Melipat pakaian jika sudah kering adalah perkara yang terpuji. Namun disana ada fenomena melipat, dan menyingsingkan pakaian yang tercela, yaitu ketika seorang hendak melaksanakan sholat.
Sebagian orang ada yang menyingsingkan lengan bajunya ketika berwudhu’, lalu ia lupa menurunkannya. Ada juga yang sengaja sebelum sholat, dalam sholat maupun luar, ia selalu melipat lengan bajunya, karena ia mengikuti gaya dan model trend yang dilakukan oleh sebagian orang-orang fasiq dari kalangan artis dan bintang film.
Kesalahan lain dalam sholat yang biasa dilakukan oleh sebagian orang, mereka melakukan sholat dengan memakai pakaian yang menampakkan pundaknya, seperti memakai singlet. Lebih parah lagi, jika seorang sholat hanya memakai sarung atau celana panjang, tanpa menutupi badannya bagian atas.
Nah, bagaimana hukum dan perinciannya menurut syari’at? Ikutilah pembahasan berikut agar para Penbaca yang budiman mengetahui hukumnya, lalu berusaha diamalkan, dan disampaikan kepada orang lain. Singkat kata, silakan baca berikut ini:

  • Melipat & Menyingsingkan Lengan Baju ketika Shalat

Diantara kesalahan sebagian orang yang melaksanakan shalat, mereka menyingsingkan pakaian sebelum masuk (melakukan) shalat. Perkara seperti ini dilarang dalam syari’at kita. Kita diperintahkan untuk membiarkan pakaian kita, tanpa harus ditahan, dan disingsingkan sebagaimana halnya orang berambut panjang diperintahkan agar rambutnya dibiarkan, tanpa disampirkan ke belakang.
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ وَلَا أَكُفَّ ثَوْبًا وَلاَ شَعْرًا
“Saya diperintahkan sujud di atas tujuh anggota badan, tidak menahan rambut dan tidak pula menahan pakaian”. [HR. Al-Bukhoriy (783), Muslim dalam Kitab Ash-Sholah (490), Abu Dawud (889 & 890), An-Nasa'iy dalam Kitab Ash-Sholah (1113), Ibnu Majah (1040), dan Ibnu Khuzaimah (782)]
Ibnu Khuzaimah-rahimahullah- membuatkan judul bagi hadits ini, Bab: Larangan Menahan Pakaian dalam Shalat”.[Lihat Shohih Ibnu Khuzaimah (1/383)]
Imam Nawawi-rahimahullah- berkata, “Para ulama telah sepakat tentang terlarangnya melakukan shalat sedang pakaian atau lengannya tersingsingkan”.[Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim(4/209)]
Al-Imam Malik telah berkata tentang orang yang shalat dalam keadaan menyingsingkan lengan pakaiannya, “Jika demikian keadaan pakaiannya dan kondisinya sebelum melakukan shalat, di mana dia sedang melakukan suatu perbuatan, yang menyebabkan ia menyingsingkan pakaiannya. Kemudian dia melakukan shalat dalam keadaannya itu, maka tidaklah mengapa dia shalat dalam kondisi demikian itu. Jika ia melakukannya semata-mata untuk menahan rambut dan pakaian itu, maka tidak ada kebaikan baginya”. [Lihat Al-Mudawwanah Al-Kubro (1/96)]
Apa yang dinyatakan oleh Al-Imam Malik -rahimahullah- disanggah oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman -hafizhahullah- ketika beliau berkata, “Lahiriahnya larangan itu bersifat muthlaq, baik dia menyingsingkannya untuk shalat maupun sebelumnya telah menyingsingkannya, lalu shalat dalam keadaan seperti itu”. [Lihat Al-Qoul Al-Mubin (hal. 43)]
Setelah An-Nawawi membicarakan tentang hal ini pada pembicaraan sebelumnya, dia berkata,“Larangan menyingsingkan pakaian adalah larangan makruh tanzih. Kalau dia shalat dalam keadaan seperti itu, berarti dia telah memperburuk shalatnya, meskipun shalatnya tetap sah. Dalam perkara itu, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thobariy berhujjah dengan ijma’ (kesepakatan) ulama. Sedangkan Ibnul Mundzir telah menyebutkan tentang pendapat wajibnya mengulangi shalatdari Al-Hasan Al-Basriy”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (4/209)]
Kemudian An-Nawawi-rahimahullah- berkata lagi, “Lalu madzhab jumhur (menjelaskan) bahwa larangan itu bersifat mutlak bagi orang yang shalat dalam keadaan seperti itu, baik dia sengaja melakukannya untuk shalat atau karena ada maksud lain. Ad-Dawudiy berkata, “Larangan itu dikhususkan bagi orang yang melakukan untuk shalat. Sedangkan pendapat yang shahih adalah pendapat yang pertama. Itulah lahiriah pendapat yang ternukil dari sahabat atau yang lainnya”. [LihatSyarh Shohih Muslim (4/209)]
Jadi, menyingsingkan lengan baju hukumnya terlarang, baik ia singsingkan karena mau sholat; ataukah ia singsingkan sebelum sholat saat ia kerja, lalu ia biarkan tersingsingkan dalam sholat. Pokoknya, terlarang secara muthlaq !
  • Shalat dalam Keadaan Kedua Bahu Terbuka

Diantara adab yang perlu dijaga oleh seorang muslim saat hendak sholat, ia memakai baju yang sopan, dan sesuai syari’at, karena ia akan bermunajat dengan Allah Robbul alamin. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لَا يُصَلِّيْ أَحَدُكُمْ فِيْ الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقَيْهِ مِنْهُ شَيْءٌ
“Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan satu pakaian, sehingga tidak ada sedikitpun pakaian yang menutupi kedua bahunya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (359), dan Muslim dalam Shohih-nya (516)]
Ibnu QudamahAl-Maqdisiy -rahimahullah- berkata, “Orang yang shalat, wajib meletakkan suatu pakaian di atas bahunya, jika dia mampu menutupinya. Ini adalah pendapat Ibnul Mundzir. Disebutkan dari Abu Ja’far (ia berkata), “Sesungguhnya shalat itu tidak memenuhi bagi siapa yang tidak menutupi kedua bahunya. Kebanyakan fuqaha berkata,“Yang demikian itu tidak wajib dan bukan menjadi syarat sahnya shalat. Ini pendapat Malik, as-Syafi’iy dan yang lainnya, sebab keduanya bukan aurat. Maka anggota badan yang lain diserupakan dengannya”. [Lihat Al-Mughni(1/618)]
Larangan yang ada pada hadits yang lalu mengharuskan pengharaman hal itu, dan diutamakan di atas qiyas. Sedangkan madzhab jumhur mengatakan, “Tidak membatalkan shalatnya”. Tetapi mereka berkata, “Larangan ini adalah untuk menyatakan makruh, bukan larangan haram. Maka kalau seseorang shalat dengan satu pakaian yang telah menutupi auratnya, meskipun tidak ada satu pun pakaian yang menutupi bahunya, shalatnya tetap sah dan perbuatan itu dibenci (makruh), baik dia mampu menjadikan sesuatu sebagai penutup bahunya ataupun tidak”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (4/232)]
Al-Kirmaniy -rahimahullah- telah keliru, karena dia mendakwakan adanya ijma’ tentang bolehnya tidak menutupi bahu (dalam shalat)!!! [Lihat Fath Al-Bari (1/472)]
Perkataannya terbantah oleh madzhab Ahmad dan Ibnul Mundzir –sebagaimana yang telah kami jelaskan- dan sebagian ulama salaf, serta kelompok yang sedikit dan sebagian ahli ilmu. [LihatSyarh Shohih Muslim (4/232), Al-Majmu' (3/175), dan Jami' At-Tirmidziy (1/168)]
Ibnu Hajar Al-Asqolaniy-rahimahullah- telah memberikan komentar terhadap pernyataan Al-Kirmaniy seraya berkata, “Demikianlah yang dikatakan oleh Al-Kirmaniy!! Dia telah lupa terhadap penjelasan yang baru disebutkan dari An-Nawawi tentang keterangan yang telah kami nukilkan dari Ahmad. Sesungguhnya Ibnul Mundzir telah menukil dari Muhammad bin ‘Ali tentang larangan tidak menutupinya. Ucapan At-Tirmidziy juga menunjukkan adanya khilaf (perbedaan). Ath-Thahawiy membuatkan bab tentang hal ini dalam Syarhul Ma’aniy[1/377] dan menukil adanya larangan dalam perkara itu dari Ibnu Umar, kemudian dari Thawus dan An-Nakha’iy. Selain Ath-Thohawiy telah menukilkan dari Ibnu Wahb dan Ibnu Jarir. Syaikh Taqiyuddin As-Subkiy telah menukil tentang wajibnya perkara itu dari teks ucapan Asy-Syafi’iy dan dia telah memilihnya. Tetapi yang telah diketahui dalam kitab-kitab Asy-Syafi’iyyah bukan itu”. [Lihat Fath Al-Bari (1/472)]
Al-Qodhi-rahimahullah- telah berkata, “Sungguh telah ternukil riwayat dari Ahmad yang menunjukkan bahwa perkara tersebut tidak termasuk syarat shalat dan dia telah mengambil pendapat itu dari riwayat Mutsanna dari Ahmad tentang orang yang shalat memakai sirwal (celana lebar) dan pakaiannya menutupi salah satu dari kedua bahunya, dan yang lainnya terbuka, “Dimakruhkan”. Lalu ditanyakan kepada beliau, “Dia disuruh mengulangi (sholatnya)?” Maka beliau tidak berpendapat wajibnya mengulangi shalat.
Jawaban ini mengandung kemungkinan, bahwa dia tidak berpendapat wajibnya mengulangi shalat, karena orang itu telah menutupi sebagian dari kedua bahunya. Maka dicukupkan menutupi salah satu dari kedua bahunya, karena dia telah menjalankan lafazh hadits tersebut.”
Sisi persyaratan dari pendapat ini: sesungguhnya dia dilarang shalat dalam keadaan kedua bahunya terbuka. Larangan itu mengandung adanya kerusakan pada sesuatu yang dilarang, karena menutupinya adalah perkara yang wajib dalam shalat. Maka membiarkannya terbuka akan merusak shalatnya. Sebagaimana hukum menutupi aurat”. [Lihat Al-Mughni 1/619]
Akan tetapi, tentunya tidak wajib menutupi kedua bahu seluruhnya; sebaliknya cukup menutupi sebagiannya. Demikian juga cukup menutupi kedua bahu dengan pakaian tipis, yang menampakkan warna kulit, karena kewajiban menutupi keduanya berdasarkan hadits tersebut bisa terjadi dalam keadaan ini serta keadaan sebelumnya, maksudnya: baik dia menutupkan pakaian pada kedua bahunya atau tidak. [Lihat Al-Mughni (1/619)]
Sungguh kami telah sebutkan teks dari Imam Ahmad tentang orang yang shalat dalam keadaan salah satu dari kedua bahunya terbuka, maka dia tidak berpendapat wajibnya mengulangi shalat.
Dalam hal ini para fuqaha berkata, “Jika seseorang melekatkan tali atau yang sejenisnya pada bahunya, apakah telah mencukupi?”
Lahiriah pendapat Al-Khiroqiy-rahimahullah- yang berbunyi, “Jika di atas bahunya ada sedikit pakaian,” tidak mencukupinya. Karena perkataannya: “…sedikit pakaian”, sedang tali seperti ini tidak dinamakan pakaian.
Inilah pendapat Al-Qadhi Abu Ya’laa. Sedang Ibnu Qudamah membenarkannya seraya berkata,“Yang benar, yang demikian itu tidak mencukupinya, karena nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فِيْ ثَوْبٍ فَلْيُخَالِفْ بِطَرَفَيْهِ عَلَى عَاتِقَيْهِ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat dengan satu pakaian, maka hendaklah dia menyilangkan di antara kedua tepinya di atas kedua bahunya.” [HR. Abu Dawud (627)]
Karena perintah meletakkan kain pada kedua bahu untuk menutupinya. Maka tidak cukup hanya dengan menempelkan tali dan itu tidak dinamakan sebagai penutup”. [Lihat Al-Mughni (1/620)]
Dari sini, diketahuilah kesalahan sebagian orang yang shalat, khususnya shalat pada musim panas, dengan memakai pakaian singlet yang bertali kecil, diletakkan pada bahunya.
Shalat mereka dalam keadaan seperti ini adalah batal menurut mazhab Hambali dan sebagian ulama salaf. Sedangkan menurut pendapat jumhur (kebanyakan ulama’) hukumnya makruh(dibenci). Keadaan mereka seperti ini, jika tidak terjatuh dalam kesalahan tersebut, maka mereka terjatuh dalam kesalahan shalat dengan memakai pakaian ketat yang membentuk aurat, atau dengan pakaian transfaran yang menampakkan warna kulit badan sebagaimana hal ini telah dijelaskan pada edisi yang telah lewat.
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 66 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers