Demikian hasil bahtsul masail tentang Nikah Mut’ah dan Kloning yang diselenggarakan Dewan Pakar Ittihadul Muballighin pada 3-5 Oktober 1997. Tim perumus dari pembahasan masalah itu adalah Dr H Ahsin Muhammad (ketua), KH Masyhuri Baidhowi MA (sekretaris). Sedangkan anggota masing-masing KH Syukron Ma’mun, Drs KH M Dawam Anwar, KH Ali Mustafa Ya’qub MA, Drs KH Ghozali Masoeri, KH Abdul Muhith Fadhil MA, Drs KH Musthofa Sonhadji MA, dan Hj Mahdiyah MA.
Bahtsul Masail DPP Ittihadul Muballighin menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan tentang: definisi nikah mut’ah, perbedaan antara nikah mut’ah dan nikah sunni, hukum haramnya nikah mut’ah disertai dalil-dalilnya, madharat (dampak negatif) nikah mut’ah, dan rekomendasi agar nikah mut’ah dilarang.
Definisi nikah mut’ah, menurut hasil bahasan ini, ialah perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk jangka waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya.
Disimpulkan, ada enam perbedaan prinsip antara nikah mut’ah dan nikah sunni (konvensional).
- Nikah mut’ah dibatasi oleh waktu, nikah sunni tidak dibatasi oleh waktu.
- Nikah mut’ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam aqad atau faskh, sedangkan nikah sunni berakhir dengan talaq atau meninggal dunia.
- Nikah mut’ah tidak berakibat saling mewarisi antara suami istri, nikah sunni menimbulkan pewarisan antara keduanya.
- Nikah mut’ah tidak membatasi jumlah istri, nikah sunni dibatasi dengan jumlah istri hingga maksimal empat orang.
- Nikah mut’ah dapat dilaksanakan tanpa wali dan saksi, nikah sunni harus dilaksanakan dengan wali dan saksi.
- Nikah mut’ah tidak mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri, nikah sunni mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri.
Ditinjau dari segi mudharatnya (dampak negatif) bahwa hukum mut’ah bertentangan dengan tujuan pernikahan dalam Islam;
- nikah mut’ah merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat kaum wanita;
- nikah mut’ah mengganggu keharmonisan keluarga dan meresahkan masyarakat;
- nikah mut’ah berakibat menelantarkan generasi yang dihasilkan oleh pernikahan itu;
- nikah mut’an bertentangan dengan Undang Undang Perkawinan No.1/1974 pasal 1 dan 2;
- nikah mut’ah dicurigai dapat menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin;
- nikah mut’ah sangat potensial untuk merusak kepribadian dan budaya luhur bangsa Indonesia.
Dalil-dalil Haramnya Nikah Mut’ah
Haramnya nikah mut’ah, menurut Bahtsul Masail DPP Ittihadul Muballighin, berlandaskan dalil-dalil Hadits Nabi dan juga pendapat para ulama dari empat madzhab.
Dalil dari Hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim menyatakan bahwa:
3496
– وَحَدَّثَنِى سَلَمَةَ بْنُ شَبِيبٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ أَعْيَنَ
حَدَّثَنَا مَعْقِلٌ عَنِ ابْنِ أَبِى عَبْلَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ
الْعَزِيزِ قَالَ حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِىُّ عَنْ
أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ
الْمُتْعَةِ وَقَالَ « أَلاَ إِنَّهَا حَرَامٌ مِنْ يَوْمِكُمْ هَذَا إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ كَانَ أَعْطَى شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ ».
صحيح مسلم – (ج 4 / ص 134)
Dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani, ia
berkata: Kami bersama Nabi Muhammad SAW dalam suatu perjalanan haji.
Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu
dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut,
sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku
itu. Kemudian wanita tadi berkata: Ada selimut seperti selimut._
Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan
harinya aku pergi ke Masjid Al-Haram, dan tiba-tiba aku melihat Nabi SAW
sedang berpidato di antara pintu Ka’bah dan Hijir Ismail. Beliau
bersabda: Wahai sekalian manusia, Aku pernah mengizinkan kepada kalian
untuk melakukan nikah mut’ah. Maka sekarang siapa yang mempunyai istri
dengan cara nikah mut’ah, haruslah ia menceraikannya, dan segala sesuatu
yang telah kalian berikan kepadanya janganlah kalian ambil lagi. Karena
Allah Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kiamat._
(Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim
(II/ 1024), Imam Abu Dawud dalam kitabnya Sunan Abi Dawud (II/ 226,
2072), Imam Ibnu Majah dalam kitabnya Sunan Ibnu Majah (I/ 631), Imam
al-Nasa’i dalam kitabnya _Sunan al-Nasa’i (VI/ 1303), Imam al- Darimi
dalam kitabnya _Sunan al-Darimi (II/ 140) dan Imam Ibnu Syahin dalam
kitabnya _al- Nasikh wa al- Mansukh min al-Hadits hal 215).Dalil Hadits lainnya:
4825
– حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ
أَنَّهُ سَمِعَ الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ
بْنِ عَلِيٍّ وَأَخُوهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِمَا
أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ
وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ صحيح البخاري –
(ج 5 / ص 1966)
Dari Ali bin Abi Tholib r.a. ia berkata kepada
Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW melarang nikah mut’ah dan
memakan daging keledai jinak pada waktu perang Khaibar. (Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (Ibnu hajar al-Asqolani, _Fath al-
Bari, IX/71), Imam al- Tirmidzi (al-Mubarokafuri, Tuhfah al-Ahwadzi,
IV/225), Imam Malik bin Anas dalam kitabnya al-Muwatta’, (I/427), Imam
Ibni Hibban (Ibn Balban, Shahih Ibn Hibban bi Tartib Ibn Balban IX/ 448,
450), Imam al-Baihaqi dalam kitabnya _al-Sunan al-Kubra_, VII/ 327),
Imam al-Daruqutni dalam kitabnya _Sunan al-Daruqutni_, III/ 141) dan
Imam Ibnu Abi Syaibah dalam kitabnya _al-Kitab al- Mushannaf III/ 147).Pendapat Para Ulama
Berdasarkan Hadits-hadits tersebut di atas, para ulama berpendapat sebagai berikut:- Dari Madzhab _Hanafi_, Imam Syamsuddin al-Sarkhasi (w 490H) dalam kitabnya _Al Mabsuth (V/152) mengatakan, Nikah Mut’ah ini batil menurut Madzhab kami._ Demikian pula Imam Ala al-Din al-Kasani (w 587H) dalam kitabnya _Bada’i al-Sana’i fi Tartib al-Syara’i (II/ 272) mengatakan, Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu Nikah Mut’ah._
_Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (IV/ 325 s/d 334)
mengatakan: Hadits-hadits yang mengharamkan Nikah Mut’ah mencapai
- peringkat Mutawatir._ Sementara itu Imam Malik bin Anas (W. 179H) dalam kitabnya _al-Mudawwanah al-Kubra (II/ 130) mengatakan: Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil.”
kitabnya _Al-Umm (V/ 85) mengatakan: Nikah Mut’ah yang dilarang
itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang
lelaki kepada seorang perempuan: Aku nikahi kamu selama 1 (satu)
hari, 10 (sepuluh) hari atau 1 (satu) bulan._ Sementara itu Imam
al-Nawawi (w. 676H) dalam kitabnya _al-Majmu’ (XVII/ 356)
mengatakan: Nikah Mut’ah tidak diperbolehkan…, karena
pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat
- mutlaq, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu.”
(Dari buku Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, halaman 139-142
(nahimunkar.com)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer