Semua orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian wajib meyakini bahwa syariat Islam diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk kebaikan dan kebahagiaan hidup Manusia. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan agama-Nya dengan ilmu-Nya yang maha tinggi dan hikmah-Nya yang maha sempurna, maka jadilah syariat Islam satu-satunya pedoman hidup yang bisa mendatangkan kebahagiaan hakiki bagi semua orang yang menjalankannya dengan baik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan/kebaikan)[1] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).
Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya – berkata, “(Ayat  ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan (seperti) hewan, yang juga dimiliki oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin”[2].
Semakna dengan ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan ” (QS. an-Nahl:97).
Para ulama salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan hidup” atau “rezki yang halal” dan kebaikan-kebaikan lainnya[3].
Oleh karena itulah, jalan keluar dan solusi dari semua masalah yang kita hadapi, tidak terkecuali masalah dalam rumah tangga dan problema pendidikan anak, hanya akan dicapai dengan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ}

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” (QS. ath-Thalaaq:2-3).
Dalam ayat berikutnya Allah berfirman:

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4).
Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya)[4].
Anjuran Memperbanyak Keturunan
Dari Ma’qil bin Yasar al-Muzani radhiallahu ‘anhu dia berkata, Seorang lelaki pernah datang (menemui) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, Sesungguhnya aku mendapatkan seorang perempuan yang memiliki kecantikan dan (berasal dari) keturunan yang terhormat, akan tetapi dia tidak bisa punya anak (mandul), apakah aku (boleh) menikahinya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak (boleh)”, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk kedua kalinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali melarangnya, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk ketiga kalinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur (banyak anak)[5], karena sesungguhnya aku akan membanggakan (banyaknya jumlah kalian) dihadapan umat-umat lain (pada hari kiamat nanti)”[6].
Hadits ini menunjukkan dianjurkannya memperbanyak keturunan, yang ini termasuk tujuan utama pernikahan, dan dianjurkannya menikahi perempuan yang subur untuk tujuan tersebut[7].
Dan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dia berkata, Ibuku (Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha) pernah berkata: (Wahai Rasulullah), berdoalah kepada Allah untuk (kebaikan) pelayan kecilmu ini (Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu). Anas berkata: Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa (meminta kepada Allah) segala kebaikan untukku, dan doa kebaikan untukku yang terakhir beliau ucapkan: “Ya Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya, serta berkahilah apa yang Engkau berikan kepadanya”. Anas berkata: Demi Allah, sungguh aku memiliki harta yang sangat banyak, dan sungguh anak dan cucuku saat ini (berjumlah) lebih dari seratus orang[8].
Hadits ini menunjukkan keutamaan memiliki banyak keturunan yang diberkahi Allah Ta’ala[9], karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin mendoakan keburukan untuk sahabatnya, dan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu sendiri menyebutkan ini sebagai doa kebaikan. Oleh karena itulah, imam an-Nawawi mencantumkan hadits ini dalam bab: keutamaan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu[10].
Demikian pula keumuman hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan memiliki anak yang shaleh, seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika seorang manusia mati, maka terputuslah (pahala) amal (kebaikan)nya kecuali dari tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya dengan diwakafkan), atau ilmu yang diambil manfaatnya (terus diamalkan), atau anak shaleh yang terus mendoakan kebaikan baginya”[11].
Juga sabda Rasulullah: “Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya: Bagaimana aku bisa mencapai semua ini? Maka dikatakan padanya: (Ini semua) disebabkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu”[12].
Adapun hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan membatasi keturunan, seperti hadits “Sebaik-baik kalian setelah dua ratus tahun mendatang adalah semua orang yang ringan punggungnya (tanggungannya); (yaitu) yang tidak memiliki istri dan anak”, dan yang semakna dengannya, semua hadits tersebut adalah hadits yang lemah bahkan beberapa diantaranya batil (palsu)[13].
Demikian pula hadits-hadits yang menunjukkan tercelanya memiliki keturunan, semuanya hadits palsu. Imam Ibnul Qayyim berkata: “Hadits-hadits (yang menunjukkan) tercelanya (memiliki) anak semuanya dusta (hadits palsu) dari awal sampai akhir”[14].
Banyak Anak Tidak Berarti Banyak Masalah
Setelah jelas bagi kita bahwa agama Islam menganjurkan untuk memperbanyak keturunan, maka dengan ini kita mengetahui kelirunya anggapan kebanyakan orang awam yang jahil (tidak paham agama), yang mengatakan bahwa banyak anak berarti banyak masalah. Karena tidak mungkin agama Islam yang diturunkan untuk kebaikan hidup manusia, menganjurkan sesuatu yang justru menimbulkan masalah bagi mereka.
Disamping itu, kalau kita cermati dengan seksama, maka akan jelas bagi kita bahwa agama Islam tidak hanya menganjurkan memperbanyak keturunan, tapi juga menekankan kewajiban untuk mendidik keturunan dengan pendidikan yang bersumber dari petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu”[15].
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya”[16].
Bahkan kalau kita amati dengan seksama, menerapkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini justru merupakan faktor utama – setelah taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala – yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan anak, sekaligus sebagai penjagaan bagi anak dari setan yang selalu berupaya untuk memalingkan manusia dari jalan yang lurus sejak mereka dilahirkan ke dunia ini[17].
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata: “Yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4)”[18].
Sebagai contoh misalnya, anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi seorang suami yang akan mengumpuli istrinya, untuk membaca doa,

(( بسم الله اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا ))

“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki[19] yang Engkau anugerahkan kepada kami”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang suami yang ingin mengumpuli istrinya membaca doa tersebut, kemudian Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya”[20].
Alasan Orang-orang Bodoh dalam Membatasi Keturunan
Adapun alasan-alasan yang dikemukan oleh kebanyakan orang yang melakukan/mempropagandakan pembatasan keturunan, seperti kekhawatiran tidak cukupnya rezki atau kesulitan mendidik anak, maka ini adalah alasan-alasan yang sangat bertentangan dengan petunjuk Islam, bahkan mengandung buruk sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata, “…Kalau yang menjadi pendorong melakukan pembatasan keturunan adalah kekhawatiran akan kurangnya rezki, maka ini (termasuk) berburuk sangka kepada Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala Dialah yang menciptakan semua manusia, maka Dia pasti akan mencukupkan rezki bagi mereka…Allah berfirman,

{وكأين من دابة لا تحمل رزقها الله يرزقها وإياكم وهو السميع العليم}

“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rizkinya sendiri, Allah-lah yang memberi rizki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS al-’Ankabuut:60).
Adapun jika pendorong melakukannya adalah kekhawatiran akan susahnya mendidik anak, maka ini adalah (persangkaan) yang keliru, karena betapa banyak (kita dapati) anak yang sedikit jumlahnya tapi sangat menyusahkan (orang tua mereka) dalam mendidik mereka, dan (sebaliknya) betapa banyak (kita dapati) anak yang jumlahnya banyak tapi sangat mudah untuk dididik jauh melebihi anak yang berjumlah sedikit. Maka yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah Ta’ala. Jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4)”[21].
Bahkan alasan membatasi keturunan seperti ini termasuk tindakan menyerupai orang-orang kafir di jaman Jahiliyah, yang membunuh anak-anak mereka karena takut miskin, hanya saja orang-orang di jaman sekarang mencegah kelahiran anak karena takut miskin, adapun orang-orang di jaman Jahiliyah membunuh anak-anak mereka yang sudah lahir karena takut miskin[22]. Allah Ta’ala berfirman,

{وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا}

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar” (QS al-Israa’:31).
Dan masih banyak alasan-alasan lain yang dikemukakan khususnya oleh para pengekor musuh-musuh Islam, yang mempropagandakan seruan untuk membatasi jumlah keturunan. Semua alasan yang mereka kemukakan itu disebutkan dan dibantah secara terperinci oleh Lajnah Daimah yang dipimpin oleh syaikh Ibrahim bin Muhammad Alu Syaikh[23]. Kesimpulannya, semua alasan yang mereka kemukakan sangat menyimpang jauh dari kebenaran dan petunjuk Islam, bahkan bertentangan dengan kenyataan dan tuntutan fitrah kemanusiaan, bahkan lebih dari pada itu, (upaya) untuk membatasi (jumlah keturunan) atau mencegah kehamilan dengan cara apapun akan mnimbulkan banyak bahaya dan kerusakan, baik dari segi agama, ekonomi, politik, sosial, jasmani maupun rohani[24].
Nasehat dan Penutup
Agama Islam menganjurkan untuk memperbanyak keturunan dan mendidik mereka agar menjadi anak yang shaleh, karena ini semua akan menjadi sumber keutamaan dan kebaikan besar bagi seorang muslim di dunia dan akhirat kelak.
Cukuplah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan mendidik anak,
“Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya: Bagaimana aku bisa mencapai semua ini? Maka dikatakan padanya: (Ini semua) disebabkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu”[25].
Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika seorang manusia mati maka terputuslah (pahala) amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya karena diwakafkan), ilmu yang terus diambil manfaatnya (diamalkan sepeninggalnya), dan anak shaleh yang selalu mendoakannya”[26].
Hadits ini menunjukkan bahwa semua amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shaleh pahalanya akan sampai kepada orang tuanya, secara otomatis dan tanpa perlu diniatkan, karena anak termasuk bagian dari usaha orang tuanya[27]. Adapun penyebutan “doa” dalam hadits tidaklah menunjukkan pembatasan bahwa hanya doa yang akan sampai kepada orangtuanya[28], tapi tujuannya adalah untuk memotivasi anak yang shaleh agar selalu mendoakan orang tuanya[29].
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata: “(Semua pahala) amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shaleh, juga akan diperuntukkan kepada kedua orang tuanya, tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala anak tersebut, karena anak adalah bagian dari usaha dan upaya kedua orang tuanya. Allah Ta’ala berfirman,

{وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى}

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS an-Najm:39).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh sebaik-baik (rezki) yang dimakan oleh seorang manusia adalah dari usahanya sendiri, dan sungguh anaknya termasuk (bagian) dari usahanya”[30].
Kandungan ayat dan hadits di atas juga disebutkan dalam hadits-hadist (lain) yang secara khusus menunjukkan sampainya manfaat (pahala) amal kebaikan (yang dilakukan) oleh anak yang shaleh kepada orang tuanya, seperti sedekah, puasa, memerdekakan budak dan yang semisalnya…”[31].
Inilah kebaikan dan kemuliaan yang sejati, yang akan menjadi penghibur hati dan penyejuk pandangan mata bagi orang-orang yang beriman di dunia dan akhirat, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً}

“Dan (mereka adalah) orang-orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqan:74).
Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata: “Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada diri istri, saudara dan orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka) kepada Allah, demi Allah tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim dari pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah Ta’ala[32].
Semoga Allah Ta’ala menjadikan tulisan ini bermanfaat dan sebagai nasehat bagi kaum muslimin untuk kembali kepada kemuliaan mereka yang sebenarnya dengan menjalankan petunjuk Allah Ta’ala dalam agama Islam.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 23 Dzulqo’dah 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Artikel www.manisnyaiman.com
Catatan kaki

[1] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).
[2] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 121- cet. Muassasatu ummil qura’).
[3] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (2/772).
[4] Tafsir Ibnu Katsir (4/489).
[5] Bagi seorang perempuan yang masih gadis ini diketahui dengan melihat keadaan keluarga (ibu dan saudara perempuan) atau kerabatnya, lihat kitab “‘Aunul Ma’buud” (6/33-34).
[6] HR Abu Dawud (no. 2050), an-Nasa-i (6/65) dan al-Hakim (2/176), dishahihkan oleh Ibnu Hibban (no. 4056- al-Ihsan), juga oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[7] Lihat kitab “Zaadul ma’aad” (4/228), “Aadaabuz zifaaf” (hal. 60) dan “Khataru tahdiidin nasl” (8/16- Muallafaatusy syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).
[8] HSR al-Bukhari (no. 6018) dan Muslim (no. 2481), lafazh ini yang terdapat dalam “Shahih Muslim”.
[9] Lihat kitab “Tafsir al-Qurthubi” (11/80).
[10] Lihat “Syarah shahih Muslim” (16/39-40).
[11] HSR Muslim (no. 1631), dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.
[12] HR Ibnu Majah (no. 3660), Ahmad (2/509) dan lain-lain, dishahihkan oleh al-Buushiri dan dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahiihah” (no. 1598).
[13] Lihat kitab “al-Maudhuuaat” (2/281), “al-’Ilal mutanaahiyah” (2/636) keduanya tulisan imam Ibnul Jauzi, dan “Silsilatul ahaaditsidh dha’iifah” (no. 3580).
[14] Kitab “al-Manaarul muniif” (no. 206).
[15] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[16] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 640).
[17] Dalam hadits shahih riwayat Muslim (no. 2367) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan”.
[18] Kutubu wa rasaa-ilu syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (4/14).
[19] Termasuk anak dan yang lainnya, lihat kitab “Faidhul Qadiir” (5/306).
[20] HSR al-Bukhari (no. 6025) dan Muslim (no. 1434).
[21] Kutubu wa rasaa-ilu syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (4/14).
[22] Lihat ucapan syaikh Shaleh al-Fauzan dalam “al-Muntaqa min fatawa al-Fauzan” (89/19), dan syaikh al-Albani dalam “Aadaabuz zifafaaf” (hal. 65).
[23] Lihat ” Majallatul buhuutsil islaamiyyah” (5/115-125).
[24] Majallatul buhuutsil islaamiyyah (5/127), dengan sedikit penyesuaian.
[25] HR Ibnu Majah (no. 3660), Ahmad (2/509) dan lain-lain, dishahihkan oleh al-Buushiri dan dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahiihah” (no. 1598).
[26] HSR Muslim (no. 1631).
[27] Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang akan kami sebutkan nanti.
[28] Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan: “doa anak yang shaleh”, tapi yang beliau r katakan: “… anak shaleh yang selalu mendoakannya”, artinya: semua amal kebaikan anak yang  shaleh pahalanya akan sampai kepada orang tuanya.
[29] Lihat kitab “Ahakaamul janaaiz” (hal. 223).
[30] HR Abu Dawud (no. 3528), an-Nasa’i (no. 4451), at-Tirmidzi (2/287) dan Ibnu Majah (no. 2137), dihasankan oleh imam at-Tirmidzi dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[31] Kitab “Ahakaamul janaaiz” (hal. 216-217).
[32] Dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (3/439).


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers