1.Pertanyaan:
Apa hukum berpegangan tangan dengan istri di tempat umum?
Jawaban:
Saling menggenggam tangan bersama istri di tempat umum, jika tujuannya untuk bermesraan maka tidak selayaknya dilakukan, karena telah menghilangkan rasa malu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Malu itu salah satu cabang iman.” (Muttafaq ‘alaihi), dalam riwayat Bukhari, “Rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan“, dalam riwayat Muslim disebutkan, “Rasa malu itu semuanya baik.” Keadaan ini jika perbuatan semacam ini (bergandengan tangan) tidak termasuk kebiasaan masyarakat setempat. Namun jika sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat, maka dibolehkan. Meskipun berusaha menghindari hal ini termasuk citra orang yang terhormat. Para ulama menegaskan bahwa mencium istri di depan umum merupakan sebab penghilang kewibawaan. Al-Bajirami mengatakan, “Mencium wanita, meskipun itu mahramnya di malam kebahagiannya, dengan dilihat banyak orang atau wanita lain telah menggugurkan sifat keadilan (kehormatan status dalam agama), karena ini menunjukkan sikapnya yang rendah, meskipun al-Bulqini mendiamkannya”.
Sumber: Diterjemahkan dari Fatawa Syabakah Islamiyah, dibawah bimbingan Dr. Abdullah al-Faqih, no. 65794
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
2.Pertanyaan:Apa hukum berpegangan tangan dengan istri di tempat umum?
Jawaban:
Saling menggenggam tangan bersama istri di tempat umum, jika tujuannya untuk bermesraan maka tidak selayaknya dilakukan, karena telah menghilangkan rasa malu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Malu itu salah satu cabang iman.” (Muttafaq ‘alaihi), dalam riwayat Bukhari, “Rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan“, dalam riwayat Muslim disebutkan, “Rasa malu itu semuanya baik.” Keadaan ini jika perbuatan semacam ini (bergandengan tangan) tidak termasuk kebiasaan masyarakat setempat. Namun jika sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat, maka dibolehkan. Meskipun berusaha menghindari hal ini termasuk citra orang yang terhormat. Para ulama menegaskan bahwa mencium istri di depan umum merupakan sebab penghilang kewibawaan. Al-Bajirami mengatakan, “Mencium wanita, meskipun itu mahramnya di malam kebahagiannya, dengan dilihat banyak orang atau wanita lain telah menggugurkan sifat keadilan (kehormatan status dalam agama), karena ini menunjukkan sikapnya yang rendah, meskipun al-Bulqini mendiamkannya”.
Sumber: Diterjemahkan dari Fatawa Syabakah Islamiyah, dibawah bimbingan Dr. Abdullah al-Faqih, no. 65794
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Bagaimanakah cara menentukan bahwa kita ini musafir atau tidak?
Jawaban:
“Musafir atau tidak, itu kembali kepada ukuran ‘urf (adat, kebiasaan yang dikenal masyarakat). Misalnya, bila ‘urf masyarakat di sini menganggap bahwa orang yang pergi ke Jakarta adalah Musafir, maka pada saat itu ia boleh meng-qashar dan menjamak salat.
Bila ada satu kota yang berjarak 100 km dari Malang, dan ‘urf menunjukkan bahwa perjalanan ke tempat tersebut termasuk safar, maka ia dianggap sebagai musafir. Jadi, tidak dibatasi oleh ukuran kilometer.
Orang yang membatasi jarak minimal dengan 80 km, tidak memiliki dalil yang tegas. Sehingga, permasalahan ini harus dikembalikan ke standar ‘urf. Bisa saja, misalnya, seseorang berjalan dengan mengendarai mobil selama satu jam, tetapi (ia) tidak dianggap sebagai musafir sebab hanya berputar-putar di dalam kota. Kemudian, ada orang lain yang berjalan satu jam keluar dari kotanya dengan mobil, selama satu jam atau satu setengah jam. Jika masyarakat menganggapnya sedang bersafar maka ia (disebut) musafir, begitu pula sebaliknya.” (Syekh Muhammad Musa Alu Nashr)
Sumber: Majalah As-Sunnah, Edisi 11, Tahun VIII, 1425 H/2004 M.
Dengan pengeditan oleh redaksi www.KonsultasiSyariah.com
Jawaban:
“Musafir atau tidak, itu kembali kepada ukuran ‘urf (adat, kebiasaan yang dikenal masyarakat). Misalnya, bila ‘urf masyarakat di sini menganggap bahwa orang yang pergi ke Jakarta adalah Musafir, maka pada saat itu ia boleh meng-qashar dan menjamak salat.
Bila ada satu kota yang berjarak 100 km dari Malang, dan ‘urf menunjukkan bahwa perjalanan ke tempat tersebut termasuk safar, maka ia dianggap sebagai musafir. Jadi, tidak dibatasi oleh ukuran kilometer.
Orang yang membatasi jarak minimal dengan 80 km, tidak memiliki dalil yang tegas. Sehingga, permasalahan ini harus dikembalikan ke standar ‘urf. Bisa saja, misalnya, seseorang berjalan dengan mengendarai mobil selama satu jam, tetapi (ia) tidak dianggap sebagai musafir sebab hanya berputar-putar di dalam kota. Kemudian, ada orang lain yang berjalan satu jam keluar dari kotanya dengan mobil, selama satu jam atau satu setengah jam. Jika masyarakat menganggapnya sedang bersafar maka ia (disebut) musafir, begitu pula sebaliknya.” (Syekh Muhammad Musa Alu Nashr)
Sumber: Majalah As-Sunnah, Edisi 11, Tahun VIII, 1425 H/2004 M.
Dengan pengeditan oleh redaksi www.KonsultasiSyariah.com
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer