ADAKAH AYAT AL-QUR'AN YANG MANSUKH?


Soal:
Ringkasan pertanyaan:
1. Adakah nasikh mansukh dalam Al-Qur’an?
2. Bagaimana makna ayat 27 surat Al-Kahfi dan ayat 42 surat Al-Fushilat?
3. Bagaimana ucapan Abu Muslim Al-Ashfahani: لَيْسَ فِيْ الْقُرْآنِ آيَةٌ مَنْسُوْخَةٌ
“Di dalam Al-Qur’an tidak ayat yang mansukh!”.
4. Benarkah pendapat “tidak ada nasikh mansukh dalam Al-Qur’an” adalah pendapat golongan Mu’tazilah?

Adli Shidqi bin Minghat
Pesantren Persatuan Islam 1-2 Bandung
JL. Pajagalan, no: 14-16, Bandung 40241

Jawaban.
1. Adakah nasikh mansukh dalam Al-Qur’an?
Nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an itu ada. Dan untuk melengkapi jawaban ini, silahkan simak Rubrik Fiqih edisi 3 ini.

2. Bagaimana makna ayat 27 surat Al-Kahfi dan ayat 42 surat Al-Fushilat?

Jawab:
Ayat 27 surat Al-Kahfi yang dimaksudkan berbunyi: لاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ
Tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat-Nya. [Al Kahfi :27]

Yaitu kalimat-kalimat Allah yang ada dalam Al-Qur’an tidak akan ada seorangpun yang dapat merobahnya dan menggantinya. Dan begitulah kenyataannya. Semenjak Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla, tidak ada siapapun yang dapat merubahnya dan menggantinya, kecuali Allah sendiri secara langsung atau lewat rasulNya berdasarkan wahyu Allah. Dan ayat ini sama sekali tidak menolak adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh sebagaimana telah kami jelaskan di atas.

Adapun perkataan Ustadz Abdul Qadir Hassan rahimahullah tentang ayat ini (beliau berpendapat “tidak ada ayat mansukh dalam Al-Qur’an”): “Menurut ayat ini, nyata tidak seorangpun dapat atau berhak merobah firman-firman Allah. Maka tidak patut kita mengatakan “ini mansukh” “itu mansukh”, kalau tidak ada keterangan dari yang mempunyai firman itu”. [1]

Maka kami jawab:
Benar bahwa kalau tidak ada keterangan dari Alloh yang mempunyai firman itu tidak seorangpun berhak merobah firman-firmanNya. Oleh karena itulah banyak ulama ushul fiqih yang menyatakan bahwa Naasikh (Yang menghapuskan hukum) pada hakekatnya adalah Alloh. Sehingga yang menjadi naasikh adalah dalil Al-Kitab dan As-Sunnah. Adapun ijma’ atau qiyas tidak menjadi nasikh.

Dan telah datang keterangan dari Alloh yang mempunyai firman itu, atau dari Rasulnya, atau penjelasan para sahabat –yang mereka adalah manusia terbaik setelah para nabi- tentang mansukhnya sebagian ayat Al-Qur’an. Sebagaimana hal itu disebutkan oleh para ulama ahli ushul fiqih. Dan adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh oleh ayat lainnya dalam Al-Qur’an telah terjadi ijma’ padanya, sebagaimana akan kami sampaikan insya Alloh. Sedangkan ijma’ adalah haq, karena umat Islam tidak akan bersatu di atas kebatilan.

Adapun ayat 42 surat Al-Fushilat berbunyi:

لاَ يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنزِيلٌ مِّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

Kebatilan tidak akan datang kepadanya (al-Qur'an) baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari (Rabb) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. [Al-Fushilat :42]

Ayat ini dipakai dalil oleh Abu Muslim Al-Ashfahani, seorang Mu’tazilah, tentang tidak adanya naskh dalam Al-Qur’an, karena dia menganggap naskh merupakan kebatilan. Namun pemahaman tersebut tidak benar!

Tentang maksud ayat ini, Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Yaitu: Syaithon dari kalangan syaithon-syaithon jin dan manusia tidak akan mendekatinya, baik dengan mencuri (dengar-red), memasukkan sesuatu yang bukan darinya kepadanya, menambah, ataupun mengurangi. Maka Al-Qur’an itu terjaga di saat turunnya, terjaga lafazh-lafazhnya dan makna-maknanya. (Alloh) Yang telah menurunkannya telah menjamin penjagaannya, sebagaimana Dia berfirman: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.[Al Hijr:9] [2]

Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi berkata: “Sisi pertama: Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan firman Allah: “Kebatilan tidak akan datang kepadanya (al-Qur'an)”, mungkin kebatilan (dalam ayat ini) maknanya adalah kedustaan. Yaitu: kedustaan tidak akan menyusulnya. Atau, kemungkinan yang dimaksudkan adalah bahwa kitab (Al-Qur’an) ini tidak didahului oleh kitab Allah Ta’ala yang membatalkannya, dan tidak akan datang setelahnya (kitab) yang akan membatalkannya. Sisi kedua: Kita menerima bahwa naskh adalah membatalkan hukum, sedangkan kebatilan (artinya) bukanlah membatalkan. Kebatilan adalah kebalikan dari al-haq, sedangkan naskh adalah haq, tidak ada sisi kebatilan padanya. Dan kita mungkin menambahkan sisi yang ketiga: yaitu bahwa yang dimaksudkan dengan kebatilan adalah perobahan dan penggantian sebagaimana terjadi pada kitab-kitab dahulu. Maka kebatilan dengan makna ini tertolak sama sekali dari Al-Qur’an. [Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 428-429, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Sholih Adh-Dhuweihi]

Maka ayat ini sama sekali tidak menolak adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh, karena adanya ayat yang masukh bukanlah kebatilan, bahkan itu adalah haq, dan telah terjadi ijma’ tentang hal itu.

3. Bagaimana ucapan Abu Muslim Al-Ashfahani: “Di dalam Al-Qur’an tidak ayat yang mansukh!”.

Jawaban:
Menangapi perkataan Abu Muslim di atas, para ahli ushul berbeda pandangan, menjadi beberapa kelompok:

1. Bahwa Abu Muslim menolak adanya naskh di dalam syari’at, namun dia membolehkannya menurut akal.

Al-Amidi rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya naskh secara akal dan terjadinya secara syari’at, dan tidak ada yang menyelisihi di antara umat Islam dalam hal itu kecuali Abu Muslim Al-Ashfahani. Dia menolak hal itu secara syara’ dan membolehkannya secara akal ”. [3]

Bahwa Abu Muslim menolak adanya naskh (yang mansukh) dalam ayat Al-Qur’an, menurut akal, namun dia mengakui adanya di dalam syari’at.
Muhammad bin Umar bin Al-Husain Ar-Roozi (wafat 606 H) berkata: “Umat telah sepakat atas bolehnya naskh (di dalam) Al-Qur’an. Namun Abu Muslim Al-Ashfahani mengatakan: “Tidak boleh”. [4]

Jika memang kemungkinan 1 atau 2 ini pendapat Abu Muslim Al-Ashfahani, maka pendapatnya tertolak dengan ijma’ dan dalil-dalil lainnya yang telah kami sampaikan.

2. Bahwa Abu Muslim tidak menolak adanya naskh, namun dia menamakannya dengan “takhshiish zamaniy”. Yaitu bahwa hukum itu berlaku pada waktu yang dikhususkan sebelum turunnya naasikh. Jika memang ini pendapat Abu Muslim Al-Ashfahani, maka dia hanyalah menyelisihi penamaan, bukan menyelisihi hakekat adanya naskh. Ini berarti tidak ada satu orangpun di kalangan ulama’ umat Islam yang mengingkari naskh dalam Al-Qur’an!

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Tidak diragukan bahwa mengingkari naskh merupakan perkara yang rusak, dan bahwa adanya naskh boleh/mungkin menurut akal –sebagaimana telah kami jelaskan, bahwa naskh tidak mengharuskan bada’ (nampaknya sesuatu terhadap Alloh yang sebelumnya samar). Demikian juga adanya naskh nyata secara syara’, dalilnya adalah firman Allah.

مَا نَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ

Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)... [Al Baqarah:106]

Dan firman Alloh Azza wa Jalla.

وَإِذَا بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍ

Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya. [An Nahl :101]

Dan pengingkaran Abu Muslim Al-Ashfahani (dia ini seorang Mu’tazilah!) terhadap naskh, maknanya adalah bahwa dia condong kepada (pendapat) bahwa naskh adalah pengkhususan pada zaman, bukan menghilangkan hukum, sebagaimana telah terdahulu penjelasannya”. [Mudzakiroh, hal: 126-127]

Bagaimanapun juga, maka pendapat Abu Muslim di atas adalah pendapat yang sangat ganjil di kalangan ulama Islam. Abul Husein Al-Bashri berkata: “Umat Islam telah sepakat tentang bagusnya naskh syari’at-syari’at, kecuali satu hikayat ganjil dari sebagian umat Islam, bahwa naskh itu tidak bagus”. [Al-Mu’tamad 1/370]

Imam Asy-Syaukani berkata: “Naskh boleh secara akal dan terjadi secara sam’ (agama). Tidak ada perselisihan dalam hal ini di antara umat Islam, kecuali yang diriwayatkan dari Abu Muslim Al-Ashfahani, dia mengatakan bahwa naskh boleh (secara akal) namun tidak terjadi (secara syari’at). Jika (perkataan) ini benar darinya, maka ini dalil bahwa dia adalah seorang yang bodoh terhadap syari’at Nabi Muhammad dengan kebodohan yang sangat buruk. Dan lebih mengherankan lagi daripada kebodohannya adalah hikayat orang yang menghikayatkan darinya: adanya perselisihan di dalam kitab-kitab agama. Karena sesungguhnya yang dianggap (perselisihan) adalah perselisihan ahli ijtihad, bukan dengan perselisihan orang yang kebodohannya telah sampai pada puncak ini”. [5]

4. Benarkah pendapat “tidak ada nasikh mansukh dalam Al-Qur’an” adalah pendapat golongan Mu’tazilah?

Jawaban:
Itu bukan pendapat Mu'tazilah. Karena orang-orang Mu’tazilah, seperti Al-Qodhi Abdul Jabbar, Abul Husein Al-Bashri, mengakui adanya naskh. Pendapat di atas adalah pendapat ganjil dari Abu Muslim Al-Ashfahani, seorang Mu’tazilah.[6]

Wallohu a’lam bish Showwab

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016 begin_of_the_skype_highlighting              0271-761016      end_of_the_skype_highlighting]
_______
Footnote
[1]. Ushul Fiqih, hal: 60, penerbit: Fa. Al-Muslimun Bangil, cet: 2, th: 1964
[2]. Tafsi Karimir Rohman, surat Al-Fushilat: 42
[3]. Al-Ihkam 3/115, dinukil dari Aroul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 427, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Sholih Adh-Dhuweihi
[4]. Al-Mahshul Fii ‘Ilmi Ushul Fiqh, 1/3/460
[5]. Irsyadul Fuhul, hal: 185, dinukil dari Aroul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 426, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Sholih Adh-Dhuweihi
[6]. Lihat: 414-415

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers