Mengkaji hal-hal yang sifatnya
ghaib seperti turunnya Nabi Isa di akhir zaman, tentu tak luput dari pro dan
kontra. Karena sebagai bagian dari ranah keimanan, tentu itu semua tak bisa
ditelisik hanya dengan mengandalkan indera manusia yang terbatas. Siapa yang
tak mampu menundukkan akalnya di bawah kendali keimanan, niscaya ia akan berada
di barisan pasukan pengingkar.
PENGINGKAR
TURUNNYA AL-MASIH ISA
Di antara bentuk penyimpangan
aqidah adalah pengingkaran atau tidak mengimani akan turunnya Isa. Pengingkaran
ini bisa dilakukan secara individual semacam yang dilakukan oleh Mahmud
Syaltut, guru besar Universitas Al-Azhar, Mesir[1], atau secara kelompok
seperti sebagian kelompok Mu’tazilah serta orang-orang filsafat dan atheis.
(Iqamatul Burhan hal. 6)
Di antara alasan mereka dalam
mengingkari turunnya Isa adalah:
•
BAHWA HADITS-HADITS DALAM HAL ITU PALSU DAN TIDAK MASUK AKAL.
Jawab: Bahwa hadits-hadits dalam
hal ini sangat banyak. Bahkan para ulama menggolongkannya sebagai hadits
mutawatir. Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri mengatakan bahwa jumlahnya mencapai
lebih dari 50 hadits. Mayoritasnya shahih dan sebagian lagi hasan. Adapun
anggapan tidak masuk akal, Asy-Syaikh At-Tuwaijiri juga telah menyanggahnya.
Beliau mengatakan: “Adapun nalar yang lurus dan akal sehat yang selalu berjalan
bersama kebenaran ke mana kebenaran itu mengarah, niscaya tidak akan ragu-ragu
dalam menerima kebenaran yang datang dari Kitabullah atau yang secara mutawatir
datang dari hadits Rasulullah dalam hal turunnya Al-Masih (Isa) di akhir zaman.
Tapi nalar yang melenceng serta akal yang rusak, tidak akan segan-segan menolak
kebenaran. Sehingga akal yang rusak serta pengusungnya itu tidak perlu
diperhitungkan.”
•
SYUBHAT: TURUNNYA ISA ITU MUSTAHIL, KARENA NABI MUHAMMAD ADALAH PENUTUP PARA
NABI DENGAN NASH AL-QUR`AN.
Jawab: Bahwa turunnya Isa di akhir
zaman tidaklah membawa syariat yang baru. Tidak pula berhukum dengan Injil.
Namun berhukum dengan syariat Allah dan Sunnah Rasulullah. Dan ia menjadi salah
satu umat ini (seperti pada hadits-hadits yang lalu, -pent.). Al-Imam Ahmad
meriwayatkan dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan
Muslim dari Samurah bin Jundub bahwa Nabi Allah dahulu mengatakan:
“Bahwa Dajjal pasti keluar –lalu
beliau melanjutkan haditsnya, dalam hadits itu–. Lalu datanglah Isa bin Maryam
membenarkan Muhammad dan di atas agama Muhammad, kemudian setelah itu tegaklah
hari kiamat.” (HR. Ath-Thabarani, dan Al-Haitsami mengatakan: “Para rawinya
adalah para rawi kitab Shahih.”) [Iqamatul Burhan, At-Tuwaijiri]
•
SYUBHAT: SEANDAINYA TURUNNYA ISA ITU TERMASUK PRINSIP IMAN, TENTU ITU AKAN
DISEBUT DALAM AL-QUR`AN DENGAN TEGAS.
Jawab: Semua yang telah shahih
dari Nabi, sesuatu yang telah beliau beritakan akan terjadi, wajib kita imani.
Dan ini merupakan realisasi dari syahadat Muhammad Rasulullah. Dan realisasi
ini termasuk prinsip iman, di mana seseorang tidak menjadi seorang mukmin yang
terlindungi darah dan hartanya hingga merealisasikan persaksian kerasulan
Muhammad, berdasarkan sabda beliau:
“Aku diperintahkan untuk
memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah yang benar kecuali
Allah, serta beriman denganku dan dengan apa yang aku bawa. Bila mereka
melakukan itu maka mereka telah melindungi dariku darah dan harta mereka,
kecuali dengan haknya. Dan hisabnya diserahkan kepada Allah.” (Shahih, HR.
Muslim dari Abu Hurairah)
Dan telah shahih dari Nabi bahwa
beliau memberitakan akan munculnya Mahdi di akhir zaman, keluarnya Dajjal,
serta turunnya Isa. Sehingga wajib mengimani hal itu sebagai bentuk bukti
pembenaran terhadap firman Allah:
“Dan tiadalah yang diucapkannya
itu (Al-Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya.” (An-Najm: 3-4)
Dan sebagai pengamalan terhadap
firman-Nya:
“…Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)
•
SYUBHAT: BERITA-BERITA SEMACAM INI AKAN MEMBUKA PINTU BAGI MANUSIA UNTUK
MENGAKU-NGAKU BAHWA DIRINYA MAHDI ATAU BAHKAN AL-MASIH IBNU MARYAM.
Jawab: Berita-berita dari Nabi
yang shahih, tidak bisa ditolak dengan alasan kemungkinan-kemungkinan serta
argumen yang tidak tepat semacam ini. Bahkan harus dipercayai dan diterima,
meskipun ada yang tergoda dengan kandungannya (sehingga mengaku-ngaku, -pent.).
Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk mengatakan kepada manusia:
“Dan supaya aku membacakan
Al-Qur`an (kepada manusia). Maka barangsiapa yang mendapat petunjuk maka
sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan
barangsiapa yang sesat maka katakanlah: ‘Sesungguhnya aku (ini) tidak lain
hanyalah seorang pemberi peringatan’.” (An-Naml: 92)
Demikianlah cara menyikapi
berita-berita yang shahih dari Nabi, yakni disambut dengan sikap menerima dan
percaya. Serta tidak perlu menoleh kepada ahlul fitnah yang menyelewengkan
maknanya, tidak sesuai dengan yang semestinya dan menerapkannya tidak pada
tempatnya… Dan barangsiapa mengaku bahwa dirinya adalah Al-Masih Ibnu Maryam
sementara Dajjal belum keluar maka dia adalah seorang pendusta. Dan Al-Masih
Ibnu Maryam itu punya dua tanda yang tidak dimiliki oleh manusia yang lain:
1. Bahwa ia membunuh Dajjal,
sebagaimana dalam hadits yang mutawatir.
2. Bahwa tidak mungkin bagi
seorang kafir yang mendapatkan desah nafasnya kecuali pasti mati. Sedangkan
nafasnya berakhir ke mana berakhirnya pandangannya, seperti dalam hadits
An-Nawas bin Sam’an yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, At-Tirmidzi, dan Ibnu
Majah. At-Tirmidzi mengatakan: “Gharib, hasan shahih.”
Dengan dua tanda ini, terkuburlah
segala harapan bagi setiap pendusta yang mengaku-aku dirinya adalah Al-Masih
Ibnu Maryam. (Diringkas dari kitab Iqamatul Burhan, hal. 11-27 karya Asy-Syaikh
Hamud At-Tuwaijiri)
AHMADIYYAH
Golongan
lain yang menyeleweng dalam hal keimanan akan turunnya Al-Masih Ibnu Maryam
adalah Ahmadiyyah. Aliran yang diprakarsai oleh seorang bernama Mirza Ghulam
Ahmad Al-Qadyani ini mengklaim bahwa dirinyalah sesungguhnya yang dijanjikan
dalam hadits-hadits akan turunnya Isa Ibnu Maryam. Namun karena tahu bahwa
dirinya bukanlah Al-Masih Ibnu Maryam maka dia menciptakan suatu doktrin bagi
pengikutnya bahwa Al-Masih Ibnu Maryam telah mati. Ini dia lakukan demi
mencapai sebuah sasaran, yakni bahwa sebenarnya yang muncul bukanlah Al-Masih,
tapi orang yang menyerupainya. Siapa dia? Tentu yang dia maksudkan adalah
dirinya.
Bantahan:
Amat mudah sebenarnya mengungkap
kedustaan mereka dan membantah pembodohan mereka terhadap umat. Saya nyatakan,
mereka tentunya mengimani hadits-hadits yang menerangkan akan turunnya Isa.
Jika tidak, bagaimana mungkin mereka mengklaim bahwa yang dijanjikan dalam
hadits adalah orang yang menyerupai Al-Masih.
Dan sejak awal langkah, akan
hancurlah proklamasi mereka bahwa Mirza-lah yang dijanjikan dalam hadits.
Karena jikalau mereka mengimani hal itu, semestinya pula mereka beriman dengan
sifat-sifat fisik Al-Masih, bagaimana peristiwa turunnya, misi yang diembannya,
serta kondisi alam pada zamannya. Termasuk dua hal yang disebut oleh
At-Tuwaijiri di atas, bahwa ia membunuh Dajjal dan bahwa setiap orang kafir
yang mendapati desah nafasnya pasti akan mati.
Apakah ini terjadi pada Mirza
Ghulam Ahmad Al-Qadyani, bila ia benar-benar orang yang dijanjikan dalam
hadits? Tentu setiap orang tahu –termasuk Mirza sendiri– bahwa itu semua tidak
terjadi pada dirinya…. Demikian pula kata-kata “turun” yang tidak menunjukkan
adanya kematian, mereka takwil. Sehingga tidak mereka imani apa adanya, bahkan
mereka selewengkan kepada makna lain, semacam “keluar” atau “kebangkitan”.
Adapun anggapan mereka bahwa Nabi
Isa telah wafat, tidak diangkat kepada Allah, tentu ini juga merupakan
kebatilan yang nyata. Melalui pembahasan sebelumnya, pembaca dapat menakar
seberapa nilai keyakinan ini.
Namun mereka berupaya
melegitimasi keyakinan tersebut dengan ayat yang mereka selewengkan maknanya.
Di antaranya:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ
رَسُوْلٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ
انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah
seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah
jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)?” (Ali ‘Imran:
144)
Mereka
anggap bahwa para nabi seluruhnya telah wafat atas dasar makna (خَلَتْ) yakni yang
telah mati. Dan bahwa Abu Bakr berdalil dengan ayat ini atas kematian Nabi
Muhammad karena para nabi sebelumnya telah mati. Para sahabat juga berijma’
atas kematian Nabi Muhammad dan seluruh rasul sebelumnya.
Jawab: Seandainya kita terima
bahwa (خَلَتْ) bermakna mati, maka dalil-dalil yang lain menunjukkan
pengkhususan Isa dari hukum ini. Artinya mereka semua mati terkecuali Isa.
Lalu, siapakah yang menukilkan “ijma’ para sahabat” bahwa mereka sepakat atas
kematian seluruh nabi termasuk Nabi Isa? Bukankah ini semata-mata kedustaan?
إِذْ قَالَ اللهُ يَا
عِيْسَى إِنِّي مُتَوَفِّيْكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِيْنَ
كَفَرُوْا وَجَاعِلُ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْكَ فَوْقَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأَحْكُمُ بَيْنَكُمْ فِيْمَا
كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: ‘Hai ‘Isa, sesungguhnya Aku
akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta
membersihkan kamu dari orang-orang kafir, dan menjadikan orang-orang yang
mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian
hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal
yang selalu kamu berselisih padanya.” (Ali ‘Imran: 55)
Mereka
mengatakan bahwa Ibnu Abbas menafsirkan kata (مُتَوَفِّيكَ) “mewafatkanmu” yakni mematikanmu.
Jawab: Bahwa maksud Ibnu Abbas
adalah mewafatkannya di akhir zaman setelah turunnya. Yang semakin menguatkan
hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Ishaq bin Bisyr dan Ibnu ‘Asakir dari
Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini. Beliau katakan: “Allah mengangkatmu
kemudian mewafatkanmu di akhir zaman.” (lihat Ad-Dur Al-Mantsur, 2/36)
Dan Ibnu Abbas sendirilah yang
menjelaskan maksud ucapannya, tidak memerlukan orang-orang Ahmadiyyah untuk
menyelewengkan ucapannya menuruti keinginan mereka. Demikian pula
riwayat-riwayat lain dari beliau yang menunjukkan keimanan tentang diangkatnya
Isa dan akan turunnya beliau. Seperti tafsir beliau terhadap ayat 61 dari surat
Az-Zukhruf: “Sungguh itu adalah tanda untuk datangnya hari kiamat.” Beliau
katakan: “Yakni munculnya Isa bin Maryam sebelum hari kiamat.” (HR. Al-Imam
Ahmad)
Kemudian kata (مُتَوَفِّيكَ)
“mewafatkanmu” dalam penggunaan bahasa Arab yaitu bahasa Al-Qur`an, tidak
terbatas pada “kematian”. Bahkan bisa berarti “mengambil atau menangkap”,
terkadang juga bermakna “menidurkan”. Ibnu Taimiyyah menjelaskan: “Adapun
firman Allah:
“(Ingatlah), ketika Allah
berfirman: ‘Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir
ajalmu, mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang
kafir’.” (Ali Imran: 55)
justru menunjukkan bahwa Allah
tidak memaksudkan dengan kata (مُتَوَفِّيكَ) adalah mati. Kalau yang Allah maksudkan
adalah kematian, tentu dalam hal ini Isa sebagaimana mukminin yang lain, karena
sesungguhnya Allah ambil arwah mereka dan Allah angkat menuju langit. Dengan
itu diketahui, tidak ada keistimewaan (pada Nabi Isa kalau begitu, pent.)…
Padahal pada ayat yang lain, Allah berfirman:
“Dan karena ucapan mereka:
‘Sesungguhnya Kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah’,
padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang
mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya
orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan
tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang
dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin
bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah
mengangkat Isa kepada-Nya….” (An-Nisa`: 157-158)
Firman Allah di sini “Allah
mengangkatnya kepada-Nya” menerangkan bahwa ia diangkat dengan jasad dan
rohnya. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa makna: (مُتَوَفِّيكَ) adalah
“mengambilmu”[2] yakni mengambil roh dan badanmu… Dan terkadang bermakna
menidurkan seperti firman-Nya:
اللهُ
يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا
“Allah memegang jiwa (orang)
ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.”
(Az-Zumar: 42)
وَهُوَ الَّذِي
يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ ثُمَّ
يَبْعَثُكُمْ فِيهِ لِيُقْضَى أَجَلٌ مُسَمًّى ثُمَّ إِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ
يُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Dialah yang menidurkan kamu
di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari,
kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur (mu)
yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia
memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.” (Al-An’am: 60) [Majmu’
Fatawa, 4/322-323]
Ahmadiyyah
mengatakan bahwa maksud diangkatnya Isa adalah diangkat derajatnya. Allah
mengangkat derajatnya dan Allah angkat rohnya sebagaimana arwah kaum mukminin.
Seperti Nabi Idris:
“Dan
ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam
Al-Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang
nabi. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (Maryam: 56-57)
Jawab: Tentang Idris, para ulama
memiliki beberapa tafsir tentang ayat itu. Di antara para ulama mengatakan
bahwa Allah mengangkatnya ke langit dalam keadaan hidup lalu meninggal padanya.
Dan ini tafsiran Ibnu Abbas, Mujahid, dan selain keduanya dari ulama salaf. Dengan
tafsir ini maka ayat ini justru menjadi dalil yang mematahkan pendapat mereka.
Yang lain berpendapat diangkatnya
derajat Nabi Idris di dalam surga, dan tanpa diragukan, bahwa itu dengan jasad
dan rohnya. Lalu seandainya pun ayat yang berkaitan dengan Idris itu artinya
terangkatnya derajat, tidak mesti berarti demikian pada ayat yang berkaitan
dengan Isa. Karena tentang Isa sangat jelas bahwa maksudnya adalah terangkatnya
roh dan jasad dengan alasan:
Allah mengatakan: “Dan
mengangkatmu kepada-Ku”, “Bahkan Allah mengangkatnya kepada-Nya.” Dan sesuatu
yang telah tetap/pasti dan disepakati kaum muslimin bahwa Allah berada pada
ketinggian. Sehingga arti diangkat kepadanya adalah ke langit. Berbeda dengan
ayat yang berkaitan dengan Idris “Dan kami mengangkatnya pada tempat yang
tinggi” (tidak ada kata-kata “kepada-Ku” atau “kepada-Nya”). Tentu orang yang
sedikit saja tahu bahasa Arab akan mengetahui perbedaan kedua susunan kalimat
itu.
Seandainya pun –kita mengalah
dalam diskusi– bahwa ayat tidak menunjukkan diangkatnya jasad Isa ke langit,
namun hadits-hadits sendiri dengan tegas menunjukkan demikian dan jumlahnya
sangat banyak. Lantas apa keistimewaan Isa kalau dikatakan seperti layaknya
muslimin yang lain?
Dalam ayat An-Nisa 157-158 di
atas terdapat dalil yang sangat jelas bagaikan terangnya matahari menunjukkan
apa yang telah dijelaskan dan yang diimani kaum mukminin. Firman-Nya: “Bahkan
Allah mengangkatnya kepada-Nya” menunjukkan diangkatnya roh dan jasad.
Seandainya Allah memaksudkan kematian, tentunya akan dikatakan: “Tidaklah
mereka membunuhnya dan tidaklah mereka menyalibnya… bahkan ia mati.” (Lihat
At-Taudhih li Ifkil Ahmadiyyah fi Za’mihim Wafatal Masih, karya Shalih bin
Abdul ‘Aziz As-Sindi)
Wallahu a’lam bish shawab.
Catatan kaki:
[1] Dalam buku kumpulan fatwanya
hal. 59-82. Lihat Asyrathus Sa’ah hal. 349, Ash-Shahihah no. 1529.
[2] Bukan “mewafatkanmu”.
Sumber: http://asysyariah.com/syubhat-dan-bantahan-seputar-turunnya-nabi-isa.html
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer