Berikut keanehan para pendukung maulid, 3 di antaranya yang kami sebutkan kali ini:
1- Katanya mencintai Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, namun beribadah tanpa perintah Nabi.
Kita selaku umat Islam diperintahkan untuk mencintai Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut ini,
قُلْ
إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ
كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ
اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah:
"Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24).
Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan
Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan
malapetaka yang akan menimpa kalian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7:
164). Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib. Bahkan mencintai Rasul lebih diutamakan dari mencintai diri sendiri sebagaimana firman Allah Ta’ala,
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab: 6).Padahal kata para ulama mencintai Nabi adalah dengan menghidupkan sunnahnya yang diperintahkan. Kata Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrahman As Sudais, Imam Masjidil Haram,
إحياء سنته حقيقة حبه
“Menghidupkan ajaran Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah hakekat mencintai beliau.” (Khutbah Jum’at di Masjidil Haram, 13 Rabi’ul Awwal 1434 H)
Sedangkan perayaan maulid tidak
ada dalil perintah untuk menghidupkannya, lantas mereka mengikuti ajaran
Nabi siapa? Apakah mereka punya Nabi selain Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-? Atau Imam, Kyai, Ustadz mereka memiliki ajaran selevel Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-?[1]
2- Menanyakan
mana dalil yang mengharamkan maulid secara khusus. Padahal seharusnya
yang ditanyakan adalah mana dalil yang memerintahkan untuk merayakan
maulid atau mengekspresikan cinta Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
dengan maulid? Karena kaedahnya tentu berbeda antara masalah ibadah dan
masalah muamalah atau adat (non-ibadah). Kalau dalam masalah ibadah,
hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Untuk
masalah muamalat atau adat, berlaku hukum sebaliknya. Hukum asal dalam
perkara non-ibadah adalah boleh sampai ada dalil yang memerintahkan.Ulama Syafi’i memiliki kaedah,
اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف
“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil)” Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
(5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi
rujukan. Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada
dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Itu artinya asal ibadah
adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu
Hajar rahimahullah juga berkata,
أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف
“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80).
Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,
لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ
“Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”. Kaedah ini beliau sebutkan dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.Ibnu Taimiyah lebih memperjelas kaedah antara ibadah dan non-ibadah. Beliau rahimahullah berkata,
إنَّ
الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ فَلَا يُشْرَعُ مِنْهَا إلَّا
مَا شَرَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى . وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ :
{ أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ
بِهِ اللَّهُ } . وَالْعَادَاتُ الْأَصْلُ فِيهَا الْعَفْوُ فَلَا
يَحْظُرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَرَّمَهُ وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى
قَوْلِهِ : { قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ
فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا } وَلِهَذَا ذَمَّ اللَّهُ
الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ شَرَعُوا مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ
اللَّهُ وَحَرَّمُوا مَا لَمْ يُحَرِّمْهُ
“Hukum asal ibadah adalah tawqifiyah
(dilaksanakan jika ada dalil). Ibadah tidaklah diperintahkan sampai ada
perintah dari Allah. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang
artinya), “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?”
(QS. Asy Syura: 21). Sedangkan perkara adat (non-ibadah), hukum asalnya
adalah dimaafkan, maka tidaklah ada larangan untuk dilakukan sampai
datang dalil larangan. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah
(yang artinya), “Katakanlah:
"Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu,
lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal" (QS.
Yunus: 59). Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang
membuat syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah dan mengharamkan yang
tidak diharamkan. (Majmu’ Al Fatawa, 29: 17).
Atau mungkin Maulid bukan ibadah? Lantas kenapa capek-capek
merayakannya kalau bukan maksud ibadah? Bukankah merayakan maulid untuk
menunjukkan cinta Rasul, maka tentu pahala yang ingin diraih?Sehingga tidak tepat dan terasa aneh jika dalam masalah Maulid, ada yang berujar, “Kan tidak ada dalil yang melarang? Gitu saja kok repot …”. Maka cukup kami sanggah bahwa hadits ‘Aisyah sudah sebagai dalilnya yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Murid Imam Nawawi, Ibnu ‘Atthor rahimahullah
menjelaskan mengenai hadits ini, “Para ulama menganggap perbuatan
bid’ah yang tidak pernah diajarkan dalam Islam yang direkayasa oleh
orang yang tidak berilmu, di mana amalan tersebut adalah sesuatu yang
tidak ada landasan (alias: tidak berdalil), maka sudah sepantasnya hal
ini diingkari. Pelaku bid’ah cukup disanggah dengan hadits yang shahih
dan tegas ini karena perbuatan bid’ah itu mencacati ibadah.” (Lihat
Syarh Al Arba’in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan ‘Mukhtashor An Nawawi’, hal. 72)
3- Pendukung maulid berkata bahwa maulid adalah bid’ah hasanah
karena menganggap bid’ah itu ada dua, yaitu ada bid’ah hasanah dan
bid’ah sayyi’ah. Namun ketika ditanya, apa yang dimaksud bid’ah
sayyi’ah, mereka sulit menyebutkan contohnya. Karena semua ibadah yang
tanpa tuntunan dikategorikan oleh mereka sebagai hasanah.
Padahal ulama Syafi’i seperti
Ibnul ‘Atthor, murid Imam Nawawi telah mengategorikan beberapa bid’ah
yang dikatakan hasanah oleh mereka sebagai bid’ah yang tercela. Ibnu
‘Atthor ketika menjelaskan hadits yang dibawakan oleh gurunya, Imam
Nawawi dalam Al Arba’in An Nawawiyah, yaitu hadits nomor 5 dari ‘Aisyah
tentang bid’ah, beliau berkata, “Di antara perbuatan bid’ah tersebut
adalah shalat Raghaib[2]
dan shalat pada malam nishfu Sya’ban, juga membaca surat Al An’am pada
raka’at satu raka’at pada malam ke-27 dari bulan Ramadhan karena orang
awam menyangka bahwa surat Al An’am turun sekaligus pada malam tersebut,
begitu pula menambah bacaan shalawat pada iqomah.” (Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan ‘Mukhtashor An Nawawi’, hal. 72)
Hadits ‘Aisyah yang dimaksudkan di atas adalah,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718). Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Mereka seakan-akan menutup mata dari hadits ini padahal hadits ini disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Al Arba’in An Nawawiyah. Dan Imam Nawawi sendiri mengatakan,
وَهَذَا
الْحَدِيث قَاعِدَة عَظِيمَة مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ، وَهُوَ مِنْ
جَوَامِع كَلِمه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُ صَرِيح فِي
رَدّ كُلّ الْبِدَع وَالْمُخْتَرَعَات
“Hadits ini adalah kaedah yang amat penting dari kaedah Islam dan merupakan kalimat yang singkat namun sarat makna dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini tegas mengatakan membantah setiap perbuatan bid’ah yang tidak ada tuntunannnya.” (Syarh Shahih Muslim, 12: 16). Perkataan Imam Nawawi di atas dibawakan pula oleh muridnya, Ibnu ‘Atthor dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah.
Supaya lebih jelas apa yang dimaksudkan bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, lihat perkataan Imam Nawawi ketika membagi bid’ah menjadi lima,
فَمِنْ
الْوَاجِبَة : نَظْم أَدِلَّة الْمُتَكَلِّمِينَ لِلرَّدِّ عَلَى
الْمَلَاحِدَة وَالْمُبْتَدِعِينَ وَشِبْه ذَلِكَ . وَمِنْ الْمَنْدُوبَة :
تَصْنِيف كُتُب الْعِلْم ، وَبِنَاء الْمَدَارِس وَالرُّبُط وَغَيْر
ذَلِكَ . وَمِنْ الْمُبَاح : التَّبَسُّط فِي أَلْوَان الْأَطْعِمَة
وَغَيْر ذَلِكَ . وَالْحَرَام وَالْمَكْرُوه ظَاهِرَانِ
“Di antara bid’ah yang wajib
adalah menyusun tulisan untuk membantah ahli kalam, juga membantah ahli
bid’ah dan golongan yang menyimpang lainnya. Contoh bid’ah yang sunnah
adalah menyusun buku-buku berisi ilmu dan membangun sekolah dan pos
pertahanan untuk menjaga musuh atau semacam itu. Bid’ah yang mubah
adalah seperti mengecek warna dari makanan dan semacamnya. Sedangkan
bid’ah yang haram dan makruh, maka sudah jelas.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 155).
Sebelum membawa perkataan di atas, Imam Nawawi berbicara tentang hadits,
كُلّ بِدْعَة ضَلَالَة
“Setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867). Setelah itu, beliau berkata,
هَذَا عَامّ مَخْصُوص ، وَالْمُرَاد غَالِب الْبِدَع . قَالَ أَهْل اللُّغَة : هِيَ كُلّ شَيْء عُمِلَ عَلَى غَيْر مِثَال سَابِق
“Hadits tersebut adalah umum
namun maksudnya adalah khusus, yaitu secara umum bid’ah itu tercela.
Sebagaimana pakar bahasa mendefinisikan bid’ah sebagai ‘segala sesuatu
yang diamalkan tanpa ada contoh sebelumnya’.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 154)
Di tempat lain, beliau menerangkan mengenai hadits setiap bid’ah adalah sesat,
وَأَنَّ الْمُرَاد بِهِ الْمُحْدَثَات الْبَاطِلَة وَالْبِدَع الْمَذْمُومَة
“Yang dimaksud hadits tersebut adalah perkara batil yang dibuat-buat dan bid’ah yang tercela” (Syarh Shahih Muslim, 7: 104).
Jika kita meninjau perkataan Imam
Nawawi, itu bukan berarti setiap yang baru dan dianggap baik itu bisa
diterima. Karena setiap yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya bisa
termasuk bid’ah hasanah, bisa jadi pula termasuk bid’ah sayyi’ah. Yang
termasuk bid’ah hasanah jika ada maslahat, walau tidak ada dalilnya.
Seperti yang Imam Nawawi contohkan yaitu membangun madrasah dan
membantah ahli kalam. Sedangkan yang menyelisihi ajaran Rasul, itulah
yang termasuk bid’ah sayyi’ah (yang jelek). Yang menyelisihi ajaran
Rasul dan termasuk bid’ah sayyi’ah seperti yang disebutkan oleh Ibnu
‘Atthor di atas, yaitu shalat Raghaib dan membaca shalawat saat iqomah.
Ini berarti tidak seenaknya saja kita memasukkan suatu amalan yang kita
anggap baik dalam bid’ah hasanah. Namun mesti melihat kecocokan dengan
ajaran Rasul walau tidak diajarkan oleh beliau sebelumnya, tetapi hal
itu sudah termasuk dalam dalil umum atau pertimbangan maslahat mursalah.
Penafsiran bid’ah hasanah sangat baik jika merujuk pada perkataan Imam Syafi’i. Beliau rahimahullah pernah berkata,
والمحدثات
ضربان : ما أُحدِثَ مما يُخالف كتاباً ، أو سنةً ، أو أثراً ، أو إجماعاً ،
فهذه البدعة الضلال ، وما أُحدِث مِنَ الخير ، لا خِلافَ فيه لواحدٍ مِنْ
هذا ، وهذه محدثة غيرُ مذمومة
“Perkara yang muhdats (yang baru)
itu ada dua macam, yaitu perkara yang dibuat-buat dan menyelisihi Al
Qur’an, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma’, maka ini termasuk bid’ah
dholalah (yang sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang
tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru
(bid’ah) yang tercela”. (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i 1: 468-469. Riwayat ini shahih sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131.)
Lihatlah apa yang dimaksud bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah (yang tercela) menurut versi Imam Syafi’i -semoga Allah merahmati beliau-.
Yang tercela atau termasuk bid’ah sayyi’ah adalah jika menyelisihi
dalil Al Qur’an, As Sunnah, atsar dan ijma’ (kesepakatan para ulama).
Dan jelas perayaan maulid tidak memiliki dalil sama sekali, sehingga
perayaan tersebut bukan termasuk hasanah, namun termasuk bid’ah sayyi’ah
atau tercela. Adapun mengumpulkan Al Qur’an, membukukan hadits,
menyusun buku-buku agama, membangun madrasah, ini bukan termasuk bid’ah
tercela karena semuanya tercakup dalam maslahat mursalah.
Mengenai maslahat mursalat ini diterangkan oleh Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah, di mana beliau rahimahullah berkata “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat.
Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.“ (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2: 101-103)
Contoh penerapan kaedah Syaikhul
Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong
untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman
beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh
karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah
sunnah.
Begitu pula hal ini kita terapkan
pada kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah faktor penghalang tatkala
itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus turun dan
masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Qur’an dikumpulkan
ketika itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun, faktor penghalang
ini hilang setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena
wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Qur’an
pada saat itu adalah suatu maslahat.
Silakan analogikan kaedah Ibnu
Taimiyah di atas untuk perayaan maulid Nabi. Apakah ada faktor pendorong
untuk mengekspresikan cinta nabi saat itu dengan maulid? Tentu ada.
Apakah ada faktor penghalang? Tidak ada, artinya para sahabat ketika itu
bisa melaksanakannya. Sehingga jika hal tersebut dilakukan oleh orang
sesudahnya, maka itu bukan maslahat, tetapi termasuk bid’ah. Para ulama
telah berkata mengenai suatu amalan yang tidak pernah diajarkan
sebelumnya oleh para sahabat,
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut
(perayaan maulid) baik, tentu mereka (para sahabat dan tabi’in) sudah
mendahului kita untuk melakukannya.” Sebagaimana perkataan disebutkan
oleh Ibnu Katsir dalam tafsir surat Al Ahqof ayat 11.
Hanya Allah yang memberi taufik. Tulisan di atas masih berlanjut pada tujuh keanehan lainnya, insya Allah.
Baca pula: Kumpulan Artikel Seputar Maulid Nabi.
[1] Kalau mau menghidupkan ajaran Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah lakukan amalan sunnah beliau yang ada dalilnya. Seperti keterangan Syaikh Muktar Asy Syinqithi -semoga Allah senantiasa menjaga beliau dalam kebaikan- dalam muhadhoroh di Masjid Nabawi (12/3/1434 H) bahwa Maulid Nabi yang ada dalilnya adalah dengan menjelaskan puasa Senin, karena bertepatan dengan hari lahir beliau.
Memang benar apa yang beliau katakan bahwa puasa Senin bertepatan dengan hari lahir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Qotadah Al Anshori radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab,
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ
“Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” (HR. Muslim no. 1162)
Catatan: Sebagian beralasan dengan puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Senin, karena pada hari tersebut adalah hari kelahirannya. Ini berarti hari kelahiran boleh dirayakan.
Sanggahan:
Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi dalil untuk merayakan hari
kelahiran beliau[?] Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil. Lihatlah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa pada
tanggal kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar
pada tanggal tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah tanggal
kelahiran beliau masih terdapat perselisihan. Yang beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam lakukan adalah puasa pada hari Senin bukan pada 12
Rabiul Awwal[!] Seharusnya kalau mau mengenang hari kelahiran Nabi
dengan dalil di atas, maka perayaan Maulid harus setiap pekan bukan
setiap tahun.
[2]
Shalat Raghaib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah
shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat
Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Raghaib
(hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa
sunnah. Jumlah raka’at shalat Raghaib adalah 12 raka’at. Di setiap
raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali,
surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut
dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.
Ath Thurthusi mengatakan, ”Tidak
ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh
para sahabat radhiyallahu ’anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh
–semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer