Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Pak Ustadz, saya sudah punya anak
dan suami. Saat ini saya juga bekerja pada sebuah perusahaan swasta.
Selama ini saya menggunakan jilbab, tapi apabila sudah masuk kawasan
tempat saya bekerja maka saya melepaskan jilbab saya. Hal ini karena
perusahaan saya melarang karyawannya untuk berjilbab dengan alasan agar
seragam. Memang di tempat saya bekerja kebanyakan non muslim.
Jujur saja ketika saya harus melepaskan jilbab saya, saya merasa berdosa sekali walaupun pakaian saya masih tertutup. Saya juga sudah mencari tempat kerja yang lain tapi tidak ada respon. Saya ingin tetap bekerja untuk membantu suami saya. Suami saya juga mengetahui hal ini. Tapi dia juga mendukung saya.
Jujur saja ketika saya harus melepaskan jilbab saya, saya merasa berdosa sekali walaupun pakaian saya masih tertutup. Saya juga sudah mencari tempat kerja yang lain tapi tidak ada respon. Saya ingin tetap bekerja untuk membantu suami saya. Suami saya juga mengetahui hal ini. Tapi dia juga mendukung saya.
Yang mau saya tanyakan apakah saya berdosa? Apakah saya harus protes terhadap perusahaan saya? Atau adakah cara lain?
Terima kasih.
Wassalam
Dari: Desiani
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du
Kami turut memahami betapa
beratnya dilema yang ibu alami. pilihan antara dunia ataukah aturan
agama. Bagi orang yang mudah ‘merasa terpaksa’, dia akan melegalkan
segala cara, yang penting dapat dunia. Itulah tipe manusia pecundang.
Yang penting saya kenyang, bisa tidur nyenyak, urusan dosa, itukan bisa
ditaubati. Ya mudah-mudahan, Tuhan mengampuni. Seperti itulah kira-kira
gambaran mereka yang tidak sabar dengan kerasnya hidup.
Namun sayang, ternyata model
manusia semacam ini lebih banyak dari pada yang tidak semacam ini.
Barangkali, inilah realita yang pernah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadis dari Ka’ab bin Iyadh radhiyallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي المَالُ
“Setiap umat memiliki ujian. Dan ujian terbesar bagi umatku adalah harta.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan dishahihkan al-Albani).
Anda bisa perhatikan, betapa
banyak orang yang berubah menjadi tidak karuan, melanggar syariat,
bahkan murtad, gara-gara harta dan harta. Karena, sekali lagi, itulah
ujian terbesar bagi kita.
Rezeki 100% dari Allah
Inilah konsep yang selayaknya kita tanamkan dalam diri kita, sebagaimana yang Allah tegaskan dalam Alquran,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“Tidak ada satupun makhluk yang hidup di muka bumi ini, kecuali rezekinya ditanggung Allah…” (QS. Hud: 6).Di ayat yang lain, Allah juga mengingatkan,
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ
“Janganlah kalian membunuh anak
kalian karena kondisi miskin. Aku yang akan memberi rizki kalian dan
memberi rizki mereka (anak kalian)..” (QS. Al-An’am: 151).
Kita camkan dalam lubuk hati
kita, rezeki itu datang dari Allah, sementara kerja yang kita lakukan,
sejatinya adalah sebab untuk menjemput rezeki itu. Dan tentu saja, sebab
untuk mendapatkan rezeki itu tidak hanya satu, tapi beraneka ragam.
Barangkali perlu kita sadari,
tidak mungkin Allah simpan sebagian rezeki salah seorang hamba-Nya
sementara dia hanya bisa memperolehnya dengan cara yang haram. Atau
dengan kata lain, tidak mungkin ada bentuk rizki yang menjadi jatah
seseorang, yang hanya bisa diperoleh dengan melakukan pelanggaran
syariat. Karena jika demikian, berarti Allah telah mendzalimi hamba-Nya.
Karena itu, rezeki Allah pasti bisa diperoleh dengan cara yang halal,
tanpa harus menerjang aturan syariat.
Orang yang kurang memahami
prinsip ini, dia akan beranggapan bahwa banyaknya rezekinya murni akan
ditentukan oleh upaya dan usahanya saja. Akibatnya, dia akan lebih
bersandar kepada kemampuannya dari pada kepada Allah. Dia akan berusaha
mengambil peluang apapun, agar pemasukannya bisa lebih besar. Tanpa
peduli aturan kanan-kiri. Tak heran jika dia beranggapan, jika saya
menuruti apa kemauan syariat, saya gak bakal dapat peluang kerja. Di
saat itulah, dunia lebih penting bagi dia, dari pada aturan syariat.
Berbeda dengan orang yang
memahami prinsip rezeki ini dengan baik. Ketika dia harus mengalami
kegagalan, karena peluang yang ditawarkan bertentangan dengan aturan
syariah, akan muncul dalam dirinya bahwa Allah pasti akan memberikan
ganti usaha yang lebih baik. Dengan memiliki keyakinan semacam ini, kita
akan semakin waspada dalam mencari rezeki. Kalau-pun terjadi kegalalan,
spontan dia akan segera berharap kepada Allah.
Contoh Kegagalan Orang Dalam Memahami Konsep Rezeki
Seorang pegawai bank, pegawai
asuransi, PNS yang doyan pungli, gratifikasi & korupsi, wanita
pezina komersil, penjual minuman keras, dan semua yang menikmati
pekerjaan di lembah haram, katika mereka diingatkan, hampir semua akan
menjawab,
KALO SAYA TINGGALKAN PEKERJAAN
INI, SAYA MAKAN APA?, ANAK, ISTRI SAYA MAU DIKASI MAKAN APA? DI ZAMAN
SEKARANG MAU NYARI YANG MURNI HALAL, ITU MIMPI. NYARI YANG HARAM SAJA
SUSAH, APALAGI NYARI YANG HALAL!
Anda pernah dengar sikap seperti itu? Anda mungkin bisa lebih sering dari pada saya. Apapun itu, anda bisa sampaikan ke mereka,Siapa yang jamin kalau anda keluar dari bank, meninggalkan pekerjaan di dunia asuransi, anti-pungli, gratifikasi & korupsi, tidak menjual kehormatan, dst. anda akan kelaparan??
Apakah jatah rizki anda, anak
anda, istri anda hanya bisa diraih dengan cara melakukan transaksi
riba, pungli, gratifikasi & korupsi, atau dari jalur yang haram
lainnya?
Sungguh betapa malangnya nasib
anda. Untuk bisa mendapatkan jatah hidup, anda harus melakukannya dengan
ancaman neraka. Jika saat ini anda bisa merasa nyaman dengan berbagai
fasilitas hidup, tidakkah anda khawatir nanti akan terlantar di akhirat?
Rezeki Ibarat HujanDiantara hikmah yang dapat kita petik dari hujan adalah bagaimana ilustrasi nyata Allah menurunkan rezeki-Nya kepada kita. Hujan itu turun sedikit demi sedikit, tidak sebagaimana air terjun. Allah melakukan ini semua bukan karena Dia pelit atau kawatir kehabisan stok rezeki, namun sepenuhnya untuk kebaikan hamba-Nya. Untuk itu, nikmati hidup Anda, sejatinya Allah telah menyiapkan rezeki yang cukup untuk Anda.
Allah mengisyaratkan hal ini melalui firman-Nya,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِن يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَاء
“ Dan jika Allah melapangkan
rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di
muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan
ukuran.” (QS. As Syuura 27)
Anda bisa bayangkan, andaikan
Allah menurunkan hujan itu seperti air terjun. Tentu hujan itu bukannya
menjadi rahmat, namun justru menjadi adzab. Sama halnya dengan jatah
rezeki. Anda pasti akan ditimpa celaka bila Allah menurunkan rezeki-Nya
tidak tepat waktu. Sekali lagi, berapapun dan kapanpun Allah memberi
rezeki untuk anda, itulah kondisi yang terbaik bagi anda. Inilah
sebagaimana yang dipesankan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berpesan kepada umatnya:
لا تستبطئوا الرزق ، فإنه لن يموت العبد حتى يبلغه آخر رزق هو له، فأجملوا في الطلب: أخذ الحلال، وترك الحرام
“Janganlah kamu merasa bahwa
rezekimu telat datangnya, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba
akan mati, hingga dia mengenyam jatah rezeki terakhirnya. Tempuhlah
jalan yang baik dalam mencari rezeki, yaitu dengan mengambil yang halal
dan meninggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan
dishahihkan Al-Albani)
Dengan demikian, cara ibu bekerja
dengan melepas jilbab adalah cara yang keliru. Karena bisa dipastikan
akan memperlihatkan aurat di hadapan para lelaki yang bukan mahram.
Bertaubatlah kepada Allah, dan kami sarankan agar ibu mencari tempat
kerja yang aman dari fitnah, seperti bekerja di rumah. Terlebih, para
wanita tidak diwajibkan menanggung nafkah keluarga.
Ingat, Allah-lah yang memberi rezeki. Kalaupun harapan kita tidak terpenuhi, Allah tetap yang akan menanggung jatah rezeki kita.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer