Kita tahu bahwa semua
pasti akan merasakan kesulitan ketika BBM naik. Karena jika BBM naik,
semua kebutuhan pokok akan ikut naik. Akan semakin tercekiklah rakyat
jelata seperti kita-kita ini. Namun demikianlah kebanyakan orang dalam
menghadapi masalah ini keliru. Semua ingin agar suaranya didengar oleh
penguasa. Demonstrasilah yang jadi solusi. Tidak ada yang berpikir,
kenapa pemimpin kita bisa memilih jalan untuk menaikkan BBM? Tidak ada
yang mau merenung, apa betul presiden tercinta kita ingin menyengsarakan
bahkan membunuh rakyatnya sendiri? Lalu kenapa tidak mau menyikapi hal
ini dengan bersabar?
Taat kepada Penguasa Zholim
Inilah prinsip yang
diajarkan oleh salafush sholeh, oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, oleh
orang-orang yang meniti jalan para sahabat. Mereka tetap mentaati dan
manut pada perintah penguasa selama diperintahkan dalam yang ma’ruf
(kebaikan) dan bukan dalam maksiat. Ketaatan itu tetap ada, meskipun
yang memerintah mereka adalah penguasa zholim, yang mungkin sering
menyengsarakan rakyatnya.
Ketaatan itu tetap ada meskipun penguasa
tersebut melakukan kezholiman dengan menaikkan harga BBM misalnya.
Renungkanlah hadits
berikut yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan seakan-akan
adalah nasehat terakhir beliau. Dari Abu Najih, Al ‘Irbadh bin Sariyah
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberi nasehat kepada kami dengan satu nasehat yang menggetarkan
hati dan menjadikan air mata berlinang”. Kami (para sahabat) bertanya,
“Wahai Rasulullah, nasihat itu seakan-akan adalah nasihat dari orang
yang akan berpisah, maka berilah kami wasiat.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِىٌّ
“Saya memberi wasiat
kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘azza wa jalla, tetap
mendengar dan ta’at walaupun yang memerintah kalian seorang hamba sahaya
(budak) dari Habasyah” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676.
Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Sebagaimana disebutkan
oleh Ibnu Rajab, sebagian ulama menyebutkan bahwa penyebutan budak
Habasyah dalam hadits di atas adalah cuma permisalan saja, namun
sebenarnya tidak mungkin seorang budak menjadi pemimpin (Lihat Jaami’ul
‘Ulum wal Hikam, 2: 120). Artinya, meskipun seorang budak jadi pemimpin,
maka kita tetap taat.
Hadits yang menyebutkan penguasa zholim tetap wajib ditaati adalah hadits berikut ini.
يَكُونُ بَعْدِى
أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى
وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى
جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ
ضُرِبَ ظَهْرُكَ
وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».
“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak
mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan
sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka
orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad
manusia. “
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”
Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu,
walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah
mendengar dan ta’at kepada mereka” (HR. Muslim no. 1847).
Lihatlah bukankah yang disebutkan dalam hadits ini adalah
pemimpin yang zholim? Sampai ia menyiksa rakyatnya sendiri, sampai
memukul dan mengambil harta, ini jelas zholim. Namun lihatlah apa kata
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dengarlah dan ta’at kepada
pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu.
Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka”.
Subhanallah ... Ternyata prinsip yang satu ini sering tidak
diindahkan oleh kaum muslimin. Mereka begitu tidak bersabar dengan
kenaikan BBM, kalau benar mereka menganggap kenaikan BBM tersebut
sebagai suatu kezholiman.
Lihatlah prinsip yang diajarkan oleh Ahlus Sunnah sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ahmad berikut ini,
والسمع والطاعة للأئمة وأمير المؤمنين البر والفاجر
“Mendengar dan taatlah kepada penguasa dan amirul mukminin
(pemimpin orang mukmin), baik mereka adalah pemimpin yang baik, maupun
pemimpin yang fajir (pelaku maksiat yang zholim)” (Ushulus Sunnah, Imam
Ahmad).
Namun ketaatan kepada penguasa tidaklah mutlak, tidak harus
taat selamanya. Mentaati mereka bersifat muqoyyad, yaitu hanya taat
dalam yang ma’ruf, bukan perkara maksiat (Nasehat berharga yang kami
simpulkan dari perkataan Syaikh ‘Ubaid Al Jabiri hafizhohullah dalam
dauroh kitab Ushulus Sunnah di Riyadh KSA, 1-5 Jumadal Ula 1433).
Kita dapat memahami hal di atas dari ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang
beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu” (QS. An Nisa’: 59). Para ulama menerangkan bahwa kata ulil
amri (penguasa) dalam ayat ini tidak diulang dengan kata “أَطِيعُوا”
(taatilah). Ini menunjukkan bahwa ketaatan pada penguasa itu ada selama
bersesuaian dengan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.
Juga dalam hadits disebutkan,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada
Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat)”
(HR. Bukhari no. 7257).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ
الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ،
فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Seorang muslim wajib
mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak
diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat,
maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat” (HR. Bukhari no. 7144).
‘Ali bin Abi Tholib pernah berkata,
إنَّ الناسَ لا يُصلحهم إلاَّ إمامٌ بَرٌّ أو فاجر ، إنْ كان فاجراً عبدَ المؤمنُ فيه ربَّه ، وحمل الفاجر فيها إلى أجله
“Manusia tidaklah akan menjadi baik melainkan di bawah
penguasa yang baik maupun fajir (zholim). Jika penguasa tersebut zholim,
selama masih beriman, maka kezholimannya adalah urusan dia dengan
Rabbnya” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya, 15:
328).
Maslahat Taat kepada Penguasa
Banyak maslahat yang kita peroleh ketika kita menaati keputusan penguasa.
Al Hasan Al Bashri
rahimahullah berbicara mengenai ketaatan pada penguasa, “Mereka
(penguasa) mengurusi lima perkara untuk kemaslahatan kita: shalat
Jum’at, shalat jama’ah, shalat ‘ied, penjagaan tabal batas dan hukum
had. Semua perkara tersebut tidaklah bisa tegak kecuali dengan penegakan
dari penguasa meskipun mereka suka melampaui batas dan berbuat zholim.
Demi Allah, maslahat ketika taat pada penguasa itu lebih besar dibanding
mafsadat yang ditimbulkan. Menaati penguasa adalah suatu keselamatan
dan berlepas diri dari mereka adalah suatu kekufuran (kebinasaan)”
(Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 117).
Ibnu Abil Izz
rahimahullah berkata, “Hukum mentaati pemimpin adalah wajib, walaupun
mereka berbuat zholim (kepada kita). Jika kita keluar dari mentaati
mereka maka akan timbul kerusakan yang lebih besar dari kezholiman yang
mereka perbuat. Bahkan bersabar terhadap kezholiman mereka dapat melebur
dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala. Allah Ta’ala tidak
menjadikan mereka berbuat zholim selain disebabkan karena kerusakan yang
ada pada diri kita juga. Ingatlah, yang namanya balasan sesuai dengan
amal perbuatan yang dilakukan (al jaza’ min jinsil ‘amal). Oleh karena
itu, hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam istigfar dan taubat serta
berusaha mengoreksi amalan kita” (Syarh Aqidah Ath Thohawiyah, hal. 381,
terbitan Darul ‘Aqidah).
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Mendengar dan mentaati
penguasa kaum muslimin mengandung maslahat dunia, mudahnya urusan hamba,
dan bisa menolong hamba dalam mentaati Allah” (Jaami’ul ‘Ulum wal
Hikam, 2: 117).
Taruhlah jika menaikkan BBM itu termasuk kezholiman,
bagaimana jika tidak? Dan kami berpikir sendiri, mengapa sampai
pemerintah punya niatan demikian? Kami berhusnuzhon bahwa pemerintah
sudah menimbang-nimbang adanya maslahat di balik itu semua. Dan kami
yakin tidak mungkin Pak SBY punya niatan untuk menyengsarakan rakyatnya
sendiri. Itulah husnuzhon kami.
Tidak Berdomenstrasi
Sejak dulu, kami tidak suka berdomenstrasi. Sudah sangat
ma’ruf bahwa demonstrasi sering dilakukan oleh mahasiswa. Dan kami pun
merupakan bagian dari mereka. Namun kami enggan berdomenstrasi, karena
mengingat mudhorotnya itu lebih besar dari manfaatnya. Jalanan macet,
terjadi kerusuhan, korban jiwa, luka-luka dan capek menghabiskan tenaga
serta tidak pula mendapatkan keuntungan bahkan kerugian masyarakat luas
yang diperoleh ketika demo. Jika kerugian yang diperoleh, kenapa
kerusakan dibalas dengan kerusakan? Bahkan kerusakan dari demonstrasi
lebih besar, dibanding kita mau menerima kenaikan BBM.
Guru kami, Syaikh Dr. Sholeh Al Fauzan berkata, “Adapun
demontrasi, agama Islam sama sekali tidak menyetujuinya. Karena yang
namanya demontrasi selalu menimbulkan kekacauan, menghilangkan rasa
aman, menimbulkan korban jiwa dan harta, serta memandang remeh penguasa
muslim. Sedangkan agama ini adalah agama yang terarur dan disiplin, juga
selalu ingin menghilangkan bahaya.
Lebih parah lagi jika
masjid dijadikan tempat bertolak menuju lokasi demontrasi dan pendudukan
fasilitas-fasilitas publik, maka ini akan menambah kerusakan,
melecehkan masjid, menghilangkan kemuliaan masjid, menakut-nakuti orang
yang shalat dan berdzikir pada Allah di dalamnya. Padahal masjid
dibangun untuk tempat berdzikir, beribadah pada Allah, dan mencari
ketenangan.
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim mengetahui
perkara-perkara ini. Janganlah sampai kaum muslimin menyeleweng dari
jalan yang benar karena mengikuti tradisi yang datang dari orang-orang
kafir, mengikuti seruan sesat, sekedar mengikuti orang kafir dan
orang-orang yang suka membuat keonaran” [Fatwa Syaikh Shalih bin
'Abdillah Al Fauzan].
Tidak Menyebarkan ‘Aib Penguasa
Ketika shalat, lalu
kita berbuat salah, kemudian, kita ditegur di depan orang banyak, pasti
kita sulit menerima nasehat semacam itu. Begitu halnya dengan penguasa,
ketika ia dijelek-jelekkan di depan halaman DPR, dikatakan “neolib” dan
“menyengsarakan rakyat banyak”, pasti tidak ada penguasa yang mau terima
dengan nasehat semacam itu. Begitu pula dalam Islam tidaklah menyukai
yang demikian karena nasehat yang terbaik adalah nasehat empat mata,
bukan di khalayak ramai. Setiap orang pun akan senang dengan nasehat
semacam itu.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ
يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ
فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ
وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa yang
hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia
tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan
penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang
diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat
kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati).”
(HR. Ahmad 3: 403. Syaikh Syu’aib Al Arnauht mengatakan bahwa hadits ini
hasan dilihat dari jalur lain).
Sabar Tak Ada Batasnya
Solusi utama untuk menghadapi kenaikan BBM ini adalah
husnuzhon dengan keputusan Presiden dan bersabar. Dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ
عَلَيْهِ ، فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ ، إِلاَّ
مَاتَ مِيتَةً
جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa melihat sesuatu pada pemimpinnya sesuatu yang
tidak ia sukai, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang melepaskan
diri satu jengkal saja dari jama’ah, maka ia mati seperti matinya
jahiliyah (artinya: ia mati dalam keadaan jelek dan bukan mati kafir,
pen)” (HR. Bukhari no. 7054 dan Muslim no. 1849).
Dan bersabar tidaklah ada batasnya. Orang yang katakan
sabar itu ada batasnya, itu keliru. Karena pahalanya saja tak hingga,
bahkan surga, bagaimana bisa dikatakan sabar itu ada batasnya.
Jika kita tidak bersabar terhadap keputusan penguasa, kita
akan kehilangan pahala besar berupa surga bagi orang yang mau bersabar.
Ingatlah janji Allah,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar, ganjaran bagi mereka adalah tanpa hisab (tak terhingga)” (QS. Az Zumar: 10).
Al Auza’i mengatakan bahwa ganjarannya tidak bisa ditakar
dan ditimbang. Ibnu Juraij mengatakan bahwa pahala bagi orang yang
bersabar tidak bisa dihitung sama sekali, akan tetapi ia akan diberi
tambahan dari itu. Maksudnya, pahala mereka tak terhingga. Sedangkan As
Sudi mengatakan bahwa balasan bagi orang yang bersabar adalah surga
(Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7: 89).
Berpikir Rasional dengan Mencari Solusi
Kami lebih senang dengan solusi yang ditawarkan oleh Pak Menteri Dahlan Iskan, daripada dengan buang-buang tenaga untuk berdemo.
Intinya, untuk melawan
kenaikan harga BBM yang pernah, sedang, dan akan terus terjadi itu, tak
ada jalan terbaik kecuali kita musuhi BBM. Kita jadikan BBM musuh kita
bersama. Kita demo BBM-nya ramai-ramai, bukan mendemo kenaikannya. Kalau
setiap kenaikan BBM didemo, kita hanya akan terampil berdemo. Tapi
kalau BBM-nya yang kita musuhi, kita akan lebih kreatif mencari jalan
keluar bagi bangsa ini ke depan.
Jalan terbaik adalah jangan lagi menggunakan BBM. Kalau
kita sudah tidak menggunakan BBM, apa peduli kita pada barang yang juga
menjadi penyebab rusaknya lingkungan itu. Kelak, kita bersikap begini:
biarkan dia naik terus menggantung sampai setinggi Monas! Kalau kita
tidak lagi menggunakannya, mau apa dia!
Tanpa ada gerakan nyata
untuk melawan BBM, seumur hidup kita akan ngeri seperti sekarang.
Seumur hidup kita harus siap-siap berdemonstrasi. Seumur hidup kita
tidak berubah!
Kalau sudah tahu bahwa
seumur hidup kita akan terjerat BBM seperti itu mengapa kita tidak
mencari jalan lain? Mengapa kita menyerah pada keadaan? “Mengapa?
Mengapa? ... Tidakkah kita harus takut kepada yang menciptakan alam
semesta ini? Berapa kali Allah mengatakan “Afalaa ta’qiluuun?”.
Baca ulasan Pak Menteri lebih jauh di sini: Hamil Tua untuk Lahirnya Putera Petir.
Dan kami yakin di balik kesulitan ini, ada kemudahan yang akan segera dan segera menghampiri rakyat kita.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS. Alam Nasyroh: 5).
Ayat ini pun diulang setelah itu,
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS. Alam Nasyroh: 6).
Sahabat mulia,
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Seandainya
kesulitan masuk ke dalam suatu lubang, maka kemudahan pun akan
mengikutinya karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Karena
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan.” (Dikeluarkan oleh Ath Thobari, 24: 496)
Ini berarti di balik
kesulitan dengan naiknya BBM, pasti ada kebahagiaan yang semakin dekat.
Kenapa kita tidak optimis dengan janji Allah di atas? Kenapa malah
pesimis dan banyak khawatir?
Ya Allah, berilah kami
kesabaran dalam menghadapi musibah ini. Berilah pula hidayah kepada kami
dan saudara-saudara kami agar diberi taufik untuk bersabar menghadapi
musibah demi musibah. Dan perbaikilah keadaan kami dan pemimpin-pemimpin
kami.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 6 Jumadal Ula 1433 H
www.rumaysho.com
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer