Bismillah ... Segala pujian hanyalah milik Allah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Masalah ini adalah masalah nawazil (kontemporer) yang tidak
didapati di masa silam. Oleh karena itu, bagaimana hukum dalam masalah
ini, para ulama berselisih pendapat karena perbedaan dalam memahami
dalil dan punya pilihan ijtihad masing-masing. Pada kesempatan kali ini,
kami akan berusaha menyajikan masalah ini secara ringkas.
Hukum Menggambar
Tentang masalah hukum tashwir (menggambar), hukumnya haram. Berikut adalah dalil-dalil yang menunjukkan hal ini.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Juga dari Abu Hurairah dalam riwayat lain disebutkan,
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini dibedakan antara gambar hewan (yang memiliki ruh, pen) dan bukan hewan. Hal ini mengandung pelajaran bahwa boleh saja menggambar pohon dan benda logam di baju atau kain, dan menggambar yang lain (yang tidak memiliki ruh, pen).” (Majmu’ Al Fatawa, 29: 370)
Dalam hadits berikut juga menunjukkan bahwa jika kepala dihapus dari gambar, maka gambarnya tidak jadi bermasalah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata,
Dalam hadits lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Hati-Hati dengan Penghasilan dari Melukis!
Mari kita perhatikan hadits Sa’id bin Abil Hasan berikut ini.
Hadits ini menunjukkan bahwa gambar yang masih dibolehkan untuk dilukis adalah gambar yang tidak memiliki ruh yaitu selain hewan dan manusia. Hadits Sa’id di atas juga menunjukkan terlarangnya pekerjaan pelukis yang hasil karyanya dengan melukis makhluk yang memiliki ruh. Namun jika yang digambar adalah pepohonan, laut, gunung dan selain gambar yang memiliki ruh, tidaklah masalah. Imam Muhammad bin Isma’il Al Bukhari rahimahullah membawakan hadits di atas dalam kitab shahihnya, “Bab jual beli gambar makhluk yang tidak memiliki ruh dan yang menunjukkan terlarangnya pekerjaan dari gambar yang memiliki ruh.”
Hukum Foto dengan Kamera
Jika kita sudah mengetahui secara jelas hukum gambar makhluk yang memiliki ruh, sekarang kita beralih pada permasalahan yang lebih kontemporer yang tidak dapati di masa silam. Mengenai masalah foto dari jepretan kamera, para ulama ada khilaf (silang pendapat). Ada yang melarang dan menyatakan haram karena beralasan:
Hadits yang membicarakan hukum gambar itu umum, baik dengan melukis dengan tangan atau dengan alat seperti kamera. Lalu ulama yang melarang membantah ulama yang membolehkan foto kamera dengan menyatakan bahwa alasan yang dikemukakan hanyalah logika dan tidak bisa membantah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga mengharamkan dengan alasan bahwa foto hasil kamera masih tetap disebut shuroh (gambar) walaupun dihasilkan dari alat, tetapi tetap sama-sama disebut demikian.[1]
Sedangkan ulama lain membolehkan hal ini dengan alasan dalil-dalil di atas yang telah disebutkan. Sisi pendalilan mereka:
Foto dari kamera bukanlah menghasilkan gambar baru yang menyerupai ciptaan Allah. Gambar yang terlarang adalah jika mengkreasi gambar baru. Namun gambar kamera adalah gambar ciptaan Allah itu sendiri. Sehingga hal ini tidak termasuk dalam gambar yang nanti diperintahkan untuk ditiupkan ruhnya. Foto yang dihasilkan dari kamera ibarat hasil cermin. Para ulama bersepakat akan bolehnya gambar yang ada di cermin.
Alasan kedua ini disampaikan oleh Syaikhuna –Syaikh Sa’ad Asy Syatsri hafizhohullah-[2], yang di masa silam beliau menjadi anggota Hay-ah Kibaril ‘Ulama (kumpulan ulama besar Saudi Arabia).
Pendapat kedua yang membolehkan foto hasil kamera, kami rasa lebih kuat dengan alasan yang sudah dikemukakan.
Catatan: Jika kami membolehkan foto dengan kamera, bukan berarti kami membolehkan menggantung foto di dinding atau memajangnya di halaman facebook. Karena hukum memajang itu ada pembahasan khusus dan berbeda dengan pembolehan foto kamera. Dalam hadits muttafaqun ‘alaih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Pembahasan lebih lengkap akan hal ini telah diulas Ustadz Abu Muawiyah di sini: Hukum Menggambar dalam Islam.
Demikian pembahasan kami secara singkat dari penjelasan para ulama yang kami peroleh. Moga bermanfaat. Semoga Allah senantiasa memberikan kita ketakwaan untuk menjauhi segala yang Allah larang.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Hanya Allah yang memberi taufik.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 27 Muharram 1433 H
www.rumaysho.com
[1] Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah guru penulis sendiri, Syaikh Sholeh Al Fauzan –hafizhohullah-. Kami mendengar langsung ketika beliau menjelaskan mengenai hukum gambar dari kitab Ad Durun Nadhid karya Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 18 Muharram 1433 H.
[2] Syaikh Sa’ad Asy Syatsri menyampaikan hal ini dalam sesi tanya jawab Dauroh sehari mengenai masalah fitnah, 20 Muharram 1433 H di Masjid Jaami’ ‘Utsman bin ‘Affan, Riyadh, KSA. Beliau menjadi pemateri ketiga dengan materi “Qowa’id wa Dhowabith Ta’amul ‘indal Fitnah”. Tanya jawab ini di rekaman penulis berada pada menit 83 – 85.
Hukum Menggambar
Tentang masalah hukum tashwir (menggambar), hukumnya haram. Berikut adalah dalil-dalil yang menunjukkan hal ini.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا بَعُوضَةً أَوْ لِيَخْلُقُوا ذَرَّةً
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Siapakah yang lebih zholim
daripada orang yang berkehendak mencipta seperti ciptaan-Ku. Coba mereka
menciptakan lalat atau semut kecil (jika mereka memang mampu)!” (HR. Bukhari no. 5953 dan Muslim no. 2111, juga Ahmad 2: 259, dan ini adalah lafazhnya)Juga dari Abu Hurairah dalam riwayat lain disebutkan,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِى ، فَلْيَخْلُقُوا
ذَرَّةً ، أَوْ لِيَخْلُقُوا حَبَّةً أَوْ شَعِيرَةً
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Siapakah yang lebih zholim
daripada orang yang mencipta seperti ciptaan-Ku. Coba mereka menciptakan
semut kecil, biji atau gandum (jika mereka memang mampu)! ” (HR. Bukhari no. 7559)Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
“Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah tukang penggambar.” (HR. Bukhari no. 5950 dan Muslim no. 2109)Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ
“Sesungguhnya mereka yang membuat gambar-gambar akan disiksa pada
hari kiamat. Akan dikatakan kepada mereka, “Hidupkanlah apa yang kalian
ciptakan.” (HR. Bukhari no. 5961 dan Muslim no. 5535)Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَوَّرَ صُورَةً عُذِّبَ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا
“Barangsiapa yang membuat gambar, ia akan disiksa hingga ia bisa
meniupkan ruh pada gambar yang ia buat. Namun kenyataannya ia tidak bisa
meniupnya.” (HR. An Nasai no. 5359 dan Ahmad 1: 216. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini dibedakan antara gambar hewan (yang memiliki ruh, pen) dan bukan hewan. Hal ini mengandung pelajaran bahwa boleh saja menggambar pohon dan benda logam di baju atau kain, dan menggambar yang lain (yang tidak memiliki ruh, pen).” (Majmu’ Al Fatawa, 29: 370)
Dalam hadits berikut juga menunjukkan bahwa jika kepala dihapus dari gambar, maka gambarnya tidak jadi bermasalah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata,
اسْتَأْذَنَ
جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلام عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ
: « ادْخُلْ » . فَقَالَ : « كَيْفَ أَدْخُلُ وَفِي بَيْتِكَ سِتْرٌ فِيهِ
تَصَاوِيرُ فَإِمَّا أَنْ تُقْطَعَ رُؤوسُهَا أَوْ تُجْعَلَ بِسَاطًا
يُوطَأُ فَإِنَّا مَعْشَرَ الْمَلائِكَةِ لا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ
تَصَاوِيرُ
“Jibril ‘alaihis salam
meminta izin kepada Nabi maka Nabi bersabda, “Masuklah.” Lalu Jibril
menjawab, “Bagaimana saya mau masuk sementara di dalam rumahmu ada tirai
yang bergambar. Sebaiknya kamu menghilangkan bagian kepala-kepalanya
atau kamu menjadikannya sebagai alas yang dipakai berbaring, karena kami
para malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya terdapat
gambar-gambar.” (HR. An-Nasai no. 5365. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)Dalam hadits lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
اَلصُّوْرَةٌ الرَّأْسُ ، فَإِذَا قُطِعَ فَلاَ صُوْرَةٌ
“Gambar itu adalah kepala, jika kepalanya dihilangkan maka tidak lagi disebut gambar.” (HR. Al-Baihaqi 7/270. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 1921)Hati-Hati dengan Penghasilan dari Melukis!
Mari kita perhatikan hadits Sa’id bin Abil Hasan berikut ini.
عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِى
الْحَسَنِ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - إِذْ
أَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا عَبَّاسٍ إِنِّى إِنْسَانٌ ، إِنَّمَا
مَعِيشَتِى مِنْ صَنْعَةِ يَدِى ، وَإِنِّى أَصْنَعُ هَذِهِ التَّصَاوِيرَ .
فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لاَ أُحَدِّثُكَ إِلاَّ مَا سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ سَمِعْتُهُ يَقُولُ « مَنْ صَوَّرَ
صُورَةً فَإِنَّ اللَّهَ مُعَذِّبُهُ ، حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ ،
وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا » . فَرَبَا الرَّجُلُ رَبْوَةً
شَدِيدَةً وَاصْفَرَّ وَجْهُهُ . فَقَالَ وَيْحَكَ إِنْ أَبَيْتَ إِلاَّ
أَنْ تَصْنَعَ ، فَعَلَيْكَ بِهَذَا الشَّجَرِ ، كُلِّ شَىْءٍ لَيْسَ فِيهِ
رُوحٌ
Dari Sa’id bin Abil Hasan, ia berkata, “Aku dahulu pernah berada di sisi Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-.
Ketika itu ada seseorang yang mendatangi beliau lantas ia berkata,
“Wahai Abu ‘Abbas, aku adalah manusia. Penghasilanku berasal dari hasil
karya tanganku. Aku biasa membuat gambar seperti ini.” Ibnu ‘Abbas
kemudian berkata, “Tidaklah yang kusampaikan berikut ini selain dari
yang pernah kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pernah mendengar beliau bersabda, “Barangsiapa
yang membuat gambar, Allah akan mengazabnya hingga ia bisa meniupkan
ruh pada gambar yang ia buat. Padahal ia tidak bisa meniupkan ruh
tersebut selamanya.” Wajah si pelukis tadi ternyata berubah menjadi kuning. Kata Ibnu ‘Abbas, “Jika engkau masih tetap ingin melukis, maka gambarlah pohon atau segala sesuatu yang tidak memiliki ruh.” (HR. Bukhari no. 2225)Hadits ini menunjukkan bahwa gambar yang masih dibolehkan untuk dilukis adalah gambar yang tidak memiliki ruh yaitu selain hewan dan manusia. Hadits Sa’id di atas juga menunjukkan terlarangnya pekerjaan pelukis yang hasil karyanya dengan melukis makhluk yang memiliki ruh. Namun jika yang digambar adalah pepohonan, laut, gunung dan selain gambar yang memiliki ruh, tidaklah masalah. Imam Muhammad bin Isma’il Al Bukhari rahimahullah membawakan hadits di atas dalam kitab shahihnya, “Bab jual beli gambar makhluk yang tidak memiliki ruh dan yang menunjukkan terlarangnya pekerjaan dari gambar yang memiliki ruh.”
Hukum Foto dengan Kamera
Jika kita sudah mengetahui secara jelas hukum gambar makhluk yang memiliki ruh, sekarang kita beralih pada permasalahan yang lebih kontemporer yang tidak dapati di masa silam. Mengenai masalah foto dari jepretan kamera, para ulama ada khilaf (silang pendapat). Ada yang melarang dan menyatakan haram karena beralasan:
Hadits yang membicarakan hukum gambar itu umum, baik dengan melukis dengan tangan atau dengan alat seperti kamera. Lalu ulama yang melarang membantah ulama yang membolehkan foto kamera dengan menyatakan bahwa alasan yang dikemukakan hanyalah logika dan tidak bisa membantah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga mengharamkan dengan alasan bahwa foto hasil kamera masih tetap disebut shuroh (gambar) walaupun dihasilkan dari alat, tetapi tetap sama-sama disebut demikian.[1]
Sedangkan ulama lain membolehkan hal ini dengan alasan dalil-dalil di atas yang telah disebutkan. Sisi pendalilan mereka:
Foto dari kamera bukanlah menghasilkan gambar baru yang menyerupai ciptaan Allah. Gambar yang terlarang adalah jika mengkreasi gambar baru. Namun gambar kamera adalah gambar ciptaan Allah itu sendiri. Sehingga hal ini tidak termasuk dalam gambar yang nanti diperintahkan untuk ditiupkan ruhnya. Foto yang dihasilkan dari kamera ibarat hasil cermin. Para ulama bersepakat akan bolehnya gambar yang ada di cermin.
Alasan kedua ini disampaikan oleh Syaikhuna –Syaikh Sa’ad Asy Syatsri hafizhohullah-[2], yang di masa silam beliau menjadi anggota Hay-ah Kibaril ‘Ulama (kumpulan ulama besar Saudi Arabia).
Pendapat kedua yang membolehkan foto hasil kamera, kami rasa lebih kuat dengan alasan yang sudah dikemukakan.
Catatan: Jika kami membolehkan foto dengan kamera, bukan berarti kami membolehkan menggantung foto di dinding atau memajangnya di halaman facebook. Karena hukum memajang itu ada pembahasan khusus dan berbeda dengan pembolehan foto kamera. Dalam hadits muttafaqun ‘alaih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ
”Para malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat gambar di dalamnya (yaitu gambar makhluk hidup bernyawa)”
(HR. Bukhari no. 3224 dan Muslim no. 2106). Hal ini menunjukkan
terlarangnya memajang gambar yang memiliki ruh. Lihat pembahasan
rumaysho.com mengenai masalah ini: Hukum Memajang Foto Makhluk Bernyawa.Pembahasan lebih lengkap akan hal ini telah diulas Ustadz Abu Muawiyah di sini: Hukum Menggambar dalam Islam.
Demikian pembahasan kami secara singkat dari penjelasan para ulama yang kami peroleh. Moga bermanfaat. Semoga Allah senantiasa memberikan kita ketakwaan untuk menjauhi segala yang Allah larang.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Hanya Allah yang memberi taufik.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 27 Muharram 1433 H
www.rumaysho.com
[1] Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah guru penulis sendiri, Syaikh Sholeh Al Fauzan –hafizhohullah-. Kami mendengar langsung ketika beliau menjelaskan mengenai hukum gambar dari kitab Ad Durun Nadhid karya Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 18 Muharram 1433 H.
[2] Syaikh Sa’ad Asy Syatsri menyampaikan hal ini dalam sesi tanya jawab Dauroh sehari mengenai masalah fitnah, 20 Muharram 1433 H di Masjid Jaami’ ‘Utsman bin ‘Affan, Riyadh, KSA. Beliau menjadi pemateri ketiga dengan materi “Qowa’id wa Dhowabith Ta’amul ‘indal Fitnah”. Tanya jawab ini di rekaman penulis berada pada menit 83 – 85.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer