Bukan Bagian dari Syari’at yang Dituntunkan
- Siapakah yang mengajarkan tata cara / ritual ‘ibadah’ seperti itu?
الإمام الشافعي رحمه الله بريء منهم
Ilustrasi Kitab Kanzun Najah di kalangan shufi alias orang tasawuf./ dd-sunnah.net
Di
antara anggapan dan keyakinan keliru yang terjadi di bulan Shafar
adalah adanya sebuah hari yang diistilahkan dengan Rebo Wekasan. Dalam
bahasa Jawa ‘Rebo’ artinya hari Rabu, dan ‘Wekasan’ artinya terakhir.
Kemudian istilah ini dipakai untuk menamai hari Rabu terakhir pada bulan
Shafar (diperkirakan pada bulan Shafar tahun ini (1431 H) bertepatan
dengan tanggal 10 Februari 2010). Di sebagian daerah, hari ini juga
dikenal dengan hari Rabu Pungkasan.
Apakah Rebo Wekasan itu?
Sebagian
kaum muslimin meyakini bahwa setiap tahun akan turun 320.000 bala’,
musibah, ataupun bencana (dalam referensi lain 360.000 malapetaka dan
20.000 bahaya), dan itu akan terjadi pada hari Rabu terakhir bulan
Shafar. Sehingga dalam upaya tolak bala’ darinya, diadakanlah
ritual-ritual tertentu pada hari itu. Di antara ritual tersebut adalah
dengan mengerjakan shalat empat raka’at -yang diistilahkan dengan shalat
sunnah lidaf’il bala’ (shalat sunnah untuk menolak bala’)- yang
dikerjakan pada waktu dhuha atau setelah shalat isyraq (setelah terbit
matahari) dengan satu kali salam. Pada setiap raka’at membaca surat
Al-Fatihah kemudian surat Al-Kautsar 17 kali, surat Al-Ikhlas 50 kali
(dalam referensi lain 5 kali), Al-Mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan
surat An-Nas) masing-masing satu kali. Ketika salam membaca sebanyak 360
kali ayat ke-21 dari surat Yusuf yang berbunyi:
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ.
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”
Kemudian ditambah dengan Jauharatul Kamal tiga kali dan ditutup dengan bacaan (surat Ash-Shaffat ayat 180-182) berikut:
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Ritual
ini kemudian dilanjutkan dengan memberikan sedekah roti kepada fakir
miskin. Tidak cukup sampai di situ, dia juga harus membuat rajah-rajah
dengan model tulisan tertentu pada secarik kertas, kemudian dimasukkan
ke dalam sumur, bak kamar mandi, atau tempat-tempat penampungan air
lainnya.
Barangsiapa yang pada hari
itu melakukan ritual tersebut, maka dia akan terjaga dari segala bentuk
musibah dan bencana yang turun ketika itu.
Kaum muslimin rahimakumullah, dari mana dan siapakah yang mengajarkan tata cara / ritual ‘ibadah’ seperti itu?
Dalam
sebagian referensi disebutkan bahwa di dalam kitab Kanzun Najah
karangan Syaikh Abdul Hamid Kudus yang katanya pernah mengajar di
Masjidil Haram Makkah Al-Mukarramah, diterangkan bahwa telah berkata
sebagian ulama ‘arifin dari ahli mukasyafah[1]
bahwa pada setiap tahun akan turun 360.000 malapetaka dan 20.000
bahaya, yang turunnya pada setiap hari Rabu terakhir bulan Shafar. Bagi
yang shalat pada hari itu dengan tata cara sebagaimana tersebut di atas,
maka akan selamat dari semua bencana dan bahaya tersebut.
Mungkin inilah yang dijadikan dasar hukum tentang ‘disyari’atkannya’ ritual di hari Rebo Wekasan tersebut. Namun
ternyata amaliyah yang demikian tidak ada dasarnya sama sekali dari
Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Generasi
salaf dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in tidak pernah
melakukan apalagi mengajarkan ritual semacam itu. Demikian pula generasi
setelahnya yang senantiasa mengikuti jejak mereka dengan baik.
Keyakinan
tentang Rebo Wekasan sebagai hari turunnya bala’ dan musibah adalah
keyakinan yang batil. Lebih batil lagi karena berangkat dari keyakinan
tersebut, dilaksanakanlah ritual tertentu untuk menolak bala’ dengan
tata cara yang disebutkan di atas. Sementara keyakinan dan ritual
tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum, dan tidak pula
dicontohkan oleh para imam madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik bin
Anas, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal), tidak pula mereka membimbing
dan mengajak para murid serta pengikut madzhabnya untuk melakukan yang
demikian.
Para ulama dan kaum
muslimin yang senantiasa menjaga aqidah dan berpegang teguh dengan
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya hingga hari ini -sampai akhir zaman
nanti- juga tidak akan berkeyakinan dengan keyakinan seperti ini dan
tidak pula beramal dengan amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi salaf tersebut.
Jika
keyakinan dan ritual ibadah tersebut tidak berdasar pada Al-Qur’an dan
sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula sebagai amalan para
shahabat radhiyallahu ‘anhum dan para imam madzhab yang empat, maka
sungguh amalan tersebut bukan bagian dari agama yang murni. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk bimbingan dan petunjuk kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim).
Semoga
Allah subhanahu wata’ala senantiasa menjaga kita dan kaum muslimin dari
berbagai penyimpangan dalam menjalankan agama ini. Amin.
Ditulis oleh Abu ‘Abdillah Kediri.
[1]
Istilah ulama ‘arifin (secara bahasa maknanya adalah orang-orang yang
mengetahui) dan ahli mukasyafah (secara bahasa maknanya adalah
orang-orang yang bisa menyingkap) inipun juga tidak dikenal di kalangan
salaf. Istilah ini dikenal di kalangan penganut paham shufiyyah sebagai
penamaan bagi orang-orang ‘khusus’ yang mengerti sesuatu tanpa melalui
proses belajar, dalam bahasa Jawa disebut ngerti sakdurunge winarah.
Mereka -yakni ulama ‘arifin dan ahli mukasyafah itu- juga diyakini bisa
bertemu langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bahkan
bertemu dengan Allah subhanahu wata’ala di dunia maya, sehingga mereka
bisa menyingkap sesuatu (dari perkara ghaib) yang tidak bisa diketahui
oleh selain mereka.
Ini semua
tentunya adalah keyakinan yang batil, dan pembahasan seperti ini
sangatlah panjang. Yang penting bagi kita adalah berupaya menjalankan
agama ini -beraqidah, beribadah, berakhlak, bermu’amalah, dan lainnya
dari urusan diniyyah- benar-benar bersumber dan sesuai dengan bimbingan
Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman as-salafus shalih, bukan
pemahaman selain mereka. Wallahu a’lam. http://www.assalafy.org/mahad/?p=448#more-448
September 20, 2012
- * Ada yang menyebutnya Rebo Kasan (dari lafal wekasan), dan ada pula yang menyebutnya Rebo Pungkasan, artinya Rabu terakhir di bulan Shafar
(nahimunkar.com)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer