Jawaban:
Niat Puasa Syawal
Alhamdulillah, wash-shalatu wassalamu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, wa ba’du ….Permasalahan ini diperselisihkan oleh ulama. Sebagian ulama menyatakan bahwa tidak wajib berniat di malam hari untuk puasa sunah, baik puasa sunah mutlak maupun terkait hari tertentu. Pendapat ini berdasarkan hadis Aisyah radhiallahu ‘anha; beliau mengatakan, “Rasulullah menemuiku pada suatu pagi, kemudian beliau bertanya, ‘Apakah kalian memiliki suatu makanan?’ Aisyah mengatakan, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Jika demikian, aku puasa.’ Di kesempatan hari yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami (Aisyah). Kami mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, kami diberi hadiah hais (adonan).’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta, ‘Tunjukkan kepadaku, karena tadi pagi aku berniat puasa.’” (H.r. Muslim, no. 1154)
Dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “jika demikian, saya puasa” bisa dipahami bahwa beliau belum berniat untuk puasa di malam hari.
Sebagian ulama berpendapat –seperti: Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah– bahwa diwajibkan untuk berniat di malam hari untuk puasa “tertentu” [1], seperti: puasa enam hari bulan Syawal, hari Arafah, Asyura, atau puasa “tertentu” lainnya. Jika ada orang yang melakukan puasa setengah hari (karena dia baru berniat di siang hari), dia tidak dianggap telah melaksanakan puasa satu hari penuh di hari itu [2]. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan pahala untuk puasa enam hari (di bulan Syawal, ed.) secara penuh.
Di samping itu, dijelaskan oleh beberapa ulama bahwa pahala puasa dicatat sejak mulai berniat. Dengan demikian, jika niat puasanya dimulai tidak dari awal hari –yaitu sejak terbit fajar– maka pahalanya kurang, sehingga dia tidak mendapatkan pahala yang dijanjikan untuk puasa enam hari ini.
Oleh karena itu, jika ada orang yang mengawali puasa sunah tertentu di siang hari maka puasanya tidak bisa dinilai sebagai puasa sunah tertentu. Namun, hanya puasa sunah mutlak [3]. Artinya, dia hanya mendapat pahala puasa sunah mutlak. Inilah pendapat yang lebih kuat menurutku. Allahu a’lam. (Sumber: http://www.islamtoday.net/questions/…t.cfm?id=93957)
Uraian di atas adalah keterangan dari Syekh Dr. Khalid Al-Musyaiqih. Beliau adalah salah satu pengajar di Universitas Al-Qasim. Beliau merupakan murid Syekh Ibnu Utsaimin dan Syekh Abdullah Al-Qar’awi. Saat ini, beliau aktif meneliti dan memberikan catatan kaki untuk kitab-kitab para ulama.
*
Catatan kaki:
[1] Puasa sunah ada dua:
- Puasa sunah mu’ayyan (tertentu), yaitu puasa sunah yang terkait dengan hari atau tanggal tertentu, seperti: puasa Senin-Kamis, puasa Arafah, dan puasa 6 hari di bulan Syawal.
- Puasa sunah mutlak, yaitu puasa sunah yang tidak terkait dengan hari atau tanggal tertentu. Karena itu, tidak ada batasan waktu maupun jumlah. Puasa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadis Aisyah di atas adalah contoh puasa sunah mutlak.
[3] Misalnya: seseorang mulai berniat puasa Kamis sejak jam 10.00, maka dia baru dihitung berpuasa hari Kamis sejak jam 10.00. Dengan demikian, dia tidak dianggap telah melaksanakan puasa sunah hari Kamis sehingga dia hanya mendapatkan pahala puasa mutlak, tetapi tidak mendapatkan pahala puasa sunah hari Kamis. Allahu a’lam.
Keterangan tambahan:
Tidak ada lafal niat khusus untuk puasa Syawal. Seseorang yang sudah memiliki keinginan untuk puasa Syawal di malam hari itu sudah dianggap berniat, karena inti niat adalah keinginan dan bermaksud. Lebih dari itu, melafalkan niat adalah satu perbuatan yang tidak pernah diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer