Sesungguhnya ibadah itu dibangun di atas
dalil baik dari Al-Qur’an maupun as-Sunnah yang dipahami oleh para
shahabat radhiyallahu ‘anhum.
Tatkala para pemakmur kuburan yang
mencari barokah di sana mengetahui bahwasanya perbuatan mereka
menyelisihi dan bertentangan dengan terlalu banyak hadits-hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, maka merekapun berusaha untuk berdalil
dengan perkataan ulama yang sepakat dengan aqidah mereka.
Diantara perkataan para ulama yang
dijadikan dalil untuk menguatkan kebiasaan mereka beribadah di kuburan
adalah perkataan Al-Baidhowi rahimahullah.
Padahal perkataan Al-Baidhoowi ini
menyelisihi kesepakatan para ulama besar madzhab As-Syafi’iyah. Dan para
pemakmur kuburan di tanah air kita secara umum mengaku bermadzhab
As-Syafiiyah. Akan tetapi tatkala ada perkataan seorang ulama yang
sesuai dengan keyakinan mereka maka merekapun ramai-ramai memegang teguh
perkataan tersebut dan meninggalkan hadits-hadits yang begitu banyak
yang tidak sesuai dengan kebiasaan mereka…serta meninggalkan kesepakatan
perkataan para ulama besar Asy-Syafiiyah.
Pada artikel yang lalu (lihat: http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/186-pendalilan-habib-munzir-dengan-perkataan-al-baidhawi-rahimahullah)
telah disanggah 2 pernyataan Al-Baidhowiy rahimahullah dengan
menunjukan dalil-dalil dari sabda-sabda Habiibunaa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka pada artikel ini akan disanggah
pernyataan Al-Baidhowi yang sangat inti yang sangat mendukung keyakinan
Habib Munzir, yaitu bolehnya beribadah di kuburan dalam rangka mencari
barokah.
Habib Munzir berkata :
“Berkata Imam Ibn Hajar : Berkata Imam Al
Baidhawiy : ketika orang yahudi dan nasrani bersujud pada kubur para
Nabi mereka dan berkiblat dan menghadap pada kubur mereka dan
menyembahnya dan mereka membuat patung-patungnya, maka Rasul saw
melaknat mereka, dan melarang muslimin berbuat itu, tapi kalau menjadikan masjid di dekat kuburan orang shalih dengan niat bertabaruuk dengan kedekatan pada mereka
tanpa penyembahan dengan merubah kiblat kepadanya maka tidak termasuk
pada ucapan yang dimaksud hadits itu” (Fathul Baari Al Masyhur Juz 1 hal
525)” (lihat Meniti Kesempurnaan Iman hal 31)
SANGGAHAN
Kita lihat kembali perkataan Al-Baidhawi rahimahullah :
“Adapun orang yang menjadikan mesjid di dekat (kuburan) seorang yang sholeh dan bermaksud untuk mencari keberkahan dengan dekat dari orang sholeh tersebut, dan bukan untuk mengagungkannya dan juga bukan untuk mengarah kepadanya (tatkala sholat-pen) maka tidak termasuk dalam ancaman (laknat-pen) tersebut”
“Adapun orang yang menjadikan mesjid di dekat (kuburan) seorang yang sholeh dan bermaksud untuk mencari keberkahan dengan dekat dari orang sholeh tersebut, dan bukan untuk mengagungkannya dan juga bukan untuk mengarah kepadanya (tatkala sholat-pen) maka tidak termasuk dalam ancaman (laknat-pen) tersebut”
Bantahan terhadap Al-Baidhowi :
Pertama : Perkataan
Al-Baidhowi tentang bolehnya beribadah di kuburan dalam rangka mencari
keberkahan bertentangan dengan seluruh dalil yang menunjukan larangan
menjadikan kuburan sebagai masjid, karena hadits-hadits tersebut melarang sholat di kuburan secara mutlak, tanpa membedakan niat mencari berkah atau tidak.
Dan telah lalu atsar kisah Anas bin Malik
yang sholat di dekat kuburan tanpa ia sadari, dan tentunya Anas tidak
sedang mencari barokah dikuburan. Namun demikian ia tetap ditegur oleh
Umar bin Al-Khottoob radhiallahu ‘anhu.
Oleh karenanya wajib bagi Habib Munzir
–yang telah menukil dan sepakat dengan perkataan Al-Baidhowi ini- untuk
mendatangkan dalil yang mengkhususkan dalil-dalil umum dan mutlak
larangan sholat di kuburan…!!! Karena sebagaimana yang dikenal
dalam ilmu ushul fikih jika datang dalil secara umum dan mutlak lantas
tidak ada dalil yang mengkhususkannya atau mentaqyidnya maka dalil
tersebut tetap pada keumuman dan kemutlakannya.
Kedua : Kontradiksi
perkataan Al-Baidhowi yang melarang pengagungan terhadap kuburan orang
sholeh, namun membolehkan sholat di dekat kuburan orang sholeh untuk
bertabaruuk. Padahal bertabaruuk dengan kuburan orang sholeh itu
merupakan bentuk pengagungan terhadap kuburan tersebut.
Setelah menukil perkataan Al-Baidhowiy, As-Shon’aani berkata :
“Aku katakan : Perkataan Al-Baidhoowi : “Bukan untuk mengagungkannya“, maka jawabannya :
“Aku katakan : Perkataan Al-Baidhoowi : “Bukan untuk mengagungkannya“, maka jawabannya :
(*1)”Membangun masjid-masjid di dekatnya dan sengaja bertabaruuk (mencari barokah) dengannya merupakan (bentuk) pengagungan kepadanya.
(*2)Kemudian hadits-hadits yang melarang
datang secara mutlak, tidak ada dalil yang menunjukan ta’lil (sebab
larangan) sebagaimana yang disebutkan oleh Baidhoowi.
(*3) Tampaknya ‘illahnya (sebab pelarangannya) adalah :
- sadd adz-dzarii’ah (*menutup pintu yang mengantarkan pada keysirikan)
- dan juga menjaauh dari
bertasyabbuh (menyerupai) para penyembah berhala yang mereka
mengagungkan benda-benda mati yang tidak mendengar dan tidak memberi
manfaat atau bahaya
- dan juga mengeluarkan biaya harta
untuk hal ini termasuk perkara sia-sia dan mubadzir yang sama sekali
kosong dari manfaat,
- dan hal ini juga menyebabkan pemasangan lantera di atas kuburan yang pelakunya dilaknat
- serta kerusakan-kerusakan yang
tidak terhingga yang timbul akibat membangun di atas kuburan berupa
masyaahid (situs ziarah) dan kubah-kubah di atas kuburan” (Subulus
salaam syarh Buluughil Maroom, Daar Al-Ma’aarif, cetakan pertama, juz 1
hal 445)
Ketiga : Perkataan
Al-Baidhoowi akan bolehnya sholat dekat kuburan dalam rangka mencari
keberkahan bertentangan dengan kesepakatan para ulama besar madzhab
As-Syafii. Padahal kita ketahui bersama bahwasanya orang-orang yang
“hobi” memakmurkan kuburan dan sholat di kuburan di tanah air kita
rata-rata mengaku bermadzhab As-Syafii.
Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafii berkata :
“Dan telah sepakat teks-teks dari As-Syafii dan juga Ash-haab (*para ulama besar madzhab syafiiyah) akan dibencinya membangun masjid di atas kuburan, sama saja apakah sang mayat masyhur dengan kesholehan atau tidak karena keumuman hadits-hadits (*yang melarang). Ay-Syafii dan para Ash-haab berkata, “Dan dibenci sholat ke arah kuburan, sama saja apakah sang mayat orang sholeh ataukah tidak“. Al-Haafizh Abu Muusa berkata, “Telah berkata Al-Imaam Abul Hasan Az-Za’farooni rahimhullah : Dan tidak boleh sholat ke arah kuburannya, baik untuk mencari barokah atau karena pengagungan, karena hadits-hadits Nabi, wallahu A’lam”.(Demikian perkataan An-Nawawi dalam Al-Majmuu’ syarh Al-Muhadzdzab 5/289)
“Dan telah sepakat teks-teks dari As-Syafii dan juga Ash-haab (*para ulama besar madzhab syafiiyah) akan dibencinya membangun masjid di atas kuburan, sama saja apakah sang mayat masyhur dengan kesholehan atau tidak karena keumuman hadits-hadits (*yang melarang). Ay-Syafii dan para Ash-haab berkata, “Dan dibenci sholat ke arah kuburan, sama saja apakah sang mayat orang sholeh ataukah tidak“. Al-Haafizh Abu Muusa berkata, “Telah berkata Al-Imaam Abul Hasan Az-Za’farooni rahimhullah : Dan tidak boleh sholat ke arah kuburannya, baik untuk mencari barokah atau karena pengagungan, karena hadits-hadits Nabi, wallahu A’lam”.(Demikian perkataan An-Nawawi dalam Al-Majmuu’ syarh Al-Muhadzdzab 5/289)
Nukilan ini sangatlah tinggi nilainya dalam madzhab As-Syafiiah, dari sisi-sisi berikut:
Pertama : Yang menukil adalah Al-Imam An-Nawawi rahimahullah yang dikenal sebagai muhaqqiqul madzhab.
Tentunya para pemakmur kuburan yang senantiasa berkecimpung dengan
madzhab As-Syafii sangat mengetahui kedudukan Imam An-Nawawi dalam
madzhab As-Syafii?, bahkan dialah yang paling paham tentang
pendapat-pendapat para ulama As-Syafi’iyah, demikian juga perbedaan
pendapat yang di antara para ulama As-Syafiiyah.
Ibnu Hajr Al-Haitsami As-Syafii berkata :
أَنَّ الْكُتُبَ الْمُتَقَدِّمَةَ عَلَى
الشَّيْخَيْنِ لَا يُعْتَمَدُ شَيْءٌ مِنْهَا إلَّا بَعْدَ مَزِيدِ
الْفَحْصِ وَالتَّحَرِّي حَتَّى يَغْلِبَ عَلَى الظَّنِّ أَنَّهُ
الْمَذْهَبُ وَلَا يُغْتَرُّ بِتَتَابُعِ كُتُبٍ مُتَعَدِّدَةٍ عَلَى
حُكْمٍ وَاحِدٍ فَإِنَّ هَذِهِ الْكَثْرَةَ قَدْ تَنْتَهِي إلَى وَاحِدٍ ….
وَهَكَذَا أَنَّ الْمُعْتَمَدَ مَا اتَّفَقَا عَلَيْهِ أَيْ مَا لَمْ يُجْمِعْ مُتَعَقِّبُو كَلَامِهِمَا عَلَى أَنَّهُ سَهْوٌ
“Sesungguhnya kitab-kitab (*fiqh madzhab
Asy-Syafi’i) yang terdahulu sebelum dua syaikh (*yaitu Ar-Roofi’i dan
An-Nawawi) tidaklah dijadikan sandaran kecuali setelah pengecekan dan
pemeriksaan yang ekstra sehingga kita mencapai perkiraan kuat bahwasanya
hal itu (*suatu hukum fiqh) adalah madzhab Asy-Syafii. Dan janganlah
terpedaya dengan banyaknya buku yang menyebutkan satu hukum karena
buku-buku yang banyak tersebut bisa jadi kembalinya kepada satu buku
saja…
Dan demikianlah yang menjadi patokan
adalah apa yang disepakati oleh keduanya (*Ar-Rofi’i wa An-Nawawi) yaitu
selama para pengkritik perkataan mereka berdua tidak bersepakat bahwa
kesepakatan mereka berdua tersebut adalah sahw (*keteledoran)…”(Tuhfatul
Muhtaaj juz 1/40)
Bahkan jika terjadi perbedaan antara
Ar-Rofii dan An-Nawawi dalam mengenal pendapat yang roojih menurut
madzhab As-y-Syafii maka didahulukan pendapat An-Nawawi dari pada
pendapat Ar-Rofii
Kedua : Al-Imam
An-Nawawi menukil hal ini dalam kitabnya Al-Majmuu’, yang telah
masyhuur bahwa kitab beliau Al-Majmuu’ memiliki tempat yang tinggi di
hati para pengikut madzhab Syafi’i terutama dalam mengenal pendapat yang
sesungguhnya merupakan madzhab syafii dan juga mengenal perbedaan
pendapat dan wujuuh dalah fiqih As-Syafii.
Ketiga : Al-Imam An-Nawawi menyatakan bahwa hal ini merupakan nas (yaitu perkataan) dari Al-Imam As-Syafii
Keempat :
Al-Imam An- Nawawi menyatakan bahwa nash dari Al-Imam Asy-Syafii sepakat
dengan nash-nash Ash-hab. Dan tentunya para pemakmur kuburan yang
mengaku bermadzhab Asy-Syafi’i mengerti pengertian الأَصْحَاب “Ash-hab”
dalam perkataan Al-Imam An-Nawawi di atas. Yaitu para ulama besar
Syafi’iyah yang telah mencapai derajat yang tinggi sehingga mereka
memiliki ijtihad-ijtihad dalam fiqih yang mereka keluarkan (takhrij)
berdasarkan metode ijtihad (ushul) Imam Asy-Syafii dan mereka mengambil
istinbath hukum-hukum dengan mempraktekan kaidah-kaidah Imam Asy-Syafii.
Ibnu Hajr Al-Haitami berpendapat bahwa Ash-hab berakhir pada abad ke-4 H
(lihat Al-Fatawa Al-Kubro Al-Fiqhiyah 4/63)
Dan ternyata para ulama yang dikenal
dengan ashabul wujuh ini sepakat dengan nash Imam Asy-Syafii. Maka hal
ini menunjukan bahwa para ulama besar yang merupakan patokan di madzhab
Asy-Syafii telah sepakat akan hal ini, yaitu tidak bolehnya membangun di
atas kuburan orang sholeh dan tidak boleh sholat ke arah kuburan orang
sholeh.
Kelima :
An-Nawawi juga telah menukil kesepakatan para ulama tentang dilarangnya
mengusap kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mencari
barokah. Beliau rahimahullah berkata :
“Tidak boleh thowaf di kuburan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dibenci menempelkan perut dan
punggung di dinding kuburan, hal ini telah dikatakan oleh al-Halimy dan
yang selainnya. Dan dibenci mengusap kuburan dengan tangan dan dibenci
mencium kuburan. Bahkan adab (*ziarah kuburan Nabi) adalah ia menjauh
dari Nabi sebagaimana ia menjauh dari Nabi kalau dia bertemu dengan Nabi
shallallau ‘alaihi wa sallam tatkala masih hidup. Dan inilah yang
benar, dan inilah perkataan para ulama, dan mereka telah sepakat akan hal ini.
Dan hendaknya jangan terpedaya oleh
banyaknya orang awam yang menyelisihi hal ini, karena teladan dan amalan
itu dengan perkataan para ulama. Jangan berpaling pada
perbuatan-perbuatan baru yang dilakukan oleh orang-orang awam dan
kebodohan-kebodohan mereka. Sungguh yang mulia Abu Ali al-Fudhail bin
‘Iyadh rahimahullah telah berbuat baik dalam perkataannya :
“Ikutilah jalan petunjuk dan tidak
masalah jika jumlah pengikutnya yang sedikit. Berhati-hatilah akan jalan
kesesatan dan jangan terpedaya oleh banyaknya orang yang binasa
(*karena mengikut jalan kesesatan tersebut).” Barangsiapa yang
terbetik di benaknya bahwasanya mengusap kuburan dengan tangan dan
perbuatan yang semisalnya lebih berkah, maka ini karena kebodohan dan
kelalaiannya, karena keberkahan itu pada sikap mengikuti syari’at dan
perkataan para ulama. Bagaimana mungkin keutamaan bisa diraih dengan
menyelisihi kebenaran??” (Lihat Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab
8/257, perkataan An-Nawawi ini juga terdapat dalam Hasyiah Al-’Allamah
Ibni Hajr al-Haitami ‘ala Syarh Al-Idhoh fi Manasik Al-Haj, cetakan Dar
Al-Hadits, Beirut, Libanon hal. 501)
Peringatan :
Sebagian pemakmur kuburan berdalil,
dengan apa yang termaktub dalam kitab Roudhoh at-Thoolibiin karya Imam
An-Nawawi, sebagaimana berikut ini :
“Boleh bagi seorang muslim atau seorang kafir dzimmi untuk berwashiat untuk mengurus (*membangun) al-masjid al-aqsho dan masjid-masjid yang lainnya, dan juga untuk membangun kuburan para nabi, para ulama, dan sholihin, karena hal itu menghidupkan ziaroh dan bertabarruk dengan kuburan-kuburan tersebut” (Roudotut Thoolibiin, tahqiiq : Adil Ahmad Abdul Maujuud dan Ali Muhammad Mu’awwadl. Cetakan Daar ‘Aalam al-Kutub, juz 5 hal 94)
“Boleh bagi seorang muslim atau seorang kafir dzimmi untuk berwashiat untuk mengurus (*membangun) al-masjid al-aqsho dan masjid-masjid yang lainnya, dan juga untuk membangun kuburan para nabi, para ulama, dan sholihin, karena hal itu menghidupkan ziaroh dan bertabarruk dengan kuburan-kuburan tersebut” (Roudotut Thoolibiin, tahqiiq : Adil Ahmad Abdul Maujuud dan Ali Muhammad Mu’awwadl. Cetakan Daar ‘Aalam al-Kutub, juz 5 hal 94)
Kalau kita perhatikan di dalam perkataan Imam An Nawawi terkesan diperbolehkan bertabarruk (mencari barokah) dari kuburan.
Maka apakah hal ini membatalkan
kesepakatan Imam As-Syafii dan para ulama besar syafiiyah yang telah
dinukil An-Nawawi dalam Al-Majmuu’??
Jawabannya tentu adalah tidak, dan ini bisa dijelaskan dari dari beberapa segi :
Pertama : Al-Imam
An-Nawawi terkadang menyebutkan pendapat yang mungkar dalam madzhab
as-Syafii dalam kitabnya Roudhot Toolibiin. Sebagaimana hal ini beliau
jelaskan dalam muqoddimah kitab beliau tersebut. Beliau berkata
–menjelaskan metode penulisan kitab beliau ini-:
“Dan aku menyebutkan seluruh fiqih kitab (*yaitu kitab Al-’Aziiz syarh al-wajiiz karya Ar-Rofi’i yang kemudian diringkas oleh An-Nawawi dalam Roudotut Toolibiin), bahkan aku menyebutkan wajah-wajah (*pendapat-pendapat para ulama besar syafiiyah) yang aneh nan munkar, dan aku mencukupkan dalam menyebutkan hukum-hukum tanpa mengkritik dengan kritikan lafzia” (Roudot Toolibiin, juz 1 hal 113)
“Dan aku menyebutkan seluruh fiqih kitab (*yaitu kitab Al-’Aziiz syarh al-wajiiz karya Ar-Rofi’i yang kemudian diringkas oleh An-Nawawi dalam Roudotut Toolibiin), bahkan aku menyebutkan wajah-wajah (*pendapat-pendapat para ulama besar syafiiyah) yang aneh nan munkar, dan aku mencukupkan dalam menyebutkan hukum-hukum tanpa mengkritik dengan kritikan lafzia” (Roudot Toolibiin, juz 1 hal 113)
Maka bisa jadi pendapat tentang bolehnya
membangun di atas kuburan para ulama dan sholihin termasuk salah satu
dari pendapat-pendapat yang mungkar yang ada di madzhab as-Syafi’i
Kedua : Kitab al-Majmuu’
karya an-Nawawi lebih didahulukan daripada kitab Roudotut Tolibin
(lihat penjelasan Ibnu Hajr al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaaj 1/40)
Ketiga : Sebagian ulama
As-Syafiiah menafsirkan kata ‘imaaroh dalam teks di atas adalah bukan
membangun bangunan seperti kubah di atas kuburan, akan tetapi maksudnya
adalah mengembalikan tanah dan memperbaiki kuburan tersebut sehingga tidak hilang tanda-tandanya.
Az-Zarkasyi berkata dalam kitabnya Al-Khoodim,
“Akan tetapi ta’lil yang disebutkan disini (*yaitu membangun kuburan para nabi dan solihin) karena untuk menghidupkan ziaroh menunjukan bolehnya ‘imaaroh kuburan secara mutlak. Dan An-Nawawi diam (*tidak berkomentar) mengikuti asal kitab (*yaitu syarh al-Wajiiz karya Ar-Rofii yang juga menyebutkan tentang ‘imaaroh kuburan sholihin) tanpa menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata ‘imaaroh?. Jika yang dimaksud dengan ‘imaaroh adalah membangun kuburan dengan peralatan dan membangun (*bangunan) di atas kuburan maka hal ini tidak diperbolehkan, demikian juga jika ia berwashiat untuk membangun kubah dan maksudnya adalah untuk mengagungkan kuburan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.
“Akan tetapi ta’lil yang disebutkan disini (*yaitu membangun kuburan para nabi dan solihin) karena untuk menghidupkan ziaroh menunjukan bolehnya ‘imaaroh kuburan secara mutlak. Dan An-Nawawi diam (*tidak berkomentar) mengikuti asal kitab (*yaitu syarh al-Wajiiz karya Ar-Rofii yang juga menyebutkan tentang ‘imaaroh kuburan sholihin) tanpa menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata ‘imaaroh?. Jika yang dimaksud dengan ‘imaaroh adalah membangun kuburan dengan peralatan dan membangun (*bangunan) di atas kuburan maka hal ini tidak diperbolehkan, demikian juga jika ia berwashiat untuk membangun kubah dan maksudnya adalah untuk mengagungkan kuburan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.
Dan jika yang dimaksud dengan ‘imaaroh
kuburan adalah mengembalikan tanah ke kuburan dan melazimi kuburan
karena khawatir timbulnya rasa keterasingan dan sebagai pemberitahuan
bagi orang-orang yang menziarahinya agar tidak hilang kuburan tersebut
maka maknanya dekat (*pada kebenaran)” (Sebagaimana dinukil oleh
muhaqqiq kitab Roudhotut Tolibiin dalam catatan kaki kitab Roudotut
Toolibiin juz 5 hal 94)
Keempat : Ibnu Hajar
Al-Haitami (salah seorang ulama besar dari madzhab As-Syafiiah yang
dikenal juga sebagai muhaqqiq madzhab setelah zaman Ar-Rofii dan
An-Nawawi) telah menjelaskan bahwa pendapat yang menjadi patokan dalam
madzhab As-Sayfii adalah dilarangnya membangun di atas kuburan para
ulama dan sholihin.
Dalam Al-fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubroo Ibnu Hajar Al-Haitami ditanya :
وما قَوْلُكُمْ فَسَّحَ اللَّهُ في
مُدَّتِكُمْ وَأَعَادَ عَلَيْنَا من بَرَكَتِكُمْ في قَوْلِ الشَّيْخَيْنِ
في الْجَنَائِزِ يُكْرَهُ الْبِنَاءُ على الْقَبْرِ وَقَالَا في
الْوَصِيَّةِ تَجُوزُ الْوَصِيَّةُ لِعِمَارَةِ قُبُورِ الْعُلَمَاءِ
وَالصَّالِحِينَ لِمَا في ذلك من الْإِحْيَاءِ بِالزِّيَارَةِ
وَالتَّبَرُّكِ بها هل هذا تَنَاقُضٌ مع عِلْمِكُمْ أَنَّ الْوَصِيَّةَ لَا
تَنْفُذُ بِالْمَكْرُوهِ فَإِنْ قُلْتُمْ هو تَنَاقُضٌ فما الرَّاجِحُ
وَإِنْ قُلْتُمْ لَا فما الْجَمْعُ بين الْكَلَامَيْنِ؟
“Dan apa pendapat anda –semoga Allah
memperpanjang umar anda dan memberikan kepada kami bagian dari
keberkahanmu- tentang perkataan dua syaikh (*Ar-Rofi’I dan An-Nawawi)
dalam (*bab) janaa’iz : “Dibencinya membangun di atas kuburan”, akan
tetapi mereka berdua berkata dalam (*bab) wasiat : “Dibolehkannya
berwasiat untuk ‘imaaroh kuburan para ulama dan solihin karena untuk
menghidupkan ziaroh dan tabaaruk dengan kuburan tersebut”. Maka apakah
ini merupakan bentuk kontradiksi?, padahal anda mengetahui bahwasanya
wasiat tidak berlaku pada perkara yang dibenci. Jika anda mengatakan
perkataan mereka berdua kontradiktif maka manakah yang roojih (*yang
lebih kuat)?, dan jika anda mengatakan : “Tidak ada kontradikisi (*dalam
perkataan mereka berdua)”, maka bagaimana mengkompromikan antara dua
perkataan tersebut? (Al-Fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubro 2/17)
Maka Ibnu Hajr Al-Haitami Asy-Syafii rahimahullah menjawab :
الْمَنْقُولُ الْمُعْتَمَدُ كما جَزَمَ
بِهِ النَّوَوِيُّ في شَرْحِ الْمُهَذَّبِ حُرْمَةُ الْبِنَاءِ في
الْمَقْبَرَةِ الْمُسَبَّلَةِ فَإِنْ بُنِيَ فيها هُدِمَ وَلَا فَرْقَ في
ذلك بين قُبُورِ الصَّالِحِينَ وَالْعُلَمَاءِ وَغَيْرِهِمْ وما في
الْخَادِمِ مِمَّا يُخَالِفُ ذلك ضَعِيفٌ لَا يُلْتَفَتُ إلَيْهِ وَكَمْ
أَنْكَرَ الْعُلَمَاءُ على بَانِي قُبَّةِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رضي
اللَّهُ عنه وَغَيْرِهَا وَكَفَى بِتَصْرِيحِهِمْ في كُتُبِهِمْ إنْكَارًا
وَالْمُرَادُ بِالْمُسَبَّلَةِ كما قَالَهُ الْإِسْنَوِيُّ وَغَيْرُهُ التي
اعْتَادَ أَهْلُ الْبَلَدِ الدَّفْنَ فيها أَمَّا الْمَوْقُوفَةُ
وَالْمَمْلُوكَةُ بِغَيْرِ إذْنِ مَالِكِهَا فَيَحْرُمُ الْبِنَاءُ
فِيهِمَا مُطْلَقًا قَطْعًا إذَا تَقَرَّرَ ذلك فَالْمَقْبَرَةُ التي
ذَكَرَهَا السَّائِلُ يَحْرُمُ الْبِنَاءُ فيها وَيُهْدَمُ ما بُنِيَ فيها
وَإِنْ كان على صَالِحٍ أو عَالِمٍ فَاعْتَمِدْ ذلك وَلَا تَغْتَرَّ بِمَا
يُخَالِفُهُ
“Pendapat yang umum dinukil yang menjadi
patokan -sebagaimana yang ditegaskan (*dipastikan) oleh An-Nawawi dalam
(*Al-Majmuu’) syarh Al-Muhadzdzab- adalah diharamkannya membangun di
kuburan yang musabbalah (*yaitu pekuburan umum yang lokasinya adalah
milik kaum muslimin secara umum), maka jika dibangun di atas pekuburan
tersebut maka dihancurkan, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara
kuburan sholihin dan para ulama dengan kuburan selain mereka. Dan
pendapat yang terdapat di al-khoodim (*maksud Ibnu Hajar adalah sebuah
kitab karya Az-Zarkasyi, Khodim Ar-Rofi’i wa Ar-Roudhoh, wallahu a’lam)
yang menyelisihi hal ini maka lemah dan tidak dipandang. Betapa
sering para ulama mengingkari para pembangun kubah (*di kuburan) Imam
Asy-Syafii radhiallahu ‘anhu dan kubah-kubah yang lain. Dan
cukuplah penegasan para ulama (*tentang dibencinya membangun di atas
kuburan) dalam buku-buku mereka sebagai bentuk pengingkaran. Dan yang
dimaksud dengan musabbalah –sebagaimana yang dikatakan Al-Isnawiy dan
yang ulama yang lain- yaitu lokasi yang biasanya penduduk negeri
pekuburan. Adapun pekuburan wakaf dan pekuburan pribadi tanpa izin
pemiliknya maka diharamkan membangun di atas dua pekuburan tersebut
secara mutlaq. Jika telah jelas hal ini maka pekuburan yang disebutkan
oleh penanya maka diharamkan membangun di situ dan haurs dihancurkan apa
yang telah dibangun, meskipun di atas (*kuburan) orang sholeh atau
ulama. Jadikanlah pendapat ini sebagai patokan dan jangan terpedaya
dengan pendapat yang menyelisihinya. (al-Fataawaa al-Fiqhiyah al-Kubroo
2/17)
Ibnu Hajar Al-Haitami As-Syafii juga berkata :
وَوَجَبَ على وُلَاةِ الْأَمْرِ هَدْمُ
الْأَبْنِيَةِ التي في الْمَقَابِرِ الْمُسَبَّلَةِ وَلَقَدْ أَفْتَى
جَمَاعَةٌ من عُظَمَاءِ الشَّافِعِيَّةِ بِهَدْمِ قُبَّةِ الْإِمَامِ
الشَّافِعِيِّ رضي اللَّهُ عنه وَإِنْ صُرِفَ عليها أُلُوفٌ من
الدَّنَانِيرِ لِكَوْنِهَا في الْمَقْبَرَةِ الْمُسَبَّلَةِ وَهَذَا
أَعْنِي الْبِنَاءَ في الْمَقَابِرِ الْمُسَبَّلَةِ مِمَّا عَمَّ وَطَمَّ
ولم يَتَوَقَّهُ كَبِيرٌ وَلَا صَغِيرٌ فَإِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ
رَاجِعُونَ
“Dan wajib atas para penguasa untuk menghancurkan bangunan-bangunan yang terdapat di pekuburan umum. Sekelompok
ulama besar madzhab syafii telah berfatwa untuk menghancurkan kubah
(*di kuburan) Imam As-Syafi’i radhiallahu ‘anhu, meskipun telah
dikeluarkan biaya ribuan dinar (*untuk membangun kubah tersebut) karena
kubah tersebut terdapat di pekuburan umum. Dan perkara ini –maksudku
yaitu membangun di pekuburan umum- merupakan perkara yang telah
merajalela dan tidak menghindar darinya baik orang besar maupun orang
kecil” (al-Fataawa al-Fiqhiyah al-Kubroo 2/25)
Ibnu Hajar juga berkata
“Sebagaimana diisyaratkan riwayat (hadits) “Jika ada di antara mereka orang sholeh” Dari sini berkata para sahabat kami (*yaitu para ulama besar Syafi’iyah) : “Diharamkan sholat menghadap kuburan para nabi dan para wali untuk mencari barokah dan pengagungan“, mereka mensyaratkan dua perkara, yaitu: (1) kuburan orang yang diagungkan, (2) maksud dari sholat menghadapnya -dan yang menyerupainya sholat di atas kuburan- adalah mencari keberkahan dan pengagungan. Dan sangat jelas dari hadits-hadits yang telah disebutkan bahwa perbuatan ini termasuk dosa besar sebagaimana engkau telah mengetahuinya. Dan seakan-akan Nabi mengkiaskan terhadap hal ini seluruh bentuk pengagungan terhadap kuburan, seperti menyalakan lentera di atas kuburan dalam rangka pengagungan atau untuk mencari keberkahan. ” (Az-Zawaajir ‘an Iqtirof al-Kabair 1/155)
“Sebagaimana diisyaratkan riwayat (hadits) “Jika ada di antara mereka orang sholeh” Dari sini berkata para sahabat kami (*yaitu para ulama besar Syafi’iyah) : “Diharamkan sholat menghadap kuburan para nabi dan para wali untuk mencari barokah dan pengagungan“, mereka mensyaratkan dua perkara, yaitu: (1) kuburan orang yang diagungkan, (2) maksud dari sholat menghadapnya -dan yang menyerupainya sholat di atas kuburan- adalah mencari keberkahan dan pengagungan. Dan sangat jelas dari hadits-hadits yang telah disebutkan bahwa perbuatan ini termasuk dosa besar sebagaimana engkau telah mengetahuinya. Dan seakan-akan Nabi mengkiaskan terhadap hal ini seluruh bentuk pengagungan terhadap kuburan, seperti menyalakan lentera di atas kuburan dalam rangka pengagungan atau untuk mencari keberkahan. ” (Az-Zawaajir ‘an Iqtirof al-Kabair 1/155)
Kesimpulan :
Pertama : Para pemakmur kuburan yang banyak mengaku pengikut setia madzhab Asy-Syafii ternyata telah menyelisihi kesepakatan para ulama besar madzhab As-Syafii sebagaimana yang telah dinyatakan oleh An-Nawawi
Pertama : Para pemakmur kuburan yang banyak mengaku pengikut setia madzhab Asy-Syafii ternyata telah menyelisihi kesepakatan para ulama besar madzhab As-Syafii sebagaimana yang telah dinyatakan oleh An-Nawawi
Kedua : Jika ada
diantara mereka yang mengatakan bahwa sebagian ulama syafiiyah
membolehkan membangun di atas kuburan maka kita katakan :
- Pendapat ini menyelisihi kesepakatan ulama besar syafiiyah
- Pendapat ini bukanlah pendapat
yang mu’tamad (yang jadi patokan) dalam madzhab syafii, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Ibnu Hajr Al-Haitami. Maka siapakah yang lebih paham
dengan madzhab Asy-Syafii?, Imam An-Nawawi dan Ibnu Hajr Al-Haitami
ataukah para pemakmur kuburan dari tanah air kita sekarang ini??? Apalagi
bahwa Az-Zarkasyi dengan tegas menyebutnya sebagai perbuatan orang
Jahiliyah. Adakah yang lebih keras dari pernyataan Az-Zarkasyi ini?
- Taruhlah dalam madzhab
Asy-Syafi’i ada pendapat bolehnya membangun di atas kuburan, maka kita
katakan bahwasanya kita diperintahkan untuk mengikuti dalil. Dan ulama
tidaklah ada yang ma’shum (terbebas dari kesalahan). Allah telah
memerintahkan kita jika terjadi perselisihan untuk kembali kepada
Al-Qur’an dan Hadits. Dalil-dalil yang ada berdasarkan hadits-hadits
yang shahih yang jelas sejelas matahari di siang bolong telah melarang
untuk beribadah di kuburan.
Allah telah memerintahkan kita jika terjadi perselisihan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan hadits. Allah berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian
jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisaa : 59)
Ketiga : Para pembaca
yang dirahmati Allah, dalam artikel-artikel yang saya tulis untuk
menyanggah akidah dan keyakinan Habib Munzir dan para pemakmur kuburan,
saya sama sekali tidak menukil perkataan Muhammad bin Abdul Wahhaab
rahimahullah… bahkan saya menukil perkataan para ulama Syafi’iyah…!!!!,
Namun tatkala sebagian mereka tidak setuju dengan apa yang saya paparkan
dengan mudahnya mengatakan dan menuduh saya sebagai Wahabi.
Kenapa tidak sekalian saja mengatakan bahwa Imam As-Syafii dan Imam An-
Nawawi dan Ibnu Hajr Al-Haitamiy (yang tidak setuju dengan hobi mereka
memakmurkan dan mencari barokah dikuburan) juga adalah wahabi??!!,
(bersambung….)
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 07-11-1432 H / 05 Oktober 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer