Ibnu Taimiyah berkata -tatkala menjelaskan model-model para pengghibah-,
1. Ada orang yang mengghibah untuk menyesuaikan diri (agar obrolannya nyambung) dengan teman-teman duduknya, para sahabatnya, atau karib kerabatnya. Padahal ia mengetahui bahwasanya orang yang dighibahi berlepas diri dari apa yang mereka katakan. Atau memang benar pada dirinya sebagian apa yang mereka katakan akan tetapi ia melihat kalau ia mengingkari (ghibah yang) mereka lakukan maka ia akan memutuskan pembicaraan, dan para sahabatnya akan bersikap berat (tidak enak) kepadanya dan meninggalkannya. Maka iapun memandang bahwa sikapnya yang menyesuaikan diri dengan mereka merupakan sikap yang baik kepada mereka dan merupakan bentuk hubungan pergaulan yang baik. Bisa jadi mereka marah –jika ia mengingkari mereka- maka iapun akan balas marah karena hal itu. Karenanya iapun tenggelam bersama mereka untuk berghibah ria
2. Diantara mereka (para tukang ghibah) ada yang bergibah ria dengan model yang bermacam-macam. Terkadang menampakkan ghibah dalam bentuk agama dan kebaikan, maka ia berkata, “Bukanlah kebiasaanku menyebutkan seorangpun kecuali hanya menyebutkan kebaikan-kebaikannya, dan aku tidak suka ghibah, tidak juga dusta. Hanya saja aku kabarkan kepada kalian tentang kondisinya”. Atau ia berkata, “Kasihan dia…”, atau “Ia orang yang baik namun pada dirinya ada begini dan begitu”. Dan terkadang ia berkata, “Jauhkanlah kami dari (pembicaraan) tentangnya, semoga Allah mengampuni kita dan dia”, namun niatnya adalah untuk merendahkannya dan menjatuhkannya. Mereka membungkus ghibah dengan label-lebel kebaikan dan label-lebel agama, mereka hendak menipu Allah dengan perbuatan mereka tersebut sebagaimana mereka telah menipu makhluk (manusia). Dan sungguh, kami telah melihat dari mereka model-model yang banyak seperti ini dan yang semisalnya[26].
3. Diantara mereka ada yang menjatuhkan orang lain karena riya’ dalam rangka untuk mengangkat dirinya sendiri. Ia berkata, “Kalau seandainya tadi malam aku berdoa dalam sholatku untuk si fulan tatkala sampai kepadaku kabar tentang dirinya begini dan begitu…”, untuk mengangkat dirinya dan menjatuhkan orang itu di sisi orang yang menganggap orang itu baik. Atau ia berkata, “Si fulan itu pendek akalnya, telat mikirnya”, padahal maksudnya adalah untuk memuji dirinya, untuk menunjukan bahwa dirinya pandai dan lebih baik dari orang tersebut.
4. Diantara mereka ada yang berghibah karena hasad (dengki), maka ia telah menggabungkan dua perkara buruk, ghibah dan hasad. Dan jika ada seseorang yang dipuji maka berusaha sekuat-kuatnya untuk menghilangkan (menangkis) pujian itu dengan merendahkannya dengan berkedok agama dan kebaikan, atau mewujudkan ghibah dalam bentuk hasad, kefajiran, dan celaan agar orang tersebut jatuh di hadapan matanya.
5. Diantaranya ada yang mewujudkan ghibah dalam bentuk ejekan dan menjadikannya bahan mainan agar membuat yang lainnya tertawa karena ejekannya atau ceritanya (sambil meniru-niru gaya orang yang dihina) tersebut, serta perendahaannya terhadap orang yang ia ejek tersebut.
6. Diantaranya ada yang menampakkan ghibah dalam bentuk sikap ta’jub (heran). Dia berkata, “Aku heran dengan si fulan, bagaimana ia sampai tidak mampu melakukan ini dan itu…”, “Aku heran dengan si fulan, kenapa bisa timbul darinya ini dan itu…kenapa bisa melakukan demikian dan demikian…”. Maka ia menampkan nama saudaranya (yang ia ghibahi tersebut) dalam bentuk sikap keheranannya.
7. Diantaranya ada yang mewujudkan ghibah dalam bentuk rasa sedih. Ia berkata, “Si fulan kasihan dia, sungguh aku sedih dengan apa yang telah dilakukannya dan yang telah terjadi pada dirinya..”. Maka orang lain yang mendengar perkataannya itu bahwa ia sedang sedih dan menyayangkan saudaranya itu, padahal hatinya penuh dengan rasa dendam. Jika ia mampu maka ia akan menambah-nambah lebih dari kejelekan yang terdapat pada saudaranya itu. Bahkan terkadang ia menyebutkan hal itu dihadapan musuh-musuh saudaranya tersebut agar mereka bisa membalasnya (menghabisinya). Model yang seperti ini dan juga yang lainnya merupakan penyakit-penyakit hati yang paling parah, dan juga merupakan bentuk usaha untuk menipu Allah dan para hamba-hambaNya.
8. Diantara mereka ada yang menampakkan ghibah dalam bentuk marah dan mengingkari kemungkaran. Dia menampakkan kata-kata yang indah (untuk mengghibahi saudaranya) dengan cara seperti ini (dengan alasan mengingkarai kemungkaran), padahal maksudnya bertentangan dengan apa yang ia nampakkan. Hanya Allahlah tempat meminta pertolongan
Faktor-faktor pendorong timbulnya ghibah:
Berkata Al-ghozaali:
((Ketahuilah bahwasanya faktor-faktor yang memotivasi timbulnya ghibah banyak akan tetapi semuanya terkumpul pada sebelas faktor. Delapan diantaranya berlaku pada orang-orang awam dan yang tiga sisanya berlaku pada orang-orang taat beragama dan orang-orang khusus.
Adapun yang delapan maka sebagai berikut:
1. Untuk memuaskan kemarahan. Hal ini terjadi jika kemarahan mengalir pada seseorang terhadap saudaranya. Tatkala kemarahan tersebut bergelora maka secara tabi’at (wajar) jika ia tidak memiliki (ghiroh) agama yang kuat maka kemarahan tersebut akan terlampiaskan dengan menyebutkan keburukan-keburukan saudaranya tersebut. Terkadang ia tidak melampiaskan kemarahannya tatkala sedang marah (terhadap saudaranya) maka akhirnya kemarahan tersebut terpendam di dalam batinnya kemudian berubah menjadi kedengkian yang menetap. Akhirnya kedengkian ini menjadi sebab yang selalu membuatnya menyebutkan keburukan-keburukan (saudaranya). Kedengkian dan kemarahan merupakan faktor yang besar yang memotivasi timbulnya ghibah
2. Untuk menyesuaikan diri dengan para sahabat dan sikap basa-basi terhadap mereka serta ikut andil bersama mereka dalam berghibah ria. Jika para sahabatnya sedang berasyik-asyik menyebutkan kejelekan-kejelekan orang lain maka ia memandang seandainya ia mengingkari perbuatan mereka tersebut atau memutuskan pembicaraan mereka maka mereka akan bersikap berat (tidak enak) kepadanya dan akan meninggalkannya. Maka iapun mendukung mereka dan ia memandang bahwa sikapnya merupakan bentuk hubungan pergaulan yang baik. Dia menyangka sikapnya tersebut merupakan bentuk basa-basi dalam pergaulan. Terkadang sahabat-sahabatnya tersebut marah (terhadap orang yang sedang mereka ghibahi) maka ia butuh untuk ikut-ikutan marah bersama mereka sebagai untuk menunjukan bahwasanya ia ikut andil bersama mereka dalam kesenangan dan kesulitan akhirnya iapun tenggelam bersama mereka dalam menyebtukan aib-aib dan keburukan-keburukan saudara mereka.
3. Ia merasa bahwa ada seseorang yang sentimen kepadanya dan menjelek-jelekannya dan keadaannya di sisi orang yang pemalu, atau orang tersebut bersaksi akan kejelekannya maka iapun segera menjelek-jelekan orang tersebut sebelum dia yang dijelek-jelekan dan mencelanya agar pengaruh persaksian orang tersebut menjadi tidak bernilai. Atau terlebih dahulu ia menyebutkan kejelekan orang tersebut dengan jujur lantas kemudian ia menjelek-jelekannya dengan berdusta tentangnya sehingga kebohongannya inipun laris diterima karena kejujurannya di awal celaannya. Kemudian diapun menjadikan kejujurannya pada awal celaannya itu sebagai dalil (untuk melariskan kebohongan-kebohongannya) seraya berkata, “Dusta bukanlah merupakan sifatku, aku telah mengabarkan kepada kalian tentang kejelekannya tersebut dan kenyataannya sebagaimana yang telah aku kabarkan kepada kalian”
4. Ia dituduh telah melakukan suatu keburukan maka ia hendak menyatakan bahwa dirinya berlepas diri dari tuduhan tersebut maka iapun menyebutkan pelaku sebenarnya. Sebenarnya merupakan haknya untuk membela diri namun tanpa menyebutkan pelaku sebenarnya. Maka janganlah ia menyandarkan tuduhan tersebut terhadap orang lain atau ia menyatakan bahwa ia tidak sendiri melakukan perkara tersebut akan tetapi ia menyebutkan orang lain yang ikut serta bersamanya melakukan perkara tersebut dengan maksud sebagai pembukaan agar udzurnya diterima (karena yang melakukan bukan hanya dia sendiri).
5. Keinginan untuk menampilkan diri dan menyaingi orang lain. Caranya yaitu dengan mengangkat dirinya dengan merendahkan orang lain seraya berkata, “Si fulan jahil (goblik), pemahamannya lemah, perkataannya lemah”, padahal tujuannya adalah untuk menunjukan kemuliaan dirinya di balik pencelaan-pencelaan tersebut atau ia kawatir orang tersebut akan diagungkan seperti diagungkannya (dihormatinya) dirinya sehingga iapun mencela orang tersebut.
6. Hasad (dengki) yaitu terkadang ia dengki kepada seseorang yang dipuji oleh masyarakat, dicintai, dan dimuliakan oleh mereka. Maka iapun ingin agar kenikmatan yang dikaruniakan kepada suadaranya itu segera hilang dan ia tidak menemukan cara untuk mencapai tujuannya kecuali dengan mencela suadaranya itu. Ia ingin menjatuhkan kemuliaan saudaranya itu dihadapan masyarakat agar masyarakat berhenti memuji saudaranya karena ia merasa berat jika mendengar pujian orang-orang terhadap saudaranya pemuliaan mereka terhadapnya. Inilah yang disebut hasad, dan hal ini berbeda dengan kemurkaan dan amarah yang terpendam, karena amarah akan mendorong si pemarah untuk berbuat tindakan lalim (kriminal) kepada orang yang ia murkai, adapun hasad terkadang timbul dari seorang sahabat yang berbuat baik dan teman yang sejalan.
7. Bercanda dan bergurau serta mengisi waktu dengan tertawa lalu menyebutkan aib-aib orang lain sehingga membuat orang-orang tertawa (contohnya) dengan cara meniru-niru gaya orang tersebut. Yang menjadikannya berbuat demikian adalah sifat sombong dan ‘ujub (kagum dengan diri sendiri).
8. Mengejek dengan tujuan untuk merendahkan saudaranya. Hal ini bisa terjadi dihadapan orang yang diejek dan juga bisa terjadi tidak dihadapannya (dan inilah yang termasuk ghibah). Sebab timbulnya ini adalah rasa angkuh dan perendahan terhadap orang yang ia ejek.
Adapun tiga sebab yang lain yang menjangkiti orang-orang yang khusus maka perkaranya sangatlah pelik dan rumit. Hal ini karena ketiga perkara tersebut merupakan kejelekan yang disembunyikan oleh syaitan dan dinampakan dalam bentuk kebaikan. Ada kebaikan namun syaitan mencampurnya dengan kejelekan.
1. Dikarenakan ghiroh terhadap agama maka muncul dari diri seseorang pendorong rasa kaget dan heran tatkala bernahi mungkar terhadap pelaku kemungkaran. Maka iapun berkata, “Aku sungguh heran dengan apa yang aku lihat dari perbuatan si fulan?”. Memang bisa jadi ia jujur dalam keheranannya (dia memang benar-benar heran) dan keheranannya itu karena melihat kemungkaran tersebut akan tetapi semestinya ia tidak perlu menyebutkan nama pelaku kemungkaran tersebut. Namun syaitan menjadikannya mudah untuk menyebutkan nama pelaku kemungkaran tersebut yang terbungkus dalam label keheranan. Akibatnya jadilah ia seorang penggunjing dan berdosa tanpa ia sadari. Contohnya adalah perkataan seseorang, “Aku heran dengan si fulan, bagaimana bisa ia mencintai budak wanitanya padahal budaknya tersebut jelek” dan, “Aku heran dengan si fulan bagaimana bisa ia duduk di hadapan si fulan padahal ia adalah seorang yang jahil”
2. Perasaan sayang dan kasihan terhadap seseorang dikarenakan aib yang dimiliki oleh orang tersebut. Maka iapun berkata, “Si fulan kasihan, kondisinya dan aib yang ada padanya telah menyedihkanku”. Dan ia memang jujur tatkala mengungkapkan kesedihannya tersebut akan tetapi kesedihannya itu telah melalaikannya untuk berhati-hati untuk tidak menyebutkan nama orang tersebut. Maka jadilah ia telah berghibah ria dan kasih sayangnya dan perasaan kasihannya merupakan kebaikan baginya. Demikian juga rasa ta’jubnya, akan tetapi syaitan membawakan perasaannya itu kepada kejelekan tanpa ia sadari. Sesungguhnya perasaan cinta kasih serta ikut sedih bisa diungkapkan tanpa harus menyebutkan nama fulan tersebut untuk menghancurkan pahala perasaan kasih sayangnya dan ikut sedihnya itu.
3. Kemarahan karena Allah. Karena seseorang bisa jadi marah terhadap kemungkaran yang dilakukan oleh seseorang, jika ia melihatnya langsung atau mendengarnya maka iapun menampakkan kemarahannya serta menyebutkan nama orang tersebut. Sesungguhnya yang wajib adalah ia menampakan kemarahannya langsung kepada pelaku kemungkaran tersebut dengan cara menegakkan Al-Amr bin Ma’ruf dan An-Nahyu ‘anil mungkar tanpa menampakkan kemarahannya tersebut kepada selain pelaku atau dengan menyembunyikan nama orang tersebut dan tidak menyebut nama-nama tersebut dengan kejelekan.
Inilah tiga perkara yang bagi para ulama sangat detail dan mendalam pembahasannya serta sangat samar. Apalagi terhadap orang-orang awam. Mereka (orang awam) menyangka bahwa sikap ta’jub dan perasaan sayang (kasihan) dan kemarahan jika dilakukan karena Allah maka hal ini merupakan alasan untuk bolehnya menyebutkan nama padahal persangkaan mereka ini merupakan kesalahan…))
Berkata Al-ghozaali:
((Ketahuilah bahwasanya faktor-faktor yang memotivasi timbulnya ghibah banyak akan tetapi semuanya terkumpul pada sebelas faktor. Delapan diantaranya berlaku pada orang-orang awam dan yang tiga sisanya berlaku pada orang-orang taat beragama dan orang-orang khusus.
Adapun yang delapan maka sebagai berikut:
1. Untuk memuaskan kemarahan. Hal ini terjadi jika kemarahan mengalir pada seseorang terhadap saudaranya. Tatkala kemarahan tersebut bergelora maka secara tabi’at (wajar) jika ia tidak memiliki (ghiroh) agama yang kuat maka kemarahan tersebut akan terlampiaskan dengan menyebutkan keburukan-keburukan saudaranya tersebut. Terkadang ia tidak melampiaskan kemarahannya tatkala sedang marah (terhadap saudaranya) maka akhirnya kemarahan tersebut terpendam di dalam batinnya kemudian berubah menjadi kedengkian yang menetap. Akhirnya kedengkian ini menjadi sebab yang selalu membuatnya menyebutkan keburukan-keburukan (saudaranya). Kedengkian dan kemarahan merupakan faktor yang besar yang memotivasi timbulnya ghibah
2. Untuk menyesuaikan diri dengan para sahabat dan sikap basa-basi terhadap mereka serta ikut andil bersama mereka dalam berghibah ria. Jika para sahabatnya sedang berasyik-asyik menyebutkan kejelekan-kejelekan orang lain maka ia memandang seandainya ia mengingkari perbuatan mereka tersebut atau memutuskan pembicaraan mereka maka mereka akan bersikap berat (tidak enak) kepadanya dan akan meninggalkannya. Maka iapun mendukung mereka dan ia memandang bahwa sikapnya merupakan bentuk hubungan pergaulan yang baik. Dia menyangka sikapnya tersebut merupakan bentuk basa-basi dalam pergaulan. Terkadang sahabat-sahabatnya tersebut marah (terhadap orang yang sedang mereka ghibahi) maka ia butuh untuk ikut-ikutan marah bersama mereka sebagai untuk menunjukan bahwasanya ia ikut andil bersama mereka dalam kesenangan dan kesulitan akhirnya iapun tenggelam bersama mereka dalam menyebtukan aib-aib dan keburukan-keburukan saudara mereka.
3. Ia merasa bahwa ada seseorang yang sentimen kepadanya dan menjelek-jelekannya dan keadaannya di sisi orang yang pemalu, atau orang tersebut bersaksi akan kejelekannya maka iapun segera menjelek-jelekan orang tersebut sebelum dia yang dijelek-jelekan dan mencelanya agar pengaruh persaksian orang tersebut menjadi tidak bernilai. Atau terlebih dahulu ia menyebutkan kejelekan orang tersebut dengan jujur lantas kemudian ia menjelek-jelekannya dengan berdusta tentangnya sehingga kebohongannya inipun laris diterima karena kejujurannya di awal celaannya. Kemudian diapun menjadikan kejujurannya pada awal celaannya itu sebagai dalil (untuk melariskan kebohongan-kebohongannya) seraya berkata, “Dusta bukanlah merupakan sifatku, aku telah mengabarkan kepada kalian tentang kejelekannya tersebut dan kenyataannya sebagaimana yang telah aku kabarkan kepada kalian”
4. Ia dituduh telah melakukan suatu keburukan maka ia hendak menyatakan bahwa dirinya berlepas diri dari tuduhan tersebut maka iapun menyebutkan pelaku sebenarnya. Sebenarnya merupakan haknya untuk membela diri namun tanpa menyebutkan pelaku sebenarnya. Maka janganlah ia menyandarkan tuduhan tersebut terhadap orang lain atau ia menyatakan bahwa ia tidak sendiri melakukan perkara tersebut akan tetapi ia menyebutkan orang lain yang ikut serta bersamanya melakukan perkara tersebut dengan maksud sebagai pembukaan agar udzurnya diterima (karena yang melakukan bukan hanya dia sendiri).
5. Keinginan untuk menampilkan diri dan menyaingi orang lain. Caranya yaitu dengan mengangkat dirinya dengan merendahkan orang lain seraya berkata, “Si fulan jahil (goblik), pemahamannya lemah, perkataannya lemah”, padahal tujuannya adalah untuk menunjukan kemuliaan dirinya di balik pencelaan-pencelaan tersebut atau ia kawatir orang tersebut akan diagungkan seperti diagungkannya (dihormatinya) dirinya sehingga iapun mencela orang tersebut.
6. Hasad (dengki) yaitu terkadang ia dengki kepada seseorang yang dipuji oleh masyarakat, dicintai, dan dimuliakan oleh mereka. Maka iapun ingin agar kenikmatan yang dikaruniakan kepada suadaranya itu segera hilang dan ia tidak menemukan cara untuk mencapai tujuannya kecuali dengan mencela suadaranya itu. Ia ingin menjatuhkan kemuliaan saudaranya itu dihadapan masyarakat agar masyarakat berhenti memuji saudaranya karena ia merasa berat jika mendengar pujian orang-orang terhadap saudaranya pemuliaan mereka terhadapnya. Inilah yang disebut hasad, dan hal ini berbeda dengan kemurkaan dan amarah yang terpendam, karena amarah akan mendorong si pemarah untuk berbuat tindakan lalim (kriminal) kepada orang yang ia murkai, adapun hasad terkadang timbul dari seorang sahabat yang berbuat baik dan teman yang sejalan.
7. Bercanda dan bergurau serta mengisi waktu dengan tertawa lalu menyebutkan aib-aib orang lain sehingga membuat orang-orang tertawa (contohnya) dengan cara meniru-niru gaya orang tersebut. Yang menjadikannya berbuat demikian adalah sifat sombong dan ‘ujub (kagum dengan diri sendiri).
8. Mengejek dengan tujuan untuk merendahkan saudaranya. Hal ini bisa terjadi dihadapan orang yang diejek dan juga bisa terjadi tidak dihadapannya (dan inilah yang termasuk ghibah). Sebab timbulnya ini adalah rasa angkuh dan perendahan terhadap orang yang ia ejek.
Adapun tiga sebab yang lain yang menjangkiti orang-orang yang khusus maka perkaranya sangatlah pelik dan rumit. Hal ini karena ketiga perkara tersebut merupakan kejelekan yang disembunyikan oleh syaitan dan dinampakan dalam bentuk kebaikan. Ada kebaikan namun syaitan mencampurnya dengan kejelekan.
1. Dikarenakan ghiroh terhadap agama maka muncul dari diri seseorang pendorong rasa kaget dan heran tatkala bernahi mungkar terhadap pelaku kemungkaran. Maka iapun berkata, “Aku sungguh heran dengan apa yang aku lihat dari perbuatan si fulan?”. Memang bisa jadi ia jujur dalam keheranannya (dia memang benar-benar heran) dan keheranannya itu karena melihat kemungkaran tersebut akan tetapi semestinya ia tidak perlu menyebutkan nama pelaku kemungkaran tersebut. Namun syaitan menjadikannya mudah untuk menyebutkan nama pelaku kemungkaran tersebut yang terbungkus dalam label keheranan. Akibatnya jadilah ia seorang penggunjing dan berdosa tanpa ia sadari. Contohnya adalah perkataan seseorang, “Aku heran dengan si fulan, bagaimana bisa ia mencintai budak wanitanya padahal budaknya tersebut jelek” dan, “Aku heran dengan si fulan bagaimana bisa ia duduk di hadapan si fulan padahal ia adalah seorang yang jahil”
2. Perasaan sayang dan kasihan terhadap seseorang dikarenakan aib yang dimiliki oleh orang tersebut. Maka iapun berkata, “Si fulan kasihan, kondisinya dan aib yang ada padanya telah menyedihkanku”. Dan ia memang jujur tatkala mengungkapkan kesedihannya tersebut akan tetapi kesedihannya itu telah melalaikannya untuk berhati-hati untuk tidak menyebutkan nama orang tersebut. Maka jadilah ia telah berghibah ria dan kasih sayangnya dan perasaan kasihannya merupakan kebaikan baginya. Demikian juga rasa ta’jubnya, akan tetapi syaitan membawakan perasaannya itu kepada kejelekan tanpa ia sadari. Sesungguhnya perasaan cinta kasih serta ikut sedih bisa diungkapkan tanpa harus menyebutkan nama fulan tersebut untuk menghancurkan pahala perasaan kasih sayangnya dan ikut sedihnya itu.
3. Kemarahan karena Allah. Karena seseorang bisa jadi marah terhadap kemungkaran yang dilakukan oleh seseorang, jika ia melihatnya langsung atau mendengarnya maka iapun menampakkan kemarahannya serta menyebutkan nama orang tersebut. Sesungguhnya yang wajib adalah ia menampakan kemarahannya langsung kepada pelaku kemungkaran tersebut dengan cara menegakkan Al-Amr bin Ma’ruf dan An-Nahyu ‘anil mungkar tanpa menampakkan kemarahannya tersebut kepada selain pelaku atau dengan menyembunyikan nama orang tersebut dan tidak menyebut nama-nama tersebut dengan kejelekan.
Inilah tiga perkara yang bagi para ulama sangat detail dan mendalam pembahasannya serta sangat samar. Apalagi terhadap orang-orang awam. Mereka (orang awam) menyangka bahwa sikap ta’jub dan perasaan sayang (kasihan) dan kemarahan jika dilakukan karena Allah maka hal ini merupakan alasan untuk bolehnya menyebutkan nama padahal persangkaan mereka ini merupakan kesalahan…))
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer