
Pertanyaan:
Saya bekerja dari pukul 07.00-13.00 WIB dan saya biasa berangkat kerja
sendiri. Suami saya bekerja mulai pukul 08.00 WIB. Yang ingin saya
tanyakan:
a. Selama 1 jam setelah saya berangkat kerja, di rumah hanya ada suami
dan pembantu yang ditemani anak-anak saya yang masih kecil. Apakah hal
ini dibolehkan oleh syariat?
b. Apakah dengan menitipkan anak selama saya bekerja termasuk menyia-nyiakan tanggung jawab saya sebagai seorang ibu?
c. Apakah benar tindakan suami saya yang membiarkan saya bekerja di luar rumah?
Saya sangat mengharapkan jawaban agar saya tidak terlampau jauh terjerumus dalam
kemaksiatan.
(Ummu Fulan – Jakarta)
Jawab :
Pertanyaan saudari dapat kami jawab sebagai berikut:
a. Syariat yang mulia menetapkan larangan laki-laki bercampur dengan
wanita yang bukan mahramnya (ikhtilath) karena hal ini dapat
mengantarkan kepada perbuatan yang keji, terlebih lagi bila terjadi
khalwat (bersepi-sepi/berduaan) antara laki-laki dan wanita yang bukan
mahramnya tersebut. Sementara keberadaan seorang pembantu di rumah,
sulit untuk menghindari ikhthilath dengannya bahkan mungkin di suatu
keadaan terjadi khalwat.
Hal ini jelas merupakan pelanggaran syariat dan dikhawatirkan akan
terjadi fitnah, karena Allah Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan
laki-laki dengan kecenderungan yang kuat terhadap wanita dan sebaliknya
wanita diciptakan cenderung dengan lelaki. Bila terjadi ikhtilath,
kecendurungan tadi akan mengantarkan kepada keinginan yang jelek
dikarenakan jiwa itu senantiasa memerintahkan kepada kejelekan,
sedangkan hawa nafsu itu membutakan mata dan menulikan telinga sementara
setan selalu memerintahkan kepada perbuatan keji dan mungkar. (Fatawa
wa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Asy-Syaikh, 10/35-44)
Namun jangan dipahami bahwa kita tidak memperbolehkan mempekerjakan
seorang pembantu rumah tangga. Kalaupun kita memiliki pembantu maka
harus dijaga hijab antara pembantu tersebut dengan tuan rumah, jangan
dibiarkan ia bercampur bebas dengan laki-laki dari anggota keluarga
tersebut.
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz Rahimahullaah ketika
ditanya: Apakah seorang pembantu rumah tangga harus berhijab dari
majikannya? Beliau menjawab: “Ya, wajib bagi pembantu rumah tangga untuk
berhijab dari tuannya dan ia tidak boleh menampakkan perhiasannya
(tabarruj) di depan tuannya. Haram bagi tuannya berkhalwat dengan
pembantu tersebut dengan dalil yang umum. Bila pembantu tersebut tidak
berhijab dari tuannya dan bertabarruj di hadapannya maka dikhawatirkan
tuannya akan terfitnah dengannya. Demikian pula berkhalwat dengannya
merupakan satu sebab setan menghias-hiasi hingga tuannya akan terfitnah
dengan pembantunya.” (Al-Fatawa, kitab Ad-Da’wah 2/227)
Dengan penjelasan di atas maka saudari bisa melihat keadaan pembantu di
rumah saudari, apakah aman dari ikhtilath antara suami dengannya, apakah
aman dari terjadinya khalwat, apakah terjaga hijab antara suami
dengannya dan kemudian apakah aman dari fitnah?
b. Seorang ibu diberi amanah oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk
mengasuh anak-anaknya dan mengurus rumah suaminya dan kelak di hadapan
Allah dia akan ditanya tentang tanggung jawabnya ini sebagaimana sabda
Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wasallam :
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang
apa/siapa yang di bawah kepemimpinannya. Kepala negara adalah pemimpin.
Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya. Seorang istri
adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak suaminya. Maka setiap
kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya (dimintai
pertanggungjawaban) terhadap apa yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari no.
2554 dan Muslim no. 1829)
Dengan demikian tugas utama seorang ibu adalah mengatur rumah suaminya,
mengasuh dan mendidik anaknya, dan bukan tugasnya untuk mencari nafkah
di luar rumah bila masih ada yang menanggung hidupnya dan anak-anaknya.
Suamilah yang bertanggung jawab untuk mengemban tugas mencari nafkah.
Bila seorang ibu bekerja di luar rumah hingga berakibat anak-anaknya
terlantar dan tidak terurus pendidikannya maka jelas si ibu telah
menyia-nyiakan tanggung jawabnya
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz رحمه الله berkata: “Telah
dimaklumi bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan wanita dengan
susunan tubuh yang khusus, sangat berbeda dengan susunan tubuh
laki-laki. Allah persiapkan wanita untuk menunaikan pekerjaan-pekerjaan
di dalam rumah dan pekerjaan yang bisa ditangani di tengah-tengah kaum
wanita. Dengan demikian terjunnya wanita di lapangan pekerjaan yang
sebenarnya dikhususkan bagi pria sama artinya mengeluarkannya dari
susunan tubuh dan tabiatnya. Hal ini merupakan pelanggaran (kedzaliman)
yang besar terhadap wanita, dapat meruntuhkan kepribadian dan
menghancurkan moralnya. Akibatnya akan merembet kepada anak-anak baik
putra maupun putri, karena mereka kehilangan tarbiyah, kasih sayang dan
kelembutan. Ibu yang selama ini memerankan tugas tersebut telah
memisahkan diri darinya dan secara penuh telah menjauh dari istananya,
padahal tidak mungkin wanita itu mendapatkan kesenangan dan ketenangan
kecuali di dalam rumah.”
Beliau melanjutkan: “Islam menetapkan masing-masing dari suami dan istri
memiliki kewajiban yang khusus agar keduanya dapat menjalankan
perannya, hingga sempurnalah bangunan masyarakat di dalam dan di luar
rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri
berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang, menyusui
dan mengasuh mereka, serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya seperti
mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, merawat dan
mengobati mereka dan pekerjaan semisalnya yang khusus bagi wanita. Bila
wanita meninggalkan kewajiban dalam rumahnya berarti ia menyia-nyiakan
rumah berikut penghuninya. Hal tersebut berdampak terpecahnya keluarga
baik secara hakiki maupun maknawi.” (Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir
Rijal fi Maidanil Amal, hal.4-5)
c. Islam tidak melarang sepenuhnya bagi wanita untuk bekerja namun Islam
menetapkan aturan, mana yang boleh dari pekerjaan tersebut dan mana
yang tidak boleh. Sebagaimana Islam menetapkan syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang wanita yang bekerja di luar rumah, seperti harus
mendapatkan izin dan ridha suami, tidak ada ikhtilath dan khalwat dengan
laki-laki bukan mahram di tempat kerjanya karena bidang yang ditekuni
adalah khusus lapangan kerja bagi wanita seperti mengajar anak-anak
perempuan, menolong persalinan, mengobati dan merawat anak-anak kecil
dan wanita yang sakit dan sebagainya. Kemudian ia keluar rumah dengan
memperhatikan adab-adab keluar rumah seperti berhijab dengan sempurna
dan tetap dapat menjaga hijabnya di tempat kerja, tidak memakai
wangi-wangian, tidak berdesakan dengan laki-laki di jalan menuju tempat
kerja, berhias dengan rasa malu dan menundukkan pandangannya. Dan
tentunya dituntut bagi serang ibu agar jangan sampai ia bekerja di luar
rumah, sementara anak-anaknya terlantar di dalam rumah tanpa ada yang
mengurusi, merawat, mengawasi dan mendidik mereka, apalagi bila
anak-anak tersebut masih kecil.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله ketika ditanya, bidang pekerjaan apa
yang boleh ditekuni oleh wanita? Beliau رحمه الله menjawab: “Bidang
pekerjaan yang khusus bagi wanita seperti mengajari anak-anak perempuan
atau ia bekerja di rumahnya dengan menjahit pakaian wanita dan
semisalnya. Adapun wanita menerjuni lapangan kerja yang khusus bagi
laki-laki maka tidak diperbolehkan karena hal itu mengharuskan ia
berikhtilath dengan laki-laki sehingga akan timbul fitnah yang besar
sementara Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, yang
artinya: “Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya
bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hal ini wajib bagi seseorang untuk menjauhkan keluarganya
dari tempat-tempat fitnah dan sebab-sebab fitnah dengan segala keadaan.”
(Fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/837)
Yang perlu diingat bahwa tanggung jawab mencari nafkah ada di tangan
suami sehingga bila ia masih mampu menghidupi keluarganya, jangan ia
biarkan istrinya bekerja di luar rumah. Sebaliknya ia lazimkan istrinya
untuk tetap tinggal di rumah karena Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan tetaplah kalian tinggal (para wanita) di rumah-rumah kalian.” (Al-Ahzab: 33)
Asy-Syaikh Ibnu Baz Rahimahullaah berkata: “Mengeluarkan wanita dari
rumah untuk bekerja sementara rumahnya itu adalah kerajaannya dalam
kehidupan ini sama artinya mengeluarkan si wanita dari tabiat dan
fitrahnya yang Allah ciptakan dia di atas tabiat dan fitrah tersebut.”
(Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir Rijal fi Maidanil Amal, hal. 4)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Sumber :
http://asysyariah.com/sakinah/fatawa-al-marah-al-muslimah/885-wanita-bekerja-di-luar-rumah-fatawa-al-marah-al-muslimah-edisi-8.html
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
theproperty-developer