KAIDAH-KAIDAH MENUNTUT ILMU
Oleh
Syaikh Dr. Ibrahim bin 'Amir ar-Ruhaili –hafizhahullah-
Pembaca,
Untuk memahami ilmu secara benar, seorang thalibul-'ilmi dituntut untuk
berusaha dan mengerahkan seluruh kemampuannya. Begitu pula dengan
keluasan ilmu yang tidak mungkin diraih secara menyeluruh dalam satu
waktu, maka untuk meraihnya pun memerlukan tahapan-tahapan dan langkah
demi langkah, dari persoalan-persoalan ringan hingga ilmu-ilmu yang
memerlukan analisa secara lebih terperinci dan mendalam. Disinilah ia
harus menunjukkan kesungguhannya, sehingga pemahamannya terhadap setiap
ilmu yang direngkuhnya tidak menyisakan kesamaran. Dan manakala harus
menyampaikannya pun tidak akan menimbulkan kesesatan.
Demikian sebagian pesan yang bisa kita ambil dari Syaikh Dr. Ibrahim bin
'Amir ar-Ruhaili –hafizhahullah- saat menyampaikan ceramah pada Daurah
Syar'iyyah, di Agro Wisata Kebun Teh, Wonosari, Lawang, Malang, Jawa
Timur yang diadakan antara tanggal 7 – 14 Rajab 1428H, bertepatan dengan
22 – 29 Juli 2007M. Saat ini, Syaikh juga aktif sebagai Dosen Pasca
Sarjana Universitas Islam, Madinah, Kerajaan Saudi Arabia. Adapun
ceramah beliau ini diterjemahkan dan dengan pemberian judul serta
catatan kaki oleh Ustadz Abu Isma'il Muslim al-Atsari. Semoga kita
mendapatkan faidah (manfaatnya). (Redaksi).
_____________________________________
Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya,
dan memohon ampun kepada-Nya, dan kami bertaubat kepada-Nya. Kami
berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami, dan dari keburukan
amalan kami. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, tidak ada
seorangpun yang akan menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan,
maka tidak ada yang akan memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, tidak
ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad n nabi kita adalah
hamba Allah dan utusan-Nya.
Mudah-mudahan Engkau, wahai Allah, memberikan shalawat kepada hamba-Mu
dan Rasul-Mu, Muhammad, kepada keluarganya dan para sahabatnya, serta
orang-orang yang mengikuti petunjuknya dan meneladani jejaknya sampai
hari Pembalasan.
Amma ba’du:
Sesungguhnya keistiqamahan seorang muslim di atas agamanya yang telah
disyariatkan Allah Azza wa Jalla dibangun berdasarkan dua pondasi yang
besar. Pondasi Pertama : Yaitu mengenal agamanya yang telah
disyariatkan Allah Azza wa Jalla. Pondasi Kedua : Yaitu melaksanakan
ilmu yang telah ia ketahui dan melaksanakan agama Allah Azza wa Jalla
berdasarkan apa yang telah ia ketahui dan telah jelas dari agama-Nya.
Pondasi pertama berkaitan dengan ilmu. Pondasi kedua berkaitan dengan
amal. Dengan ilmu dan amal akan didapatkan keselamatan.
Dan manusia berbeda-beda dalam mewujudkan ilmu dan amal. Mereka terbagi
menjadi empat bagian. Sedangkan menurut Syaikhul-Islam terbagi menjadi
dua. Akan tetapi, sesuai dengan tabiatnya, maka sesungguhnya kedudukan
manusia terbagi menjadi empat, sesuaidengan keadaan mereka.
1. Di antara manusia ada yang diberi taufik oleh Allah dengan ilmu yang
shahîh dan amal shalih. Ini merupakan martabat yang paling utama dan
paling tinggi derajatnya di sisi Allah.
2. Martabat kedua, yaitu orang yang memiliki ilmu tetapi tanpa amal.
Tidak ada keraguan, hal ini merupakan kekurangan, karena ilmu merupakan
pijakan amal. Oleh karena itu, seseorang yang belajar namun tidak
beramal, berarti pada diri orang itu terdapat keserupaan dengan Yahudi.
Mereka ini berilmu, namun tanpa amal.
3. Martabat ketiga, yaitu orang yang beramal tanpa ilmu. Pada diri orang
ini terdapat keserupaan dengan Nashara. Mereka adalah orang-orang yang
sesat. Mereka beramal, namun tanpa ilmu. Demikian ini keadaan ahli
bid'ah. Yakni orang-orang yang beribadah kepada Allah dan beramal, namun
dalam ibadahnya tanpa mempergunakan ilmu.
4. Martabat keempat, yaitu orang yang tidak memiliki ilmu dan amal. Para
ulama menyebut mereka adalah manusia yang menyerupai binatang ternak.
Mereka tidak memiliki keinginan kecuali bersenang-senang dengan dunia,
tidak memiliki cita-cita dalam ilmu dan amal. Sedangkan orang yang
diberi taufiq ialah yang diberi taufiq oleh Allah terhadap ilmu yang
shahîh dan amal shalih.
Adapun ilmu itu sendiri menuntut beberapa perkara. Ilmu tidak akan
terwujud kecuali dengan konsekwensinya. Ilmu itu hanyalah dengan
belajar, mengerahkan kesungguhan dan kemampuan untuk mendapatkannya. Dan
caranya, seorang thalibul-'ilmi mengerahkan kemampuannya dalam tafaqquh
fid-dîn, dalam menggalinya, dan saat duduk di hadapan ulama, dalam
membaca kitab-kitab dan meminta penjelasan perkara yang menyusahkannya,
sampai Allah memberikan kepadanya rezeki berupa ilmu. Seorang
thalibul-'ilmu harus mengikuti manhaj yang shahîh dalam mengambil dan
menuntut ilmu.
Di antara manhaj (jalan, kaidah) dalam menuntut ilmu, hendaklah memulai
dengan ilmu-ilmu yang ringan sebelum ilmu-ilmu yang berat. Oleh karena
itulah dikatakan tentang seorang 'alim rabbani, bahwa dia adalah orang
yang membina para penuntut ilmu kecil dengan ilmu-ilmu yang kecil
sebelum ilmu-ilmu yang besar. Demikianlah, menuntut ilmu itu harus
tadarruj (bertahap).
Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu yang ringan ialah masalah-masalah yang
dikenal, yang diketahui, bukan masalah-masalah yang membutuhkan analisa
dan pembahasan. Dari sini, maka di antara masalah-masalah yang
sepantasnya didahulukan ialah masalah-masalah yang jelas dan gamblang,
yaitu mengenai ushuludin (pokok-pokok agama), seperti mengetahui
ushuludin, ushul i'tiqad. Oleh karena itu, para ulama dalam mengajari
para thulab (penuntut ilmu, santri) dilakukan secara bertahap dengan
menggunakan mukhtasharat (kitab-kitab yang ringkas), dalam setiap
cabang-cabang ilmu. Mereka menjelaskan kepada manusia pokok-pokok ilmu
melalui mukhtasharat (kitab-kitab yang ringkas) ini. Secara bertahap,
mulai dari teks-teks mukhtasharat sampai kemudian meningkat, dengan
membaca kitab-kitab syarh (penjelasan) terhadapnya, kemudian meluas
sehingga para thalib sampai kepada kitab-kitab muthawalat (kitab-kitab
tebal/luas) dan menumbuhkan nazhar (penelitian) serta ijtihad dalam
masalah-masalah ini, sehingga mencapai derajat ulama dengan taufiq
Allah. Demikianlah, bahwasanya dalam thalibul-'ilmi harus dengan
tadarruj (bertahap).
Termasuk perkara yang penting sebelum menuntut ilmu, ialah ikhlas untuk
Allah Azza wa Jalla dalam mencari ilmu. Karena sesungguhnya ikhlas
memiliki pengaruh yang besar untuk meraih taufiq (bimbingan Allah) dalam
segala sesuatu. Barangsiapa mendapatkan taufiq dengan ikhlas, maka ia
telah diberi kebaikan yang banyak dalam segala urusan agama dan dunia.
Pengaruh ikhlas terhadap taufiq (bimbingan Allah) ditunjukkan oleh
firman Allah mengenai dua hakim di antara suami istri:
"... Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu ... " [an-Nisâ`/4:35].
Demikian juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang pengaruh
hati berkaitan dengan keistiqamahan anggota badan dalam hadits Nu`man
bin Basyir:
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ
كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
"Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging.
Jika segumpal daging itu baik, maka seluruh tubuh juga baik. Jika
segumpal daging itu rusak, maka seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah,
segumpal daging itu adalah hati".[1]
Jika hati itu baik, amal juga baik, dan manusia mendapatkan manfaat
dengan ilmunya. Dengan demikian, seseorang diberi taufiq disebabkan oleh
ilmu dan pemahamannya. Oleh karena itu, perkara ini harus diperhatikan.
Termasuk ikhlas dalam thalabul-'ilmi, yaitu menuntut ilmu untuk tafaqquh
(memahami), dan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri.
Oleh karena itu, Malik bin Dinar rahimahullah berkata: ''Barangsiapa
menuntut ilmu untuk dirinya, maka ilmu yang sedikit mencukupinya. Dan
barangsiapa menuntut ilmu untuk keperluan manusia (orang lain), maka
sesungguhnya kebutuhan orang lain itu tidak berujung''.
Seseorang lebih mengetahui apa yang menjadi kebutuhannya. Engkau
membutuhkan untuk mengetahui thaharah (bersuci), shalat, puasa, dan
ibadahmu kepada Allah Azza wa Jalla. Maka, hendaklah engkau bertafaqquh
(memahami) ilmu yang membuahkan amalan. Dan amalan itu ada yang wajib
dan ada yang mustahab. Sehingga seseorang hendaklah memulai dengan ilmu
yang wajib baginya secara individu. Kemudian secara bertahap mempelajari
yang mustahab (sunah, disukai). Oleh karena itu wajib ikhlas dalam
thalabul-'ilmi.
Di antara perkara yang perlu diperhatikan juga oleh penuntut ilmu, yaitu
isti'anah (memohon pertolongan) kepada Allah Azza wa Jalla, tawakkal
kepada-Nya, dan berdoa kepada-Nya, agar Dia memberikan kepadanya ilmu
yang shahih (benar) yang nafi` (bermanfaat). Hal ini dituntunkan oleh
Allah dalam firman-Nya:
"Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan". [Thâhâ/20:114].
Allah berfirman (di dalam hadis qudsi):
يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ
"Wahai hamba-hamba-Ku, kamu semua sesat kecuali orang yang Aku beri
petunjuk; maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi
petunjuk kepadamu".[2]
Maka, meminta hidayah kepada Allah, niscaya Allah Azza wa Jalla akan memberikan hidayah, sebagaimana hadits di atas.
Dan, dalam sebuah doa yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
kepada seorang laki-laki, yang dibimbing Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam menuju pintu-pintu kebaikan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengajarkan agar ia berdoa:
أَللَّهُمَّ أَلْهِمْنِي رُشْدِي وَقِنِي شَرَّ نَفْسِي
"Wahai, Allah! Berilahkan petunjuk kepadaku terhadap kelurusanku, dan jagalah aku dari keburukan jiwaku".
Jadi, manusia tidak akan mendapatkan taufiq kecuali yang diberi taufiq oleh Allah. Juga sebuah doa lain dalam atsar (riwayat):
أَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَااتِّبَاعَهُ وَ أَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
"Wahai, Allah! Tunjukkanlah al-haq kepada kami sebagai al-haq, dan
berilah rezeki kepada kami untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah al-batil
kepada kami sebagai al-batil, dan berilah rezeki kepada kami untuk
menjauhinya".
Dengan demikian, pertama kali yang dibutuhkan manusia ialah agar
ditunjukkan kepada al-haq oleh Allah sebagai al-haq, kemudian Allah
memberi rezeki-Nya untuk mengikutinya; dan ditunjukkan al-batil oleh
Allah sebagai al-batil, kemudian Allah memberi rezeki-Nya untuk
menjauhinya. Jika tidak, maka banyak di antara manusia yang mengamalkan
kebatilan, dan menyangkanya berada di atas kebenaran. Sehingga wajib
memperhatikan sisi ini, yaitu tawakal kepada Allah dan berdoa
kepada-Nya, agar Dia memberi taufik terhadap al-haq, memahamkannya dalam
agama, dan agar mengajarinya. Demikian pula perlu banyak beristighfar
dan selalu berlindung kepada Allah Azza wa Jalla.
Syaikhul-Islam rahimahullah mengatakan bahwa dirinya pernah kesusahan
memahami suatu masalah. Beliau berkata,"Lalu aku beristighfar kepada
Allah dan berdzikir kepadaNya. Aku selalu melakukannya, sehingga Allah
membukakan masalah itu untukku''.
Demikianlah sepantasnya seorang penuntut ilmu. Akan tetapi, sebagian
manusia hanya bersandar kepada usaha dan kekuatannya. Dia melupakan
tawakkal dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya dalam semua
perkara, manusia membutuhkan tawakkal dan usaha. Menghadiri majlis
ulama dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, termasuk melakukan
usaha. Dan manusia juga membutuhkan tawakkal. Berapa banyak manusia
duduk di depan ulama, namun tidak mendapatkan manfa'at. Berapa banyak
manusia membaca muthawalat (kitab-kitab tebal), namun tidak mendapatkan
manfa'at. Dan berapa banyak manusia hafal Al-Qur`ân, namun mereka tidak
mendapatkan manfa'at sedikitpun darinya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda tentang Khawarij:
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ
"Mereka membaca Al-Qur`ân, namun Al-Qur`ân itu tidak melewati
tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah
melesat dari binatang buruan".[3]
Sebagian manusia diberi kecerdasan, namun ia tidak diberi taufiq.
Syaikhul-Islam rahimahullah berkata tentang para filosof: "Mereka diberi
kecerdasan, namun tidak diberi kesucian''. Maksudnya, Allah memberikan
kepada mereka kecerdasan dan akal, namun mereka tidak diberi taufiq
untuk mensucikan jiwa mereka.
Oleh karena itu, jika manusia itu diberi kecerdasan oleh Allah,
hendaklah dia memohon kepada Allah agar Allah Azza wa Jalla
mensucikannya, karena kecerdasan saja tidaklah cukup.
Dahulu, Abu Jahal digelari dengan Abul-Hakam karena faktor akalnya,
yaitu kecerdasan akalnya. Tetapi ia tidak mengikuti petunjuk agama ini,
padahal orang yang akalnya lebih rendah darinya mengikuti petunjuk agama
ini.
'Abdullah bin Ubaiy bin Salul, dahulu termasuk orang yang paling cerdas,
sehingga sebelum diutusnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, penduduk
Madinah berniat mengangkatnya sebagai raja. Akan tetapi, ia tidak
mengikuti petunjuk agama ini.
Manusia itu lemah, kecuali orang yang diberi taufiq oleh Allah Subhanahu
wa Ta'ala. Akal tidaklah cukup, kecerdasan tidaklah cukup, maka
hendaklah engkau memohon kepada Alah Azza wa Jalla agar diberi taufiq.
Bahkan terkadang kecerdasan merupakan sebab kesesatan seseorang. Dia
hanya bersandar kepada akalnya, kecerdasannya dan pemahamannya. Dia
menyangka bahwa dirinya memahami, sedangkan orang lain tidak memahami.
Lalu ia berbuat lancang, dan berlaku sombong dengan akalnya.
Manusia (yang berakal, Pent.) jika diberi akal dan kecerdasan oleh Allah
Azza wa Jalla, ia mengetahui bahwa tidak ada jalan untuk meraih hidayah
kecuali dengan syariat ini. Oleh karena itulah, orang-orang yang
beragama adalah orang-orang yang berakal. Tidak ada seorang 'alim
kecuali mengetahui bahwasanya tidak ada hidayah kecuali dengan agama
ini. Sehingga, jika ada orang yang menyangka bahwa ia boleh keluar dari
agama ini, dan bahwa menyangka akalnya mencukupi untuk mendapatkan
hidayah, maka ini sebagai bukti kurangnya hidayah akal dan ilmunya. Oleh
karena itu, manusia membutuhkan untuk disucikan oleh Allah Azza wa
Jalla.
Termasuk yang perlu diperhatikan juga, yaitu mengetahui jalan yang benar
dalam menuntut ilmu. Pembicaraan masalah ini sangat panjang. Telah
dijelaskan dalam ceramah (saya) di Universitas Islam Madinah tentang
jalan para ulama dalam mempelajari akidah, dan persiapan materi ceramah
ini lebih dari seminggu. Dan Allah memberikan nikmat yang banyak dengan
sebab ini, dengan membaca perkataan para ulama, jalan mereka mendapatkan
ilmu, dan metode memahami nash-nash.
Ceramah ini direkam dan mungkin bisa didapatkan dari sebagian mahasiswa
yang telah merekamnya. Dalam ceramah itu, terdapat banyak sisi penting
yang sepantasnya diperhatikan dalam mempelajari ilmu dan meneliti suatu
masalah, terutama dalam permasalahan akidah. Di antaranya, ialah dalam
menetapkan lafazh-lafazh syar'iyyah, dan mengetahui perbedaan antara
makna lughawi (menurut bahasa Arab) dengan makna syar'i (menurut agama).
Sesungguhnya kesalahan yang terjadi pada sebagian orang bukan karena
ketiadaan dalil. Terkadang ada dalil di hadapannya, dan terkadang telah
mengetahuinya, tetapi mereka tidak diberi taufiq dalam memahaminya, yang
kemungkinan karena lafazh itu musykil pada mereka. Kesamaran lafazh
termasuk di antara yang menjadi penyebab kesalahan pada diri ulama.
Seperti kesamaran lafazh al-quru`, apakah itu haidh ataukah suci dari
haidh? Begitulah pula dalam lafazh al-muzâbanah, al-muhâqalah,
al-mukhâbarah, dan semacamnya sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul-Islam
dalam kitab Raf'ul Malam 'an Aimmatil-A'lam.
Manusia terkadang berselisih disebabkan kesamaran lafazh pada mukhathab
(orang yang diajak bicara). Sebagaimana yang terjadi pada sahabat 'Adi
bin Hatim, yaitu ketika turun firman Allah Azza wa Jalla :
"..hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar". [al-Baqarah/2:187]
Diapun mengambil dua benang (putih dan hitam) dan ditaruhnya di bawah
bantalnya. Mulailah ia melihat kedua benang itu. Ketika ia memberitakan
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau pun bersabda: ''Engkau
benar-benar orang yang lebar tengkuknya. Sesungguhnya yang dimaksud
warna putih fajar, dan warna hitam ialah malam''.
Di sini terjadi kesamaran pada sahabat yang agung ini.
Begitu pula kesamaran yang terjadi pada ulama terhadap lafazh mulâmasah dalam firman Allah:
أو لمستم النساء
(Atau kamu menyentuh perempuan).[4]
Apakah yang dimaksud dengan mulâmasah adalah semata-mata menyentuh wanita, ataukah kiasan dari jima'?
Demikianlah pada banyak lafazh dalam syara' (agama) yang diperselisihkan
para ulama. Oleh karena itulah ulama menjelaskan tentang pengetahuan
makna-makna lafazh syar'iyyah (menurut agama) dan membedakannya dengan
makna lughawi (menurut bahasa arab). Demikian juga banyak kitab-kitab
disusun dalam pembahasan gharibul-hadits dan gharibul-Qur`ân.[5]
Dalam menafsirkan Al-Qur`ân, para ulama tidak mencukupkan dengan
mengetahui makna lughawi (bahasa) saja. Bahkan Imam ath-Thabari
rahimahullah -seorang pakar ahli tafsir- menyebutkan, sebagian ahli
tafsir telah salah dalam menafsirkan Al-Qur`ân, dikarenakan mereka
bersandar kepada arti bahasa, tanpa mengetahui istilah syariat. Maka
seharusnya seseorang mengetahui perkataan para ahli tafsir dalam
kitab-kitab tafsir. Seseorang tidaklah cukup mengambil buku kamus bahasa
Arab, lalu melihat makna secara bahasa, kemudian menafsirkan kitab
Allah dengan makna ini saja. Karena satu lafazh itu berbeda-beda
artinya.
Misalnya, kata khair. Dalam kitab Allah Azza wa Jalla, khair memiliki
makna hasanah (kebaikan). Juga bermakna dunia. Dimaksudkan juga dengan
pahala di sisi Allah. Bagaimana engkau mengetahui makna kalimat ini?
Misalnya lagi kata kufur. Di dalam kitab Allah, kufur mengandung maksud
kufur akbar dan kufur ashghar. Demikian juga kezhaliman dan syirk.
Begitu pula kata iradah (kehendak Allah), terkadang dimaksudkan dengan
iradah kauniyah dan terkadang iradah syar'iyyah. Demikian juga qadha`
dan kitabah. Maka untuk memahaminya harus mengetahui perkataan para
ulama dalam menafsirkan nash-nash dan lainnya. Di antara yang membantu
perihal ini ialah bersandar kepada perkataan ulama.
Walaupun ayat itu jelas dan gamblang bagimu, tetapi janganlah engkau
mengatakannya jelas, sebelum memperhatikan penjelasan para ahli tafsir.
Bagaimana penafsiran oleh ath-Thabari, oleh al-Baghawi, oleh Ibnu
Katsir, oleh Ibnu Taimiyyah. Perkataan para ulama yang mendalam ilmunya,
yang telah memahami masalah-masalah ini dengan baik. Hendaklah
seseorang mengambil manfaat dengan perkataan para ulama. Kemudian,
setelah itu tidaklah membahayakan dirinya, yang telah jelas baginya
bahwa itu adalah haq. Adapun jika usaha seseorang dalam memahami
nash-nash tanpa berpedoman dengan penjelasan ulama, maka ini merupakan
kesalahan. Demikian juga untuk memahami kitab-kitab Sunnah, untuk
mengetahui makna-maknanya perlu meruju` kitab-kitab gharibul-hadits
(kata-kata asing dalam hadits,-red).
Demikian juga, seorang penuntut ilmu tidak cukup hanya mengetahui makna
mufradat (kata-kata) saja. Karena mufradat terkadang berada dalam satu
siyaq (rangkaian kalimat) dengan suatu makna, dan dalam siyaq lainnya
memiliki makna yang lain.
Demikian juga nafyi (peniadaan) dan itsbat (penetapan), terkadang
dimaksudkan sesuatu tertentu. Misalnya sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam :
لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ
"Tidaklah berzina seseorang yang sedang berzina sedangkan dia mukmin". [6]
Apakah yang dimaksud dengan nafyi (peniadaan iman) dalam hadits ini?
Maksud seorang pezina bukan mukmin, adalah bahwa seorang pezina bukanlah
seorang mukmin yang sempurna imannya. Bagaimana kita mengetahuinya?
Karena dalam nash-nash yang lain terdapat penjelasan tentang keberadaan
iman bagi pelaku maksiat.
Sehingga kita mengetahui, maksud peniadaan di sini ialah peniadaan
kesempurnaan (iman) yang wajib, bukan yang pokok. Jadi, penetapannya
ialah untuk yang pokok, dan bukan untuk kesempurnaan.
Oleh karena itu, seseorang harus mengetahui makna yang terkandung di
dalam siyaq (rangkaian kalimat), dan penunjukan makna siyaq terhadap
masalah ini. Karena sebagian nash diketahui dengan makna-makna
syar'iyyah. Dan (untuk memahami) sebagian nash, Anda membutuhkan
pengetahuan makna nash ini dengan melihat makna nash-nash lainnya yang
menjadi penjelas.
Contohnya, orang yang memperhatikan firman Allah:
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutukinya." [an-Nisa`/4:93].
Orang yang memandang nash ini akan mengatakan bahwa pembunuh ini kekal
di dalam neraka. Akan tetapi, jika dia melihat nash lainnya, maka ia
akan mengetahui bahwa nash ini tidak bertentangan dengan firman Allah
Aza wa Jalla:
"(Dan kalau ada dua golongan dari orang-orang yang beriman itu
berperang) -Qs al-Hujurat/49 ayat 9. Di dalam ayat ini, Allah
menyebutkan iman dengan adanya peperangan.
Allah juga berfirman
"Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula)". [al-Baqarah/2:178].
Di dalam ayat ini Allah menjadikan wali qishash saudara (seiman/seagama,
Pent.) bagi pembunuh. Maka kita mengetahui bahwa nash ini tidak
bertentangan dengan itu.
Jika kita memperhatikan dengan teliti nash ini:
"(Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka
balasannya...)" -Qs an-Nisa`/4 ayat 93- bahwa ayat ini dirangkaikan
dengan penyebutan balasan. Sedangkan balasan, terkadang terjadi dan
terkadang tidak.
Berdasrkan pemahaman ini, semua nash-nash diatas bisa dipertemukan di
atas kebenaran, yaitu dalam masalah hukum Allah dan keadilan-Nya; barang
siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah
Jahannam. Tetapi Allah Azza wa Jalla -dengan rahmat dan karunia-Nya-
telah menetapkan bahwa barang siapa bertemu Allah dengan tauhid dan
terbebas dari perbuatan syirik, ia tidak akan kekal di dalam neraka,
walaupun Allah menyiksanya terhadap sebagian dosa-dosanya. Maka kita
mengetahui bahwa seorang pembunuh walaupun mendapatkan siksa, tetapi
sesungguhnya dia tidak akan kekal di dalam neraka.
Dari sini, maka sesatlah orang yang memahami masalah ini tanpa
berdasarkan yang semestinya, yaitu Sunnah. Sehingga muncullah Khawarij
dan Mu'tazilah disebabkan buruknya pemahaman mereka terhadap nash-nash
ini [7]. Demikian juga Murji'ah telah menyimpang dalam masalah ini [8].
Dan Allah memberi petunjuk kepada Ahlus-Sunah untuk mengetahui
nash-nash ini dengan memperhatikan nash-nash lainnya. Sesungguhnya ilmu
itu saling melengkapi, saling berkaitan, dan saling menunjukkan. Seperti
yang Anda lihat sekarang, seseorang hanya melihatnya dari satu sisi.
Dia menghukumi secara umum dan menyalahkan orang lain yang berbicara
tentangnya. Dia tidak memperhatikan bahwa masalah ini terbagi dalam
beberapa bagian, dan dalam masalah ini terdapat perincian.
Seperti yang kita dengar dari sebuah pertanyaan, bahwa penuntut ilmu tidak mengambil ilmu dari mubtadi.
Perkataan ini benar merupakan perkataan ulama, tetapi dalam keadan yang
bagaimana? Yaitu dalam keadaan manakala ada kemudahan. Adapun dalam
keadaan darurat dan sangat mendesak, sedangkan di tempat itu tidak ada
yang mengajarkan ilmu ini, maka tidak dilarang mengambil ilmu dari orang
yang menyimpang, jika ia ahli dalam bidang ilmu dimaksud.
Orang yang tidak memperhatikan bagian-bagian dan perincian-perincian ini
akan terjatuh dalam kesalahan. Oleh karena itu, (untuk mendapatkan
kebenaran) harus memperhatikan lafazh-lafazh (syari'at) dan siyaq
(rangkaian kalimat). Seseorang harus mengetahui makna lafazh dan
kandungannya (madlul siyaq).
Sehingga jika kita memperhatikan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا
(Tolonglah saudaramu, baik dia menzhalimi atau dizhalimi) [9] –HR
Bukhari, no. 2343, Pent.-, maka kita akan mengetahui bahwa kezhaliman
yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di sini bukanlah
kezhaliman yang besar seperti halnya disebutkan dalam firman Allah:
"(Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar)". -Qs Luqmân/31 ayat 13.
Demikian juga kita akan mengetahui semisal sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang wanita-wanita:
يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ
(Mereka kufur terhadap suami) [10], Kufur disini bukan berarti kufur
akbar, tetapi kufur (mengingkari) terhadap suami; kufur di bawah
kekafiran, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Abbas dan lainnya dari
kalangan ahli tafsir dalam ayat semisalnya, (yaitu) firman Allah Azza wa
Jalla :
"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir". [al-Maidah/5: 44]
"Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim". [al-Maidah/5:45]
"Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik" [al-Maidah/5:47].
Tentang tiga ayat dalam surat al-Maidah ini, 'Abdullah bin 'Abbas
mengatakan kufur duna kufrin (kekafiran di bawah kekafiran, yaitu
kekafiran yang tidak mengeluarkan dari iman), zhulmun duna zhulmin
(kezhaliman di bawah kezhaliman, yaitu kezhaliman yang tidak
mengeluarkan dari iman), fisqun duna fisqin (kefasikan di bawah
kefasikan, yaitu kefasikan yang tidak mengeluarkan dari iman). Bagaimana
mereka mengetahui ini, mereka mengetahui dengan nash-nash yang lain.
Maka harus memperhatikan sisi-sisi ini.
Perincian masalah ini panjang, namun saya mengingatkan bahwa dalam
masalah itu terdapat ilmu-ilmu yang daqiq (pelik/komples), dan sebagian
perkara-perkaranya sangat luas, sehingga sulit dipahami oleh sebagian
manusia. Tak diketahuinya masalah ini oleh sebagian manusia, menyebabkan
timbulnya kesalahan-kesalahan yang berbahaya dalam masalah keyakinan
dan muamalah.
Oleh karena itu, semua sisi dalam masalah ini seharusnya diperhatikan
dan dicermati. Dengan beristi'anah (memohon pertolongan) kepada Allah
Azza wa Jalla dalam memahaminya, sehingga seorang penuntut ilmu tidak
terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan. Jika menetapkan sesuatu
(masalah) hendaklah menyampaikannya kepada para ulama, sehingga mereka
akan mengoreksi kesalahannya, jika memang ia melakukan kesalahan.
Kita memohon taufiq kepada Allah untuk kita semua, wallahu a'lam. Semoga
Allah memberikan salam dan berkah kepada hamba-Nya dan Rasul-Nya, yaitu
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (06-07)/Tahun XI/1428/2007M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR Muslim, no. 1599. Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari,
at-Tirmidzi, an-Nasâ`i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan ad-Darimi,
dengan lafazh yang berbeda-beda namun maknanya sama. Hadits ini dimuat
oleh Imam an-Nawawi dalam Arba’in an-Nawawiyah, hadits no. 6, dan
Riyadhush-Shalihin, no. 588.
[2]. HR Muslim, no. 2577; at-Tirmidzi, no. 2495; Ahmad (5/154).
[3]. HR al-Bukhari, no. 3414.
[4]. Qs an-Nisâ`/4 ayat 43, al-Maidah/5 ayat 6.
[5]. Yaitu kitab-kitab yang menjelaskan makna kata-kata yang jarang
dipergunakan dalam pembicaraan yang terdapat di dalam hadits-hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan terdapat di dalam kitab suci
Al-Qur`ân.
[6]. HR al-Bukhari, no. 2475; Muslim, no. 57.
[7]. Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar keluar dari iman dan
menjadi kafir. Adapun Mu'tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar
keluar dari iman namun belum kafir, tetapi kedudukan berada di antara
iman dan kekafiran. Itu hukum di dunia. Sedangkan hukum di akhirat,
kedua kelompok itu berpendapat sama, bahwa pelaku dosa besar kekal di
neraka, tidak ada syafa'at baginya. Pemahaman kedua kelompok ini
menyelisihi al-haq.
[8]. Murji'ah berpendapat bahwa dosa tidak merusak atau mengurangi iman. Pendapat ini menyelisihi al-haq.
[9]. Yang dimaksud menolong saudaranya ketika menzhalimi, yaitu dengan
melarangnya dari berbuat zhalim sebagaimana kelanjutan hadits tersebut.
[10]. HR al-Bukhari, no. 29; Muslim, no. 885.
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
theproperty-developer
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.
Jumlah Pengunjung
Blog Archive
-
▼
2011
(1346)
-
▼
September
(104)
- Habib Munzir [Juga] Berdusta Atas Nama Imam Ibnu H...
- Lupa mengerjakan shalat beberapa hari
- Ada Apa Dengan Bank Konvensional?
- Tata cara umrah
- Jilbab… Menutup Aurat Atau Membalut Aurat ???
- Mari Kenali Kaidah Tentang Bid’ah Sebelum Membantah..
- Buah Tauhid,sudah pada diri kita?
- Perkataan 4 Imam Madzhab di dalam Mengikuti Sunnah
- Metode Mendatangkan Hujan (2)
- Ketika lupa tasyahud awal
- Meluruskan Kedustaan Sejarah Versi ‘Syaikh’ Idahra...
- Berdialog Dengan Teroris
- Pasutri Dalam Rumah Tangga Yang Ideal
- Jangan Asal nge-Bom Bung !.. Tidak Semua Kafir Hal...
- sholat jamaah tanpa iqamah
- Lezatnya Ketaatan yang Dipertanyakan
- Waspada! Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahab...
- Cara Berfacebook yang Syar’i??
- Untukmu…Yang Dirundung Rindu dan Sendu (Bag.2)
- Hukum memakai Toga Sarjana
- Saudariku, Maukah Engkau Menjadi Seorang Ratu?
- uang bank itu riba
- Hukum Tepuk Tangan, Memberi Applause
- Habib Munzir Al-Musawwa Berdusta Atas Nama Imam As...
- Tidak Suka Dengan Sebuah Fatwa Ulama
- Semangat Para Ulama dalam Ibadah
- Apa Kata Imam Syafi’i Mengenai Masalah Mengucapkan...
- Belajar Ilmu Manajemen dan Pemasaran
- Pengumuman Kelulusan UIM 1432 H
- Umrah
- Haramkah Foto?
- Jika Pemerintah Menetapkan Hari Raya Dengan Hisab
- Shalat Istisqa (2)
- Potong rambut wanita
- Merasa keluar kentut waktu shalat
- Tumbal dan Sesajen dalam Pandangan Islam
- Metode Mendatangkan Hujan (1)
- Hukum Tanaman Yang Dipupuk Dengan Kotoran Hewan
- Antara Halal & Haram Ada Syubhat
- Qadha shalat tahajud
- Shalat Istisqa (1)
- Download Video Dan Audio Dari Imam Masjidil Haram ...
- Suci Haidh Sebelum Matahari Tenggelam
- Menggabungkan puasa syawal dengan puasa senin kamis
- Download Video Tanya Jawab: Apakah Kerajaan Saudi ...
- Utang emas
- Menguburkan bagian tubuh
- Celakalah Pelaku Sodomi
- Pasukan dari Kota Aden
- Shodaqoh di hari jumat
- Hukum Membaca surat Yasin di atas kubur
- Hukum Memakai Sepatu Dalam Keadaan Berdiri
- Adakah doa khatam quran?
- Untukmu…Yang Dirundung Rindu dan Sendu (Bag.1)
- HUKUM MEMAKAI/MENYEMATKAN GELAR “HAJI/HAJJAH” DI D...
- Hukum Zakat Emas Perhiasan
- Angkat Tangan dalam Doa
- Bertingkatnya Dosa Zina
- Kesimpulan Hasil Bahasan tentang Nikah Mut’ah
- Dia Tak Mau Bertanggung Jawab
- Bantahan Untuk Setan Berwujud Manusia Yang Membole...
- Apa-Apa Pakai Bismillah
- Mahramkah kakak ipar?
- Kisah Si Kusta, Si Botak dan Si Buta (Seri Kisah A...
- Kisah Seorang Yang Meninggalkan Rokok
- Pembinaan Aqidah Untuk Buah Hati
- Derita Ahwaz Lebih Dahsyat Dari Palestina
- Orang Tua Menginginkan Putrinya di Rumah
- 5 Pelanggaran dalam Pacaran
- Pelajaran dari Ramadhan
- Iman Terhadap Kitab-kitab Suci
- Gaji Pensiunan
- Apakah Punggung Telapak Tangan Termasuk Aurat?
- Keutamaan Basmalah
- Jual Beli Trayek
- Nasikh dan Mansukh
- Adakah Ayat Al Qur'an yang Mansukh?
- Sudah Lama “Ngaji” Tetapi Akhlak Tidak Baik
- Jangan jadi pengemis
- Celakalah Rentenir
- Calo yang suka sogok
- Suap Menyuap
- Mencuri Akses Internet
- Sering terucap namun lalai di lakukan
- Perluasan Masjidil Haram Diluncurkan
- Adab Bertanya Kepada Ahli Ilmu
- Akhlak Mulia Kepada Khaliq dan Makhluq
- Jadwal Sholat Subuh Dipermasalahkan
- Adab Majelis Ilmu
- Keterasingan Sunnah dan Ahlu Sunnah di Tengah Mara...
- Kunci Sukses Bermu'amalah
- Jalan Menuju Kemuliaan Akhlaq
- Wasiat - Wasiat Generasi Salaf
- Larangan Pengkhususan Puasa Hari Jum'at
- Tata Cara Puasa Enam Hari Bulan Syawwal
- Hisab dan Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal
- Membaca Al Quran Sendiri atau Mendengarkan dari Se...
- Kaidah - Kaidah Menuntut Ilmu
- Penjelasan Dalam Al Quranul Karim Mengenai ushul d...
- Ingin Menguasai Bahasa Inggris
-
▼
September
(104)