Larangan Niyahah
Niyahah adalah jika
seseorang bersedih dan menangisi mayit serta menghitung-hitung berbagai
kebaikannya. Ada yang mengartikan pula bahwa niyahah adalah
menangis dengan suara keras dalam rangka meratapi kepergian mayit atau
meratap karena di antara kemewahan dunia yang ia miliki lenyap. Niyahah adalah perbuatan terlarang. Demikian penjelasan penulis ‘Aunul Ma’bud ketika menjelaskan maksud niyahah. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 8: 277.
Niyahah termasuk larangan bahkan dosa besar karena diancam
dengan hukuman (siksaan) di akhirat kelak. Sebagaimana diriwayatkan dari
Abu Malik Al Asy’ari radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
«
أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ
الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ
بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ ». وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ
قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ
قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Empat
hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang
susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2)
mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang
tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda,
“Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia
akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang
berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan
penyakit gatal” (HR. Muslim no. 934).
Ulama besar Syafi’i, Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mengenai orang yang melakukan niyahah
lantas tidak bertaubat sampai mati dan disebutkan sampai akhir hadits,
menunjukkan bahwa haramnya perbuatan niyahah dan hal ini telah
disepakati. Hadits ini menunjukkan diterimanya taubat jika taubat
tersebut dilakukan sebelum mati (nyawa di kerongkongan).” (Syarh Muslim, 6: 235)
Yang Mesti Dilakukan pada Keluarga MayitDisunnahkan bagi tetangga orang yang meninggal dunia untuk memberikan makanan kepada keluarga mayit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan untuk berbuat baik pada keluarga Ja’far,
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka telah dihinggapi perkara yang menyibukkan mereka.” (HR. Abu Daud no. 3132 dan Tirmidzi no. 998. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Coba lihat bagaimana yang dilakukan dalam selamatan kematian dengan
ritual yasinan dan tahlilannya. Keluarga mayit malah dibuat susah ketika
keluarganya meninggal dunia. Bukan mereka yang diberikan makan, malah
yang jadi tradisi, keluarga mayitlah yang jadi kerepotan menyediakan
makan untuk para tamu. Seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam yang
ajarannya mengandung pelajaran untuk berbuat baik terhadap sesama.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Yang disunnahkan ketika ada yang meninggal dunia adalah keluarga mayit yang dibuatkan makanan.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 316).
Di dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah (12: 290) disebutkan bahwa
terlarang keluarga mayit membuatkan makanan untuk warga karena hal
seperti ini malah menambah kesedihan mereka, malah membebani kesusahan
di atas kesusahan. Hal ini pun serupa dengan perbuatan orang Jahiliyah.
Ada riwayat dari Jarir bin ‘Abdillah Al Bajaliy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كُنَّا نَعُدُّ الاِجْتِمَاعَ إِلَى أهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Kami
menganggap berkumpul di kediaman si mayit dan makanan yang dibuat (oleh
keluarga mayit) setelah penguburannya merupakan bagian dari niyahah
(meratapi mayit).” (HR. Ahmad 2: 204. Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Imam Syafi’i dan Pengikutnya Melarang Selamatan KematianImam Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya Al Umm berkata,
وأكره
النياحة على الميت بعد موته وأن تندبه النائحة على الانفراد لكن يعزى بما
أمر الله عزوجل من الصبر والاسترجاع وأكره المأتم وهى الجماعة وإن لم يكن
لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن
“Aku tidak suka niyahah
(peratapan) pada mayit setelah kematiannya, begitu juga aku tidak suka
jika bersedih tersebut dilakukan seorang diri. Seharusnya yang dilakukan
adalah seperti yang Allah Ta’ala perintahkan yaitu dengan bersabar dan mengucapkan istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi rooji’un). Aku pun tidak suka dengan acara ma’tam
yaitu berkumpul di kediaman si mayit walau di sana tidak ada tangisan.
Karena berkumpul seperti ini pun hanya membuat keluarga mayit
mengungkitu kesedihan yang menimpa mereka. ” (Al Umm, 1: 318).
Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ menukil perkataan penulis Asy Syaamil dan ulama lainnya,
وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة
“Adapun yang dilakukan keluarga mayit dengan membuatkan makanan dan
mengumpulkan orang-orang di kediaman mayit, maka tidak ada tuntunan
dalam hal ini. Hal ini termasuk bid’ah yang tidak dianjurkan.”
Demikian perkataan penyusun Asy Syaamil lantas Imam Nawawi pun
menukilkan hadits Jarir bin ‘Abdillah di atas. (Lihat Al Majmu’, 5:
320).
Sama persis yang dinukilkan oleh Imam Nawawi, dikatakan pula oleh Ibnu Taimiyah,
وَأَمَّا صَنْعَةُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا يَدْعُونَ النَّاسَ إلَيْهِ فَهَذَا غَيْرُ مَشْرُوعٍ وَإِنَّمَا هُوَ بِدْعَةٌ
“Adapun jika keluarga mayit yang membuatkan makanan dan
mengundang jama’ah untuk datang, seperti ini tidak ada tuntunan dan
termasuk bid’ah.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 316).Madzhab Syafi’i Membatasi Ta’ziyah Hanya Tiga Hari
Sebagaimana disebutkan dalam Matan Abi Syuja’ atau Matan Al Ghoyah wat Taqrib,
ويعزى أهله إلى ثلاثة أيام من دفنه
“Keluarga mayit dita’ziyah selama tiga hari setelah pemakaman si mayit.”
Ini adalah fikih dalam madzhab Syafi’i. Namun sayangnya fikih ini
disalahi oleh penganut madzhab Syafi’i di negeri kita. Karena acara
selamatan kematian dilakukan setelah 7, 40, 100 bahkan 1000 hari?
Bukankah hal ini menyalahi aturan madzhab sebagaimana disebutkan oleh
Abu Syuja’ di atas?
Yang dimaksud ta’ziyah adalah
memotivasi agar keluarga mayit tetap sabar dan didoakan pada mereka agar
mendapatkan pahala atas kesabaran mereka pada musibah. Kata Syaikh
Musthofa Al Bugho, pakar fikih Syafi’i di zaman ini, berkata,
“Dimakruhkan ta’ziyah setelah lebih dari tiga hari kecuali bagi seorang
musafir. Karena kesedihan setelah tiga hari biasa sudah hilang, ini
umumnya. Jadi, tidak perlu kesedihan itu diungkit dan diingat-ingat
lagi.” Lihat At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, hal. 96.
Sedangkan dalil lama ta’ziyah adalah tiga hari karena berdasarkan masa ihdad (berkabung) adalah tiga hari kecuali berkabungnya istri ketika ditinggal mati suami. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
لاَ
يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ
عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ
أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak
dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir
untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali
atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.”
(HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491). Hadits ini menjadi dalil
jumhur ulama (mayoritas) mengenai lama ta’ziyah adalah tiga hari. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 12: 288.
Yang mengaku sebagai pengikut
Imam Syafi’i seakan-akan terdiam jika tahu bahwa Imam Syafi’i, Imam
Nawawi dan ulama Syafi’iyah lainnya menentang selamatan kematian 7, 40,
100 bahkan 1000 hari. Karena berkumpul di kediaman si mayit seperti ini
termasuk niyahah (meratapi mayit) yang terlarang, bahkan
dinilai sebagai bid’ah oleh ulama Syafi’iyah sendiri. Namun ulama di
negeri kita seakan-akan memejamkan mata dari kebenaran ini. Padahal
nyata bahwa pernyataan ini disebutkan dalam Al Umm, karya Imam Syafi’i dan kitab-kitab ulama Syafi’i lainnya.
Hanya Allah yang beri taufik dan hidayah.
2- Antara Kirim Pahala dan Selamatan Kematian
@ Maktab Jaliyat Bathaa’, Riyadh-KSA, 22 Shafar 1434 H
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer