Pertanyaan:
Apakah waktu isra’ mi’raj Rasulullah bertatap muka langsung dengan Allah?
Dari: Yayuk
Jawaban:
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama, kaum
muslimin sepakat bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang bisa
melihat Allah dengan mata kepalanya sendiri, sebagaimana yang ditegaskan
oleh Ad-Darimi dalam Ar-Rad Ala Al-Jahmiyah (hlm. 306), Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa (6/510), dan Ibn Abil Iz dalam Syarh Aqidah Thahwiyah (1/222)
Dan terdapat hadis yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menegaskan bahwa manusia apapun tidak mungkin melihat Tuhannya di dunia. Beliau bersabda,
تعلَّموا أنه لن يرى أحد منكم ربه عز وجل حتى يموت
“Yakini, bahwa seorangpun diantara kalian tidak akan bisa melihat Tuhannya sampai dia mati.” (HR. Muslim 7283, Ahmad dalam Musnadnya 5/433)
Yang menjadi perbedaan ulama adalah apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah ketika isra mi’raj ataukah tidak?
Kedua, perselisihan
semacam adalah perselisihan yang masing-masing bisa ditoleransi. Karena
itu, memilih pendapat apapun yang dipilih dalam perselisihan ini tidak
dihukumi bersalah atau layak divonis memiliki aqidah menyimpang.
Adz-Dzahabi mengatakan, .
ولا نعنف من أثبت الرؤية لنبينا في الدنيا،
ولا من نفاها، بل نقول الله ورسوله أعلم، بل نعنف ونبدع من أنكر الرؤية في
الآخرة، إذ رؤية الله في الآخرة ثبتت بنصوص متوافرة…
Kita tidak boleh bersikap keras terhadap ornag yang berpendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat Allah di dunia maupun yang berpendapat sebaliknya. Sikap yang
tepat, kita mengatakan, Allah dan Rasul-Nya yang paling tahu. Dan kita
bersikap keras dan menilai sesat orang yang mengingkari Allah bisa
dilihat pada hari kiamat. Karena keterangan bahwa Allah bisa dilihat
pada hari kiamat terdapat dalam berbagai dalil yang shahih (Siyar A’lam Nubala’, 10/114).
Ketiga, ada 4 pendapat ulama tentang apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah ketika isra mi’raj ataukah tidak.
Pendapat pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah ketika mi’raj
Pendapat mayoritas ulama ahlus, mereka sunah meyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah ketika isra mi’raj. Syaikhul Islam mengatakan,
كان
النزاع بين الصحابة في أن محمدا صلى الله عليه وسلم هل رأى ربه ليلة
المعراج؟ فكان ابن عباس رضي الله عنهما وأكثر علماء السنة يقولون: إن محمدا
صلى الله عليه وسلم رأى ربه ليلة المعراج وكانت عائشة رضي الله عنها
وطائفة معها تنكر ذلك
Perselisihan yang terjadi di kalangan para sahabat adalah apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya pada malam isra mi’raj? Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan mayoritas ulama ahlus sunah berpendapat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya ketika isra mi’raj. Sementara Aisyah dan beberapa tokoh yang bersamanya, mengingkari aqidah ini. (Majmu’ Fatawa, 3/386).
Beberapa riwayat yang mendukung pendapat ini,
a. Keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
tentang firman Allah di surat An-Najm, yang artinya, ‘Sesungguhnya
Muhammad telah melihat-nya pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil
Muntaha.’ Ibnu Abbas menjelaskan tentang ayat ini,
رأى ربه فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى
Beliau melihat Tuhannya dan
mendekat. Sehingga jaraknya seperti dua busur atau lebih dekat. (HR.
Turmudzi 3280 dan Al-Albani menilai, shahih sampai kepada Ibnu Abbas)
b. Dari Qatadah, bahwa Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,
رأى محمدٌ ربَّه
“Nabi Muhammad melihat Tuhannya”
(HR. Ibn Abi Ashim dalam As-Sunah no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Bab
Tauhid no. 280. Namun riwayat ini dinilai lemah oleh sebagian ulama)
c. Keterangan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau ditanya oleh Marwan bin Hakam, apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat Tuhannya. Jawab beliau, ‘Ya, beliau telah melihatnya.’ (HR.
Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunah no. 218, Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad, no. 908).
Pendapat Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah dengan hati
Terdapat satu hadis yang mendukung pendapat ini, namun hadisnya
dhaif. Karena statusnya hadis mursal. Hadis tersebut dari seorang
tabiin, Muhammad bin Ka’ab Al-Quradzi, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, ‘Apakah anda melihat Tuhan anda?’ jawab beliau,
رأيته بفؤادي، ولم أره بعيني
“Saya melihat dengan mata hatiku dan tidak dengan mata kepalaku.” (HR. At-Thabari 27/46-47, dan Ibnu Abi Hatim no. 18699. Muhammad bin Ka’ab Al-Quradzi tidak berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Diantara riwayat lain yang mendukung pendapat ini adalah keterangan Ibnu Abbas menurut salah satu riwayat dari Abul Aliyah,
أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى ربه بفؤاده مرتين
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya dengan hatinya dua kali. (HR. Muslim no. 176, Ahmad dalam musnad 1/223).
Pendapat Ketiga, Pendapat yang mengingkari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah
Sahabat yang paling dikenal
berpendapat demikian adalah Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha
dan Abu Dzar. Aisyah mengatakan,
من زعم أن محمدًا رأى ربه فقد أعظم الفرية على الله
“Siapa yang meyakini bahwa Muhammad pernah melihat Tuhannya, berarti
dia telah membuat kedustaan yang besar atas nama Allah.” (HR. Bukhari
4855, Muslim no. 428, Turmudzi 3068, dan yang lainnya).
Ada dua ayat yang digunakan Aisyah untuk menguatkan pendapatnya, pertama firman Allah di surat Al-An’am: 103,
لا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَار
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan.
Namun sebagian ulama tafsir menilai bahwa mengingkari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat Allah dengan ayat ini adalah pendalilan yang kurang tepat.
Karena yang ditiadakan dalam ayat di atas adalah al-idrak (meliputi),
sementara yang dibahas dalam masalah ini adalah ar-rukyah (melihat), dan
melihat beda dengan meliputi.
Kedua, firman Allah di surat As-Syura,
وَمَا
كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلاَّ وَحْياً أَوْ مِنْ وَرَاءِ
حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ
عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau
dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya
dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi
lagi Maha Bijaksana.
Kemudian, dalam hadis dari Abu Dzar, beliau pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah Nabi melihat Allah ketika isra mi’raj? Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
نور أنى أراه
“Ada cahaya, bagaimana aku melihat-Nya.”
Dalam riwayat lain, “Aku melihat cahaya.” (HR. Muslim 178, Turmudzi 3282, Ahmad 21392, dan yang lainnya).
Pendapat Keempat, tawaqquf (tidak mengambil sikap)
Diantara yang berpendapat demikian adalah Sa’id bin Jubair, ulama tabiin, murid Ibnu Abbas. Said pernah mengatakan,
لا أقول رآه ولا لم يره
“Saya tidak berpendapat Nabi melihat Allah, tidak pula berpendapat beliau tidak melihat Allah.” (HR. Abu Ya’la, simak Masail fi Ushul Ad-Diyanat, hlm. 66)
Al-Qodhi Iyadh – ulama syafi’i – mengatakan,
ووقف بعض مشايخنا في هذا، وقال: ليس عليه دليل واضح، ولكنه جائز أن يكون
Beberapa guru kami tidak
mengambil sikap dalam perselisihan ini. Mereka mengatakan, ‘Tidak ada
dalil yang tegas dalam hal ini. Meskipun secara logika itu memungkinkan
untuk terjadi.’ (As-Syifa, 1/261)
Selanjutnya mari kita simak
keterangan Ibnu Abil Iz sebagai kata terakhir untuk menyimpulkan
perselisihan ini. Setelah menyebutkan perselisihan apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah ataukah tidak ketika peristiwa isra mi’raj, beliau menyimpulkan,
لكن لم يرد نص بأنه صلى الله عليه وسلم رأى
ربَّه بعين رأسه، بل ورد ما يدل على نفي الرؤية، وهو ما رواه مسلم في
صحيحه، عن أبي ذر – رضي الله عنه – قال: سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم
هل رأيت ربك؟ فقال: “نور أنى أراه” وفي رواية “رأيت نوراً”،
Hanya saja tidak terdapat dalil
tegas yang menyatakan, beliau pernah melihat Tuhannya dengan mata kepala
beliau. Sebaliknya, terdapat dalil yang menunjukkan bahwa beliau tidak
melihat Allah secara langsung. Yaitu hadis yang diriwayatkan Muslim
dalam shahihnya, dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Apakah anda melihat Tuhan anda?’ jawab Nabi, ‘Ada cahaya, bagaimana
mungkin saya melihatnya.’ Dalam riwayat lain, ‘Saya melihat cahaya.’
وقد روى
مسلم – أيضًا – عن أبي موسى الأشعري – رضي الله عنه – أنه قال: قام فينا
رسول الله صلى الله عليه وسلم بخمس كلمات، فقال: “إن الله لا ينام ولا
ينبغي له أن ينام، يخفض القسط ويرفعه، يرفع إليه عمل الليل قبل عمل النهار،
وعمل النهار قبل عمل الليل، حجابه النور ، لو كشفه لأحرقت سُبحات وجهه ما
انتهى إليه بصره من خلقه”
Juga diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah menyampaikan 5 kalimat,
Sesungguhnya Allah tidak tidur
dan tidak layak Allah disifati dengan tidur, Dia yang menaik-turunkan
timbangan, amalan malam hari dilaporkan kepada-Nya sebelum datang amalan
siang, dan amalan siang hari dilaporkan kepada-Nya sebelum datang
amalan malam. Hijab-Nya adalah cahaya. Andaikan Allah menyingkap cahaya
itu, tentu subuhat (pancaran) wajahnya akan membakar makhluk-Nya sejauh
pandangan-Nya. (HR. Ahmad 19597 dan Muslim 179).
Kemudian Imam Ibnu Abil Iz menyimpulkan dua hadis di atas,
فيكون – والله أعلم – معنى قوله لأبي ذر:
“رأيت نوراً” أنه رأى الحجاب، أي: فكيف أراه والنور حجاب بيني وبينه يمنعني
من رؤيته، فهذا صريح في نفي الرؤية والله أعلم
Karena itu – Allahu a’lam – makna
keterangan Abu Dzar, ‘Nabi melihat cahaya’, bahwa beliau melihat hijab.
Artinya, bagaimana mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melilhat Allah, sementara ada cahaya yang menjadi hijab antara diri
beliau dengan Allah, yang menghalangi beliau untuk melihat Allah. Ini
merupakan dalil yang tegas, beliau tidak melihat Allah ketika isra
mi’raj.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer