Habib Munzir –semoga Allah memberi hidayah kepadanya- berkata :
Berkata Imam Al-Muhaddits Ibn Hajr Al-Atsqolaaniy : “Hadits-hadits larangan ini adalah larangan sholat dengan menginjak kuburan dan
di atas kuburan atau berkiblat ke kubur atau di antara dua kuburan, dan
larangan itu tak mempengaruhi sahnya sholat (*maksudnya bilapun sholat
di atas makam, atau mengarah ke makam tanpa pembatas maka sholatnya
tidak batal), sebagaimana lafadh dari riwayat kitab Asshalaat oleh Abu
Nai’im guru Imam Bukhari, bahwa ketika Anas ra shalat di hadapan kuburan
maka Umar berkata : Kuburan…kuburan !, maka Anas melangkahinya dan
meneruskan shalat dan ini menunjukan shalatnya sah dan tidak batal”
(Fathul Baari Almasyhuur juz 1 hal 524)” Demikian perkataan Habib Munzir
dalam bukunya Meniti Kesempurnaan Iman hal 29-30.
Para pembaca yang dimuliakan oleh Allah
marilah kita melihat langsung perkataan Ibnu Hajr dalam kitabnya Fathul
Baari. Ibnu Hajr berkata :
“Perkataan Imam Al-Bukhari ((Dan dibencinya sholat di kuburan)), maka mencakup jika sholat dilakukan di atas kubur atau ke arah kubur atau di antara dua kubur. Dan tentang hal ini ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan Abi Martsad Al-Ghonawi secara marfuu’ “Janganlah kalian duduk di atas kuburan, dan janganlah kalian sholat ke kuburan atau di atas kuburan”…. Dan Imam Al-Bukhari membawakan atsar Umar radhiyallahu ‘anhu yang menunjukan bahwa larangan tentang hal itu (sholat di kuburan-pen) tidak mengharuskan rusaknya (tidak sahnya) sholat. Dan atsar Umar tersebut telah kami riwayatkan secara maushuul (bersambung) di kitab As-Sholaah karya Abu Nu’aim gurunya Imam Al-Bukhari, dan lafalnya:
Tatkala Anas sholat ke kuburan maka Umar
menyeru (seraya berkata) : Al-Qobr..al-qobr (Kuburan…! Kuburan…!), maka
Anas menyangka bahwas yang dimaksud Umar adalah al-qomr (bulan), maka
tatkala Anas mengetahui bahwa maksud Umar adalah kuburan maka Anaspun
melewati kuburan dan sholat”. Atsar ini memiliki riwayat-riwayat yang
lain sebagaimana telah aku jelaskan dalam kitab “Tagliiq at-Ta’liiq”,
dan diantaranya riwayat dari jalan Humaid dari Anas seperti yang lalu
dan ada tambahan, (perkataan Anas:), “Maka berkatalah sebagian orang
yang ada di dekatku “Maksud Umar adalah kuburan (bukan bulan-pen), maka
akupun menjauh dari kuburan”.
Dan perkataan Umar القَبْرَ القَبْرَ (kuburan…! Kuburan..!) dengan menashob (yaitu I’robnya dengan fathah/nashob-pen) karena untuk tahdziir/memperingatkan.
Dan perkataan Imam Al-Bukhari ((Dan Umar
tidak memerintahkan Anas untuk mengulangi sholat)) merupakan istinbat
(hukum) yang diambil dari Imam Al-Bukhari dari sikap Anas radhiyallahu
‘anhu yang melanjutkan sholatnya, kalau seandainya sholat di kuburan
mengharuskan rusaknya (batalnya) sholat maka Anas akan memutuskan
sholatnya dan mengulangi kembali sholatnya” (Fathul Baari 1/524-525).
Para pembaca yang mulia…, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
Pertama : Habib Munzir
tidak membawakan perkataan Ibnu Hajr secara lengkap, sehingga akhirnya
perkataan Ibnu Hajar tidak dipahami dengan sebaik-baiknya.
Kedua :
Habib Munzir membawakan perkataan Ibnu Hajar ini dalam rangka membantah Syaikh Bin Baaz. Habib Munzir berkata : “Pernyataan Abdullah bin Baaz mengenai larangan membuat bangunan ataupun membangun masjid di atas kuburan” (lihat Meniti kesempurnaan Iman hal 25)
Dan menurut Habib Munzir yang dimaksud
dengan larangan membangun masjid di atas kuburan adalah bukan membuat
bangunan di atasnya atau kuburan dijadikan sebagai tempat ibadah
sebagaimana dzohirnya lafal hadits-hadits, akan tetapi maksudnya adalah
tidak boleh menginjak-nginjak masjid dan menjadikannya terinjak-injak.
Habib Munzir berkata : “Kesimpulannya larangan membuat
mesjid di atas makam adalah menginjaknya dan menjadikannya
terinjak-injak, ini hukumnya makruh, ada pendapat mengatakannya haram” (Meniti kesempurnaan iman hal 33)
Para pembaca yang budiman…sungguh ini
merupakan kesimpulan yang sangat aneh… menafsirkan larangan Nabi yaitu
larangan menjadikan kuburan sebagai masjid maksudnya adalah
menginjak-nginjak kuburan. Sungguh tafsiran yang sangat “tidak
nyambung”, baik secara akal, bahasa Arab, apalagi menurut dalil-dalil
syar’i. Bagaimana bisa kata masjid di artikan dengan
menginjak-nginjak…??!!, itupun hukumnya hanya makruh menurut beliau??!!
Adakah seorang saja dari para ulama yang
berkesimpulan seperti itu…??, saya mohon Habib Munzir menyebutkan satu
ulama saja yang berkesimpulan seperti ini…? Atau jangan-jangan ini
hanyalah hasil karya beliau saja???!!!
Untuk mendukung kesimpulan hasil karyanya
maka sang Habib membawakan perkataan As-Syafii dan juga perkataan Ibnu
Hajr di atas. Adapun perkataan Imam As-Syafii maka telah lalu
pembahasannya (lihat kembali : http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/183-habib-munzir-berdusta-atas-nama-imam-as-syafii).
Maka sekarang saya mengajak para pembaca
untuk merenungkan perkataan Ibnu Hajar di atas yang sedang menjelaskan
perkataan Imam Al-Bukhari. Apakah dipahami dari perkataan di atas
bahwasanya Ibnu Hajar membolehkan untuk sholat di kuburan…atau
dibolehkannya membangun mesjid di atas kuburan..?? Apakah dipahami
bahwasanya yang dilarang hanyalah menginjak-nginjak kuburan…??!!
Sangat jelas sekali bahwasanya Ibnu Hajar
mendukung larangan segala bentuk posisi sholat di sekitar kuburan.
Karenanya beliau rahimahullah berkata :
((“Perkataan Imam Al-Bukhari ((Dan dibencinya sholat di kuburan)), maka mencakup jika sholat dilakukan di atas kubur atau ke arah kubur atau di antara dua kubur. Dan tentang hal ini ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan Abi Martsad Al-Ghonawi secara marfuu’ “Janganlah kalian duduk di atas kuburan, dan janganlah kalian sholat ke kuburan atau di atas kuburan”))
Bahkan Ibnu Hajr berdalil dengan hadits
Abi Martsad untuk mendukung larangan teresbut. Maka manakah perkataan
Ibnu Hajar yang menunjukkan kesimpulan Habib Munzir bahwasanya yang
dilarang hanyalah menginjak-nginjak kuburan…??
Oleh karenanya untuk mendukung kesimpulannya sang Habib sampai nekat berdusta atas nama Ibnu Hajr dengan menyelipkan tambahan terjemahan dalam perkataan Ibnu Hajar.
Coba perhatikan perkataan Ibnu Hajar rahimahullah:
Terjemahan Habib Munzir sbb : “Hadits-hadits larangan ini adalah larangan sholat dengan menginjak kuburan dan di atas kuburan atau berkiblat ke kubur atau di antara dua kuburan”.
Padahal terjemahan yang benar adalah :
“Maka mencakup jika sholat dilakukan di atas kubur atau ke arah kubur
atau di antara dua kubur”
tanpa ada tambahan lafal “dengan menginjak kuburan“. Saya sampai terheran-heran membaca terjemahan ini…??!!
Ketiga :
Ketiga :
Dalam nukilan di atas, Ibnu Hajar
menyampaikan atsar (kisah) tentang sahabat Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu yang sholat di dekat kuburan lantas diperingatkan dengan tegas
oleh Umar bin Al-Khotthoob radhiallahu ‘anhu dengan berkata ;
“Kuburan..! kuburan..!”.
Ibnu Hajr dalam nukilan di atas telah
menjelaskan bahwa i’roob القَبْرَ القَبْرَ adalah manshuub sebagai
bentuk tahdziir (peringatan). Yang kalau kita artikan dengan bahasa
Indonesia kira-kira sbb : (Awas kuburan..!, awas kuburan…!).
Justru atsar ini semakin
menegaskan akan tidak bolehnya sholat di sekitar kuburan. Karenanya
setelah ditegur oleh Umar maka Anaspun menjauh dari kuburan dan
melanjutkan sholatnya.
Peringatan Umar yang tegas terhadap Anas
yang sholat di kuburan menunjukkan bahwasanya sudah tertanam dalam
hati-hati para sahabat larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sholat di kuburan. Karenanya Umarpun menegur anas dengan tegas dengan
seruan, dan setelah ditegur Anaspun segera menjauh dari kuburan. Padahal Anas tidak sedang sholat di atas kuburan, apalagi sampai menginjak-nginjak kuburan??!!
Ibnu Hajr telah menyebutkan riwayat yang lain tentang kisah ini, beliau berkata:
“Dari Tsaabit Al-Bunaani dari Anas bin
Malik, ia berkata : Aku pernah sholat dekat kuburan maka Umar bin
Al-Khotthoob melihatku dan ia berkata : “Al-Qobr-Al-Qobr (kuburan…!,
kuburan…!), maka akupun melihat ke langit, aku menyangka Umar berkata :
“Al-Qomr ! (bulan !)…
Maka Umar berkata : “Yang aku katakan adalah “kuburan”, janganlah engkau sholat ke kuburan”
Ibnu Hajar juga menyebutkan riwayat yang lain :
Anas berkata : “Suatu hari aku pernah sholat dan dihadapanku ada kuburan, aku tidak sadar…” (Lihat
Taglliq at-Ta’liiq ‘alaa Shahih Al-Bukhari, tahqiq : Sa’iid Abdurrahman
Musa, Al-Maktab Al-Islaami, cetakan pertama 2/229-230)
Dari riwayat-riwayat yang disebutkan oleh Ibnu Hajar ini maka jelas bahwasanya :
- Anas bin Malik tidak sedang sholat di atas kuburan, apalagi sampai menginjak-nginjak kuburan.
- Selain itu Anas bin Malik
tatkala sholat dekat kuburan tidak dalam kondisi sedang mencari barokah
dari kuburan tersebut, bahkan dia sedang tidak sadar alias tidak tahu kalau ia sedang sholat di hadapan kuburan atau dekat dengan kuburan
- Yang benar bahwasanya Anas
sholat dekat kuburan (sebagaimana ditunjukan oleh lafal قَرِيْبًا مِنْ
قَبْرٍ/dekat kuburan)
- Umar bin Al-Khottob tetap menegur Anas meskipun Anas tidak sholat di atas kuburan.
Maka kisah (atsar) ini jelas
berseberangan dengan kesimpulan yang diambil oleh Habib Munzir bahwa
yang larangan adalah jika hanya sholat di atas kuburan atau
menginjak-nginjak kuburan. Dan pemahaman Habib Munzir ini bertentangan
dengan pemahaman Umar (yang tegas menegur Anas bin Malik) dan juga
bertentangan dengan pemahaman Anas yang setelah ditegur lantas menjauh
dari kuburan !!
Sungguh merupakan suatu kegembiraan
tatkala melihat metode pendalilan Habib Munzir yang dalam permasalahan
ini beliau berusaha berdalil dengan pemahaman para sahabat. Itulah
metode beragama yang jitu dan tepat. Semoga Allah terus mengokohkan
beliau dengan metode beragama seperti ini. Namun harapan saya lain kali
Habib Munzir berusaha mengumpulkan riwayat-riwayat suatu atsar dengan
baik agar bisa semakin jelas alur kisah atsar sahabat tersebut.
Imam Bukhari mengambil istinbath dari
atsar ini bahwasanya meskipun terlarang sholat di kuburan namun jika ada
orang yang nekat melakukannya maka sholatnya tetap sah meskipun ia
telah melakukan pelanggaran.
Hal ini sebagaimana pendapat sebagian
ulama tentang orang yang sholat dengan menggunakan baju curian atau ia
sholat di rumah rampokan maka sholatnya tetap sah meskipun ia telah
melakukan kesalahan. Namun bukan berarti sahnya sholat maka menunjukkan
bolehnya sholat di kuburan.
Meskipun istinbath (pengambilan hukum)
dari Imam Al-Bukhari ini tentu masih perlu ditinjau lebih dalam lagi,
karena Anas bin Malik dalam keadaan tidak sadar tatkala sholat dekat
kuburan. Hal ini sebagaimana dalam suatu hadits yang menjelaskan
bahwasanya Nabi pernah sholat dalam kondisi di alas kaki beliau ada
najis, sehingga tatkala di tengah-tengah sholat Nabi diberi wahyu
tentang adanya najis tersebut akhirnya Nabipun melemparkan alas kakinya
dan melanjutkan sholatnya. Tentunya hadits ini tidak menunjukkan sahnya
sholatnya orang yang sengaja memakai pakaian yang ada najisnya, karena
Nabi dalam kondisi tidak sadar bahwa pada alas kakinya ada najis. Dan
ini adalah permasalahan fikih.
Keempat :
Keempat :
Justru pada halaman yang sama di kitab
Fathul Baari –sebelum perkataan yang dinukil oleh Habib Munzir- ternyata
sangatlah jelas jika Ibnu Hajar melarang membangun masjid di kuburan.
Tatkala mengomentari perkataan Imam Al-Bukhari
بَابٌ هَلْ تُنْبَشُ قُبُوْرُ مُشْرِكِي
الْجَاهِلِيَّةِ وَيُتَّخَذُ مَكَانَهَا مَسَاجِدَ لِقَوْلِ النبي صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ
أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
(Bab tentang apakah (*boleh) kuburan
orang-orang musyrik jahiliyah digali dan dijadikan tempat
kuburan-kuburan tersebut sebagai masjid?, (*padahal) Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah melaknat orang-orang yahudi, mereka
menjadikan kuburan-kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid-masjid)
(lihat shahih Al-Bukhari 1/93)
Ibnu Hajar berkata :
“Perkataan Imam Al-Bukhari (Bab Apakah boleh kuburan orang-orang musyrik Jahiliah digali?), yaitu bukan kuburan selain mereka seperti kuburan para Nabi dan para pengikut mereka karena ini (*yaitu penggalian kuburan para nabi dan pengikut mereka) menyebabkan penghinaan kepada mereka. Berbeda halnya dengan orang-orang musyrik maka tidak ada kehormatan terhadap mereka. Adapun perkataan Imam Al-Bukhari “Karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dst” (*yaitu hadits Nabi tentang Allah melaknat orang-orang yahudi yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid) maka sisi penta’lilannya bahwasanya ancaman dalam hadits ini mencakup orang yang menjadikan kuburan-kuburan mereka sebagai masjid-masjid dalam rangka pengagungan dan sikap berlebih-lebihan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah sehingga akhirnya hal itu mengantarkan mereka untuk menyembah para penghuni kubur. Dan juga ancaman tersebut mencakup orang yang mengambil tempat-tempat kuburan mereka sebagai masjid yaitu dengan cara digali dan dilempar tulang-tulang mereka. Dan ini khusus berkaitan (*jika penghuni kubur tersebut adalah) para Nabi dan juga para pengikut mereka.
“Perkataan Imam Al-Bukhari (Bab Apakah boleh kuburan orang-orang musyrik Jahiliah digali?), yaitu bukan kuburan selain mereka seperti kuburan para Nabi dan para pengikut mereka karena ini (*yaitu penggalian kuburan para nabi dan pengikut mereka) menyebabkan penghinaan kepada mereka. Berbeda halnya dengan orang-orang musyrik maka tidak ada kehormatan terhadap mereka. Adapun perkataan Imam Al-Bukhari “Karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dst” (*yaitu hadits Nabi tentang Allah melaknat orang-orang yahudi yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid) maka sisi penta’lilannya bahwasanya ancaman dalam hadits ini mencakup orang yang menjadikan kuburan-kuburan mereka sebagai masjid-masjid dalam rangka pengagungan dan sikap berlebih-lebihan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah sehingga akhirnya hal itu mengantarkan mereka untuk menyembah para penghuni kubur. Dan juga ancaman tersebut mencakup orang yang mengambil tempat-tempat kuburan mereka sebagai masjid yaitu dengan cara digali dan dilempar tulang-tulang mereka. Dan ini khusus berkaitan (*jika penghuni kubur tersebut adalah) para Nabi dan juga para pengikut mereka.
Adapun orang-orang kafir maka tidak
mengapa digali kuburan-kuburan mereka sehingga tempat kuburan mereka
dijadikan masjid, karena tidak mengapa menghinakan mereka. Dan
jika di tempat-tempat kuburan-kuburan mereka (orang-orang kafir)
dijadikan masjid (*yaitu setelah digali) maka tidaklah melazimkan adanya
pengagungan” (Fathul Baari 1/524)
Perhatikanlah perkataan Ibnu Hajr ((ancaman
dalam hadits ini mencakup orang yang menjadikan kuburan-kuburan mereka
sebagai masjid-masjid dalam rangka pengagungan dan sikap
berlebih-lebihan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah
sehingga akhirnya hal itu mengantarkan mereka untuk menyembah para
penghuni kubur)), ini sangat jelas sesuai dengan perkataan
Syaikh Bin Baaz yang dinukil oleh Habib Munzir. Syaikh Bin Baaz berkata :
“Hikmah dari larangan tersebut (*yaitu larangan menjadikan kuburan
sebagai masjid) sebagaimana dijelaskan oleh para ulama agar hal itu
tidak menjadi jalan yang akan membuat seseorang terjebak dalam perbuatan
syirik akbar, seperti menyembah para penghuni kubur, berdoa, bernadzar,
beristigotsah, berkorban, memohon bantuan dan pertolongan kepada mereka
yang telah mati” (Meniti kesempurnaan iman hal 27)
Perhatikan juga perkataan Ibnu Hajar : “Dan
jika di tempat-tempat kuburan-kuburan mereka (orang-orang kafir)
dijadikan masjid maka tidaklah melazimkan adanya pengagungan“
Hal ini berbeda jika yang dijadikan
masjid adalah kuburan-kuburan para sholihin seperti para Nabi dan para
wali, tentu jelas akan melazimkan pengagungan kepada mereka, yang hal
ini merupakan sarana menuju kesyirikan yaitu peribadatan kepada mereka.
Semoga kita lebih amanah dalam menukil
perkataan para ulama karena ini adalah amanah yang dipertanyakan pada
hari hisab, lebih takutlah kita kepada Allah Ta’ala, janganlah karena
hawa nafsu kita, sehingga menjadikan kita menghalalkan segala cara untuk
menggolkan pendapat dan keyakinan kita.
Bukankah amanah merupakan akhlak yang sangat mulia…bahkan Habiibunaa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam digelari dengan Al-Amiiin yaitu orang yang sangat memegang amanah??
Bahkan bukankah Habiibunaa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :
لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ
“Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah“
(bersambung….)
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 26-10-1432 H / 24 September 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer