Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz -semoga Allah merahmati beliau- ditanya, “Kami berihram dan kami mengambil manasik tamattu’.
Kami telah menunaikan umrah dan kami pun telah bertahallul. Sebagian ada yang menyarankan untuk segera menunaikan hadyu dan segera disebar di Mekkah, jadinya berarti kita sudah melakukan sembelihan di Mekkah. Kemudian kami ketahui setelah itu bahwa penyembelihan hadyu itu sah setelah melempar jumroh ‘aqobah. Aku sebenarnya telah mengetahui hal tersebut sebelumnya. Aku pun katakan pada mereka untuk menunda penyembelihan hingga hari Nahr (Idul Adha) atau setelah itu (pada hari tasyriq). Namun ada yang menyarankan untuk segera menunaikan sembelihan hadyu ketika kami sampai dan telah menunaikan umroh. Setelah satu hari dari umroh, kami pun menunaikan hadyu. Apa hukum masalah ini? Apa kewajiban kami dalam kondisi seperti ini?”
Syaikh rahimahullah menjawab,
“Barangsiapa yang menyembelih hadyu sebagai damm tamattu’ sebelum hari ‘ied, hadyunya tidaklah sah. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidaklah pernah menyembelih hadyu kecuali telah masuk hari Nahr (Idul Adha). Mereka pernah tiba untuk menunaikan haji dan mereka mengambil manasik tamattu’ pada hari keempat Dzulhijjah. Mereka membawa hewan ternak dan unta, hewan-hewan tersebut tetap masih bersama mereka dan mereka baru menyembelihnya setelah datang hari Nahr (Idul Adha).
Jika penyembelihan hadyu dibolehkan sebelum Idul Adha, maka tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat segera melakukannya pada hari keempat Dzulhijjah (ketika mereka tiba) sebelum mereka bertolak menuju ‘Arofah. Karena manusia sudah butuh untuk menyantap daging saat itu. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak menunaikannya saat itu namun baru menunaikan ketika datang hari Idul Adha, ini menunjukkan tidak sahnya. Sehingga yang menyembelih sebelum hari Idul Adha, maka ia telah menyelisihi ajaran Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Jika kita melakukan syari’at baru, maka tentu tidak sah sebagaimana orang yang shalat atau puasa sebelum waktunya. Tidak puasa Ramadhan yang dilakukan sebelum waktunya. Tidak sah pula shalat yang dikerjakan sebelum waktunya, dan semacam itu.
Intinya, ibadah yang dilakukan sebelum waktunya tidaklah sah. Ia punya kewajiban untuk mengulangi sembelihan tersebut jika ia mampu. Jika tidak mampu, maka ia bisa memilih puasa selama tiga hari pada hari haji dan tujuh hari ketika kembali ke negerinya. Jadinya, total puasa tersebut adalah sepuluh hari sebagai ganti dari sembelihan tadi. Karena Allah Ta’ala berfirman,
فَمَن
تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ
إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
“Bagi siapa yang ingin melakukan haji tamattu’ (mengerjakan
'umrah sebelum haji di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih)
korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang
korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji
dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh
(hari) yang sempurna.” (QS. Al Baqarah: 196).” [Fatawa Tata’allaq bi Ahkamil Hajj wal ‘Umroh waz Ziyaroh, hal. 83. Link fatwa]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Thorifiy -semoga Allah memberkahi umur beliau- berkata, “Tidak boleh menyembelih hadyu sebelum hari nahr (Idul Adha). Demikian pendapat jumhur (mayoritas) ulama, berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i menilai bolehnya menunaikan hadyu setelah seseorang masuk
berihram untuk menunaikan haji. Perkataan beliau -rahimahullah- telah
menyelisihi praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak diketahui dari para sahabat menyelisihi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini untuk melepas kewajiban.” (Shifat Hajjatin Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, hal. 192)
Wallahu waliyyut taufiq. @ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 2 Dzulhijjah 1433 H
www.rumaysho.com
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer