Penulis : Al-Ustadz Abu Muawiah Hafidzahullah
Setelah
sebelumnya dibahas mengenai hukum Bangkai, Darah, Daging babi, Khamr,
Hewan buas bertaring, Burung bercakar kuat, Jallalah (pemakan faeces),
Kuda, keledai jinak dan Baghol, maka tulisan berikut akan membahas
mengenai Hukum dari:
- Anjing, Gajah, Kelinci, Belalang, Kadal padang pasir, Kepiting, Gagak, Anjing laut
- Kucing, Musang, Landak, Kodok, Semut, Burung Hud-hud, Tikus, Kelelawar
- Monyet, Hyena, Lebah, Kalajengking, Kura-kura, Ular, Tokek, Serangga
1. Anjing.
Para ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwa anjing termasuk dari hewan buas yang bertaring yang telah berlalu pengharamannya. Dan telah tsabit dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabd a:
إِنَّ الله إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu maka Dia akan mengharamkan harganya[1]“.
Dan telah tsabit
dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshory riwayat Al-Bukhary dan Muslim dan
juga dari hadits Jabir riwayat Muslim akan haramnya memperjualbelikan
anjing.
[Al-Luqothot point ke-12]
2. Kucing baik yang jinak maupun yang liar.
Jumhur ulama menyatakan haramnya memakan kucing karena dia termasuk hewan yang bertaring dan memangsa dengan taringnya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Fauzan. Dan juga telah warid dalam hadits Jabir riwayat Imam Muslim akan larangan meperjualbelikan kucing, sehingga hal ini menunjukkan haramnya.[Al-Majmu' (9/8) dan Hasyiyah Ibni 'Abidin (5/194)]
3. Monyet.
Ini merupakan madzhab Syafi’iyah dan merupakan pendapat dari ‘Atho`, ‘Ikrimah, Mujahid, Makhul, dan Al-Hasan. Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Dan monyet adalah haram, karena Allah -Ta’ala- telah merubah sekelompok manusia yang bermaksiat (Yahudi) menjadi babi dan monyet sebagai hukuman atas mereka. Dan setiap orang yang masih mempunyai panca indra yang bersih tentunya bisa memastikan bahwa Allah -Ta’ala- tidaklah merubah bentuk (suatu kaum) sebagai hukuman (kepada mereka) menjadi bentuk yang baik dari hewan, maka jelaslah bahwa monyet tidak termasuk ke dalam hewan-hewan yang baik sehingga secara otomatis dia tergolong hewan yang khobits (jelek)”[2].[Al-Luqothot point ke-13]
4. Gajah.
Madzhab jumhur
ulama menyatakan bahwa dia termasuk ke dalam kategori hewan buas yang
bertaring. Dan inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr,
Al-Qurthuby, Ibnu Qudamah, dan Imam An-Nawawy -rahimahumullah-.
[Al-Luqothot point ke-14]
5. Musang (arab: tsa’lab)
Halal, karena walaupun bertaring hanya saja dia tidak mempertakuti dan memangsa manusia atau hewan lainnya dengan taringnya dan dia juga termasuk dari hewan yang baik (arab: thoyyib). Ini merupakan madzhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, dan salah satu dari dua riwayat dari Imam Ahmad.[Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni' (3/528), dan Asy-Syarhul Kabir (11/67)]
6. Hyena/kucing padang pasir (arab: Dhib’un)
Pendapat yang
paling kuat di kalangan ulama -dan ini merupakan pendapat Imam
Asy-Syafi’iy dan Imam Ahmad- adalah halal dan bolehnya memakan daging
hyena. Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Abi
‘Ammar, beliau berkata, “Saya bertanya kepada Jabir, “apakah hyena
termasuk hewan buruan?”, beliau menjawab, “iya”. Saya bertanya lagi,
“apakah boleh memakannya?”, beliau menjawab, “boleh”. Saya kembali
bertanya, “apakah pembolehan ini telah diucapkan oleh Rasulullah?”,
beliau menjawab, “iya”“. Diriwayatkan oleh Imam Lima[3] dan dishohihkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy dan selainnya. Lihat Talkhishul Khabir (4/152).
Pendapat ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (9/568) dan Imam Asy-Syaukany.
Adapun jika ada
yang menyatakan bahwa hyena adalah termasuk hewan buas yang bertaring,
maka kita jawab bahwa hadits Jabir di atas lebih khusus daripada hadits
yang mengharamkan hewan buas yang bertaring sehingga hadits yang
bersifat khusus lebih didahulukan. Atau dengan kata lain hyena
diperkecualikan dari pengharaman hewan buas yang bertaring. Lihat Nailul
Author (8/127) dan I’lamul Muwaqqi’in (2/117).
[Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/52)]
7. Kelinci.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:
أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم أُهْدِيَ لَهُ عَضْوٌ مِنْ أَرْنَبٍ، فَقَبِلَهُ
“Sesungguhnya
beliau (Nabi) -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah diberikan hadiah
berupa potongan daging kelinci, maka beliaupun menerimanya”.
Imam Ibnu Qudamah
berkata dalam Al-Mughny, “Kami tidak mengetahui ada seorangpun yang
mengatakan haramnya (kelinci) kecuali sesuatu yang diriwayatkan dari
‘Amr ibnul ‘Ash”.
[Al-Luqothot point ke-16]
8. Belalang.
Telah berlalu dalam
hadits Ibnu ‘Umar bahwa bangkai belalang termasuk yang diperkecualikan
dari bangkai yang diharamkan. Hal ini juga ditunjukkan oleh perkataan
Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:
غَزَوْنََا مَعَ رسول الله صلى الله عليه وسلم سَبْعَ غَزَوَاتٍ نَأْكُلُ الْجَرَادَ
“Kami berperang
bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sebanyak 7 peperangan
sedang kami hanya memakan belalang”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
[Al-Luqothot point ke-17]
9. Kadal padang pasir (arab: dhobbun[4]).
Pendapat yang
paling kuat yang merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah bahwa
dhabb adalah halal dimakan, hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- tentang biawak:
كُلُوْا وَأَطْعِمُوْا فَإِنَّهُ حَلاَلٌ
“Makanlah dan
berikanlah makan dengannya (dhabb) karena sesungguhnya dia adalah
halal”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar)
Adapun keengganan
Nabi untuk memakannya, hanyalah dikarenakan dhabb bukanlah makanan
beliau, yakni beliau tidak biasa memakannya. Hal ini sebagaimana yang
beliau khabarkan sendiri dalam sabdanya:
لاَ بَأْسَ بِهِ، وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي
“Tidak apa-apa, hanya saja dia bukanlah makananku”.
Ini yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/97).
[Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/529)]
10. Landak.
Syaikh Al-Fauzan menguatkan pendapat Asy-Syafi’iyyah akan boleh dan halalnya karena tidak ada satupun dalil yang menyatakan haram dan khobitsnya. Lihat Al-Majmu’ (9/10).
11. Ash-shurod, kodok, semut, burung hud-hud, dan lebah.
Kelima hewan ini haram dimakan, berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ
“Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang membunuh shurod, kodok, semut,
dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih).
Adapun larangan membunuh lebah, warid dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud.
Dan semua hewan
yang haram dibunuh maka memakannyapun haram. Karena tidak mungkin
seeokor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh.
[Al-Luqothot point ke-19 s/d 23]
12. Yarbu’.
Halal. Ini
merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, dan merupakan
pendapat ‘Urwah, ‘Atho` Al-Khurosany, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir,
karena asal dari segala sesuatu adalah halal, dan tidak ada satupun
dalil yang menyatakan haramnya yarbu’ ini. Inilah yang dikuatkan oleh
Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (11/71).
[Hasyiyatul Muqni' (3/528) dan Mughniyul Muhtaj (4/299)]
13. Kalajengking, ular, gagak, tikus, tokek, dan cicak.
Karena semua hewan
yang diperintahkan untuk dibunuh tanpa melalui proses penyembelihan
adalah haram dimakan, karena seandainya hewan-hewan tersebut halal untuk
dimakan maka tentunya Nabi tidak akan mengizinkan untuk membunuhnya
kecuali lewat proses penyembelihan yang syar’iy.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
خَمْسٌ
فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فَي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: اَلْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ
الْاَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالٍْكَلْبُ وَالْحُدَيَّا
“Ada lima
(binatang) yang fasik (jelek) yang boleh dibunuh baik dia berada di
daerah halal (selain Mekkah) maupun yang haram (Mekkah): Ular, gagak
yang belang, tikus, anjing, dan rajawali (HR. Muslim)
Adapun tokek dan
-wallahu a’lam- diikutkan juga kepadanya cicak, maka telah warid dari
hadits Abu Hurairah riwayat Imam Muslim tentang anjuran membunuh wazag
(tokek).
[Bidayatul Mujtahid (1/344) dan Tafsir Asy-Syinqithy (1/273)]
14. Kura-kura (arab: salhafat), anjing laut, dan kepiting (arab: sarthon).
Telah berlalu penjelasannya pada pendahuluan yang ketiga bahwa ketiga hewan ini adalah halal dimakan.
[Al-Luqothot point ke-28 s/d 30]
15. Siput (arab: halazun) darat, serangga kecil, dan kelelawar.
Imam Ibnu Hazm
menyatakan, “Tidak halal memakan siput darat, juga tidak halal memakan
seseuatupun dari jenis serangga, seperti: tokek (masuk juga cicak),
kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk dan yang sejenis
dengan mereka, berdasarkan firman Allah -Ta’ala-, “Diharamkan untuk
kalian bangkai”, dan firman Allah -Ta’ala-, “Kecuali yang kalian
sembelih”. Dan telah jelas dalil yang menunjukkan bahwa penyembelihan
pada hewan yang bisa dikuasai/dijinakkan, tidaklah teranggap secara
syar’iy kecuali jika dilakukan pada tenggorokan atau dadanya. Maka semua
hewan yang tidak ada cara untuk bisa menyembelihnya, maka tidak ada
cara/jalan untuk memakannya, sehingga hukumnya adalah haram karena tidak
bisa dimakan, kecuali bangkai yang tidak disembelih”[5].
[Al-Luqothot point ke-31 s/d 34]
Inilah secara ringkas
penyebutan beberapa kaidah dalam masalah penghalalan dan pengharaman
makanan beserta contoh-contohnya semoga bisa bermanfaat. Penyebutan
makanan sampai point ke-25 di atas bukanlah dimaksudkan untuk membatasi
bahwa makanan yang haram jumlahnya hanya sekitar itu, akan tetapi yang
kami inginkan dengannya hanyalah menjelaskan kaidah umum dalam masalah
ini yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur dalam menghukumi hewan-hewan
lain yang tidak sempat kami sebutkan.
Adapun makanan selain hewan
dan juga minuman, maka hukumnya telah kami terangkan secara global dalam
pendahuluan-pendahuluan di awal pembahasan, yang mana
pendahuluan-pendahuluan ini adalah semacam kaidah untuk menghukumi
semuanya, wallahul muwaffiq.
Referensi:
- Al-Ath’imah wa Ahkamis Shoyd wadz Dzaba`ih, karya Syaikh Al-Fauzan, cet. I th. 1408 H/1988 M, penerbit: Maktabah Al-Ma’arif Ar-Riyadh.
- Al-Majmu’, Imam An-Nawawy, Cet. Terakhir, th. 1415 H/1995 M, penerbut: Dar Ihya`ut Turots Al-Araby.
- Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd Al-Maliky, cet. X, th. 1408 H/1988 M, penerbit: Darul Kutubil ‘Ilmiyah .
- Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath’imah wal Masyrubat, karya Muhammad bin Hamd Al-Hamud An-Najdy.
[1] Maksudnya diharamkan menjualnya, menyewanya, dan seterusnya dari bentuk tukar-menukar harga.
[2] Al-Muhalla (7/429)
[3] Mereka adalah Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa`iy, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah.
[4]
Termasuk kekeliruan dari sebagian orang ketika menerjemahkan dhib’un
dengan biawak, padahal keduanya berbeda. Biawak termasuk hewan yang
diharamkan untuk dimakan, wallahu a’lam.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer