Oleh
Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul
Shalat kusuf (gerhana bulan) dan khusuf (gerhana matahari) merupakan
sunnat mua’kkad. Disunatkan bagi orang muslim untuk mengerjakannya. Hal
itu didasarkan pada dalil berikut ini.
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia bercerita bahwa pada masa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi gerhana matahari, lalu beliau
mengerjakan shalat bersama orang-orang. Maka beliau berdiri dan
memanjangkan waktu berdiri, lalu beliau ruku dan memanjangkannya.
Kemudian beliau berdiri dan memanjangkannya –berdiri yang kedua ini
tidak selama berdiri pertama-. Setelah itu, beliau ruku dan memanjangkan
ruku, ruku-nya ini lebih pendek dari ruku pertama. Selanjutnya, beliau
sujud dan memanjangkannya. Kemudian beliau mengerjakan pada rakaat kedua
seperti apa yang beliau kerjakan pada rakaat pertama. Setelah itu,
beliau berbalik sedang matahari telah muncul. Lalu beliau memberikan
khutbah kepada orang-orang. Beliau memanjatkan pujian dan sanjungan
kepada Allah. Dan setelah itu, beliau bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua (tanda)
dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana
karena kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang.
Oleh karena itu, jika kalian melihat hal tersebut maka hendaklah kalian
berdo’a kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekah”. Setelah itu,
beliau bersabda : “Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang
yang lebih cemburu dari Allah jika hambaNya, laki-laki atau perempuan
berzina. Wahai umat Muhammad, seandainya kalian mengetahui apa yang aku
ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis”
[Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani] [1]
Dapat saya katakan, sisi dalil yang dikandung hadits di atas, bahwa
perintah mengerjakan shalat itu berbarengan dengan perintah untuk
bertakbir, berdo’a, dan bersedekah. Dan tidak ada seorangpun yang
mewajibkan bersedekah, bertakbir dan berdo’a pada saat terjadi gerhana.
Dengan demikian, menurut kesepakatan ijma’ bahwa perintah tersebut
bersifat sunnat. Demikian juga dengan perintah untuk mengerjakan shalat
yang berbarengan dengannya. [2] .Wallaahul Muwaffiq.
SIFAT DAN JUMLAH RAKAA’AT SHALAT KUSUF
Pertama : Tidak Ada Adzan Dan Iqamah Untuk Shalat Kusuf
Para ulama telah sepakat untuk tidak mengumandangkan adzan dan iqomah
bagi shalat kusuf [3]. Dan yang disunnahkan [4] menyerukan untuknya “
Ash-Shalaatu Jaami’ah”.
Yang menjadi dalih bagi hal tersebut adalah apa yang ditegaskan dari
Abdullah bin Amr Radhiyallahuma, dia bercerita : “Ketika terjadi gerhana
matahari pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diserukan :
Innash Shalaata Jaami’ah” Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani.[5]
Kedua : Jumlah Raka’at Shalat Kusuf
Shalat gerhana itu dikerjakan dua rakaat dengan dua ruku’ pada setiap
rakaat. Yang menjadi dalil hal tersebut adalah hadits Aisyah
Radhiyallahu ‘anha yang telah kami sampaikan sebelumnya. Dan juga hadits
yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia
bercerita : “Pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliaupun berdiri dengan waktu yang
panjang sepanjang bacaan surat Al-Baqarah. Kemudian beliau ruku dengan
ruku yang cukup panjang, lalu beliau bangkit dan berdiri dalam waktu
yang lama juga- -tetapi lebih pendek dari berdiri pertama-. Kemudian
beliau ruku dengan ruku yang lama –ruku yang lebih pendek dari ruku
pertama-. Setelah itu, beliau sujud. Kemudian beliau berdiri dalam waktu
yang lama –tetapi lebih pendek dari berdiri pertama. Selanjutnya,
beliau ruku dengan ruku yang lama- ruku yang lebih pendek dari ruku
pertama. Setelah itu, beliau sujud. Kemudian beliau berbalik, sedang
matahari telah muncul. Maka beliau bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua dari
tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena
kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang. Oleh
karena itu, jika kalian melihat hal tersebut, maka berdzikirlah kepada
Allah”
Para sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, kami melihatmu mengambil
sesuatu di tempat berdirimu, kemudian kami melihatmu mundur ke
belakang”. Beliau bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya aku melihat Surga, maka aku berusaha mengambil
setandan (buah-buahan). Seandainya aku berhasil meraihnya, niscaya
kalian akan dapat memakannya selama dunia ini masih ada. Dan aku juga
melihat Neraka, aku sama sekali tidak pernah melihat pemandangan yang
lebih menyeramkan dari pemandangan hari ini. Aku melihat kebanyakan
penghuninya adalah wanita”.
Para sahabat bertanya, “Karena apa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Karena kekufuran mereka”. Ada yang bertanya “Apakah mereka kufur kepada
Allah?”. Beliau menjawab.
“Artinya : Mereka kufur kepada keluarganya (suaminya), dan kufur
terhadap kebaikan (tidak berterima kasih). Seandainya engkau berbuat
baik kepada salah seorang di antara mereka sepanjang waktu, lalu dia
melihat sesuatu (kesalahan) darimu, niscaya dia akan mengatakan : “Aku
tidak pernah melihat kebaikan sedikitpun darimu” {Diriwayatkan oleh
Asy-Syaikhani] [6]
Kesimpulan
Didalam hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha dan Ibnu Abbas Radhiyallahu
anhuma diatas terdapat dalil yang menunjukkan disunnatkannya khutbah
dalam shalat kusuf, yang disampaikan setelah shalat.[7]
Ketiga : Menjaharkan Bacaan Dalam Shalat Kusuf
Bacaan dalam shalat kusuf dibaca dengan jahr (suara keras), sebagaimana yang dikerjakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjaharkan bacaannya dalam shalat kusuf. Jika selesai dari bacaannya,
beliau pun bertakbir dan ruku. Dan jika dia bangkit ruku, maka beliau
berucap : “Sami Allaahu liman Hamidah. Rabbana lakal hamdu”. Kemudian
beliau kembali mengulang bacaan dalam shalat kusuf. Empat ruku dalam dua
rakaat dan empat sujud.” Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani] [8]
At-Tirmidizi rahimahullah mengatakan : “Para ulama telah berbeda
pendapat mengenai bacaan didalam shalat kusuf. Sebagian ulama
berpendapat supaya dibaca pelan (sirr, dengan suara tidak terdengar)
dalam shalat kusuf pada waktu siang hari. Sebagian lainnya berpendapat
supaya menjaharkan bacaan dalam shalat kusuf pada siang hari.
Sebagaimana halnya dengan shalat ‘Idul Fithi dan Idul Adha serta shalat
Jum’at. Pendapat itulah yang dikemukakan oleh Malik, Ahmad dan Ishaq.
Mereka berpendapat menjaharkan bacaan pada shalat tersebut. Asy-Syafi’i
mengatakan : Bacaan tidak dibaca Jahr dalam shalat sunnat [9]
Dapat saya katakan bahwa apa yang sesuai dengan hadits, itulah yang dijadikan sandaran [10]. Wabillahi Taufiq
Keempat : Shalat Kusuf Dikerjakan Berjamah Di Masjid.
Yang sunnat dikerjakan pada shalat kusuf adalah mengerjakannya di
masjid. Hal tersebut didasarkan pada beberapa hal berikut ini.
[1]. Disyariatkannya seruan di dalam shalat kusuf, yaitu dengan “Ash-Shalaatu Jaami’ah”
[2]. Apa yang disebutkan bahwa sebagian sahabat mengerjakan shalat kusuf ini dengan berjama’ah di masjid.[11]
[3]. Isyarat yang diberikan oleh kedua riwayat di atas dari hadits
Aisyah dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat gerhana itu secara berjama’ah di
masjid. Bahkan dalam sebuah riwayat hadits Aisyah di atas, dia
bercerita, “Pada masa hidup Rasulullah pernah terjadi gerhana matahari,
lalu beliau pergi ke masjid, kemudian beliau berdiri dan bertakbir, dan
orang-orang pun membuat barisan di belakang beliau. [12]
Kelima : Jika Seseorang Tertinggal Mengerjakan Satu dari Dua Ruku Dalam Satu Raka’at.
Shalat kusuf ini terdiri dari dua rakaat, masing-masing rakaat terdiri
dari dua ruku dan dua sujud. Dengan demikian, secara keseluruhan, shalat
kusuf ini terdiri dari empat ruku dan empat sujud di dalam dua rakaat.
Barangsiapa mendapatkan ruku kedua dari rakaat pertama, berarti dia
telah kehilangan berdiri, bacaan, dan satu ruku. Dan berdasarkan hal
tersebut, berarti dia belum mengerjakan satu dari dua rakaat shalat
kusuf, sehingga rakaat tersebut tidak dianggap telah
dikerjakan.Berdasarkan hal tersebut, setelah imam selesai mengucapkan
salam, maka hendaklah dia mengerjakan satu rakaat lagi dengan dua ruku,
sebagaimana yang ditegaskan di dalam hadits-hadits shahih. Wallahu
a’lam.
Yang menjadi dalil baginya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan atas perintah kami, maka dia akan ditolak” [Muttaffaq ‘alaihi] [13]
Dan bukan dari perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, shalat
satu rakaat saja dari shalat kusuf dengan satu ruku. Wallahu ‘alam
SHALAT GERHANA BULAN SAMA DENGAN SHALAT GERHANA MATAHARI
Shalat gerhana bulan dikerjakan sama seperti shalat gerhana matahari.
Hal tersebut didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua (tanda)
dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana
karena kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang.
Oleh karena itu, jika kalian melihat hal tersebut maka hendaklah kalian
berdo’a kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekah”.[14]
Dapat saya katakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah
pernah mengerjakan shalat gerhana matahari dan beliau menyuruh kita
untuk melakukan hal yang sama ketika terjadi gerhana bulan. Dan hal itu
sudah sangat jelas lagi gamblang. Wallahu ‘alam
Ibnu Mundzir mengatakan : “Shalat gerhana bulan dikerjakan sama seperti shalat gerhana matahari” [15]
[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi
Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka
Imam Asy-Syafi’i]
_________
Foote Note
[1]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di beberapa tempat,
yang diantaranya di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Ash-Shadaqah fil Kusuuf
(hadits no. 1044). Dan redaksi di atas adalah miliknya. Dan juga Muslim
di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Shalaatul Kusuuf (hadits no. 901).
[2]. Lihat sekitar Dalalaatul Itqiraan, kapan waktu muncul, kapan muncul
kelemahannya, dan kapan pula keduanya sama . Badaa’iul Fawaa’id
(IV/183-184)
[3]. Fathul Baari (II/533) dan Masuu’atul Ijmaa (I/696)
[4]. Syarhul Umdah, karya Ibnu Daqiqil Ied (II/135-136). Dan juga kitab Fathul Baari (II/533).
[5]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat,
yang diantaranya di dalam Kitaabul Kusuuf, bab An-Nidaa bish Shalaati
Jaami’ah fil Kusuuf (hadits no. 1045). Dan lafazh di atas adalah
miliknya. Dan juga diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitaabul Kusuuf,
bab Dzikrun Nidaa bi Shalaatil Kusuuf : Ash-Shalaatu Jaami’ah, (hadits
no. 910). Lihat Jaami’ul Ushuul (VI/178)
[6]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat,
yang diantaranya di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Shalaatil Kusuuf
Jama’atan, (hadits no. 1052), dan lafazh di atas adalah miliknya. Dan
juga diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Maa ‘Aradha
Alan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fii Shalaatil Kusuuf min Amril
Jannah wan Naar, (hadits no. 907). Dan lihat kitab. Jaami’ul Ushuul
(VI/173).
[7]. Dan termasuk terjemahan Al-Bukhari di dalam (Kitaabul Kusuuf, bab
Khuthbatul Imam fil Kusuuf), Aisyah dan Asma Radhiyallahu ‘anhuma
berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah…”
Selanjutnya, dia menyitir hadits Aisyah di atas, Fathul Baari
(II/533-534)
[8]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat, di
antaranya di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Al-Jahr bil Qiraa’ah fil Kusuuf,
(hadits no. 1065) dan lafazh diatas adalah miliknya. Dan juga
diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Shalaatul Kusuuf,
(hadits no. 901). Lihat Jaami’ul Ushuul (VI/156).
Takhrij hadits ini telah diberikan sebelumnya, tanpa memberi isyarat kepada riwayat ini.
[9]. Sunan At-Tirmidzi (II/448 –tahqiq Ahmad Syakir).
[10]. Lihat ungkapan Asy-Syafi’i dan dalilnya di dalam kitab Al-Umm
(I/243). Juga pembahasan dalil-dalilnya serta penolakan terhadapnya di
dalam kitab, Fathul Baari (II/550)
[11]. Dari terjemahan Al-Bukhari di dalam kitab Shahihnya, bab Shalaatul
Kusuuf Jamaa’atan. Dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu menjadi imam untuk
shalat mereka di pelataran zam-zam. Ali bin Abdullah bin Abbas
mengumpulkan (orang-orang). Dan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pun
shalat …”. Kemudian dengan sanadnya dia menyitir hadits Ibnu Abbas
Radhiyallahu ‘anhuma terdahulu.
Pendapat yang mensyariatkan shalat kusuuf dengan berjama’ah adalah
pendapat jumhur. Sekalipun imam tetap tidak hadir, maka sebagian mereka
boleh menjadi imam atas sebagian lainnya. Lihat kitab Fathul Baari
(II/539-540).
[12]. Dari terjemah Al-Bukhari di dalam kitab Shahihnya : Bab : Shalatul
Kusuuf fil Masjid. Di dalamnya dsiebutkan hadits Aisyah Radhiyallahu
‘anha di atas dengan riwayat yang didalamnya terdapat ucapannya :
“Kemudian pada suatu pagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menaiki kendaraan, lalu terjadilah gerhana matahari. Kemudian beliau
pulang kembali pada waktu Dhuha, maka beliau pun berjalan di antara
rumah-rumah isteri beliau …. (hadits no. 1056).
Di dalam kitab Fathul Baari (II/544), dalam mengomentari hadits ini,
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan : “Tidak ada pernyataan jelas yang
menyebutkan bahwa shalat kusuf ini dikerjakan di masjid, tetapi hal
tersebut disimpulkan dari perkataan Aisyah : “Lalu beliau berjalan di
dekat rumah-rumah para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
memang menempel pada masjid. Dan shalat kusuf di masjid ini telah
dinyatakan secara gamblang dalam sebuah riwayat Sulaiman bin Bilal, dari
Yahya bin Sa’id, dari Umrah yang ada pada Muslim (saya katakan :
“Hadits no. 903) Dan lafazhnya adalah sebagai berikut :” Kemudian aku
keluar di antara para wanita di depan rumah isteri-isteri Nabi di
masjid. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan turun dari
binatang tunggangannya hingga akhirnya sampai ke tempat shalat yang
beliau mengerjakan shalat di sana”.
Dapat saya katakan, dan yang lebih jelas dari itu adalah apa yang
terdapat dalam hadits Aisyah terdahulu, yang ada pada Muslim, pada no.
901 Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata : “Pada masa hidup Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari, lalu
beliau pergi ke masjid, kemudian beliau berdiri dan bertakbir, dan
orang-orang pun membuat barisan di belakang beliau..”
[13]. Hadits shahih. Diriwayatlkan oleh Al-Bukhari sebagai kata pembuka
dengan lafazh ini di dalam Kitaabul Buyuu’ bab An-Najasy, Fathul Baari
(IV/355). Dan diriwayatkan secara bersambungan di dalam Kitabush Shulh,
bab Idzaa Ishtalahu ‘alaa Shulhi Juurin fa Shulhu Marduud, dengan lafazh
: “Barangsiapa membuat suatu hal yang baru dalam perintah kami ini,
yang bukan darinya, maka dia tertolak”. Dan diriwayatkan oleh Muslim di
dalam Kitaabul Uqdhiyah, bab Naqdhul Ahkaam Al-Baathilah wa Raddu
Muhdatsaatil Umuur, (hadits no. 1718). Dan lihat juga kitab, Jaami’ul
Ushuul (I/289)
[14]. Takhrijnya sudah diberikan sebelumnya, dimana ia merupakan bagian
dari hadits Aisyah mengenai shalat kusuf yang disebutkan di awal
pembahasan
[15]. Al-Iqnaa, kartya Ibnul Mundzir (I/124-125)
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
theproperty-developer
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.
Jumlah Pengunjung
Blog Archive
-
▼
2011
(1346)
-
▼
December
(135)
- Virus Sepilis Perusak Ayat Masuk ke Program Deradi...
- Akibat Tidak Berhukum dengan Hukum Allah, Terancam...
- Pentingnya Solidaritas Islami dan Menjaga Ukhuwah ...
- Kitab Syi'ah Melaknat dan Mengafirkan Abu Bakar, U...
- Resensi Buku: Akidah Dasar yang Wajib Diketahui Se...
- Merayakan Tahun Baru Sampai Meninggalkan Shalat
- Dilema Cinta Dalam Logika Asmara (Bag. 01)
- Mendekati Imam, Mendekati Surga
- Manusia yang Hidup Terus Setelah Matinya
- Terompet Tahun Baru
- Golongan Terbalik, Bermanis-manis dengan Kafirin, ...
- 3 Pertanyaan Kubur yang Menanti Kita
- Hukum Merayakan Tahun Baru
- Kamuflase Istilah Syariah
- Tragedi Aqidah: Terseret Arus Upacara Agama Lain
- Wahai Saudariku, Imanilah bahwa Jin itu Ada
- Ternyata Hari Jum’at itu Istimewa
- Meluruskan Penakwilan Hadits-Hadits Tentang Khawar...
- Pembagian Catatan Amal
- Saudariku, Jangan Gunakan Lisanmu untuk Melaknat!
- Jangan Bersedih
- Perayaan Natal Berasal dari Ritual Penyembahan Ber...
- Berita dari Dammaj: Syi’ah Rafidhoh Memang Luar Bi...
- Pengertian Ulama
- MUSUH DALAM SELIMUT
- Mengenal Hujan (Selesai)
- (BAGUS) CARA SETTING & TIPS AGAR BISA NGETIK ARAB ...
- Bolehkah shalat istikharah untuk orang lain ?
- Beberapa Tanda Tukang Sihir dan Dukun
- Mengenal Hujan (Bagian 2)
- Memakan Makanan Hari Raya Kafir
- Hukum Menerima Hadiah Natal
- Berdo’a di Antara Dua Khutbah Jum’at
- Hukum Mengambil Foto dengan Kamera
- Sejumlah Hujjah Larangan Ikut Perayaan Natal dan T...
- Bantahan terhadap Fatwa Qaradhawi yang Bolehkan Uc...
- Gereja Semakin Bermunculan, Masjid-Masjid Dihancur...
- Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan ...
- Istriku Bukan Bidadari, Tapi Aku Pun Bukan Malaikat
- Hukum Bulan Madu
- Adab Malam Pertama
- Mengapa penghuni surga minoritas wanita?
- (TANYA JAWAB) CARA MEMANDIKAN &MENGKAFANI JENAZAH ...
- Ini Dalilnya (9): Meluruskan Pemahaman Tentang Bid’ah
- Meraih Ampunan di Hari Jum’at
- Dzikir Setelah Shalat Dengan Suara Keras
- Ketinggalan shalat jum’at
- Akhir Zina adalah Penyesalan
- Berbagai Cara Mendengarkan Radio Rodja
- Sholat taubat
- Wanita Bekerja Di Luar Rumah
- Perbedaan Shalat Isyraq dan Shalat Dhuha
- Mengenal hujan (1)
- Hukum Jualan Televisi
- KIAT SYAR'I DALAM MENOLAK & MELAWAN SYIHIR
- Negara akan Digugat karena Banyaknya Perkosaan di ...
- Halalkah Bekicot dan Keong?
- Berita Ahlus Sunnah Di Negeri Yaman (21 – 28 Muhar...
- (FOTO & PETA) DARUL HADITS DAMMAJ,SHO’DAH (YAMAN) ...
- Suami jatuh Cinta pada Wanita Lain
- Taruhan dan Judi dalam Lomba
- Anak Lewat Depan Orang Sholat
- Hasbunallah wa Ni’mal Wakiil
- Suami Tidak Mampu Memimpin
- Problem Mencuri
- Panduan Tayamum (4), Permasalahan Seputar Tayamum
- Panduan Tayamum (3), Tata Cara Tayamum Praktis
- Kaidah Kaidah Penting Untuk Memahami Asma dan Sifa...
- Hukum Cek Medical Untuk Mengetahui Jenis Kelamin J...
- Kiat Meningkatkan Iman
- Dana Sosial Karyawan
- Hadiah Bersyarat
- Sesama Liberal kok Nyuruh Tobat
- 47 “Jurus Mabok” Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj
- Hukum mengucapkan salam kepada orang kafir
- Berdzikirlah Sebelum Hubungan Intim
- Sunnah-nya Menyembunyikan Amalan
- Fatwa MUI, Seputar Perayaan Natal
- SIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP HARI RAYA ORANG KAFIR
- Apa Tidak Ada Seorang Muslimah Sehingga Engkau Mem...
- Khutbah Shalat Gerhana Syaikh Sholeh Al Fauzan
- Warisan Untuk 1 Istri dan 1 Anak
- Perayaan Menyambut Jamaah Haji
- Cenderung Cinta Padanya
- Nasehat DR Said Aqiel Siradj, MA untuk Ketua PBNU ...
- Tata Cara Shalat Gerhana
- SHALAT GERHANA BULAN DAN GERHANA MATAHARI
- Tidak ada Salafnya
- Plagiator dan Kejahatan Intelektual
- Istirahat Yang Berpahala di Akherat
- Ini Dalilnya (19): Bolehkah Ngalap Berkah pada Sel...
- Apa yang Dimaksud Boros?
- (RAHASIA WANITA TERCANTIK DI DUNIA) TIPS MENJADI I...
- Apa yang Bisa Membuat MURTAD?
- MENGENDALIKAN RASA CEMBURU DALAM RUMAH TANGGA
- Suap Yang Halal
- Cara berinteraksi dengan orang Nashrani
- Kisah Taubatnya Tiga Wanita Syi’ah
- Hukum Mengkhususkan Bulan Muharram Untuk Menyantun...
- Tayamum di Kursi Kendaraan
-
▼
December
(135)