Prof. Hamka, dalam Tafsir al-Azhar, membuat uraian menyangkut ayat tersebut:
“Seorang Rasul diutus Allah untuk menyeru manusia menempuh Shirathal Mustaqim, jalan yang lurus.
Maka
segala syaitan-syaitan manusia dan jin itu menyusun pula kata-kata
yang penuh tipu daya untuk membelokkan perhatian orang daripada jalan
yang lurus itu. Mereka mencoba manggariskan jalan yang lain, memujikan,
mempropagandakan supaya orang merasa bahwa yang mereka kemukakan
itulah yang benar. Inilah tipudaya! Karena kalau sudah diselidiki kelak
dengan seksama, akan ternyata bahwa rencana yang mereka kemukakan itu
hanya semata-mata zukhrufal-qauli, yaitu kata-kata yang dihiasi. Zukhruf
artinya perhiasan, lebih besar bungkusnya daripada isinya, reklame
yang kosong penuh tipu.” (Hamka, Tafsir al-Azhar, Juzu’ VIII).
Kita
ingat, bahwa setelah terusir dari surga, Iblis kemudian bertekad bulat
untuk menyesatkan sebanyak-banyaknya manusia. Salah satu caranya,
sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur`an adalah menghiasi (mengemas)
kebathilan menjadi sesuatu yang indah, sehingga menarik perhatian
manusia untuk mengikutinya.
“Iblis
berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku
sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan
maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.
Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis diantara mereka.” (QS. al-Hjir: 39).
Tentu,
peringatan Allah SWT dalam al-Qur`an ini wajib kita camkan. Hidup di
era globalisasi dan kebebasan informasi mengharuskan kita bekerja keras
untuk mampu menyaring dan menilai, mana informasi yang benar dan mana
informasi bikinan para setan. Sebab, betapa banyaknya orang tertipu
dengan kata-kata indah tetapi salah dan menyesatkan.
Lihatlah,
banyak orang yang masih mengaku Islam tetapi meletakkan paham
kebebasan di atas ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Ada yang berteriak
lantang agar agama dan negara tidak ikut campur tangan dalam urusan
pakaian. Mereka menganggap tubuh mereka adalah milik mereka sendiri.
Tidak ada yang berhak mengatur urusan pakaian, baik negara atau pun
Tuhan sekali pun. Mereka merasa berdaulat penuh atas tubuh mereka.
Mereka mau telanjang atau melacurkan dirinya, itu adalah urusan mereka,
dan tidak ada urusan dengan Tuhan atau agama. Manusia-manusia seperti
ini tampil begitu menawan di layar televisi, sambil menyombongkan diri,
bahwa mereka adalah orang-orang yang berbuat kebaikan di muka bumi,
karena telah menjaga dan memperjuangkan kebebasan dan hak asasi
manusia.
Kata-katanya
indah! Tapi, tujuannya untuk menipu. Terhadap orang-orang yang
berkeinginan agar soal pakaian diatur, mereka dengan lantang menuduhnya
sebagai orang yang kolot, sok moralis, anti-kebhinekaan, melanggar HAM,
munafik dan sebagainya. Ada yang menyatakan, bahwa yang harus
dipersoalkan bukan objeknya, tapi pikiran manusia itu yang kotor.
“Jangan salahkan gambar-gambar yang telanjang. Tapi, salahkan pikirannya
yang kotor!” ujarnya.
Kata-katanya semacam itu tampak indah! Tapi untuk menipu!
Ketika
MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa paham sekularisme,
liberalisme, dan pluaralisme agama adalah bertentangan dengan Islam,
maka ada yang langsung menuduh MUI tidak menghargai kemajemukan bangsa!
Begitu juga saat MUI menegaskan bahwa Ahmadiyah sesat, langsung muncul
tudingan MUI merasa benar sendiri, MUI melampaui kewenangan Tuhan,
karena berani menyesatkan manusia. Padahal, katanya, yang berhak
menyatakan sesat atau tidaknya seseorang adalah Tuhan dan bukan manusia.
Banyak sekali kata-kata indah dengan tujuan untuk menipu manusia!
Tahun
2008, Yayasan Wakaf Paramadina menerbitkan edisi kedua buku karya
Farag Fouda berjudul Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik
dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslimin. Judul aslinya adalah
al-Haqidah al-Ghaibah. Simaklah, judul buku ini sangat indah:
“Kebenaran Yang Hilang!” Jadi, seolah-olah, selama ini, umat Islam
telah kehilangan satu kebenaran, yang kemudian diungkap oleh Farag
Fouda, seorang tokoh liberal dari Mesir.
Tapi,
jika ditelaah dengan cermat, yang dimaksud sebagai “kebenaran” oleh
Farag Fouda adalah sederet fakta palsu tentang para sahabat Nabi
Muhammad SAW. Salah satu sahabat Nabi yang digambarkan begitu buruk
dalam buku ini adalah Usman bin Affan RDL. Sampai-sampai, dalam salah
satu kolomnya di Majalah TEMPO yang dijadikan epilog buku ini, Goenawan
Mohammad menulis:
“Mereka
tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya
terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan.” Ketika
mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang menyalatinya. Jasad orangtua
berumur 83 tahun itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya
dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah
ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi. Tak
diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada seorang
yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda mengutip
kitab al-Tabaqat al-Kubra karya sejarah Ibnu SaƔd yang menyebutkan satu
data menarik: khalifah itu agaknya bukan seorang bebas dari
keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat
30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.”
Tulisan
itu jelas-jelas fitnah besar terhadap Sayyidina Usman RDL. Pakar
sejarah INSISTS, Asep Sobari, telah membongkar kecurangan Farag Fouda
dalam mengutip bahan-bahan cerita dari sejumlah kitab klasik. (Lihat:
CAP ke-246 Adian Husaini di www.hidayatullah.com). Fitnah keji terhadap
sahabat Nabi itu dikemas dengan kata-kata indah, dengan tujuan untuk
menipu manusia. Maka, bukan hanya orang awam yang bisa tertipu oleh buku
Fouda, tetapi sejarawan terkenal seperti Prof. A. Syafii Maarif pun
ikut-ikutan tertipu, sampai-sampai dia menulis di sampul belakang buku
ini:
”Terlalu
banyak alasan mengapa saya menganjurkan Anda membaca buku ini. Satu
hal yang pasti: Fouda menawarkan ”kacamata” lain untuk melihat sejarah
Islam. Mungkin Fouda akan mengguncang keyakinan Anda tentang sejarah
Islam yang lazim dipahami. Namun kita tidak punya pilihan lain kecuali
meminjam ”kacamata” Fouda untuk memahami sejarah Islam secara lebih
autentik, obyektif dan komprehensif”.
Padahal,
jika seorang Muslim mau berpikir jernih: tidaklah mungkin Nabi
Muhammad SAW telah berbohong dengan memuji-muji Usman bin Affan, jika
ternyata Usman bin Affan adalah manusia bejat seperti digambarkan Fouda
dan Goenawan Mohammad. Karena itu, dalam berbagai ayat al-Quran, Allah
SWT mengingatkan, bahwa setan itu adalah musuh manusia yang nyata. Dan
setiap waktu kita berdoa: Aku berlindung kepada Allah dari godaan
setan yang terkutuk!.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer