Merekrut Islam-Teroris Sekarang
Rimbun Natamarga
Untuk mencari anggota-anggota baru, kelompok Islam-teroris menempuh dua cara.
Sebagaimana yang telah lewat, Islam-Teroris adalah sebutan untuk kelompok Islam yang memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis nabawi dengan pemahaman tertentu. Dari situlah kemudian, mereka menghalalkan cara-cara berdarah untuk menjalankan aksi mereka. Peledakan bom adalah salah satu cara dari sekian cara yang mereka tempuh. Dalam perjalanan waktu kelompok Islam-Teroris terpecah-pecah menjadi banyak kelompok.
Tidak setiap kelompok dapat menempuh kedua cara perekrutan itu sekaligus. Adakalanya satu kelompok hanya menempuh satu cara karena keterbatasan keadaan. Adakalanya satu kelompok menempuh dua cara sekaligus tetapi pada waktu yang berlainan tanpa harus membahayakan satu sama lain.
Rekrutmen Berbasis Lembaga
Pertama, cara yang paling aman, mereka merekrut anggota-anggota baru itu dari bibit-bibit bermutu yang ada di lembaga-lembaga pendidikan milik mereka. Itu, kalau mereka memiliki semacam lembaga pendidikan seperti pesantren-pesantren atau bahkan sekedar pengajian-pengajian rutin di suatu masjid yang mereka pakai.
Lembaga-lembaga pendidikan milik mereka menjadi semacam lahan persemaian yang bagus. Menunjuk tim khusus, pengawasan dan penilaian mereka lakukan terhadap calon-calon yang memiliki semangat tinggi.
Kepada calon-calon yang dimaksud, tim khusus yang ditunjuk akan mengadakan proses pengarahan secara sistematis. Dalam proses ini, perhatian tertuju lebih kepada indoktrinasi. Dan jangan bayangkan, proses indoktrinasi yang dimaksud seperti apa yang kita bayangkan selama ini (di suatu ruangan khusus, pada waktu-waktu khusus, dalam keadaan-keadaan khusus, dan lain sebagainya). Mengindoktrinasi, buat mereka, bisa dilakukan sambil makan bersama atau jajan di kantin, basa-basi, atau mungkin bincang-bincang ala kadarnya di sela-sela aktifitas harian.
Rentang-waktu-indoktrinasi-yang-tersedia menanamkan pemahaman tertentu kepada calon-calon anggota. Hasil yang didapat, biasanya, adalah anggota-anggota baru yang meyakini bahwa memberontak kepada pemerintah kaum muslimin seperti di Indonesia ini termasuk bagian amar ma’ruf nahi mungkar.
Mereka memiliki kebencian kepada negara, pemerintah dan orang-orang yang mendukung pemerintahan itu. Kata sandi yang hanya dipakai mereka untuk pemerintah dan pendukungnya adalahthaghut.
Sementara diindoktrinasi, kalau lembaga-lembaga pendidikan tersebut berupa pesantren-pesantren berasrama, calon-calon anggota dilatih secara fisik di lingkungan pesantren. Pada mereka ditanamkan keyakinan bahwa mereka harus berjihad melawan thaghut-thaghut di dunia ini dan itu semua membutuhkan persiapan-persiapan fisik yang memadai. Sebagai tambahan, indoktrinasi kadang kala mengambil waktu-waktu dini hari, ketika santri-santri yang lain sedang tidur.
Mereka diajarkan teknik-teknik beladiri mematikan. Paling utama: teknik beladiri tangan kosong, sebab dari yang sudah-sudah, keadaan lebih sering menuntut mereka untuk menggunakan tangan kosong ketimbang senjata. Namun, mereka juga tak lupa untuk dikenalkan pada teknik menggunakan senjata api, dari mulai melempar granat sampai dengan memakai senapan semi-otomatis dan otomatis yang biasa dipakai kalangan militer.
Seorang anggota Islam-Teroris yang pernah menjadi penghubung antara relawan-relawan dari Indonesia dan kelompok Abdur Robbir Rasul Sayyaf di Afghanistan, selain memiliki keahlian beladiri tangan kosong dan terampil menggunakan Kalasnikov, juga dikenal sebagai ahli melempar pisau. Dengan dua tangannya, ia dapat melemparkan sepuluh pisau komando ke satu sasaran pada waktu bersamaan. Sampai saat ini, ia masih menjadi buah bibir di tengah-tengah juniornya karena keahlian lempar-pisau itu.
Dalam rentang waktu yang direncanakan, akan tiba waktunya calon-calon yang disiapkan itu dibaiat atau diambil sumpah-setia. Mereka berikrar untuk mendengar dan menaati pimpinan mereka. Mereka juga bersumpah untuk tidak berkhianat kepada organisasi mereka, apa pun keadaan yang menuntut.
Orang-orang yang berhasil melewati semua proses itu adalah orang-orang yang siap ditugaskan. Pimpinan mereka, sering kali secara tidak langsung, akan menentukan tugas yang mesti diemban.
Akan tetapi, dalam prakteknya, mereka akan ditugaskan dalam satuan sel-sel kecil yang efektif. Karena itu, kerahasiaan mereka terjamin. Ketika satu sel dihancurkan oleh aparat pemerintah yang berwenang, keadaan itu tidak akan membahayakan sel-sel yang lain.
Masing-masing anggota sel hanya bertanggung-jawab kepada pimpinan sel. Bukan kepada pemimpin tertinggi atau imam mereka, sehingga gerak perjuangan mereka masih bisa terus berjalan dan melakukan regenerasi.
Dengan keadaan seperti itu, imam mereka tetap aman. Bahkan, seperti yang sering terjadi, imam tersebut tidak tahu-menahu soal aksi-aksi yang dilakukan oleh sel-sel di bawah, terlebih lagi dengan masalah-masalah yang bersifat teknis. Kalau pun imam itu tahu, ia hanya sekedar menyetujui tanpa perlu memberikan pengarahan-pengarahan rinci. Bahkan, yang sering terjadi, hanya lewat pesan-pesan umum yang siapa pun mendengar itu tidak akan curiga.
Rekrutmen Berbasis Non-Lembaga
Kedua, cara yang praktis dan hemat biaya serta tenaga, mereka menjaring anggota-anggota baru dari masyarakat di sekitar mereka.
Dalam cara ini, tidak dibutuhkan pelatihan-pelatihan atau pembentukan-pembentukan fisik. Seorang calon anggota dapat direkrut untuk segera ditugaskan, apa pun resiko yang terjadi. Titik perekrutan terletak pada upaya persuasi orang yang merekrut.
Proses tersebut dimulai dari penjaringan calon-calon anggota. Jumlah calon anggota, biasanya, tidak banyak. Lima orang sudah dikatakan terlalu banyak.
Calon-calon yang dibidik adalah orang-orang yang memiliki semangat terhadap Islam tetapi belum atau tidak terlalu terpengaruh oleh pemahaman satu kelompok tertentu dalam Islam. Yang selalu terjadi adalah orang-orang awam yang baru mendapat cahaya ketertarikan terhadap Islam—sebuah ketertarikan untuk taat menjalani praktek-praktek ibadah—atau dalam bahasa yang mereka pakai:hidayah.
Di masjid-masjid kota atau desa, kadang terlihat calon-calon potensial seperti itu. Mereka sering terlihat belum memiliki sikap jelas dalam beragama. Mereka hanya bermodalkan rajin beribadah dan tertarik dengan segala hal yang bernafaskan Islam.
Dalam membaca, selain kitab suci Al-Qur’an, calon-calon yang dimaksud biasa melahap berbagai bacaan Islam yang tersedia, dari mulai buletin-buletin Jum’at yang mudah diperoleh di masjid-masjid, majalah-majalah dan tabloid-tabloid Islam sampai dengan buku-buku keislaman seperti terjemahan kitab-kitab hadits dan pengantar-pengantar tentang pergerakan Islam politik.
Perekrut yang mengetahui keadaan itu biasanya memantau calon-calon tersebut. Lewat hubungan pertemanan yang dijalin di antara mereka, itu semua mungkin. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, perekrut tidak lain adalah guru-guru Rohani Islam (Rohis) di SMU-SMU mereka. Setiap pertemuan atau acara yang diadakan Rohis sekolah, perekrut mengamati kemajuan yang dicapai oleh calon-calon yang akan dibidik.
Pada awalnya, perekrut mendekati mereka melalui obrolan-obrolan ringan. Sampai pada satu titik, ia akan memberikan sejumlah pertanyaan-pertanyaan retoris kepada calon-calon yang sedang dibidik. Pertanyaan-pertanyaan ini adalah batu loncatan pertama perekrut untuk meraih kepercayaan dari calon-calon yang sedang dibidiknya.
Dalam percakapan-percakapan selanjutnya, perekrut mulai membawakan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah tentang keutamaan dan keharusan berjihad, berhukum dengan hukum Allah, menegakkan negara Islam, dan kepemimpinan yang satu dalam perjuangan mencapai itu semua. Bukan dalil-dalil tentang pentingnya bertauhid dan menjauhi kesyirikan-kesyirikan. Bukan pula dalil-dalil tentang pentingnya ilmu sebelum berucap dan beramal. Atau, bukan pula dalil-dalil tentang keutamaan berbuat baik terhadap orangtua, saudara, tetangga, guru, sesama muslim, orang-orang non-muslim. Bahkan, mereka nyaris tidak pernah menyinggung dalil-dalil tentang taat kepada pemerintah kaum muslimin seperti pemerintah kita di Indonesia ini.
Karena ayat-ayat itu dipahami dengan pemahaman tertentu, maka tidak sulit bagi perekrut untuk menanamkan anggapan bahwa di dunia ini hanya terdapat sedikit wilayah iman. Menurut perekrut, banyak bagian dunia menjadi wilayah kafir dan hanya sedikit yang benar-benar masih beriman. Arab Saudi pun dimasukkan ke dalam wilayah kafir karena alasan-alasan tertentu. Dengan demikian, tandas perekrut kepada calon-calon tersebut, jiwa-jiwa orang yang kafir atau dianggap kafir boleh untuk dilenyapkan.
Percakapan-percakapan yang terjadi selanjutnya akan berubah menjadi dialog-dialog untuk saling mengerti. Perekrut pada titik ini berusaha memahamkan calon yang dibidik dengan terarah agar ia tidak berbalik menjauh.
ika keadaan seperti itu berhasil dilalui sesuai rencana, perekrut mulai menjalankan langkah-langkah indoktrinasi ke calon yang dibidik. Rentang waktu indoktrinasi tergantung kepada keadaan calon anggota itu. Semakin percaya kata-kata perekrut, akan semakin cepat pula proses indoktrinasi.
Pengukuhan keanggotaan ditandai dengan pembaitan. Biasanya, proses pembaiatan dilakukan antara perekrut dan calon anggota. Ikatan yang tertanam pada anggota baru ini hanya antara dirinya dan perekrut. Ia tidak mengetahui sel-sel lain selain sel yang ia tempati.
Baiat menandai kebersiapan anggota baru untuk menerima langkah selanjutnya: pendalaman materi atau aksi. Anggota baru yang melanjuti pendalaman materi kelak akan meneruskan usaha perekrutan. Namun, dapat saja terjadi, penugasan kepadanya sewaktu-waktu, di mana pun tempat yang ditentukan.
Kamuflase, Sebuah Jalan
Memperhatikan dua cara yang ditempuh dalam merekrut anggota-anggota baru itu, akan terbayang, betapa rahasianya proses itu. Resiko kegagalan sangat besar membayang selama proses itu berlangsung.
Untuk mengurangi resiko gagal, mereka menggunakan berbagai cara untuk mengelabui masyarakat luas; mereka sering melakukan kamuflase diri. Jangan bayangkan mereka memiliki penampilan berbeda dari masyarakat umumnya atau eksklusif. Yang sering terjadi, mereka meninggalkan sebagian identitas-identitas keislaman mereka; mereka ingin terlihat inklusif seperti orang-orang lain.
Mereka yakin tentang aturan-aturan yang ditetapkan syariat Islam pada diri-diri mereka seperti wajibnya memelihara jenggot bagi laki-laki atau berpakaian yang islami atau shalat berjamah setiap lima waktu dalam sehari-semalam dan lain sebagainya. Akan tetapi, sebagai kamuflase, mereka meninggalkan semua itu.
Jenggot, sebagai satu contoh di sini, mereka potong untuk mengamankan misi-misi mereka. Pakaian mereka pun, terlebih ketika melakukan aksi, adalah pakaian yang chic, umum, dan tidak menimbulkan kecurigaan. Yang lebih mengagetkan, anggota-anggota Islam-Teroris yang termasuk senior—atau yang sudah dianggap sebagai mujahid oleh anggota-anggota baru—justru berpenampilan yang tak diduga oleh aparat sekalipun: mengenakan kalung-salib di dada, memakai jeans Levi’s, bertato, sering nongkrong dan ngedugem di diskotik-diskotik, memakai anting-anting di telinga, rambut skin-head.
Repotnya, ketika mereka berhasil diciduk oleh aparat, baru mereka kenakan lagi identitas-identitas mereka. Mereka pun tampil berjenggot, memakai gamis-gamis Pakistan dan Yaman, berpeci atau besorban ala masyarakat Timur Tengah, bercelana di atas mata-kaki, dan lain sebagainya.
Akibatnya, bisa ditebak. Ketika media-media meliput keberadaan mereka di dalam tahanan, terbentuklah citra, imej, di masyarakat bahwa orang-orang yang berpenampilan seperti itu adalah sama saja dengan anggota-anggota Islam-teroris itu.
Adalah wajar, jika ramai-ramai masyarakat di suatu tempat di Bandung meneriaki “Teroris, Teroris, Teroris” berulang-ulang kepada seorang laki-laki yang mengenakan jubah atau gamis dan berpeci ala orang-orang Arab ketika kebetulan lewat di sekitar mereka. Wajar juga, jika Densus 88 pernah menangkap seorang anggota Jamaah Tabligh yang tak tahu apa-apa, apalagi terlibat aksi peledakan bom, hanya karena ia mengenakan gamis atau jubah dan identitas-identitas persis anggota-anggota Islam teroris yang sudah dipenjara. Dan jika ini yang terjadi, ramai-ramai para pakar politik berkomentar di acara-acara televisi, “Demokrasi belum bisa dijalankan secara konsisten di Indonesia.”[]
Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2011/01/27/merekrut-islam-teroris-sekarang/
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer