Bulan Ramadhan memiliki keistimewaan di banding bulan-bulan yang lain, di antaranya:
- Pada bulan Ramadhan, Al Qur’an diturunkan (lih. Al Baqarah: 185).
- Pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu (HR. Bukhari)
- Di bulan itu ada malaikat yang menyeru, “Wahai orang yang menginginkan kebaikan, bergembiralah!. Wahai orang yang menginginkan keburukan, berhentilah!.” (HR. Ahmad dan Nasa’i, sanadnya jayyid)
- Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan
mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu. (HR.
Bukhari)
- Amal saleh di bulan Ramadhan
dilipatgandakan pahalanya. Contohnya berumrah di bulan Ramadhan sana
seperti berhajji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada harumnya minyak kesturi (HR. Bukhari)
- Di bulan Ramadhan terdapat suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, yaitu Lailatul Qadr (lih. Surat Al Qadr).
- Dan keutamaan lainnya yang begitu banyak.
Amalan yang disyari’atkan di bulan Ramadhan
Di bulan Ramadhan ada beberapa amalan yang disyari’atkan, di antara
amalan itu ada yang wajib dan ada yang sunat. Berikut amalan tersebut:
- Berpuasa,
Dalam hadits Qudsiy Allah berfirman:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“Semua amal anak Adam untuknya selain puasa, puasa itu untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menunjukkan keutamaan puasa di banding amalan yang lain
dan besarnya pahala yang akan Allah berikan kepada orang yang berpuasa,
karena Dia yang akan membalasnya.
- Shalat Tarawih
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang melakukan
qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mengharapkan pahala,
maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)
Lebih utama lagi jika dilakukan berjama’ah bersama imam hingga
selesai, karena akan dicatat untuknya pahala melakukan shalat semalaman
suntuk.
- Bersedekah
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan, dan Beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan,
bahkan melebihi angin yang berhembus. Hal ini menunjukkan bahwa
sepatutnya kita lebih sungguh-sungguh lagi beribadah dan beramal saleh
khususnya di waktu-waktu yang penuh keberkahan seperti di bulan
Ramadhan. Termasuk bersedekah di bulan Ramadhan adalah memberikan
makanan untuk berbuka orang yang berpuasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ فَطَّرَ صَائِماً كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يُنْقَصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ
“Barang siapa memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang
berpuasa, maka ia akan mendapatkan pahala orang yang berpuasa itu tanpa
dikurangi sedikitpun.” (HR. Ahmad, Nasa’i dan dishahihkan oleh Al Albani)
- Memperbanyak membaca Al Qur’an
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلصِّيَامُ وَاْلقُرْآنُ يُشَفَّعَان
لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُوْلُ الصِّيَامُ : أَيْ رَبِّ
مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهْوَةِ ، فَشَفِّعْنِي فِيْهِ ، وَيَقُوْلُ
اْلقُرْآنُ : مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِالَّليْلِ فَشَفِّعْنِيْ فِيْهِ ،
قَالَ : فَيُشَفَّعَانِ
“Puasa
dan Al Qur’an akan memberikan syafa’at kepada seorang hamba pada hari
kiamat, puasa akan berkata, “Ya Rabbi, aku mencegah dirinya untuk makan
dan mencegah syahwatnya, maka berikanlah aku izin memberikan syafa’at
untuknya”, sedangkan Al Qur’an berkata, “Aku telah mencegahnya tidur di
malam hari, maka berikanlah aku izin memberikan syafa’at untuknya”, maka
keduanya pun diizinkan memberi syafa’at.” (HR.Ahmad dan Thabrani, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ 3882)
- Duduk berdiam di masjid setelah shalat Shubuh sampai terbit matahari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ،
ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ، ثُمَّ صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ ، تَامَّةً
تَامَّةً تَامَّةً “
“Barang siapa shalat Subuh berjama’ah, lalu duduk berdzikr
mengingat Allah sampai matahari terbit. Setelah itu ia shalat dua rak’at
(shalat Isyraq), maka ia akan mendapatkan pahala seperti satu kali
hajji dan umrah secara sempurna, sempurna dan sempurna.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Shalat Isyraq dikerjakan pada
waktu dhuha di bagian awalnya ketika matahari terbit setinggi satu
tombak (jarak antara terbit matahari/syuruq dengan setinggi satu tombak
kira-kira ¼ jam).
- Beri’tikaf
Setelah hari-hari biasanya kita sibuk terhadap urusan dunia, kita
diminta hanya sebentar untuk menyibukkan diri dengan akhirat (fokus
kepada akhirat), yaitu dengan beri’tikaf.
I’tikaf artinya menetap di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Azza wa jalla. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa beri’tikaf sepuluh hari di bulan Ramadhan, namun pada tahun
wafatnya Beliau, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari. (sebagaimana
dalam riwayat Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Majah). I’tikaf ini hukumnya
sunat, dan menjadi wajib jika dinadzarkan oleh seseorang.
I’tikaf lebih utama dilakukan di sepuluh terakhir bulan Ramadhan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Waktunya dimulai dari setelah shalat Subuh hari pertama dan berakhir sampai matahari tenggelam akhir bulan Ramadhan.
I’tikaf terlaksana dengan seseorang tinggal di masjid dengan niat
beri’tikaf baik lama atau hanya sebentar, dan ia akan mendapatkan pahala
selama berada di dalam masjid.
Bagi yang beri’tikaf boleh memutuskan atau membatalkan i’tikafnya
kapan saja ia mau, jika ia sudah keluar dari masjid lalu ia hendak
beri’tikaf lagi, maka ia pasang niat lagi untuk beri’tikaf.
I’tikaf tidak batal ketika seseorang keluar dari masjid karena
terpaksa harus keluar (seperti ingin buang air, makan dan minum bila
tidak ada yang mengantarkan makan untuknya, pergi berobat, mandi dsb).
I’tikaf menjadi batal jika seseorang keluar dari masjid tanpa suatu keperluan serta melakukan jima’.
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata, “Sunnahnya
bagi yang beri’tikaf adalah tidak menjenguk orang yang sakit, tidak
menyentuh istri, memeluknya, tidak keluar kecuali jika diperlukan, dan
i’tikaf hanya bisa dilakukan dalam keadaan puasa, juga tidak dilakukan
kecuali di masjid jaami’ (masjid yang di situ ditegakkan shalat Jum’at
dan jama’ah).”
Amalan yang dilakukan ketika I’tikaf
Hendaknya orang yang beri’tikaf memanfa’atkan waktunya yang ada
dengan sebaik-baiknya, seperti memperbanyak dzikr (baik yang mutlak
maupun yang muqayyad), membaca Al Qur’an, mengerjakan shalat-shalat
sunnah dan amalan sunat lainnya serta memperbanyak tafakkur tentang
keadaannya yang telah lalu, hari ini dan yang akan datang juga merenungi
hakikat hidup di dunia. Ia pun hendaknya menghindari perbuatan yang
sia-sia seperti banyak bercanda, ngobrol dsb.
- Mencari malam Lailatul Qadr
Hendaknya seorang yang beri’tikaf
mencari malam lailatul qadr dalam I’tikafnya di malam-malam yang ganjil
dari sepuluh terakhir bulan Ramadhan –Meskipun mencari Lailatul qadr
tidak harus beri’tikaf–. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri mencari Lailatul Qadr dan memerintahkan para sahabat untuk
mencarinya. Lailatul qadr tidak terjadi pada malam tertentu dalam setiap
tahunnya, namun berubah-rubah, mungkin pada tahun ini malam ke 27, pada
tahun depan malam ke 29 dsb, dan sangat diharapkan terjadi pada malam
ke 27.
Mungkin hikmah mengapa malam Lailatul qadr disembunyikan oleh Allah
Ta’ala adalah agar diketahui siapa yang sungguh-sungguh beribadah dan
siapa yang bermalas-malasan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang melakukan shalat tarawih bertepatan dengan
malam Lailatul qadr karena iman dan mengharapkan pahala, maka akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Doa ketika mengetahui lailatul qadr adalah,
اَللّهُمَّ اِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اْلعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ
“Ya
Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pema’af, maka ma’afkanlah aku.” (HR.
Imam Ahmad dan Penyusun Kitab Sunan, kecuali Abu Dawud. Tirmidzi
berkata, “Hadits hasan shahih.”)
- Berumrah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عُمْرَةٌ فِي رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً
“Berumrah di bulan Ramadhan sama seperti hajji.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Memperbanyak membaca Al Qur’an, berdzikr dan berdoa
Siang dan malam bulan Ramadhan adalah saat-saat utama beramal shalih,
maka manfaatkanlah dengan banyak membaca Al Qur’an, berdzikr dan
berdoa.
- Menjauhi maksiat.
Seorang muslim harus menjauhi
maksiat, apalagi di bulan Ramadhan seperti ghibah (gosip), namimah
(mengadu domba), berdusta, memakai cincin emas bagi laki-laki, melihat
hal-hal yang haram dilihat, mendengarkan musik, menyakiti kaum muslimin
baik dengan lisan maupun dengan perbuatan, menggambar makhluk bernyawa,
bersumpah dengan nama selain Allah, bertasyabbuh (menyerupai)
orang-orang kafir, merokok, isbal (melabuhkan kain melewati mata kaki),
riya’, mencukur janggut, memakan riba, bekerja di bank-bank ribawi,
mengasuransikan jiwa dan harta (asuransi konvensional), memberikan
persaksian dusta, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لمَ ْيَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْس ِللهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa yang tidak mau meninggalkan kata-kata dusta dan
beramal dengannya, maka Allah tidak lagi butuh ia meninggalkan makan dan
minumnya.” (HR. Bukhari)
Ia pun harus menjauhi mencaci-maki orang lain dan menjauhi maksiat
lainnya baik yang berupa ucapan maupun perbuatan, melakukan penipuan
(ghisy), durhaka kepada kedua orang tua, memutuskan tali silaturrahim,
hasad (dengki), menyia-nyiakan shalat dan lainnya.
Dan bagi wanita haram melepas
jilbab, bertabarruj (bersolek kepada yang bukan suaminya) dan memakai
wewangian ketika keluar dari rumah.
Penggolongan orang yang berpuasa
Puasa wajib bagi setiap muslim yang sudah baligh, berakal, mampu dan mukim (tidak bersafar). Ada beberapa golongan manusia dalam masalah puasa, berikut pembagiannya:
- Anak kecil yang belum baligh tidak wajib berpuasa, namun hendaknya ia disuruh agar terbiasa mengerjakan kewajiban.
- Bagi orang yang tidak mampu berpuasa karena sebab yang tidak bisa hilang, seperti karena tua dan orang yang sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya, maka keduanya cukup memberi makan untuk sehari satu orang miskin.
- Orang yang sakit, namun bisa diharapkan kesembuhannya, maka jika ia berat untuk berpuasa pada saat itu, ia bisa berpuasa nanti setelah sembuh.
- Wanita yang haidh dan nifas tidak boleh berpuasa saat masih haidh dan nifas, ia cukup mengqadha’nya (membayar puasa) nanti setelah selesai haidh atau nifasnya.
- Bagi wanita yang hamil dan menyusui apabila keduanya merasa berat berpuasa karena kehamilannya atau karena ia menyusui atau pun karena mengkhawatirkan janinnya maka (cukup) membayar fidyah, tidak perlu mengqadha’. Jika keduanya mau mengqadha’ maka silahkan mengqadha’, dan jika telah mengqadha’ maka tidak perlu membayar fidyah.
- Seorang musafir dipersilahkan untuk berpuasa atau berbuka. Jika berbuka maka ia harus mengqadha’nya.
Hal yang membatalkan puasa
Yang membatalkan puasa adalah makan dan minum dengan sengaja, berjima’, datang haidh atau nifas dan muntah dengan sengaja.
Syaikh Ibnu ’Utsaimin menjelaskan
bahwa makan dan minum dapat membatalkan puasa, baik yang bermanfa’at
maupun yang berbahaya seperti rokok, demikian juga yang semakna dengan
makan dan minum yaitu memberikan suntikan yang berisi makanan.
Perlu diketahui, bahwa seorang yang berpuasa tidaklah batal puasanya jika melakukan hal yang membatalkan puasa karena lupa, tidak mengetahui atau dipaksa.
Oleh karena itu, jika seorang lupa sehingga makan atau minum maka tidak
batal puasanya. Demikian juga jika seseorang makan atau minum karena
beranggapan matahari sudah tenggelam atau fajar belum terbit, maka tidak
batal puasanya karena ia tidak mengetahui. Dan jika seseorang
berkumur-kumur lalu ternyata air masuk ke dalam perutnya tanpa sengaja,
maka tidak batal puasanya karena itu bukan pilihannya. ’Atha’ berkata, ”Jika
seseorang beristintsar (menghirup air ke hidung dan mengeluarkannya),
lalu ternyata air itu masuk ke tenggorokan, maka tidak mengapa jika ia
tidak kuasa.” Al Hasan berkata, ”Jika lalat masuk ke tenggorokannya, maka ia tidak diwajibkan apa-apa.”
Oleh: Ustadz Marwan bin Musa
Referensi: Nubadz fish shiyaam (Syaikh Ibnu ‘Utaimin), Risalah sayhri Ramadhan (Khaalid bin Abdillah Al Hamuudiy), Fiqhus Sunnah dll.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer