Assalamu‘alaikum.
Saya pernah mendengar bahwa anak di luar nikah tidak boleh menjadi imam dalam shalat selagi ada orang lain yang bukan anak di luar nikah yang mampu menjadi imam. Apa benar demikian? Jika benar atau tidak benar apa dasar syar’i-nya? Atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu‘alaikum.Dari Pembaca As-Sunnah di Binjai – Sumatra Utara
62819730xxxxx
62819730xxxxx
JAWABAN :
Sesungguhnya syari’at Islam telah menjelaskan dengan lengkap tentang orang yang lebih berhak menjadi imam dalam shalat jama’ah. Dalam sebuah hadits dijelaskan:
Dari Abu Mas’ûd al-Anshâri, dia berkata:
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Yang (paling berhak) menjadi imam pada satu kaum
adalah yang paling banyak membaca (menghafal) terhadap al-Qur’ân.
Jika mereka sama dalam bacaan (hafalan),
maka yang paling berilmu terhadap Sunnah (Hadits).
Jika mereka sama di dalam Sunnah, maka yang paling dahulu berhijrah.
Jika mereka sama di dalam hijrah, maka yang paling dahulu masuk Islam
(di dalam riwayat lain: yang paling tua umurnya).
Seorang laki-laki janganlah menjadi imam di dalam wilayah kekuasaan laki-laki lain,
dan janganlah dia duduk di atas permadani/tempat duduk khusus orang lain di dalam rumahnya,
kecuali dengan idzinnya”.
(HR. Muslim, no: 673; Abû Dâwud, no: 584; Ibnu Mâjah, no: 980; an- Nasâi, no: 780)
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Yang (paling berhak) menjadi imam pada satu kaum
adalah yang paling banyak membaca (menghafal) terhadap al-Qur’ân.
Jika mereka sama dalam bacaan (hafalan),
maka yang paling berilmu terhadap Sunnah (Hadits).
Jika mereka sama di dalam Sunnah, maka yang paling dahulu berhijrah.
Jika mereka sama di dalam hijrah, maka yang paling dahulu masuk Islam
(di dalam riwayat lain: yang paling tua umurnya).
Seorang laki-laki janganlah menjadi imam di dalam wilayah kekuasaan laki-laki lain,
dan janganlah dia duduk di atas permadani/tempat duduk khusus orang lain di dalam rumahnya,
kecuali dengan idzinnya”.
(HR. Muslim, no: 673; Abû Dâwud, no: 584; Ibnu Mâjah, no: 980; an- Nasâi, no: 780)
Inilah urutan orang yang berhak menjadi imam shalat. Pertama, orang yang paling banyak hafalan al-Qur’ân; kedua, orang yang paling berilmu terhadap Sunnah (Hadits; agama); ketiga, orang yang paling dahulu berhijrah; keempat, orang yang paling dahulu masuk Islam, atau yang paling tua umurnya. Namun didahulukan orang yang paling banyak bacaan (hafalan) terhadap al-Qur’ânnya dengan syarat dia memahami perkara-perkara yang harus diketahui dalam urusan shalat. Jika dia tidak memahami hal itu, maka dia tidak diajukan sebagai imam, menurut kesepakatan Ulama’. [1]
Urut-urutan imam di atas juga berlaku jika tidak ada imam tetap. Jika ada, maka imam tetap itu yang lebih berhak menjadi imam, berdasarkan sabda Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam di atas (‘Seorang laki-laki janganlah menjadi imam pada laki-laki lain di dalam kekuasaannya’).
Adapun anggapan, anak yang lahir di luar nikah tidak berhak menjadi imam shalat selama ada orang lain yang mampu menjadi imam, maka –sepengetahuan kami wallahu a’lam– anggapan ini tidak ada dalilnya. Setelah menjelaskan tentang kriteria yang berhak menjadi imam shalat sebagaimana keterangan hadits di atas, Syaikh ‘Adil bin Yusuf al-’Azzâz berkata:
“Adapun keterangan yang terdapat di dalam sebagian kitab fikih, berupa kriteria-kriteria lain, seperti perkataan mereka: '(Orang yang paling berhak menjadi imam adalah) orang yang paling mulia, atau orang yang paling tampan, atau orang yang paling takwa', atau semacam itu, maka hal itu tidak ada dalilnya”.[2]
[1] | Lihat Fathul Bâri 2/171 |
[2] | Lihat Tamâmul Minnah, 1/292, karya beliau, Muassasah Qurthubah. |
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer