Semua orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian wajib meyakini bahwa syariat Islam diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk kebaikan dan kebahagiaan hidup Manusia. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
mensyariatkan agama-Nya dengan ilmu-Nya yang maha tinggi dan hikmah-Nya
yang maha sempurna, maka jadilah syariat Islam satu-satunya pedoman
hidup yang bisa mendatangkan kebahagiaan hakiki bagi semua orang yang
menjalankannya dengan baik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}
“Hai orang-orang beriman, penuhilah
seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang
memberi (kemaslahatan/kebaikan)[1] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).
Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
merahmatinya – berkata, “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang
bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang
tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya maka dia tidak akan merasakan
kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan (seperti) hewan,
yang juga dimiliki oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka
kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan
Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin”[2].
Semakna dengan ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh,
baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia),
dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat)
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan ” (QS.
an-Nahl:97).
Para ulama salaf menafsirkan makna
“kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan
hidup” atau “rezki yang halal” dan kebaikan-kebaikan lainnya[3].
Oleh karena itulah, jalan keluar dan
solusi dari semua masalah yang kita hadapi, tidak terkecuali masalah
dalam rumah tangga dan problema pendidikan anak, hanya akan dicapai
dengan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah
yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang tidak
disangka-sangkanya” (QS. ath-Thalaaq:2-3).
Dalam ayat berikutnya Allah berfirman:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya”
(QS. ath-Thalaaq:4).
Artinya: Allah akan meringankan dan
memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan
solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya)[4].
Anjuran Memperbanyak Keturunan
Dari Ma’qil bin Yasar al-Muzani radhiallahu ‘anhu dia berkata, Seorang lelaki pernah datang (menemui) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan berkata, Sesungguhnya aku mendapatkan seorang perempuan yang
memiliki kecantikan dan (berasal dari) keturunan yang terhormat, akan
tetapi dia tidak bisa punya anak (mandul), apakah aku (boleh)
menikahinya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak (boleh)”, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk kedua kalinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali melarangnya, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk ketiga kalinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur (banyak anak)[5], karena sesungguhnya aku akan membanggakan (banyaknya jumlah kalian) dihadapan umat-umat lain (pada hari kiamat nanti)”[6].
Hadits ini menunjukkan dianjurkannya
memperbanyak keturunan, yang ini termasuk tujuan utama pernikahan, dan
dianjurkannya menikahi perempuan yang subur untuk tujuan tersebut[7].
Dan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dia berkata, Ibuku (Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha) pernah berkata: (Wahai Rasulullah), berdoalah kepada Allah untuk (kebaikan) pelayan kecilmu ini (Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu). Anas berkata: Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun berdoa (meminta kepada Allah) segala kebaikan untukku, dan doa
kebaikan untukku yang terakhir beliau ucapkan: “Ya Allah, perbanyaklah
harta dan keturunannya, serta berkahilah apa yang Engkau berikan
kepadanya”. Anas berkata: Demi Allah, sungguh aku memiliki harta yang
sangat banyak, dan sungguh anak dan cucuku saat ini (berjumlah) lebih
dari seratus orang[8].
Hadits ini menunjukkan keutamaan memiliki banyak keturunan yang diberkahi Allah Ta’ala[9], karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin mendoakan keburukan untuk sahabatnya, dan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu
sendiri menyebutkan ini sebagai doa kebaikan. Oleh karena itulah, imam
an-Nawawi mencantumkan hadits ini dalam bab: keutamaan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu[10].
Demikian pula keumuman hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan memiliki anak yang shaleh, seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Jika seorang manusia mati, maka terputuslah (pahala) amal
(kebaikan)nya kecuali dari tiga perkara: sedekah yang terus mengalir
(pahalanya dengan diwakafkan), atau ilmu yang diambil manfaatnya (terus
diamalkan), atau anak shaleh yang terus mendoakan kebaikan baginya”[11].
Juga sabda Rasulullah: “Sungguh seorang
manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya:
Bagaimana aku bisa mencapai semua ini? Maka dikatakan padanya: (Ini
semua) disebabkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu
diucapkan oleh) anakmu untukmu”[12].
Adapun hadits-hadits yang menunjukkan
keutamaan membatasi keturunan, seperti hadits “Sebaik-baik kalian
setelah dua ratus tahun mendatang adalah semua orang yang ringan
punggungnya (tanggungannya); (yaitu) yang tidak memiliki istri dan
anak”, dan yang semakna dengannya, semua hadits tersebut adalah hadits
yang lemah bahkan beberapa diantaranya batil (palsu)[13].
Demikian pula hadits-hadits yang
menunjukkan tercelanya memiliki keturunan, semuanya hadits palsu. Imam
Ibnul Qayyim berkata: “Hadits-hadits (yang menunjukkan) tercelanya
(memiliki) anak semuanya dusta (hadits palsu) dari awal sampai akhir”[14].
Banyak Anak Tidak Berarti Banyak Masalah
Setelah jelas bagi kita bahwa agama Islam
menganjurkan untuk memperbanyak keturunan, maka dengan ini kita
mengetahui kelirunya anggapan kebanyakan orang awam yang jahil (tidak
paham agama), yang mengatakan bahwa banyak anak berarti banyak masalah.
Karena tidak mungkin agama Islam yang diturunkan untuk kebaikan hidup
manusia, menganjurkan sesuatu yang justru menimbulkan masalah bagi
mereka.
Disamping itu, kalau kita cermati dengan
seksama, maka akan jelas bagi kita bahwa agama Islam tidak hanya
menganjurkan memperbanyak keturunan, tapi juga menekankan kewajiban
untuk mendidik keturunan dengan pendidikan yang bersumber dari petunjuk
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu”[15].
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata,
“Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri
sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya,
serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan
siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka)
adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam),
serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang
hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia
(benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya
sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung
jawabnya”[16].
Bahkan kalau kita amati dengan seksama, menerapkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini justru merupakan faktor utama – setelah taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
– yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan anak, sekaligus
sebagai penjagaan bagi anak dari setan yang selalu berupaya untuk
memalingkan manusia dari jalan yang lurus sejak mereka dilahirkan ke
dunia ini[17].
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin
berkata: “Yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau
mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala,
dan jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh
metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan
memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya”
(QS. ath-Thalaaq:4)”[18].
Sebagai contoh misalnya, anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi seorang suami yang akan mengumpuli istrinya, untuk membaca doa,
(( بسم الله اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا ))
“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki[19] yang Engkau anugerahkan kepada kami”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Jika seorang suami yang ingin mengumpuli istrinya membaca
doa tersebut, kemudian Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan
tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut
selamanya”[20].
Alasan Orang-orang Bodoh dalam Membatasi Keturunan
Adapun alasan-alasan
yang dikemukan oleh kebanyakan orang yang melakukan/mempropagandakan
pembatasan keturunan, seperti kekhawatiran tidak cukupnya rezki atau
kesulitan mendidik anak, maka ini adalah alasan-alasan yang sangat
bertentangan dengan petunjuk Islam, bahkan mengandung buruk sangka
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin
berkata, “…Kalau yang menjadi pendorong melakukan pembatasan keturunan
adalah kekhawatiran akan kurangnya rezki, maka ini (termasuk) berburuk
sangka kepada Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala Dialah yang menciptakan semua manusia, maka Dia pasti akan mencukupkan rezki bagi mereka…Allah berfirman,
{وكأين من دابة لا تحمل رزقها الله يرزقها وإياكم وهو السميع العليم}
“Dan berapa banyak binatang yang tidak
(dapat) membawa (mengurus) rizkinya sendiri, Allah-lah yang memberi
rizki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui” (QS al-’Ankabuut:60).
Adapun jika pendorong melakukannya adalah
kekhawatiran akan susahnya mendidik anak, maka ini adalah (persangkaan)
yang keliru, karena betapa banyak (kita dapati) anak yang sedikit
jumlahnya tapi sangat menyusahkan (orang tua mereka) dalam mendidik
mereka, dan (sebaliknya) betapa banyak (kita dapati) anak yang jumlahnya
banyak tapi sangat mudah untuk dididik jauh melebihi anak yang
berjumlah sedikit. Maka yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak,
susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah Ta’ala.
Jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh
metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan
memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya”
(QS. ath-Thalaaq:4)”[21].
Bahkan alasan membatasi keturunan seperti
ini termasuk tindakan menyerupai orang-orang kafir di jaman Jahiliyah,
yang membunuh anak-anak mereka karena takut miskin, hanya saja
orang-orang di jaman sekarang mencegah kelahiran anak karena takut
miskin, adapun orang-orang di jaman Jahiliyah membunuh anak-anak mereka
yang sudah lahir karena takut miskin[22]. Allah Ta’ala berfirman,
{وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا}
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu
karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka
dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang
besar” (QS al-Israa’:31).
Dan masih banyak alasan-alasan lain yang
dikemukakan khususnya oleh para pengekor musuh-musuh Islam, yang
mempropagandakan seruan untuk membatasi jumlah keturunan. Semua alasan
yang mereka kemukakan itu disebutkan dan dibantah secara terperinci oleh
Lajnah Daimah yang dipimpin oleh syaikh Ibrahim bin Muhammad Alu Syaikh[23].
Kesimpulannya, semua alasan yang mereka kemukakan sangat menyimpang
jauh dari kebenaran dan petunjuk Islam, bahkan bertentangan dengan
kenyataan dan tuntutan fitrah kemanusiaan, bahkan lebih dari pada itu,
(upaya) untuk membatasi (jumlah keturunan) atau mencegah kehamilan
dengan cara apapun akan mnimbulkan banyak bahaya dan kerusakan, baik
dari segi agama, ekonomi, politik, sosial, jasmani maupun rohani[24].
Nasehat dan Penutup
Agama Islam menganjurkan untuk
memperbanyak keturunan dan mendidik mereka agar menjadi anak yang
shaleh, karena ini semua akan menjadi sumber keutamaan dan kebaikan
besar bagi seorang muslim di dunia dan akhirat kelak.
Cukuplah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan mendidik anak,
“Sungguh seorang manusia akan ditinggikan
derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya: Bagaimana aku bisa
mencapai semua ini? Maka dikatakan padanya: (Ini semua) disebabkan
istigfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh)
anakmu untukmu”[25].
Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Jika seorang manusia mati maka terputuslah (pahala) amalnya kecuali
dari tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya karena
diwakafkan), ilmu yang terus diambil manfaatnya (diamalkan
sepeninggalnya), dan anak shaleh yang selalu mendoakannya”[26].
Hadits ini menunjukkan bahwa semua amal
kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shaleh pahalanya akan sampai
kepada orang tuanya, secara otomatis dan tanpa perlu diniatkan, karena
anak termasuk bagian dari usaha orang tuanya[27]. Adapun penyebutan “doa” dalam hadits tidaklah menunjukkan pembatasan bahwa hanya doa yang akan sampai kepada orangtuanya[28], tapi tujuannya adalah untuk memotivasi anak yang shaleh agar selalu mendoakan orang tuanya[29].
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani – semoga Allah Ta’ala
merahmatinya – berkata: “(Semua pahala) amal kebaikan yang dilakukan
oleh anak yang shaleh, juga akan diperuntukkan kepada kedua orang
tuanya, tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala anak tersebut, karena
anak adalah bagian dari usaha dan upaya kedua orang tuanya. Allah Ta’ala berfirman,
{وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى}
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS an-Najm:39).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sungguh sebaik-baik (rezki) yang dimakan oleh seorang
manusia adalah dari usahanya sendiri, dan sungguh anaknya termasuk
(bagian) dari usahanya”[30].
Kandungan ayat dan hadits di atas juga
disebutkan dalam hadits-hadist (lain) yang secara khusus menunjukkan
sampainya manfaat (pahala) amal kebaikan (yang dilakukan) oleh anak yang
shaleh kepada orang tuanya, seperti sedekah, puasa, memerdekakan budak
dan yang semisalnya…”[31].
Inilah kebaikan dan kemuliaan yang
sejati, yang akan menjadi penghibur hati dan penyejuk pandangan mata
bagi orang-orang yang beriman di dunia dan akhirat, sebagaimana firman
Allah Ta’ala,
{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً}
“Dan (mereka adalah) orang-orang yang
berdoa: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan
keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah
kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqan:74).
Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya
tentang makna ayat di atas, beliau berkata: “Allah akan memperlihatkan
kepada hambanya yang beriman pada diri istri, saudara dan orang-orang
yang dicintainya ketaatan (mereka) kepada Allah, demi Allah tidak ada
sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim dari
pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang
dicintainya taat kepada Allah Ta’ala“[32].
Semoga Allah Ta’ala menjadikan
tulisan ini bermanfaat dan sebagai nasehat bagi kaum muslimin untuk
kembali kepada kemuliaan mereka yang sebenarnya dengan menjalankan
petunjuk Allah Ta’ala dalam agama Islam.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 23 Dzulqo’dah 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Artikel www.manisnyaiman.com
Artikel www.manisnyaiman.com
Catatan kaki
[1] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).
[2] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 121- cet. Muassasatu ummil qura’).
[3] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (2/772).
[4] Tafsir Ibnu Katsir (4/489).
[5]
Bagi seorang perempuan yang masih gadis ini diketahui dengan melihat
keadaan keluarga (ibu dan saudara perempuan) atau kerabatnya, lihat
kitab “‘Aunul Ma’buud” (6/33-34).
[6]
HR Abu Dawud (no. 2050), an-Nasa-i (6/65) dan al-Hakim (2/176),
dishahihkan oleh Ibnu Hibban (no. 4056- al-Ihsan), juga oleh al-Hakim
dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[7]
Lihat kitab “Zaadul ma’aad” (4/228), “Aadaabuz zifaaf” (hal. 60) dan
“Khataru tahdiidin nasl” (8/16- Muallafaatusy syaikh Muhammad bin Jamil
Zainu).
[8] HSR al-Bukhari (no. 6018) dan Muslim (no. 2481), lafazh ini yang terdapat dalam “Shahih Muslim”.
[9] Lihat kitab “Tafsir al-Qurthubi” (11/80).
[10] Lihat “Syarah shahih Muslim” (16/39-40).
[11] HSR Muslim (no. 1631), dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.
[12]
HR Ibnu Majah (no. 3660), Ahmad (2/509) dan lain-lain, dishahihkan oleh
al-Buushiri dan dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam “Silsilatul
ahaaditsish shahiihah” (no. 1598).
[13]
Lihat kitab “al-Maudhuuaat” (2/281), “al-’Ilal mutanaahiyah” (2/636)
keduanya tulisan imam Ibnul Jauzi, dan “Silsilatul ahaaditsidh
dha’iifah” (no. 3580).
[14] Kitab “al-Manaarul muniif” (no. 206).
[15] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[16] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 640).
[17] Dalam hadits shahih riwayat Muslim (no. 2367) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan”.
[18] Kutubu wa rasaa-ilu syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (4/14).
[19] Termasuk anak dan yang lainnya, lihat kitab “Faidhul Qadiir” (5/306).
[20] HSR al-Bukhari (no. 6025) dan Muslim (no. 1434).
[21] Kutubu wa rasaa-ilu syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (4/14).
[22]
Lihat ucapan syaikh Shaleh al-Fauzan dalam “al-Muntaqa min fatawa
al-Fauzan” (89/19), dan syaikh al-Albani dalam “Aadaabuz zifafaaf” (hal.
65).
[23] Lihat ” Majallatul buhuutsil islaamiyyah” (5/115-125).
[24] Majallatul buhuutsil islaamiyyah (5/127), dengan sedikit penyesuaian.
[25]
HR Ibnu Majah (no. 3660), Ahmad (2/509) dan lain-lain, dishahihkan oleh
al-Buushiri dan dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam “Silsilatul
ahaaditsish shahiihah” (no. 1598).
[26] HSR Muslim (no. 1631).
[27] Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang akan kami sebutkan nanti.
[28] Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak mengatakan: “doa anak yang shaleh”, tapi yang beliau r katakan:
“… anak shaleh yang selalu mendoakannya”, artinya: semua amal kebaikan
anak yang shaleh pahalanya akan sampai kepada orang tuanya.
[29] Lihat kitab “Ahakaamul janaaiz” (hal. 223).
[30]
HR Abu Dawud (no. 3528), an-Nasa’i (no. 4451), at-Tirmidzi (2/287) dan
Ibnu Majah (no. 2137), dihasankan oleh imam at-Tirmidzi dan dinyatakan
shahih oleh syaikh al-Albani.
[31] Kitab “Ahakaamul janaaiz” (hal. 216-217).
[32] Dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (3/439).
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer