Pertanyaan:
Assalamu’alaikumUstadz, saya mau tanya :
1. Bolehkah shalat dhuha dilakukan secara berjamaah?
2. Jika boleh, apakah bacaan Al Fatihah dan surah pada shalat dhuha, diperjelas atau disamarkan? Mohon penjelasannya.
Atas jawabannya saya ucapkan ribuan terima kasih.
Wassalam.
Dari: Dedi
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Dari Mujahid, beliau mengatakan: “Saya dan Urwan bin Zubair masuk masjid, sementara Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu duduk menghadap ke arah kamarnya Aisyah. Kemudian kami duduk mendekat beliau. Tiba-tiba ada banyak orang melaksanakan shalat dhuha (di masjid). Kami bertanya: “Wahai Abu Abdirrahman, shalat apa ini?” Beliau (ibn Umar) menjawab: “Bid’ah..!” (HR. Ahmad 6126, kata Syaikh Al Arnauth: Sanadnya shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim).
Al Qodhi Iyadh, An Nawawi dan beberapa ulama lainnya mengatakan: “Ibn Umar mengingkari mereka karena perbuatan mereka yang terus-menerus mengerjakannya, kemudian mereka lakukan shalat itu di masjid, dan dengan berjamaah. Bukan karena hukum asal shalat tersebut menyelisihi sunah (perbuatan bid’ah). Hal ini dikuatkan dengan riwayat Ibn Abi Syaibah (7777) dari Ibn Mas’ud, bahwasanya beliau (Ibn Mas’ud) melihat beberapa orang shalat dhuha, kemudian beliau mengingkarinya, sambil mengatakan:
إِنْ كَانَ وَلَا بُدَّ فَفِي بُيُوتِكُمْ
“Jika memang harus melaksanakan shalat dhuha, mengapa tidak di rumah kalian.” ( Fathul Bari, 3:53).Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin ditanya tentang tafsir perkataan Ibn Umar yang membid’ahkan shalat dhuha sebagaimana riwayat di atas. Beliau menjawab: “Hal ini (perkataan Ibn Umar) –wa Allahu A’lam– karena mereka mengerjakan shalat dhuhanya secara berjamaah, kemudian beliau (Ibn Umar) menilai hal itu sebagai perbuatan bid’ah.” (Syarh Shahih Bukhari Kitab Al Hajj).
Selanjutnya, ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan sebagian sahabat melaksanakan shalat dhuha berjamaah, diantaranya:
Pertama, hadis dari Anas bin Malik radhiallahu ’anhu, beliau bercerita: “Ada seorang laki-laki dari anshar berkata (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam): “Saya tidak bisa shalat bersama Anda.” Dalam lanjutan hadis dinyatakan:
فَصَنَعَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ طَعَامًا، فَدَعَاهُ إِلَى مَنْزِلِهِ، فَبَسَطَ لَهُ حَصِيرًا،
وَنَضَحَ طَرَفَ الحَصِيرِ فَصَلَّى عَلَيْهِ رَكْعَتَيْنِ
Kemudian beliau membuat makanan untuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan mengundang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
agar datang ke rumahnya. Dihamparkan tikar dan beliau memerciki bagian
ujung-ujungnya dengan air, kemudian shalat dua rakaat di atas tikar
tersebut.” Ada seseorang dari keluarga Al Jarud bertanya kepada Anas:
“Apakah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melaksanakan shalat dhuha?” jawab Anas: “Saya belum pernah melihat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melaksanakan dhuha kecuali hari itu.” (HR. Bukhari No.670).Hadis ini dibawakan oleh Bukhari dalam bab: “Apakah Imam shalat bersama orang yang tidak bisa berjamaah.” Karena zahir hadis menunjukkan bahwa beliau mengerjakannya berjamaah dengan orang Anshar tersebut.
Al Hafidz Al-Aini menyebutkan beberapa pelajaran penting dari hadis ini. Diantara yang beliau sebutkan adalah bolehnya mengerjakan shalat sunah secara berjamaah. (Umdatul Qori, 5:196).
Kedua, riwayat dari Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Uthbah, beliau megatakan:
دخلت على عمر بن الخطاب بالهاجرة، فوجدته يسبح، فقمت وراءه، فقربني حتى جعلني حذاءه عن يمينه، فلما جاء (يرفأ) تأخرت فصففنا وراءه
“Aku masuk menemui Umar di waktu matahari sedang terik, ternyata aku
melihat beliau sedang shalat sunah, lalu aku berdiri di belakangnya dan
beliau menarikku sampai aku sejajar dengan pundaknya di sebelah kanan.
Ketika datang Yarfa’ (pelayan Umar) aku mundur dan membuat shaf di
belakang Umar radhiallahu ’anhu.” (HR. Malik dalam Al Muwatha’ 523 dan dishahihkan Syaikh Al Albani di As Shahihah catatan hadis 2590).Hadis ini dimasukkan Imam Malik dalam Bab Shalat Dhuha. Karena yang dimaksud waktu matahari sedang terik dalam hadis di atas, dipahami sebagai waktu dhuha. Berdasarkan hadis ini, Ibn Habib menyatakan bolehnya orang melaksanakan shalat dhuha secara berjamaah dengan tiga syarat: dilakukan sewaktu-waktu pada hari tertentu (tidak ditentukan harinya), tidak ada kesepakatan sebelumnya, dan tidak menjadi amalan yang dilakukan oleh banyak orang (terkenal di semua kalangan). (Al-Muntaqa Syarh Al Muwatha’ 1:274).
Keterangan Ibn Habib di atas bisa dikatakan penjelasan cukup bagus dalam menyikapi hukum shalat dhuha secara berjamaah. Selama itu hanya dilakukan kadang-kadang dan tidak dijadikan kebiasaan maka shalat dhuha berjamaah dibolehkan. Dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam dan Syaikh Ibn Al Utsaimin. (Al Fatwa Al Kubro Ibn Taimiyah 2/238 & Majmu’ Fatawa Ibn Al Utsaimin 4)
Dengan demikian, shalat dhuha berjamaah dibolehkan dengan beberapa persyaratan berikut:
- Dilakukan kadang-kadang (tidak dijadikan kebiasaan)
- Tidak terikat hari, waktu, atau moment tertentu. Misalnya: dilaksanakan setiap selapan sekali (misalnya: setiap jum’at pon). Ketentuan hari semacam ini tidak dibolehkan.
- Tidak ada kesepakatan sebelumnya, atau tidak ada pengumuman kepada masyarakat.
- Tidak menjadi amalan yang menjamur dan banyak dilakukan masyarakat.
- Jumlah orang yang ikut berjamaah sedikit. Sehingga tidak boleh melaksanakan shalat dhuha berjamaah satu kampung, sebagaimana shalat fardhu.
- Tidak dilaksanakan bersama-sama di masjid.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer