Penulis: Redaksi Asy-Syariah
Dengan alasan melindungi keragaman, beberapa pihak berupaya melakukan pembiaran terhadap tumbuh dan berkembangnya Ahmadiyah saat isu terkait aliran itu memuncak beberapa waktu silam. Setiap manusia, dalih mereka, mempunyai hak untuk meyakini ajaran yang dianutnya, bahkan setiap orang punya hak untuk tidak beragama sekalipun. Dengan cara pandang ini, para tokoh pembela (yang sayangnya sebagian dari mereka disebut tokoh Islam) hendak menyatakan bahwa hak hidup hanya dimiliki oleh kalangan sesat serta kaum atheis.
Entah lupa atau pura-pura lupa (atau bisa jadi memang bodoh), para pembela Ahmadiyah seakan menafikan hak umat Islam untuk hidup tanpa diganggu berbagai ajaran yang merusak, sesat serta menyesatkan. Lebih-lebih aliran seperti Ahmadiyah dan juga Salamullah, Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Baha’iyah, dll, semuanya mengatasnamakan Islam, menggunakan simbol Islam serta mendakwahkan agamanya kepada umat Islam. Lantas bagaimana bisa kita bicara “hak” sementara apa yang disebut “hak” itu justru merupakan pelanggaran hak (baca: penistaan) pihak lain?
Arah dari tuntutan nyeleneh yang didesakkan para pengusung pluralisme itu sesungguhnya bisa ditebak, umat Islam diajak untuk meragukan finalitas kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahwa ayat atau hadits yang menyebut bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi masih perlu ditafsir ulang. Karena, menurut kalangan Islam Liberal, klaim tentang nabi terakhir bisa dilakukan siapa saja.
Betapa lancangnya omongan semacam itu. Kalau logika seperti ini kita amini, maka kita pun akan membenarkan bahwa “siapa tahu” Allah Subhanahu wa Ta’ala pun, selain mengutus Mirza Ghulam Ahmad, juga benar-benar mengutus Mirza Hussein (pengikutnya menyebut dia Baha’ullah), Lia Aminudin, Ahmad Mushaddeq, Ahmad Sayuti (“nabi” palsu asal Bandung), Rusmiyati (“nabi” asal Madiun), Djanewar (“nabi” kepala sekolah asal Jambi) dan “nabi-nabi” lainnya.
Kalau kita hanya bicara kemungkinan dan tanpa dalil, mengapa tidak mengatakan “siapa tahu” para nabi palsu yang disebut di atas tak lebih dari orang-orang yang mengalami delusi atau waham kebesaran (delusion of grandiosty), gangguan jiwa yang ditandai dengan pengakuan sebagai nabi, malaikat, Imam Mahdi, atau tokoh-tokoh yang dianggap berpengaruh?
Mirza Ghulam Ahmad dengan Ahmadiyah-nya mungkin sudah besar dan tersebar di berbagai belahan dunia, sehingga sudah demikian kabur antara paham dan waham. Namun bayangkan jika “Ahmadiyah” itu masih berupa tunas atau bibit sekelas ajarannya Ahmad Sayuti, Rusmiyati, Djanewar, Lia Aminudin, dan yang agak besar sebangsa Ahmad Mushadeq? Tentu hanya orang-orang yang minim akal sehat saja yang meyakini atau (dengan berlagak moderat) membela ajaran mereka.
Namun bagaimanapun, fenomena bermunculannya nabi-nabi palsu itu telah menjadi keniscayaan. Sebagaimana ini telah disebut dalam hadits sendiri. “Tidak tegak hari kiamat hingga dimunculkan para dajjal dan pendusta yang berjumlah kurang lebih tiga puluh yang seluruhnya mengaku bahwa dia adalah utusan Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 3413, Muslim no. 2923)
Makanya sebagai muslim, kita mesti menyikapi fenomena itu secara ilmiah (baca: dengan ilmu), bukan secara emosional, terlebih berujung pada tindak anarkis. Tindakan anarkis hanya justru menyuburkan pembelaan dan simpati, serta memperkokoh eksistensi mereka. -Meski tentu tak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang mengatasnamakan Islam kemudian melakukan aksi-aksi perusakan-.
Tegasnya, ilmu akan menjadi benteng yang kokoh untuk membendung ajaran mereka. Agar kita pun bisa berakal sehat, sehingga tidak mempan dibodohi oleh ajaran orang-orang yang tidak sehat. Dan juga jika berbenteng ilmu agama, tentu segala “pengakuan nabi” itu menjadi lelucon belaka. Namun jika kaum muslimin tidak berbekal ilmu, tentu hanya soal waktu bertumbuhnya agama baru dan nabi palsu!
Sumber : http://bimbinganislami.wordpress.com/
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer