Segala puji bagi Allah, Dzat yang melihat perkara yang tampak dan tersembunyi, serta mengetahui yang rahasia, yang terlihat, dan yang diduga oleh seorang hamba. Dialah yang menyendiri dalam penciptaan alam semesta dan memperindah bentuknya, sekaligus mengatur seluruh bagiannya dalam setiap gerakan dan diamnya.
Saya memuji Allah atas kemurahan dan kebaikan-Nya. Saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi melainkan hanya Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya didalam peribadatan dan kekuasaan-Nya. Saya juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba sekaligus Rasul-Nya yang mendapat pertolongan dengan dalil (bukti) dari-Nya. Shalawat serta salam semoga benar-benar tercurah kepada beliau, keluarga, sahabat, tabiin, tabiut tabiin, dan umatnya yang mengikuti ajaran Beliau hingga akhir zaman. Amin.
Materi kajian kita saat ini adalah tafsir Al-Qur’an surat Al-Baqarah tepatnya pada ayat 115-116. Yang terjemahan adalah sebagai berikut :
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat ( tempat terbit dan tenggelam), maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. Mereka (orang-orang kafir) berkata: “Allah mempunyai anak”. Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya.”
Seperti yang kita ketahui dan juga imani bahwa segala sesuatu di alam semesta ini adalah kepunyaan Allah semata, tidak ada sesuatu pun yang bersekutu maupun memiliki andil dalam penciptaannya. Allah tegaskan bahwa semua tempat terbit dan tenggelam adalah milik-Nya semata. Maka menjadi hak Allah-lah dalam pengaturannya. Sehingga jelaslah salah dan tidak benarnya orang-orang jawa yang meyakini bahwa jina perempuan bernama Nyi Roro Kidul adalah penguasa pantai selatan.
Peristiwa pemindahan arah kiblat yang pada awalnya ke Baitul Maqdis di Palestina yang kemudian Allah ganti Baitullah (Ka’bah) di Makkah semata-mata merupakan hak Allah untuk didengar dan lalu di taati oleh hamba-Nya. Sekali lagi bahwa milik Allah-lah arah barat dan timur sehingga menjadi hak Allah sematalah pengaturan arah kiblat.
Ada kasus menarik yang terjadi pada masa-masa awal pemindahan pekerja rodi asal Jawa yang dibawa ke Amerika Selatan untuk dipekerjakan menggali tambang. Tepatnya di negara Suriname, utaranya negara Brazil. Banyak orang-orang Jawa yang beragama Islam saat itu –bahkan sampai saat ini- apabila hendak melakukan shalat akan menanyakan ngulon niku pundi nggih?”(arah barat itu mana ya) , mereka masih menganggap masih di pulau Jawa atau bahkan menganggap bahwa di manapun kita berada jika mau mengerjakan sholat harus menghadap ke arah barat. Lha ket rumiyen pak kiai nek ngendika manawi sholat kedah madep ngilen”(sejak dulu pak kiai ngajarkan kalau sholat itu harus menghadap barat). Mereka tidak mau berganti arah kiblat menyesuaikan posisi tinggal mereka yang tidak lagi di pulau Jawa dan sekarang sudah di benua Amerika yaitu sisi barat kota Makkah, seharusnya arah kiblat mereka adalah menghadap ke timur. Mereka bersikukuh bahwa kiblat sholat mereka adalah menghadap barat bukan menghadap Ka’bah, jadi dimanapun mereka tinggal yo nek sholat ya madep ngulon” (jika hendak mengerjakan sholat harus menghadap arah barat). Itulah kesusahan para dai hingga saat ini dalam memahamkan orang Jawa di Suriname bahwa kiblat sholat itu harus menghadap Ka’bah, tidak paten menghadap ke arah barat seperti di Jawa. Jika kebetulan tinggal di sebelah barat Ka’bah berarti arah sholat adalah ke timur. Jika berdomisili di sisi timur Ka’bah berarti sholat menghadap ke arah barat. Bila tinggal di sisi selatan Ka’bah maka sholat menghadap ke arah utara. Begitu pula, ketika tinggal di sisi utara Ka’bah berarti sholat menghadap ke arah selatan. Jadi jika ada pertanyaan dari pak ustad atau pak kiai Nek sholat kedah madhep pundi?” (Jika mau mengerjakan sholat harus menghadap ke mana?), maka jawabannya jangan “Ngulon!!!!”, tapi harusnya “madhep Ka’bah”.
Berikut ini petanya:

Kembali ke pokok bahasan, yang perlu dicermati dari kepemilikan Allah jika dibandingkan dengan kepemilikan manusia adalah:
Kepemilikan Allah adalah luas dan meliputi segala hal yang ada di alam semesta ini tanpa terkecuali, sedangkan kepemilikan manusia adalah terbatas hanya apa yang dimiliki, sedangkan milik tetangganya adalah bukan miliknya.
Menjadi hak Allah untuk mengelola dan memperlakukan milik-Nya, sedangkan milik manusia dalam penggunaannya diatur oleh syariat dan aturan kemasyarakatan. Allah berhak menjatuhkan ujian dan cobaan kepada tiap jiwa-jiwa yang hidup, dan Allah juga berhak mengadakan hari akhir, karena itu semua adalah milik Allah. Namun berbeda dengan manusia, meskipun ia memiliki banyak uang-hingga bingung mau diapakan dan dikemanakan- namun ia tidak boleh seenaknya membakar uang tersebut. Nah jika sudah sepakat dengan saya bahwa membakar rokok itu terlarang, lalu bagaimana dengan hukum merokok, bukankah itu juga salah satu bentuk membakar uang? Cuma bedanya uang itu ditransformasikan dalam bentuk rokok saja. Sudah demikian, asapnya masih dihisap lagi. Allah berhak untuk menghidupkan dan mematikan makhluk-Nya. Kita yang Allah anugerahkan tubuh yang sempurna bukan berarti kita seenaknya boleh memperlakukan tubuh kita dengan semena-mena. Jangan sampai mentang-mentang sudah bosan dengan jempol yang kita punya lalu seenaknya dipotong dengan alasan “lha ini jempol-jempolku sendiri kok, suka-suka gue dong mau diapain”. Atau bahkan ketika sudah bosan dengan leher yang kita punya lalu seenaknya memotong leher sendiri dengan alasan “ lha ini kan leher-leherku, suka-suka gue dong mau diapain nih leher”. Sesungguhnya apa-apa yang kita miliki secara hakiki adalah hanyalah titipan Allah. Jadi jangan seenaknya memperlakukan jempol ataupun leher sendiri. Ada hak dan kewajiban yang harus ditunaikan.
Segala sesuatu adalah milik Allah dan tidak ada sebutir debupun kecuali itu adalah milik-Nya. Oleh karena itu adab yang baik bagi seorang muslim dalam menerima takdir adalah bersabar dan bersyukur. Jangan sekali-kali memprotes dan apalagi menyalahkan Allah.
Selanjutnya dalam ayat tersebut menerangkan bahwa Allah memiliki wajah yang patut kita yakini. Namun jangan membayangkan bahwa wajah Allah adalah sama dengan wajah manusia atau wajah apapun yang kita sangka. Wajah Allah berbeda dengan wajah makhluk-Nya. Yang sama hanyalah namanya saja. Analoginya seperti ini, manusia memiliki wajah, begitupula monyetpun memiliki wajah, lalu apakah wajah manusia mirip wajah monyet (?). Meskipun sama-sama mamalia dan primate namun berbeda antara wajah manusia dengan monyet. Sungguh merupakan pelecehan membandingkan atau bahkan menyamakan antara wajah manusia dengan monyet meskipun kedua-duanya adalah makhluk Allah, lebih-lebih lagi jika kita membandingkan wajah makhluk dengan Allah. Coba kita tes, apakah reaksi Anda jika ada yang bilang :
Eh tau nggak, saya lihat-lihat ternyata wajahmu itu lebih guanteng ketimbang monyet yang ada kebun binatang” atau
Widih…, wajahmu guanteng tenan (sekali) seperti monyet peliharaanku
Silahkan pilih yang mana (??). Ingatt kata-kata pujian “lebih guanteng” dan “guanteng tenan” dalam kalimat di atas, seketika itu pula berubah menjadi kalimat penghinaan dan pelecehan ketika ditambah embel-embel perbandingan dengan monyet. Bagi yang normal ketika temannya berkata seperti itu pasti marah dan bukan malah bangga dengan kata-kata “guantengnya”.
Bagian depan kalimat memang berisi pujian namun bagian akhir kalimat itu isinya menghina-dina. Nah itulah perumpamaan yang sederhana untuk perbuatan memperlakukan dan memperbandingkan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Penyerupaan satu makhluk dengan mahluk yang lainnya saja adalah salah, apalagi penyerupaan makhluk dengan pencipta-Nya. Meskipun kita berniat baik untuk mengagungkan Allah dengan cara membayangkan wajah Allah seperti yang disangka, namun tidak lain justru itu adalah bentuk pelecehan karena menyerupakan Allah dengan makhluk. Kita tidak bisa membandingkan wajah Allah dengan wajah yang kita bayangkan dan serupakan, karena Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya.
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS Asy-Syuura:11).
Sifat Allah yang mendengar, melihat, mengetahui, dan lain sebagainya itu tidak bisa diserupakan dengan pendengaran, penglihatan dan pengetahuan manusia. Penglihatan dan pendengaran manusia ada batasnya seperti jarak, halangan, dan lain halnya, sedangkan penglihatan dan pendengaran Allah tidak mengenal ruang dan waktu, bahkan meski bisikan makhluk itu dilakukan di dalam bangunan yang kokoh.
Tidaklah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang ghaib.” (QS At-Taubah:78)
Sungguh pengetahuan Allah adalah dalam segala hal tanpa terkecuali.
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (QS Al-An’aam:59).
Ya Allah, berilah taufik kepada kami sebagaimana Engkau telah memberi taufik kepada orang-orang shalih sebelum kami. Ampunilah kami, kedua orang tua kami, dan seluruh kaum mukminin dengan rahmat-Mu, wahai Dzat Yang Maha Penyayang di antara para penyayang. Saya juga meminta kepada Allah Ta’ala agar menjadikan tulisan ini bermanfaat dan menjadi amalan kita ikhlas hanya untuk-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi lagi Maha Pemurah. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad beserta seluruh keluarga dan para Sahabatnya.
[Ditranskrip oleh Dendi Dendi –dengan beberapa perubahan- dari kajian Ba’da Magrib Masjid Baiturrahman Tegalmojo, Jongkang, Sariharjo, Sleman Jogjakarta pada tanggal 02 Mei 2010 oleh Ustad Aris Munandar, MA].
Artikel www.ustadzaris.com

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers