MUQODDIMAH
Ternyata ada sebagian kalangan yang melecehkan Sunnah “kunyah[1] ”.
Penulis tahu hal ini ketika membaca komentar-komentar di situs kami.
Menurut mereka: sok Arab, sok alim dan lainnya. Demikianlah sikap dan
komentar sebagian kalangan tentang Sunnah ini. Bagaimanakah sebenarnya
hakikat permasalahannya?! Insya Alloh pada kesempatan ini, akan kita bahas tentang jawabannya. Semoga Alloh subhanahu wa ta’aala selalu menambahkan ilmu yang bermanfaat bagi kita.
DEFINISI KUNYAH
Kunyah adalah nama yang diawali dengan
“Abu” atau “Ibnu” untuk laki-laki, seperti Abu Abdillah dan Ibnu Hajar.
Sedangkan “Ummu” atau “Bintu” adalah untuk perempuan, seperti Ummu
Aisyah dan bintu Malik.
Kunyah apabila bergabung dengan nama asli
maka kunyah boleh diawalkan atau diakhirkan. Contoh Abu Hafsh Umar atau
Bakr Abu Zaid. Namun yang lebih masyhur, kunyah diawalkan karena maksud
dari kunyah adalah untuk menunjukkan kepada dzat bukan sebagai sifat.[2]
Kunyah secara umum merupakan suatu penghormatan dan kemuliaan.[3]Seorang peyair berkata:
أُكْنِيْهِ حِيْنَ أُنَادِيْهِ لِأُكْرِمَهُ
وَلاَ أُلَقِّبُهُ وَالسَّوْءَةُ اللَّقَبُ
Aku memanggilnya dengan kunyah sebagai penghormatan padanya
Dan saya tidak menggelarinya, karena gelar adalah jelek baginya.[4]
Dan saya tidak menggelarinya, karena gelar adalah jelek baginya.[4]
Namun terkadang kunyah juga bisa bermakna celaan seperti Abu Jahl, Abu Lahab dan lain sebagainya.[5]
DALIL-DALIL DISYARI’ATKANNYA KUNYAH
Hadits Pertama:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ النَبِيُّ - صلى الله عليه وسلم-أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا, وَكَانَ لِيْ أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ عُمَيْرٍ, قَالَ أَحْسَبُهُ فَطِيْمٌ, وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ: يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ نُغَيْرٌ ؟
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
“Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Saya mempunyai saudara yang biasa dipanggil Abu Umair. Apabila Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam datang, beliau mengatakan, ’Wahai Abu Umair apa yang sedang dilakukan oleh Nughoir (Nughoir adalah sejenis burung)?’”[6]
Imam Bukhori rahimahulloh membuat bab hadits ini dengan ucapannya “Bab kunyah untuk anak dan orang yang belum mempunyai anak”. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahulloh
berkata: “Imam Bukhori mengisyaratkan dalam bab ini untuk membantah
anggapan orang yang melarang kunyah bagi yang belum mempunyai anak
dengan alasan bahwa hal itu menyelisihi fakta.”[7]
Imam Ibnul Qosh asy-Syafi’i rahimahulloh berkata: “Dalam hadits ini terdapat faedah tentang bolehnya memberi kunyah kepada orang yang belum mempunyai anak.”[8]
Hadits Kedua:
عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ لِلنَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم-: يَا رَسُوْلَ اللهِ كُلُّ نِسَائِكَ لَهَا كُنْيَةٌ غَيْرِيْ, فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ: إِكْتَنِيْ أَنْتِ أُمَّ عَبْدِ اللهِ, فَكَانَ يُقَالُ لَهَا أُمُّ عَبْدِ اللهِ حَتَّى مَاتَتْ وَلَمْ تَلِدْ قُطُّ
Dari Urwah bahwasanya ’Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam: “Wahai Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam, seluruh istrimu mempunyai kunyah selain diriku.”Maka Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Berkunyahlah dengan Ummu Abdillah.” Setelah itu ’Aisyah radhiyallahu ‘anha selalu dipanggil dengan Ummu Abdillah[9] hingga meninggal dunia, padahal dia tidak melahirkan seorang anak pun.”[10]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahulloh
berkata: “Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya kunyah sekalipun
belum mempunyai anak. Karena hal ini termasuk adab Islam yang menurut
pengetahuan kami tidak ada dalam agama-agama lainnya. Maka hendaknya
kaum muslimin menerapkan Sunnah ini baik kaum pria maupun wanita.”[11]
Hadits Ketiga:
أَنَّ عُمَرَ قَالَ لِصُهَيْبٍ مَا لَكَ تَكْتَنِى بِأَبِى يَحْيَى وَلَيْسَ لَكَ وَلَدٌ. قَالَ كَنَّانِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِأَبِى يَحْيَى.
“Umar radhiyallahu ‘anhu pernah
mengatakan kepada Shuhaib: ‘Kenapa engkau berkunyah dengan Abu Yahya
padahal kamu belum mempunyai anak?’ Maka dia menjawab: ‘Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam yang memberiku kunyah Abu Yahya.’”[12]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
berkata: “Dalam hadits ini terdapat faedah disyari’atkan kunyah bagi
yang belum mempunyai anak, bahkan dalam shohih Bukhori dan lainnya bahwa
beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam memberikan kunyah kepada putri kecil dengan Ummu Kholid.”
Sungguh disayangkan, banyak kaum muslimin
yang melupakan Sunnah ini. Amat jarang sekali kita menjumpai orang yang
berkunyah padahal dia mempunyai anak banyak. Apalagi lagi yang belum
mempunyai anak?![13]
Syaikh Ahmad al-Banna berkata:
“Hadits-hadits di atas menunjukkan bolehnya kunyah bagi anak kecil dan
dewasa baik sudah mempunyai anak atau belum (dan ini bukanlah suatu
kebohongan), baik lelaki atau wanita, dan bolehnya berkunyah dengan
selain anaknya. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki anak yang namanya Bakr, Umar radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki anak yang bernama Hafsh, Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki anak yang bernama Dzar, dan seterusnya banyak sekali tak terhitung.
Dibolehkan pula bagi wanita untuk berkunyah dengan nama anak orang lain sekalipun ia tidak memiliki anak, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam
memberi kunyah ’Aisyah dengan Ummu Abdillah. Jadi, kunyah itu tidak
harus memiliki anak terlebih dahulu dan tidak harus juga ia berkunyah
dengan nama anaknya.
Para ulama mengatakan: “Mereka memberikan
kunyah kepada anak kecil sebagai rasa optimisme bahwa dia akan hidup
hingga mempunyai anak dan sebagai penghindaran diri dari gelar-gelar
jelek. Oleh karenanya seorang di antara mereka mengatakan: “Cepatlah
berikan kunyah untuk anak-anak kalian sebelum didahului oleh gelar.” Wallohu a’lam.”[14]
KUNYAH PARA SALAF
Berdasarkan hadits-hadits di atas yang
menunjukkan disyari’atkannya kunyah bagi anak kecil dan orang dewasa
sekalipun belum mempunyai anak, maka merupakan kebiasaan salaf dari
kalangan sahabat adalah berkunyah sekalipun belum dikaruniai anak. Imam
az-Zuhri rahimahulloh berkata: “Adalah beberapa sahabat, mereka
berkunyah sebelum dikaruniai anak.”[15]
- Ath-Thobroni meriwayatkan dengan sanad shohih dari Alqomah dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam memberinya kunyah Abu Abdirrohman sebelum dikarunia anak.”
- Al-Bukhori dalam Adabul Mufrod meriwayatkan dari Alqomah radhiyallahu ‘anhu: “Abdulloh bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.”
- Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Ibrahim, berkata: “Adalah Alqomah radhiyallahu ‘anhu diberi kunyah Abu Syibl padahal dia mandul tidak mempunyai anak.”
- Al-Bukhori meriwayatkan dari Hilal al-Wazan berkata: “Urwah memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.”
- Al-Bukhori dalam Tarikh Kabir meriwayatkan dari Hisyam: “Muhammad bin Sirin memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.”[16]
Oleh karenanya, semua ini dapat membantah
pendapat sebagian kalangan yang melarang kunyah bagi orang yang belum
mempunyai anak. Jika kita ingin mengutip semuanya, maka banyak sekali
ulama salaf dan ahli hadits yang memiliki kunyah[17], sehingga banyak pula ditulis kitab-kitab khusus yang membahas tentang kunyah mereka.
Dalam muqoddimah Syaikh Muhammad bin
Sholih al-Murod terhadap kitab al-Muqtana fil Kuna hlm. 22-31 beliau
menyebutkan lebih dari tiga puluh judul kitab tentang kunyah para perawi
hadits, di antaranya adalah al-Kuna oleh Imam Muslim (2 jilid), al-Kuna
wal Asma’ oleh ad-Daulabi (2 jilid), al-Kuna oleh Imam Ahmad, al-Hakim
Abu Ahmad, Nasai’, Ibnu Mandah, Ali bin Madini dan lain sebagainya.[18]
KUNYAH DENGAN ABUL QOSHIM
Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam menjelaskan mengenai penggunaan kunyah bagi kaum laki-laki dengan menggunakan kunyah Abul Qosim, beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ: قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ- صلى الله عليه وسلم-: سَمُّوْا بِاسْمِيْ, وَلاَ تَكْتَنُوْا بِكُنْيَتِيْ
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu berkata, Abul Qosim shalallahu ‘alayhi wa sallam berkata: “Pakailah namaku dan jangan berkunyah dengan kunyahku.” [19]
Para ulama berselisih dalam penggunaan kunyah Abul Qosim ini, al-Hafizh Ibnu Qoyyim rahimahulloh
berkata: “Pendapat yang benar adalah boleh bernama dengan nama Muhammad
dan dilarang berkunyah dengan kunyah Abul Qosim. Larangan ini lebih
keras lagi pada masa beliau dan dilarang pula menggabung nama beserta
kunyah beliau yakni Muhammad dan Abul Qosim.”[20]
Demikianlah penjelasan singkat tentang sunnahnya kunyah dalam nama. Semoga hal ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
___________________________________________________________________
[1] Baca kun-yah. Bukan kunyah.
[2] Syarh Ibnu Aqil ‘ala alfiyah Ibni Malik 1/115 dan al-Qowaid al-Asasiyyah Li Lughotil Arobiyyah hlm. 67 oleh Sayyid Ahmad al-Hasyimi.
[3]
Para ulama berselisih pendapat tentang memberi kunyah kepada orang
kafir dan ahli bid’ah. Pendapat yang benar pada asalnya adalah tidak
boleh karena termasuk menghormati mereka, tetapi terkadang diperbolehkan
apabila ada tujuan dan sebab syar’i. (Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah Min Ahlil Bida’ wal Ahwa’ 2/584 oleh Dr. Ibrohim ar-Ruhaili hafidzahullah)
[4] Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud hlm. 232 oleh Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahulloh.
[5] Bekal Menanti Si Buah Hati hlm. 36 oleh Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafidzahullah, cet. Media Tarbiyah, Bogor.
[6] HR. Bukhari 6203, Muslim 2150
Faedah: Ibnu Qash asy-Syafi’i rahimahulloh di awal kitabnya Juz fi Fawaid Hadits Ya Aba Umair, menyebutkan bahwa sebagian manusia mencela ahli hadits dan menuding bahwa mereka meriwayatkan sesuatu yang tidak ada faedahnya seperti hadits Abu Umair. Kata beliau: “Apakah mereka tahu bahwa hadits ini ternyata menyimpan faedah dalam masalah fiqih, adab dan faedah lainnya sehingga mencapai enam puluh faedah?!.” (Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar 10/716, Mu’jam al-Mushannafat fi Fathil Bari oleh Masyhur bin Hasan hafidzahullah hlm. 167-168)
Faedah: Ibnu Qash asy-Syafi’i rahimahulloh di awal kitabnya Juz fi Fawaid Hadits Ya Aba Umair, menyebutkan bahwa sebagian manusia mencela ahli hadits dan menuding bahwa mereka meriwayatkan sesuatu yang tidak ada faedahnya seperti hadits Abu Umair. Kata beliau: “Apakah mereka tahu bahwa hadits ini ternyata menyimpan faedah dalam masalah fiqih, adab dan faedah lainnya sehingga mencapai enam puluh faedah?!.” (Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar 10/716, Mu’jam al-Mushannafat fi Fathil Bari oleh Masyhur bin Hasan hafidzahullah hlm. 167-168)
[7] Fathul Bari 10/714
[8] Juz Fiihi Fawaid Hadits Abi Umair hlm. 27, Tahqiq Shobir Ahmad al-Bathowi.
[9] Abdulloh di sini adalah keponakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yaitu Abdulloh bin Zubair radhiyallahu ‘anhu. Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa ’Aisyah radhyallahu ‘anha pernah keguguran anaknya, maka riwayat ini adalah bathil secara sanad dan matan. (Lihat Tuhfatul Maudud hlm. 231 oleh Ibnu Qoyyim rahimahulloh, al-Adzkar 2/725 oleh an-Nawawi rahimahulloh, al-Ijabah hlm. 41 oleh az-Zarkasyi, Silsilah Adh-Dho’ifah no. 4137 oleh al-Albani rahimahulloh)
[10] HR. Ahmad 6/107, 151, Abu Dawud 4970, Abdur Rozzaq dalam al-Mushannaf 19858 dengan sanad shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shohihah no. 132
[11] Silsilah Ahadits ash-Shohihah 1/257
[12] HR. Ibnu Majah: 3738 dan dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam al-Ahadits al-Aliyat no. 25 dan dishohihkan al-Albani dalam ash-Shohihah no. 44
[13] Silsilah Ahadits ash-Shohihah 1/110-111. Lihat pula Nihayatul Hajah Fi Syarh Sunan Ibni Majah 2/1361 oleh as-Sindi dan Silsilah Atsar ash-Shohihah 1/14 oleh Abu Abdillah ad-Dani.
[14] Bulughul Amani fi Asrori Fathur Robbani 2/2013. Lihat pula Tuhfatul Maudud hlm. 232 oleh Ibnu Qoyyim dan Aunul Ma’bud 13/212 oleh Adzim Abadi.
[15] al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5/26278).
[16] Lihat atsar-atsar ini dalam Fathul Bari 10/714 oleh Ibnu Hajar dan Fadhlullohi ash-Shomad 2/677 oleh Fadhlulloh al-Jilani. Dan atsar no. 2 dan 3 dishohihkan al-Albani dalam Shohih Adab Mufrod hlm. 228.
[17] Al-Hafizh Khothib al-Baghdadi berkata dalam al-Jami’ li Akhlak Rowi wa Adabi Sami’
2/77: “Dalam ahli hadits banyak sekali para perawi yang cukup disebut
dengan kunyah mereka tanpa nama dan nasab mereka karena kemasyhuran
mereka dengan kunyah dan tidak dikhawatirkan tercampur dengan lainnya.”
[18] Lihat al-Baitsul Hatsits 2/594 oleh Ahmad Syakir, tahqiq Syaikhuna Ali Hasan al-Halabi hafidzahullah.
[19] HR. Bukhori 3539, Muslim 2134
[20] Zaadul Ma’ad 2/347. Lihat perbedaan ‘ulama dalam masalah ini secara luas beserta dalil-dalilnya dalam Ahkamul Maulud Fi Sunnah Muthohharoh hlm. 95-103 oleh Salim asy-Syibli dan Muhammad Kholifah ar-Robbah.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer