Syaikh ‘Aqîl al-Muqthirî
Sesungguhnya, perbedaan pemahaman adalah suatu keniscayaan yang pasti ada, ditinjau dari perbedaan tingkatan akal yang Alloh anugerahkan kepada seseorang. Karena itu, yang namanya ikhtilâf (perselisihan) pasti ada. Walau demikian, tetap wajib untuk berpegang dengan ketentuan-ketentuan (dhawâbith) syari’ah tatkala muncul ikhtilâf. Karena itulah kita dapati, meski terjadi perselisihan di antara para sahabat, mereka mengembalikan perselisihan tersebut  kepada Alloh dan Rasul-Nya sehingga perselisihan tersebut sirna. Tidak ada pada mereka tumbuh rasa dengki atau fanatik.
Di sini saya akan sebutkan beberapa poin etika (adab) ketika berselisih di zaman nubuwah (kenabian) :
  1. Bertakwa, berusaha mencari kebenaran dan menjauhi hawa nafsu ketika berselisih.
  2. Mengembalikan permasalahan yang menjadi perselisihan kepada Alloh dan Rasul-Nya.
  3. Menerima dengan pasrah keputusan Alloh dan Rasul-Nya setelah rujuk kepadanya.
  4. Apabila Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menetapkan bahwa kedua belah fihak yang berselisih benar baik di dalam pemahaman maupun perbuatannya, mereka (para sahabat) merasa senang dengan keputusan tersebut dan tidak ada salah satu fihak yang merasa dengki terhadap fihak lainnya walaupun terjadi perselisihan. Seperti kisah dua orang sahabat yang melaksanakan sholat namun mereka kehilangan arah tidak tahu mana arah kiblat, lantas mereka berdua sholat dengan ijtihâd-nya. Kemudian, pada akhirnya mereka tahu bahwa mereka telah sholat tidak menghadap kiblat yang semestinya. Salah satu dari mereka mencukupkan diri dengan sholat tersebut sedangkan yang satunya mengulangi lagi sholatnya. Tatkala mereka berdua bertanya kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam, beliau menjawab kepada orang pertama tadi : أصبت السنة “kamu telah benar (menetapi) sunnah” dan mengatakan kepada orang kedua : لك الأجر مرتين  “kamu mendapatkan pahala dua kali”. (Diriwayatkan oleh Abû Dâwud dengan sanad yang hasan). Tidak ada pada mereka yang berselisih ini pertikaian maupun permusuhan.
  5. Menetapi etika di dalam berdiskusi, berkata dengan lemah lembut ketika berdialog dan memperdengarkan (argumentasi) setiap fihak yang berselisih kepada lainnya serta membahas permasalahan secara menyeluruh dari semua aspek. Manfaat dari hal ini adalah menampakkan kebenaran dari fihak yang berselisih dengan tetap meninggalkan debat kusir.
(Dari kutayyib yang berjudul Adabul Ikhtilâf (Dâr Ibn Hazm: 1414/1993, hal. 25-27) karya Syaikh ‘Aqîl bin Muhammad al-Muqthirî)

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers