak kembali gelap lagi
3). Fajar pertama tidak bersambung dengan ufuk karena terhalangi oleh
kegelapan, sedangkan fajar kedua bersambung dengan ufuk karena tidak ada
kegelapan antaranya dan antara ufuk. [Syarh Mumti’ 2/113 oleh Syaikh
Ibnu Utsaimin].
AKAR PERBEDAAN TENTANG FAJAR SHODIQ
Bila kita cermati, ternyata perbedaan pendapat ini timbul dari perbedaan
beberapa kalangan ketika mendefinisikan terbitnya fajar shodiq itu
sendiri.
Pendapat pertama [6] : Mengatakan bahwa fajar shodiq tidak dikatakan
terbit kecuali jika benar-benar tampak jelas cahaya berwarna merah, yang
diketahui semua orang, menerangi jalanan dan gunung-gunung. Inilah
pendapat yang dipegang oleh mereka yang menyalahkan jadwal waktu shalat
Subuh akhir-akhir ini.
Pendapat kedua [7] : Adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan
bahwa fajar shodiq dikatakan telah terbit jika terlihat sinar putih
(permulaan cahaya fajar), atau dengan tampaknya cahaya fajar, tetapi
tidak sampai mempengaruhi (tidak merubah) keadaan langit (yang gelap)
[8]
DEFENISI FAJAR SHODIQ
Dalam Al-Qur’an telah disebutkan bahwa fajar itu terbit ditandai berupa
jelasnya benang putih dengan benang hitam. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman.
“Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [Al-Baqarah 2 : 187]
Ibnu Faris rahimahullah berkata الفجر (fajar) adalah terbelahnya kegelapan malam oleh (datangnya) Subuh (awal siang).
Ibnu Mandur rahimahullah berkata : “Fajar adalah cahaya Subuh, yaitu
sinar merahnya matahari di kegelapan malam. Dan fajar itu ada dua macam
: Pertama, Fajar mustathil (menjulang ke atas). Ini adalah fajar kadzib
yang biasa disebut Dhanab As-Sirhon (ekor srigala). Sedangkan fajar
yang kedua adalah fajar mustathir (menyebar). Ini adalah fajar shodiq
yang menyebar di ufuk, yang dengannya haram makan dan minum bagi yang
berpuasa. Dan waktu subuh tidak dikatakan masuk kecuali dengan
(terbitnya) fajar shodiq”
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata : “Firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala من الفجر sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman (terbit fajar) maksudnya ketika jelas bagi kalian benang putih
dari benang hitam yang mana dia adalah sebagian dari fajar, bukan
keseluruhan fajar”[9]
Imam Qurthubi rahimahullah berkata : “Dinamai fajar (shodiq) itu benang,
karena yang muncul berupa warna putih terlihat memanjang seperti
benang” [10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Dinamai putihnya
siang dengan nama benang putih dan hitamnya malam dengan nama benang
hitam, menunjukkan bahwa fajar yang terbit adalah awal permulaan warna
putih yang berbeda dengan warna hitam disertai dengan tipis dan
samarnya, karena benang itu adalah tipis” [Syarhul Umdah, Kitab
As-Shiyam : 1/530]
Az-Zamakhsyari rahimahullah berkata : “Yang dimaksud الخيط الأبيض adalah
awal permulaan tampaknya fajar yang membentang di ufuk seperti benang
yang dibentang” [Al-Kasysyaf : 1/339]
Abu As-Su’ud rahimahullah berkata dalam tafsirnya : “Dan hurup من (dalam
ayat من الفجر ), juga boleh bermakna التبعيض (sebagian), karena
sesungguhnya yang muncul dari fajar itu adalah sebagian dari fajar
(bukan keseluruhannya)” [Tafsir Abul Su’ud : 1/318]
Adapun sifat fajar yang disebutkan berwarna merah, sebagaimana dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
فكاوا وا ثربواحتى يعتزصى لكم الأحمز
“Makan dan minumlah sampai menghadangmu (fajar) merah” [HR Abu Daud :
1/69-370, At-Tirmidzi : 705, Ibnu Majah : 1930 dan Ad-Daruquthni hlm
231, dihasankan Al-Albani dalam Silsilah Shahihah : 2031].
Maka al-Khottobi rahimahullah menjawab ; “Makna merah di sini adalah
warna putih yang menyebar masuk kepada awal-awal warna merah (bukan
benar-benar merah).
Abu ath-Thib Muhammad Syamsudin Al-Adhim Abadi rahimahullah. Penulis
kitab Aunul Ma’bud mengatakan : “Makna hadits ‘Makan dan minumlah sampai
tampak kepadamu (fajar) merah, maksudnya (sampai tampak) putihnya siang
dari hitamnya malam, yaitu waktu Subuh shodiq (fajar Shodiq)” [Aunul
Ma’bud : 6/339]
Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan tentang warna merah yang kadang
dipakai untuk menyebutkan warna putih, sebagaimana orang Arab biasa
mengatakan seorang wanita yang berkulit putih dikatakan wanita berkulit
merah. [An-Nihayah 1/437]
Al-Jashshah rahimahullah berkata [11] : “Kalau dikatakan mengapa
gelapnya malam diserupakan dengan benang hitam, padahal gelapnya
meliputi alam (tidak mirip benang?), sungguh kita ketahui bahwa fajar
itu diserupakan dengan benang, karena dia memanjang terbentang di ufuk,
sedangkan gelapnya malam (yang mendominasi ufuk) tidak ada kemiripan
(dengan benang). (Jawabnya ) bahwa benang hitam adalah (gelapnya) malam
yang ada pada posisi benang putih sebelum muncul pada tempat tersebut,
(benang hitam) di tempat itu sama dengan benang putih yang muncul
setelahnya, oleh karena itu disebut benang hitam.
Kemudian beliau menambahkan : “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa
(terbitnya) fajar putih yang membentang di ufuk sebelum munculnya merah
itulah yang mengharamkan makan dan minum bagi yang berpuasa (saat itulah
waktu Subuh dimulai)”.
Makna fajar shodiq yang kita sebutkan ini dikuatkan oleh sebuah hadits berikut.
“Dari Shal bin Sa’d berkata : Tatkala diturunkan ayat makan dan minumlah
hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam sebelum turun ayat
(akhirnya) من الفجر yaitu fajar” dahulu orang-orang jika hendak
berpuasa, di antara mereka mengikat kakinya dengan benang putih dan
benang hitam, lalu dia terus makan (sahur) sampai benar-benar jelas
melihat perbedaan antara keduanya, lalu Allah menurunkan من الفجر yaitu
fajar, lalu mereka tahu bahwa yang dimaksud (benang putih dan hitam itu)
adalah (hitamnya) malam dan (putihnya) siang” [HR al-Bukhari : 4241 dan
Muslim 1091]
Keterangan : orang yang hendak berpuasa ini beranggapan bahwa terbitnya
fajar harus benar-benar jelas cahaya Subuh itu dengan sempurna,
diketahui semua orang dan menerangi ruangan, jalanan dan gunung-gunung,
karena dua benang putih dan hitam yang diletakkan berdekatan tidak akan
jelas perbedaannya kecuali ketika langit sudah sangat terang, akan
tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalahkannya, dan
menerangkan bahwa yang dimaksud bukan demikian, tetapi sekedar terbit
fajar walaupun tidak sampai menerangi benda-benda dan jalanan, maka
itulah mulai waktu Subuh dan seorang yang hendak berpuasa dilarang makan
dan minum” [12]
Adapun perkataan Ibnu Jarir tentang karakter sinar terbitnya fajar itu
adalah menyebar dan meluas di langit, cahayanya memenuhi dunia hingga
memperlihatkan jalan-jalan menjadi jelas, maka ini bukanlah pendapat
beliau. Lihatlah awal ucapan dan akhir ucapannya. Sebelumnya beliau
mengatakan : “Para penafsir firman Allah berkata ….” Dan Ibnu Jarir
menutup dengan perkataan : “Demikian para penafsir menyebutkan pendapat
ini”. Dan sebagai bukti, ternyata beliau berpendapat sebagaiaman jumhur
berpendapat dengan mengatakan : “(terbit fajar) maksudnya ketika jelas
bagi kalian benang putih dari benang hitam yang mana dia adalah sebagian
dari fajar semisal benang putih, bukan keseluruhan fajar” [13]
TIDAK SEMUA ORANG MAMPU MELIHATNYA
Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan,
ditambah banyaknya penerangan buatan dan berbagai macam alat
transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya
yang menjulang, ini semua mempengaruhi tingkat kesulitan melihat awal
terbitnya fajar shodiq yang tipis hanya seperti benang putih, oleh
karena itu saat menjelang Subuh, sering kita melihat langit gelap,
kemudian tiba-tiba berganti merah dan tidak terlihat lagi warna putih
sebelumnya, yang mana warna putih itulah pertanda awal fajar. Oleh
karena itu juga gambar-gambar yang tertangkap oleh kamera jika kita
ingin mengabadikan terbitnya fajar, biasanya yang tampak adalah fajar
yang berwarna merah, bukan awal fajar yang berwarna putih seperti benang
tipis. Karena warna putih ini semakin menjadi samar terpengaruh oleh
keadaan langit yang sudah berubah, atau mungkin tertangkap warna putih
oleh kamera tetapi tidak tipis seperti benang. Ini semua menunjukkan
bahwa awal fajar sudah terbit beberapa waktu yang lalu sebelum kamera
menangkap gambar tersebut.
Adapun yang menganggap bahwa terbitnya fajar harus terlihat cahaya
terang yang menerangi jalan-jalan atau harus terlihat warna merah di
ufuk, maka ini adalah pendapat yang bersandar kepada makna fajar secara
bahasa, dan makna ini kurang tepat, karena mereka menyandarkan terbitnya
fajar dengan terbitnya fajar secara sempurna (bukan permulaannya). Hal
ini tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an yang menyerupakan fajar dengan
benang putih bersama adanya gelap malam yang lebih dominan.
Perkataan jumhur ini sesuai dengan sebuah hadits yang mengisyaratkan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Subuh
ketika baru terbit fajar, bukan ketika fajar telah terbit secara
sempurna, sebagaimana dalam haditsnya.
ثم صــلى الفجر حين برق الفجر
“Lalu Nabi shalat Subuh ketika terbit fajar” [HR At-Tirmidzi 1/149,
Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini Hasan Shahih dalam Shahih wa
Dha’if Sunan At-Tirmidzi 1/149]
KESIMPULAN MAKNA FAJAR SHODIQ[14]
Fajar shodiq dikatakan telah terbit dan masuk waktu shalat Subuh, serta
haram makan dan minum bagi orang yang berpuasa, adalah jika tampak
permulaan terbelahnya kegelapan malam oleh cahaya Subuh (bukan tampaknya
sinar yang berwarna merah), definisi inilah yang bersesuaian dengan
ayat al-Qur’an, yaitu masuknya waktu Subuh adalah “Hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [Al-Baqarah 2 : 187]
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpamakan permulaan Subuh ini dengan
benang karena sama tipisnya dan bentuknya yang kecil. Dan Allah
Subhanahu wa Ta’ala sama sekali tidak menyebutkan besarnya bentangan
benang ini di ufuk, karena benang yang disebutkan bisa panjang dan bisa
pendek.
Ayat ini menunjukkan bahwa permulaan munculnya cahaya di timur pertanda
fajar terbit walaupun sangat kecil selagi dapat dilihat mata manusia.
Dan bukanlah termasuk sifat terbitnya fajar adalah terangnya bumi dan
langit, akan tetapi fajar dikatakan telah terbit walaupun gelapnya malam
tetap mendominasi, fajar itu dikatakan terbit dengan adanya cahaya
sebatas benang di bawah ufuk tepat di atas bumi, dan sebelum menyebarnya
cahaya Subuh.
Karena penglihatan manusia terhadap benang di ufuk berbeda tingkat
ketajamannya, maka tidak semua manusia melihatnya. Yang dapat melihat
adalah orang-orang yang memiliki penglihatan yang sangat tajam, bahkan
ketika langit menjadi semakin berubah, maka bisa jadi awal munculnya
fajar shodiq itu tidak dapat dilihat oleh mata [15]
AWAL MULA PEMBUATAN JADWAL WAKTU SHALAT
Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, manusia mengetahui
waktu shalat dengan melihat tanda-tanda yang tampak bagi mereka. Lalu
ketika zaman semakin berubah, mereka memikirkan cara-cara yang mudah
untuk mengetahui waktu-waktu shalat dan lainnya. Dahulu mereka hanya
berpegang dengan pergantian hari yang terus berputar berbeda-beda
menurut musim yang berbeda. Setelah ditemukan alat penunjuk waktu berupa
alat yang dipancangkan dan mempunyai bayangan, maka mereka beralih
kepada alat ini selama ribuan tahuan, lalu terus berkembang, sehingga
ditemukan jam mekanik sekitar abad 13M dan tersebarlah pemakaian jam ini
pada abad 15M
Dengan alat ini kaum muslimin mengetahui waktu-waktu dengan sangat
tepat, bahkan dapat mengetahui perbedaan waktu permenitnya, kemudian
ditemukan jam yang menggunakan bandul pada abad 18. Penemuan ini semakin
membuat manusia mengetahui waktu lebih teliti sampai perdetiknya, dan
terus berkembang bentuk-bentuk jam ini sampai sekarang. [16]
Ketika manusia telah membutuhkan jam-jam waktu ini, maka mereka juga
membutuhkannya untuk mudahnya mengetahui waktu shalat. Karena jika tidak
demikian maka mereka harus berulang kali melihat tanda-tanda masuknya
waktu shalat yang setiap harinya terulang 5 kali waktu, belum lagi
keadaan langit sudah berubah. Bersamaan dengan itulah menjadi dikenal
perhitungan waktu-waktu bagi kaum muslimin. Dan cara-cara
hisab/perhitungannya ini terus berkembang seiring dengan berkembangnya
alat-alat perhitungan waktu yang digunakan oleh kaum muslimin. Lalu
ketika ditemukan mesin cetak mulailah dicetak jadwal waktu shalat dan
puasa yang kemudian disebarkan sehingga memudahkan kaum muslimin dalam
menjalankan ibadah mereka. [17]
Pembuatan jadwal-jadwal ini berdasarkan perhitungan yang sangat teliti
para ahli dibidangnya, yaitu menjadikan gerakan matahari sebagai
patokannya. Mereka membedakan penentuan waktu ini sesuai dengan
perbedaan hari dan tempatnya, bahkan dengan perhitungan menggunakan
alat-alat yang lebih canggih dapat diketahui waktu shalat lima waktu
sampai beberapa tahun kedepannya [18]. Demikianlah kaum muslimin terus
menggunakan jadwal-jadwal waktu shalat dari dahulu hingga sekarang.
HUKUM MENGGUNAKAN JADWAL WAKTU SHALAT
Sejak ditemukan alat-alat modern dan dibuat jadwal waktu shalat, tidak
djumpai seorangpun dari para ulama yang mengingkarinya. Ini pertanda
bahwa menggunakan jadwal-jadwal tersebut diperbolehkan dengan
kesepakatan para ulama/Ijma’ ulama. [19]
Kesepakatan ulama ini diperkuat dengan beberapa perkara, di antaranya.
1). Penggunaan jadwal waktu shalat mempermudah kaum muslimin terutama
menentukan waktu Subuh yang telah dikatakan oleh para ulama bahwa
munculnya awal fajar shodiq sulit dilihat, sebab ada sesuatu yang
menghalangi terlihatnya awal munculnya fajar, seperti tinggi dan
banyaknya bangunan. Adanya cahaya buatan, seperti lampu-lampu jalanan
dan gedung-gedung serta pabrik-pabrik juga mempengaruhi keadaan ufuk.
Hal ini sesuai dengan kaidah Islam adalah agama yang mudah.
2). Dengan penggunaan jadwal tersebut maslahat yang timbul lebih besar
dan mafsadat (kerusakan) yang ada lebih ditekan, yaitu berupa
perselisihan, pertikaian dan perpecahan di antara kaum muslimin.
3). Jadwal waktu shalat yang ada telah dikeluarkan oleh pemerintah kaum
muslimin dan keberadaannya disetujui oleh para ulama. Sehingga kita
harus mengikuti apa yang ditetapkan oleh pemimpin dalam urusan yang
diberikan kepada mereka. Jika tidak, maka akan timbul perselisihan dan
perpecahan yang sangat dibenci dalam Islam. [20]
FATWA SYAIKH IBNU BAZ RAHIMAHULLAH
Berikut fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku mufti umum
Saudi Arabia, ketua lembaga ulama besar Saudi Arabia dan ketua Idarotil
Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ berkaitan dengan masalah jadwal waktu shalat
dari kalender Ummul Quro tertanggal 22 Rajab 1417 H. Beliau mengatakan :
“Segala puji bagi Allah semata, dan shalawat serta salam tercurah kepada
Nabi kita Muhammad beserta keluarga, dan para sahabatnya, adapun
setelah itu.
Maka sesungguhnya tatkala banyak pembicaraan dari sebagian orang
akhir-akhir ini tentang jadwal (waktu shalat) dalam kalender Ummu Quro,
dan dikatakan bahwa terdapat kesalahan padanya, khususnya waktu shalat
Subuh yang mendahului sekitar 5 (lima) menit atau lebih dibandingkan
waktu yang sesungguhnya. Maka saya tugaskan panitia khusus dari kalangan
para ulama untuk pergi keluar dari batas kota Riyadh, (tempat yang
jauh) dari lampu-lampu/cahaya-cahaya (buatan), supaya mereka memantau
terbitnya fajar, dan supaya diketahui sejauh mana tepatnya penentuan
jadwal yang dimaksud dengan kenyataan.
Dan sungguh panitia khusus tersebut dengan kesepakatan mereka menetapkan
bahwa jadwal waktu-waktu tersebut tepat/bersesuaian dengan terbitnya
fajar, dan tidak benar apa yang disangka sebagian orang bahwa jadwal
tersebut mendahului sebelum terbitnya fajar.
Dan untuk menghilangkan kerancuan/keraguan yang membuat sebagian orang
ragu akan sahnya shalat mereka, maka inilah penjelasannya.
Allah maha memberi taufiq dan maha menunjuki kepada jalan yang lurus” [21]
FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ ALU SYAIKH HAFIDZAHULLAH
Mufti umum Saudi Arabia sepeninggal Syaikh bin Baz rahimahullah, yaitu
Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah. Beliau juga membantah
tuduhan sebagian orang yang menyalahkan jadwal waktu shalat pada
kalender Ummul Quro. Beliau mengatakan : “Semua pendapat yang
dilontarkan dalam masalah ini adalah salah dan jauh dari kebenaran,
sehingga (pendapat-pendapat ini) wajib ditinggalkan. Karena (bila tidak)
maka akan mengakibatkan tersebarnya kebingungan di antara kaum
muslimin”.
Beliau menambahkan bahwa jadwal waktu shalat yang terdapat pada kalender
Ummul Quro adalah jadwal yang resmi dan sesuai syari’at, tidak ada
keraguan di dalamnya. Para pengurusnya adalah para ulama yang dipilih
lagi terpercaya dari sisi ilmu dan amanahnya. Bahkan jadwal ini telah
digunakan kaum muslimin sejak zaman dahulu hingga sekarang” [22]
FATWA SYAIKH DR SHALIH AL-FAUZAN HAFIDZAHULLAH
Syaikh Dr Shalih al-Fauzan hafidzahullah menulis sebuah fatwa berkaitan
dengan masalah ini dan diberi judul “Kewajiban Menghormati Fatwa Para
Ulama”. Beliau berkata :
“Akhir-akhir ini kita menyaksikan sebagian orang mengutarakan
pendapatnya dalam perkara-perkara yang bukan hak mereka untuk mengutaran
pendapat. Sehingga mereka membuat manusia bingung dalam ibadah,
muamalah, dan aqidah mereka. Diantaranya adalah mereka ikut campur
menentukan waktu-waktu shalat, dan akhirnya mereka membingungkan umat,
mereka mengumumkan bahwa shalat manusia sekarang belum masuk pada
waktunya, mereka mengatakan bahwa jadwal yang dibuat Ummul Quro terdapat
kesalahan perhitungan. Padahal jadwal ini disahkan oleh pemerintah,
disetujui oleh perbagai kalangan para ulama sejak zaman dahulu dan tidak
pernah terjadi kesalahan ketika diterapkan sejak puluhan tahun lamanya”
[23]
TANGGAPAN SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah termasuk yang menyatakan bahwa jadwal
waktu shalat yang dibuat Ummul Quro terlalu mendahului 5 (lima) menit
dari waktu Subuh yang sebenarnya [24], akan tetapi ketika disampaikan
kepada beliau fatwa Mufti Umum Syaikh Bin Baz rahimahullah, beliau
menanggapi dengan perkataan : “Suatu permasalahan yang ditetapkan oleh
mufti mamlakah (Saudi Arabia), maka kita tidak ada hak turut campur di
dalamnya, dan kita tidak boleh menyelisihinya sama sekali, akan tetapi
khusus masalah shalat, seseorang boleh berhati-hati mengakhirkan sampai 5
menit” [Liqo’ al-Bab al-Maftuh 20/147]
AGAMA INI ADALAH NASIHAT, TETAPI UNTUK SIAPA?
Jika tampak bagi seorang tanda waktu masuknya shalat berbeda dengan yang
telah ditetapkan oleh pemimpin dan dia menyangka pemimpin dalam hal ini
salah, maka wajib baginya menyampaikan perkara ini kepada pemimpin atau
wakilnya dalam bidangnya dan menasihati mereka, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa agama ini adalah nasihat,
sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
الد ين النصيحة قلنا لمن؟ قا ل للة ولكتا بة ولرسولة ولأئمة المسلمين وعا متهم
“Agama ini adalah nasihat, kami bertanya (nasihat) buat siapa? Beliau
menjawab : Untuk Allah, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum
muslimin dan masyarakat secara umum” [HR al-Bukhari 1/108 dan Muslim
1/74]
Hadits ini menunjukkan bahwa nasihat kepada pemimpin dibedakan dengan nasihat kepada masyarakat secara umum.
Termasuk yang diketahui bersama bahwa penjadwalan waktu shalat (ketika
manusia secara umum tidak memungkinkan melihat tanda-tanda masuknya
waktu shalat), demikian pula penetapan bulan sabit (pertanda masuknya
awal bulan), keduanya termasuk perkara yang diserahkan urusannya kepada
lembaga-lembaga pemerintah resmi dalam bidangnya. Jika ada seseorang
yang menyangka bahwa suatu perkara yang diurus pemimpin itu salah,
(demikian juga urusan-urusan lain yang dimaksudkan supaya umat ini
bersatu dan tidak berselisih), maka dia (orang yang menganggap salah)
harus mengkhususkan nasihatnya kepada pemimpinnya dengan cara yang baik,
bukan membeberkan kesalahan yang ia sangka kepada masyarakat umum, atau
memaparkan kesalahan ini di media cetak. Hal ini supaya tidak terjadi
kekacauan, kerancuan, kebingungan yang pada akhirnya masyarakat tidak
percaya dan selalu curiga kepada pemimpinnya. Jika menasihati pemimpin
dengan cara yang baik telah dilakukan, maka lepaslah tanggung jawabnya
di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, terlepas dari diterima atau tidak
nasihat tersebut. Karena dia telah melaksanakan perintah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan nasihat kepada
“ahlinya” (yang patut dinasihati). Dan barangsiapa dengan sengaja
menyebarkan kesalahan ini kepada masyarakat umum baik dengan cara
menulis di majalah atau lainnya, maka dia telah menyalahi perintah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tingkatan nasihat kepada pihak yang
dianggap bersalah. Karena dia menasihati masyarakat sebelum pemimpinnya,
padahal semestinya mendahulukan pemimpin baru kemudian masyarakatnya.
[25]
KESIMPULAN
1). Para ulama sepakat bahwa masuknya waktu shalat Subuh adalah terbitnya fajar.
2). Para ulama berbeda pendapat tentang penentuan terbitnya fajar, ada
yang berpendapat harus sempurna terbitnya dengan syarat cahayanya
memenuhi jalanan dan terlihat oleh semua orang, sedangkan jumhur ulama
berpendapat bahwa terbitnya fajar jika terlihat warna putih seperti
benang tipis pertanda terbitnya awal fajar sebelum adanya cahaya merah,
tetapi tidak semua orang dapat melihatnya karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala menyerupakannya dengan benang putih yang tipis dan samara.
3). Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan kota-kota,
ditambah banyaknya penerangan buatan dan berbagai macam alat
transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya
yang menjulang, sangat mempengaruhi tingkat kesulitan melihat awal
terbitnya fajar shodiq yang tipis seperti benang putih, oleh karena itu,
jika menjelang Subuh, sering kita melihat langit sangat gelap, lalu
tiba-tiba berganti merah dan tidak terlihat lagi warna putih pertanda
awal fajar sebelumnya, dan jika kita mengabadikannya dengan kamera,
biasanya yang tertangkap adalah fajar yang berwarna merah, bukan awal
fajar yang berwarna putih seperti benang tipis, atau mungkin tertangkap
warna putih oleh kamera tetapi tidak tipis seperti benang, ini semua
menunjukkan bahwa awal fajar sudah terbit beberapa waktu yang lalu
sebelum kamera menangkap gambar yersebut.
4). Penggunaan jadwal untuk menentukan jadwal waktu shalat disepakati oleh para ulama kebolehannya.
5). Jika seseorang melihat suatu perkara yang diurus oleh
pemimpin/pemerintah ada kesalahan, maka wajib baginya menyampaikan
kebenaran kepada pemimpin dan menasihatinya dengan bijak, karena agama
adalah nasihat.
6). Dengan demikian tidak ada yang perlu diragukan tentang penggunaan
jadwal-jadwal waktu shalat, jika jadwal tersebut resmi dan tidak
terbukti salah, terlebih lagi bagi orang yang tidak melihat fajar shodiq
secara langsung. Wallahu A’lam
[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 4, Tahun ke-9/Dzulqo'dah
1430/2009. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami,
Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_________
Footnotes
[1]. Dinukil secara ringkas dari Risalah fi Mawaqitis Sholat karya Syaikh Muhammad bin Shalih bin Utsaimin rahimahullah hlm.7-11
[2]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq
al-Lughoh, karya Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad ash-Shubaihi
hafidzahullah, hlm.7
[3]. Banyak pertanyaan masuk ke redaksi dan ada juga yang secara
langsung kepada penulis, bahkan hamper di setiap majelis ta’lim saat itu
mempertanyakan masalah tersebut. Kemudian pemimpin redaksi majalah
Al-Furqon, al-Ustadz Ahamad Sabiq hafidzahullah mnghimbau kami untuk
membahasnya, karena permasalahannya semakin dirasa rumit serta membuat
banyak orang bingung dan ragu akan keabasahan shalat Subuh mereka.
Akhirnya kami putuskan untuk membahasnya demi kemaslahatan bersama. Kami
sampaikan Jazakumullah khairan kepada al-Ustadz Abu Ubaidah
hafidzahullah yang telah meminjamkan beberapa rujukan penting dalam
masalah ini. Dan kami sampaikan bahwa pembahasan ini kami sarikan dari
kitab Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq
al-Lughoh, karya Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad ash-Shubaihi
hafidzahullah, diberi kata pengantar oleh Mufti Umum Kerajaan Saudi
Arabia, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah dan Syaikh Dr Shalih
al-Fauzan hafidzahullah. Cetakan pertama tahun 1428H. Demikian juga kami
tambahkan dari referensi penting lainnya.
[4]. Di antara mereka yang paling menonjol menyerukan masalah ini adalah
Abdullah al-Sulthon, imam masjid salah satu kampong di kota Riyadh,
Saudi Arabia. (Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq
al-Lughoh hlm.7)
[5]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.8-11
[6]. Ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari Umar, Khudzaifah, Ibnu
Abbas, Tholq bin Ali, Atho’ bin Abi Robbah, al-A’masy, dan Masruq.
(Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq
al-Lughoh, hlm.55-62)
[7]. Seperti yang dikatakan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah bahwa ini
adalah pendapat jumhur para ulama, dikuatkan oleh Ibnu Jarir
at-Thobari, Ibnu Zaid, dan al-Jashshosh. (Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq
baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm 62-66)
[8]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 12 dan 55-66
[9]. Tafsir Ibnu Jarir ath-Thobari 2/182-183
[10]. Tafsir al-Qurthubi 2/320
[11]. Lihat Ahkamul Qur’an karya Imam al-Jashshosh 1/222-230
[12]. Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 76
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Jarir at-Thobari 2/182-183, dan Thulu’ al-Fajr
as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.76-77
[14]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.53-54
[15]. Sebagaimana diisyaratkan sulitnya melihat fajar shodiq oleh Syaikh
Ibnu Utsaimin dalam As-Syarhul Mumthi’ ala Zadil Mustaqni 2/94.
Demikian juga Syaikhuna Dr Sami bin Muhammad as-Shuqoir, murid sekaligus
pengganti Syaikh Ibnu Utsaimin sebagai imam rowatib di masjidnya,
beliau menafikan terlihatnya fajar shodiq pada zaman sekarang kecuali
dengan penelitian yang mendalam. (informasi dari al-Akh Abdul Wahhab
dari kota Unaizah, KSA)
[16]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 214, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[17]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 215, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[18]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 216, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[19]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil
Ibadat, hlm. 218, karya Ibnu Jam’an Jaridan. Lihat pula Fiqhu Nawazil
fil Ibadat, DR Kholid al-Musyaiqih hlm. 38-39, Fatawa Lajnah Daimah
6/141
[20]. Lantas timbul pertanyaan penting : Kenapa para ulama mengingkari
penentuan puasa Ramadhan dengan hisab, tetapi mereka tidak mengingkari
dalam penentuan shalat?!! Imam Al-Qorrofi menjawab masalah ini, katanya :
“Sesunguhnya Allah menjadikan tergelincirnya matahari merupakan sebab
wajibnya shalat Dhuhur, demikain juga waktu-waktu shalat lainnya.
Barangsiapa yang mengetahui sebab tersebut dengan cara apapun, maka dia
terkait dengan hukumnya. Oleh karena itu hisab yakin bisa dijadikan
pegangan dalam waktu shalat. Adapun dalam puasa, Islam tidak
menggantungkannya dengan hisab, tetapi dengan salah satu diantara dua
perkara : Pertama, Melihat hilal. Kedua : Menyempurnakan bulan sya’ban
menjadi tiga puluh hari apabila tidak telihat hilal. Wallahu A’lam
[Al-Furuq 2/323-324 secara ringkas]
[21]. Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 29-30
[22]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq
al-Lughoh, hlm. 22, dan ini sekaligus membantah mereka yang menyalahkan
jadwal shalat Subuh dengan tuduhan bahwa jadwal-jadwal yang berlaku
dibuat oleh orang-orang yang tidak ahli dibidangnya, bahkan dikatakan
bahwa insinyur Inggris-lah yang membuatnya.
[23]. Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 22
[24]. Perlu diingat bahwa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah hanya
menngatakan 5 menit saja, bukan 20-25 menit, bahkan beliau mengatakan “
Nampaknya ini adalah berlebih-lebihan, tidak benar”. (Fatawa Ibnu
Utsaimin hlm 680). Kemudian, kalau kita terima pendapat Syaikh Ibnu
Utsaimin ini –karena perlu dikaji lagi-, tidak bisa kita terapkan begitu
saja di negeri kita, karena adanya perbedaan hisab, perbedaan tempat,
dan perbedaan waktu. Wallahu a’lam
[25]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 12-13
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
theproperty-developer
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.
Jumlah Pengunjung
Blog Archive
-
▼
2011
(1346)
-
▼
September
(104)
- Habib Munzir [Juga] Berdusta Atas Nama Imam Ibnu H...
- Lupa mengerjakan shalat beberapa hari
- Ada Apa Dengan Bank Konvensional?
- Tata cara umrah
- Jilbab… Menutup Aurat Atau Membalut Aurat ???
- Mari Kenali Kaidah Tentang Bid’ah Sebelum Membantah..
- Buah Tauhid,sudah pada diri kita?
- Perkataan 4 Imam Madzhab di dalam Mengikuti Sunnah
- Metode Mendatangkan Hujan (2)
- Ketika lupa tasyahud awal
- Meluruskan Kedustaan Sejarah Versi ‘Syaikh’ Idahra...
- Berdialog Dengan Teroris
- Pasutri Dalam Rumah Tangga Yang Ideal
- Jangan Asal nge-Bom Bung !.. Tidak Semua Kafir Hal...
- sholat jamaah tanpa iqamah
- Lezatnya Ketaatan yang Dipertanyakan
- Waspada! Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahab...
- Cara Berfacebook yang Syar’i??
- Untukmu…Yang Dirundung Rindu dan Sendu (Bag.2)
- Hukum memakai Toga Sarjana
- Saudariku, Maukah Engkau Menjadi Seorang Ratu?
- uang bank itu riba
- Hukum Tepuk Tangan, Memberi Applause
- Habib Munzir Al-Musawwa Berdusta Atas Nama Imam As...
- Tidak Suka Dengan Sebuah Fatwa Ulama
- Semangat Para Ulama dalam Ibadah
- Apa Kata Imam Syafi’i Mengenai Masalah Mengucapkan...
- Belajar Ilmu Manajemen dan Pemasaran
- Pengumuman Kelulusan UIM 1432 H
- Umrah
- Haramkah Foto?
- Jika Pemerintah Menetapkan Hari Raya Dengan Hisab
- Shalat Istisqa (2)
- Potong rambut wanita
- Merasa keluar kentut waktu shalat
- Tumbal dan Sesajen dalam Pandangan Islam
- Metode Mendatangkan Hujan (1)
- Hukum Tanaman Yang Dipupuk Dengan Kotoran Hewan
- Antara Halal & Haram Ada Syubhat
- Qadha shalat tahajud
- Shalat Istisqa (1)
- Download Video Dan Audio Dari Imam Masjidil Haram ...
- Suci Haidh Sebelum Matahari Tenggelam
- Menggabungkan puasa syawal dengan puasa senin kamis
- Download Video Tanya Jawab: Apakah Kerajaan Saudi ...
- Utang emas
- Menguburkan bagian tubuh
- Celakalah Pelaku Sodomi
- Pasukan dari Kota Aden
- Shodaqoh di hari jumat
- Hukum Membaca surat Yasin di atas kubur
- Hukum Memakai Sepatu Dalam Keadaan Berdiri
- Adakah doa khatam quran?
- Untukmu…Yang Dirundung Rindu dan Sendu (Bag.1)
- HUKUM MEMAKAI/MENYEMATKAN GELAR “HAJI/HAJJAH” DI D...
- Hukum Zakat Emas Perhiasan
- Angkat Tangan dalam Doa
- Bertingkatnya Dosa Zina
- Kesimpulan Hasil Bahasan tentang Nikah Mut’ah
- Dia Tak Mau Bertanggung Jawab
- Bantahan Untuk Setan Berwujud Manusia Yang Membole...
- Apa-Apa Pakai Bismillah
- Mahramkah kakak ipar?
- Kisah Si Kusta, Si Botak dan Si Buta (Seri Kisah A...
- Kisah Seorang Yang Meninggalkan Rokok
- Pembinaan Aqidah Untuk Buah Hati
- Derita Ahwaz Lebih Dahsyat Dari Palestina
- Orang Tua Menginginkan Putrinya di Rumah
- 5 Pelanggaran dalam Pacaran
- Pelajaran dari Ramadhan
- Iman Terhadap Kitab-kitab Suci
- Gaji Pensiunan
- Apakah Punggung Telapak Tangan Termasuk Aurat?
- Keutamaan Basmalah
- Jual Beli Trayek
- Nasikh dan Mansukh
- Adakah Ayat Al Qur'an yang Mansukh?
- Sudah Lama “Ngaji” Tetapi Akhlak Tidak Baik
- Jangan jadi pengemis
- Celakalah Rentenir
- Calo yang suka sogok
- Suap Menyuap
- Mencuri Akses Internet
- Sering terucap namun lalai di lakukan
- Perluasan Masjidil Haram Diluncurkan
- Adab Bertanya Kepada Ahli Ilmu
- Akhlak Mulia Kepada Khaliq dan Makhluq
- Jadwal Sholat Subuh Dipermasalahkan
- Adab Majelis Ilmu
- Keterasingan Sunnah dan Ahlu Sunnah di Tengah Mara...
- Kunci Sukses Bermu'amalah
- Jalan Menuju Kemuliaan Akhlaq
- Wasiat - Wasiat Generasi Salaf
- Larangan Pengkhususan Puasa Hari Jum'at
- Tata Cara Puasa Enam Hari Bulan Syawwal
- Hisab dan Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal
- Membaca Al Quran Sendiri atau Mendengarkan dari Se...
- Kaidah - Kaidah Menuntut Ilmu
- Penjelasan Dalam Al Quranul Karim Mengenai ushul d...
- Ingin Menguasai Bahasa Inggris
-
▼
September
(104)