Oleh
Ustadz Ali Musri Semjan Putra
http://almanhaj.or.id/content/2607/slash/0
Para
pembaca, kali ini kami mengajak untuk menyimpak berbagai keyakinan
sesat Syiah tentang pesta duka di bumi Karbala yang mereka peringati
setiap tanggal sepuluh Muharram (hari 'Asyura). Mereka melakukan
berbagai bentuk penyiksaan diri dengan benda-benda tajam, seperti rantai
besi, pedang, cambuk dan benda tajam lainnya. Hal itu mereka yakini
sebagai bukti cinta (palsu) mereka kepada Ahlul Bait (Keluarga
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam), yang diwujudkan dalam bentuk
kesedihan dan kedukaan atas terbunuhnya cucu Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam Husain Radhiyallahu 'anhuma di tempat tersebut. Silahkan
menyimak dan semoga bermanfaat.
PESTA DUKA DI HARI 'ASYURA
Hari
'Asyura, orang-orang Syiah meyakininya sebagai hari sial yang membawa
celaka. Sejak awal bulan Muharram (bahkan selama sebulan penuh) mereka
tidak melakukan hal-hal penting di rumah, seperti tidak bepergian, tidak
melakukan pernikahan, tidak berhias, tidak memakai pakaian yang bagus,
tidak memakan makanan yang enak dan lain-lain. Anak yang lahir di bulan
Muharram mereka yakini bernasib sial.
Secara khusus, pada hari
'Asyura, mereka melakukan ritual yang amat mengerikan dengan menyiksa
diri dengan benda-benda keras dan tajam. Semangat untuk menyakiti dan
melukai tubuh sendiri akan kian terlucut dengan rangsangan sya’ir-sya’ir
kisah terbunuhnya Husain bin 'Ali Radhiyallahu 'anhu di padang Karbala
yang diperdengarkan, karya tokoh-tokoh Syi’ah. Kisah tersebut dibumbui
dengan berbagai kebohongan serta cacian terhadap para Sahabat
Radhiyallahu 'anhum.
Jika para pembaca kurang yakin silakan
saksikan apa yang sedang berlangsung di padang Karbala pada hari Asyura.
Mereka berdatangan dari berbagai negara, dengan berpakaian serba putih.
Sambil bergoyang pelan, mereka melantunkan kata 'haidar', 'haidar'.
Selanjutnya, sebilah pedang mereka ayun-ayunkan ke salah satu bagian
tubuh secara perlahan, sehingga tubuh mereka bersimbah darah. Perayaan
duka di Karbala ini lebih dikenal di kalangan Syiah dengan sebutan
ritual al-Husainiyyah.[1]
Penyiksaan diri pada hari 'Asyura
tersebut tidak hanya dilakukan di bumi Karbala saja, tetapi juga
dilakukan oleh kelompok Syiah di berbagai tempat lain. Menurut mereka,
kegiatan penyiksaan diri pada sepuluh Muharram itu memiliki nilai ibadah
yang tinggi, sebagaimana diungkapkan oleh imam-imam mereka.
UNGKAPAN PARA TOKOH SYIAH TENTANG HUKUM DAN KEUTAMAAN PESTA DUKA DI HARI 'ASYURA
Salah
seorang dari tokoh Syiah telah menulis buku khusus tentang ritual pada
hari 'Asyura di Karbala dengan judul al-Mâjalis al-Fâkhirah Fi Ma’âtimil
'Ithrahi ath-Thâhirah[2] atau menurut penulis, kitab tersebut berjudul
Manâsik al-Husainiyyah.
Salah seorang tokoh mereka menyebutkan
bahwa ritual penyiksaan diri pada hari 'Asyura di Karbala dimulai pada
abad IV Hijriah pada masa dinasti al-Buwaihi. Kemudian berlanjut pada
masa dinasti al-Fathimiyah. Acara tersebut sekarang ini diselenggarakan
di negara-negara berpenduduk mayoritas orang-orang Syiah. Seperti Irak,
Iran, India, Siria, dll.[3]
Ad-Dimastâni, ulama Syiah yang lain
menegaskan : “Meratapi kematian Husain dengan berteriak-teriak hukumnya
wajib ‘aini (wajib atas setiap pribadi)” [4]
Ayatullah al-'Uzhma
syaikh Muhammad Husain an-Nâti berkata : “Tidak ada masalah tentang
hukum bolehnya memukul pipi dan dada dengan tangan sampai merah dan
menghitam. Dan lebih ditekankan lagi, memukul pundak dan punggung dengan
rantai sampai kulit kemerahan dan gosong. Bahkan lebih ditekankan lagi
jika hal itu menyebabkan keluarnya darah. Begitu pula mengeluarkan darah
dari kening dan puncak kepala dengan pedang”[5]
Setelah kita
menyimak berbagai ungkapan tokoh-tokoh Syiah Rofidhoh di atas dapat kita
ketahui bahwa apa yang dinisbahkan kepada mereka itu benar. Dan
bukanlah sebuah isu yang dibuat-buat..
Bila ungkapan-ungkapan
tersebut kita sorot dengan cahaya al-Qur'ân dan petunjuk Sunnah serta
keyakinan para ulama Salaf, niscaya akan dijumpai jurang pemisah yang
sangat dalam antara keyakinan orang-orang Syiah dengan keyakinan kaum
Muslimin.
SESATNYA PESTA DUKA DI HARI 'ASYURA
Kekeliruan dan
kesesatan acara pesta duka tidak sulit untuk dilacak. Sebab terdapat
banyak pelanggaran terhadap ajaran Islam. Berikut ini, keterangannya:
1).
Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: "Setiap muslim akan merasa sedih atas
terbunuhnya Husain Radhiyallahu 'anhuma. Sesungguhnya dia adalah salah
seorang dari generasi terkemuka kaum muslimin, juga salah seorang ulama
di kalangan para Sahabat, dan anak dari putri kesayangan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia adalah seorang ahli ibadah, seorang
pemberani dan pemurah. Tentang apa yang dilakukan Syiah (di hari
'Asyura) seperti bersedih-sedih dan berkeluh-kesah merupakan tindakan
tidak pantas. Boleh jadi, itu mereka lakukan adalah karena pura-pura dan
riya. Sesungguhnya ayah Husain ('Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu
'anhuma) jauh lebih afdhal (utama) darinya. Beliau juga meninggal dalam
keadaan terbunuh. Akan tetapi, mereka tidak menjadikan hari kematiannya
sebagai hari berkabung layaknya hari kematian Husain Radhiyallahu
'anhuma (yang diperingati). 'Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu 'anhu
terbunuh pada hari Jum'at saat keluar rumah mau melaksanakan shalat
Subuh, pada tanggal tujuh belas Ramadhan, tahun 40 H.
Demikian
juga 'Utsmân Radhiyallahu 'anhu, beliau lebih mulia dari 'Ali
Radhiyallahu 'anhu dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama'ah. Beliau
dibunuh saat terjadi pengepungan terhadap rumahnya, pada hari tasyriîq
di bulan Dzulhijjah, tahun 36 H. Beliau disembelih dari urat nadi ke
urat nadi. Tidak pernah ada orang berduka di hari kematiannya.
Demikian
pula halnya 'Umar bin Khaththâb Radhiyallahu 'anhu. Beliau lebih afdhal
dari 'Utsmân dan 'Ali Radhiyallahu 'anhuma. Terbunuh di mihrab saat
shalat Subuh saat sedang membaca al-Qur'ân. Namun, tidak ada orang yang
menjadikan hari kematiannya sebagai hari berduka.
Dan demikian
juga Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu 'anhu. Beliau lebih afdhal dari
'Umar Radhiyallahu 'anhu. Akan tetapi, tidak pernah hari kematiannya
dijadikan sebagai hari berkabung.
(Terakhir), Allah Azza wa
Jalla telah memanggil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, penghulu
anak Adam di dunia dan akhirat, sama seperti para nabi sebelumnya.
Namun, tidak ada seorang pun menjadikan hari wafat beliau sebagai hari
bela sungkawa, atau melakukan perbuatan orang-orang dari sekte Syiah
pada hari kematian Husain. Tidak seorang pun menyebutkan bahwa terjadi
sesuatu sebelum atau sesudah hari kematian mereka, seperti apa yang
disebutkan Syiah pada hari kematian Husain. Seperti terjadinya gerhana
matahari, adanya cahaya merah di langit dan lain-lain"[6]
.
2).
Syaikh Fâdhil ar-Rûmi rahimahullah, seorang ulama Dinasti Utsmaniyah
mendudukkan kesalahan Syiah dalam masalah ini : "Adapun menjadikan
tanggal sepuluh Muharram sebagai hari berduka karena terbunuhnya Husain
bin Ali Radhiyallahu 'anhuma yang dilakukan kaum Syiah, hal itu adalah
perbuatan orang-orang sesat sewaktu di dunia. Tetapi, mereka mengira
telah melakukan sesuatu yang amat baik. Padahal, Allah Azza wa Jalla dan
Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam saja tidak pernah memerintahkan
untuk menjadikan hari musibah para nabi atau hari kematian mereka
sebagai hari berduka. Apalagi terhadap hari kematian orang-orang yang
kedudukannya di bawah mereka…[7]
Pada kesempatan lain beliau
menyatakan: "Diantara bentuk bid'ah yang dilakukan sebagian manusia pada
hari 'Asyura adalah menjadikan hari tersebut sebagai hari berduka.
Mereka meratap dan bersedih serta menyiksa diri pada hari tersebut.
Disamping itu, mereka mencaci para Sahabat Rasululullah Shallallahu
'alaihi wa sallam yang telah meninggal, berdusta atas nama keluarga Nabi
Shallallahu 'aliahi wa sallam, dan melakukan berbagai kemungkaran
lainnya yang dilarang dalam al-Qur'ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam serta kesepakatan kaum Muslimin.
Sesungguhnya,
Husain Radhiyallahu 'anhuma telah dimuliakan Allah Azza wa Jalla dengan
menjadikannya sebagai orang yang mati syahid pada hari tersebut. Dia dan
saudaranya Hasan adalah dua pemuda penghuni Jannah. Sekalipun
terbunuhnya dua orang bersaudara tersebut merupakan musibah besar, akan
tetapi Allah Azza wa Jalla mensyariatkan bagi kaum muslimin ketika
mengalami musibah untuk mengucapkan kalimat istirjâ' (innâ lillâh wa
innâ ilaihi raji’ûn) [8].
Kalimat istirjâ' merupakah salah satu
anugerah yang hanya diberikan kepada umat Islam. Sa'id bin Jubair
Radhiyallahu 'anhu berkata:
لَمْ يُعطَ الْاسْتِرْجَاعُ لِأُمَّةٍ
مِنَ الْأُمَمِ إِلاَّّ هَذِهِ الْأُمَّةِ، وَلَوْ أعْطِيَ لِأَحَدٍ
لَأُعْطِيَ يَعْقُوْبُ النبيّ أَلاَ تَرَى أَنَّهُ قَالَ فِيْ مَقَامِ
الْاستِرْجَاعِ: يَا أَسَفَى عَلَى يُوْسُفَ
"Kalimat istirjâ'
tidak diberikan bagi umat-umat lain kecuali untuk umat ini (umat Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam). Jika seseorang diberi
(sebelumnya, red) tentu akan diberikan kepada Nabi Ya'qub Alaihissalam.
Tidakkah Anda perhatikan beliau mengucapkan sebagai ganti kalimat
istirjâ' aduhai, betapa sedihnya kehilangan Yusuf'" [9].
Dalam hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan kalimat istirjâ'. Beliau bersabda:
مَا
مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا
لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي
مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ
خَيْرًا مِنْهَا
"Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, maka
ia ucapkan 'innâ lillâh wa innâ ilaihi raji’ûn', (dan berdoa) ya Allah
beri aku pahala atas musibah yang menimpaku, gantilah untukku dengan
sesuatu yang lebih baik darinya, melainkan Allah akan memberinya pahala
untuknya atas musibah itu dan mengganti dengan sesuatu yang lebih baik
dari yang ia alami" [HR. Muslim 2/632 no (918]
3). Adapun
melakukan sesuatu yang dilarang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada
hari peringatan musibah setelah berlalu dalam masa yang cukup lama,
perbuatan ini dosanya akan lebih besar lagi. Apalagi, jika disertai
dengan memukul-mukul muka, merobek-robek baju, berteriak-teriak yang
merupakan kebiasaan bangsa Jahiliyyah, melaknat dan mencaci orang-orang
Mukmin (para Sahabat Nabi Radhiyallahu 'anhum), serta membantu
orang-orang zindiq untuk merusak Islam.[10]
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan hukum menyiksa diri atas
peristiwa musibah yang menimpa seseorang dalam hadits berikut ini:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
"Tidak
termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul muka, merobek-robek
baju dan berteriak-teriak seperti orang-orang jahiliyah" [HR. al-Bukhari
dan Muslim]
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَرْبَعٌ
فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ :
الْفَخْرُ بِالْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالِاسْتِسْقَاءُ
بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ. وَقَالَ : النَّائِحَةُ
إذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطْرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
"Ada
empat perkara yang termasuk perkara jahiliyah terdapat di tengah umatku;
berbangga dengan kesukuan, mencela keturunan (orang lain), meminta
hujan dengan bintang-bintang dan meratapi mayat"
Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menambahkan:
"Wanita
yang meratapi mayat apabila tidak bertaubat sebelum meninggal, ia akan
dibangkit pada hari kiamat dengan memakai mantel dari tembaga panas dan
jaket dari penyakit kusta" [HR. Muslim]
Abu Musa al-Asy 'ari Radhiyallahu 'anhu berkata:
أَنَا
بَرِيءٌ مِمَّا بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِيءٌ
مِنْ الْحَالِقَةِ , وَالصَّالِقَةِ , وَالشَّاقَّةِ
"Aku
berlepas diri orang-orang yang Rasulullah berlepas diri dari mereka.
Sesungguhnya Rasulullah berlepas diri dari wanita yang mencukur
rambutnya, wanita yang berteriak-teriak dan wanita yang merobek-robek
baju (saat ditimpa musibah)" [HR. al-Bukhâri dan Muslim]
4). Pelanggaran lain dalam bentuk mencela para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Banyak
sekali ayat maupun hadits yang menerangkan keutaman Sahabat. Dan
sebaliknya juga terdapat nash-nash yang mengharamkan melaknat dan
mencaci para Sahabat. Secara khusus, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah melarang dengan tegas umatnya mencela para Sahabat
Radhiyallahu 'anhum:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
"Jangan
kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang kalian
mengimfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan sampai
(nilainya) segegam (pahalanya) salah seorang mereka dan tidak pula
separohnya" [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Maka, berdasarkan hadits
ini, seorang mukmin wajib memuliakan mereka dan menyebut mereka dengan
kebaikan serta menahan lisan dari mencela mereka.
Peristiwa
terbunuhnya 'Utsmân dan Husain Radhiyallahu 'anhuma menyebabkan
terjadinya fitnah yang besar dan tersebarnya kedustaan yang banyak.
Akibatnya, muncul berbagai bentuk kesesatan dan bid'ah-bid'ah,
menjerumuskan sebagian generasi umat ini sejak dulu sampai sekarang.
Beragam kedustaan dan kesesatan serta bid'ah-bid'ah semakin hari semakin
bertambah dan berkembang. Dan telah menimbulkan berbagai akibat-akibat
yang tidak mungkin kita urai dalam bahasan singkat ini.[11]
Imam
al-Ghazâli rahimahullah dan ulama lainnya berkata : “Diharamkan para
penceramah untuk meriwayatkan kisah terbunuhnya Husain Radhiyallahu
'anhuma, juga tentang hal-hal yang terjadi antara sesama para Sahabat
dalam perselisihan dan pertikaian mereka. Karena, hal itu dapat
memotivasi orang untuk membenci para Sahabat g dan mencela mereka.
Mereka adalah teladan umat, dimana para ulama mendapatkan ilmu melalui
mereka. Kemudian ilmu tersebut sampai kepada kita melalui para ulama
yang mengambil ilmu dari mereka. Maka, orang yang mencela mereka adalah
orang yang mencela diri dan agamanya”.
Ibnu Shalâh rahimahullah
dan Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Para Sahabat seluruhnya adalah
adil (terpercaya). Saat wafatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, jumlah Sahabat mencapai seratus empat belas ribu (114.000)
orang. Al-Qurân dan Hadits telah menyatakan akan keadilan (ketakwaan)
dan kemuliaan mereka. Dan segala sesuatu yang terjadi di antara mereka,
terdapat pertimbangan-pertimbangan (yang membuat mereka tidak dihukumi
telah berbuat kesalahan murni, red) yang tidak mungkin kita sebutkan
satu-persatu dalam tulisan singkat ini.[12]
Imam asy-Syafi’i
rahimahullah : “Itu adalah peristiwa pertumpahan darah yang Allah
menghindarkan tangan-tangan kita darinya. Maka hendaklah kita mensucikan
lidah kita dari membicarakannya”.
Semoga Allah Azza wa Jalla
melindungi kita dari berbagai bentuk kesesatan dan kebatilan, baik yang
nyata maupun yang tersembunyi.
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Penisbatan kepada nama Husain Radhiyallahu 'anhuma
[2]. Lihat Man Qatalal Husain, hal: 60
[3]. Lihat Man Qatalal Husain, hal: 56
[4]. Lihat Man Qatalal Husain, hal: 65
[5]. Lihat Man Qatalal Husain, hal: 66
[6]. al-Bidâyah wan Nihâyah (8/208)
[7]. Majâlisul Abrâr majlis no 37.
[8]. Ibid.
[9]. Diriwayatkan Imam ath-Thabari rahimahullah dalam Tafsirnya (13/39)
[10]. Lihat Majâlisul Abrâr majlis no 37.
[11]. Lihat Majâlisul Abrâr majlis no 37.
[12]. Lihat "Ash shawa'iq Al Muhriqoh" karangan Al Haitamy: 2/640.
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
theproperty-developer
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.
Jumlah Pengunjung
Blog Archive
-
▼
2011
(1346)
-
▼
December
(135)
- Virus Sepilis Perusak Ayat Masuk ke Program Deradi...
- Akibat Tidak Berhukum dengan Hukum Allah, Terancam...
- Pentingnya Solidaritas Islami dan Menjaga Ukhuwah ...
- Kitab Syi'ah Melaknat dan Mengafirkan Abu Bakar, U...
- Resensi Buku: Akidah Dasar yang Wajib Diketahui Se...
- Merayakan Tahun Baru Sampai Meninggalkan Shalat
- Dilema Cinta Dalam Logika Asmara (Bag. 01)
- Mendekati Imam, Mendekati Surga
- Manusia yang Hidup Terus Setelah Matinya
- Terompet Tahun Baru
- Golongan Terbalik, Bermanis-manis dengan Kafirin, ...
- 3 Pertanyaan Kubur yang Menanti Kita
- Hukum Merayakan Tahun Baru
- Kamuflase Istilah Syariah
- Tragedi Aqidah: Terseret Arus Upacara Agama Lain
- Wahai Saudariku, Imanilah bahwa Jin itu Ada
- Ternyata Hari Jum’at itu Istimewa
- Meluruskan Penakwilan Hadits-Hadits Tentang Khawar...
- Pembagian Catatan Amal
- Saudariku, Jangan Gunakan Lisanmu untuk Melaknat!
- Jangan Bersedih
- Perayaan Natal Berasal dari Ritual Penyembahan Ber...
- Berita dari Dammaj: Syi’ah Rafidhoh Memang Luar Bi...
- Pengertian Ulama
- MUSUH DALAM SELIMUT
- Mengenal Hujan (Selesai)
- (BAGUS) CARA SETTING & TIPS AGAR BISA NGETIK ARAB ...
- Bolehkah shalat istikharah untuk orang lain ?
- Beberapa Tanda Tukang Sihir dan Dukun
- Mengenal Hujan (Bagian 2)
- Memakan Makanan Hari Raya Kafir
- Hukum Menerima Hadiah Natal
- Berdo’a di Antara Dua Khutbah Jum’at
- Hukum Mengambil Foto dengan Kamera
- Sejumlah Hujjah Larangan Ikut Perayaan Natal dan T...
- Bantahan terhadap Fatwa Qaradhawi yang Bolehkan Uc...
- Gereja Semakin Bermunculan, Masjid-Masjid Dihancur...
- Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan ...
- Istriku Bukan Bidadari, Tapi Aku Pun Bukan Malaikat
- Hukum Bulan Madu
- Adab Malam Pertama
- Mengapa penghuni surga minoritas wanita?
- (TANYA JAWAB) CARA MEMANDIKAN &MENGKAFANI JENAZAH ...
- Ini Dalilnya (9): Meluruskan Pemahaman Tentang Bid’ah
- Meraih Ampunan di Hari Jum’at
- Dzikir Setelah Shalat Dengan Suara Keras
- Ketinggalan shalat jum’at
- Akhir Zina adalah Penyesalan
- Berbagai Cara Mendengarkan Radio Rodja
- Sholat taubat
- Wanita Bekerja Di Luar Rumah
- Perbedaan Shalat Isyraq dan Shalat Dhuha
- Mengenal hujan (1)
- Hukum Jualan Televisi
- KIAT SYAR'I DALAM MENOLAK & MELAWAN SYIHIR
- Negara akan Digugat karena Banyaknya Perkosaan di ...
- Halalkah Bekicot dan Keong?
- Berita Ahlus Sunnah Di Negeri Yaman (21 – 28 Muhar...
- (FOTO & PETA) DARUL HADITS DAMMAJ,SHO’DAH (YAMAN) ...
- Suami jatuh Cinta pada Wanita Lain
- Taruhan dan Judi dalam Lomba
- Anak Lewat Depan Orang Sholat
- Hasbunallah wa Ni’mal Wakiil
- Suami Tidak Mampu Memimpin
- Problem Mencuri
- Panduan Tayamum (4), Permasalahan Seputar Tayamum
- Panduan Tayamum (3), Tata Cara Tayamum Praktis
- Kaidah Kaidah Penting Untuk Memahami Asma dan Sifa...
- Hukum Cek Medical Untuk Mengetahui Jenis Kelamin J...
- Kiat Meningkatkan Iman
- Dana Sosial Karyawan
- Hadiah Bersyarat
- Sesama Liberal kok Nyuruh Tobat
- 47 “Jurus Mabok” Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj
- Hukum mengucapkan salam kepada orang kafir
- Berdzikirlah Sebelum Hubungan Intim
- Sunnah-nya Menyembunyikan Amalan
- Fatwa MUI, Seputar Perayaan Natal
- SIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP HARI RAYA ORANG KAFIR
- Apa Tidak Ada Seorang Muslimah Sehingga Engkau Mem...
- Khutbah Shalat Gerhana Syaikh Sholeh Al Fauzan
- Warisan Untuk 1 Istri dan 1 Anak
- Perayaan Menyambut Jamaah Haji
- Cenderung Cinta Padanya
- Nasehat DR Said Aqiel Siradj, MA untuk Ketua PBNU ...
- Tata Cara Shalat Gerhana
- SHALAT GERHANA BULAN DAN GERHANA MATAHARI
- Tidak ada Salafnya
- Plagiator dan Kejahatan Intelektual
- Istirahat Yang Berpahala di Akherat
- Ini Dalilnya (19): Bolehkah Ngalap Berkah pada Sel...
- Apa yang Dimaksud Boros?
- (RAHASIA WANITA TERCANTIK DI DUNIA) TIPS MENJADI I...
- Apa yang Bisa Membuat MURTAD?
- MENGENDALIKAN RASA CEMBURU DALAM RUMAH TANGGA
- Suap Yang Halal
- Cara berinteraksi dengan orang Nashrani
- Kisah Taubatnya Tiga Wanita Syi’ah
- Hukum Mengkhususkan Bulan Muharram Untuk Menyantun...
- Tayamum di Kursi Kendaraan
-
▼
December
(135)