Shalat Wajib, Turun dari Kendaraan
Shalat wajib diperintahkan turun dari kendaraan dan inilah kebiasaan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Jabir bin ’Abdillah, beliau mengatakan,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ
حَيْثُ تَوَجَّهَتْ ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ
الْقِبْلَةَ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat sunnah di atas
kendaraannya sesuai dengan arah kendaraannya. Namun jika ingin
melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraan dan menghadap
kiblat.” (HR. Bukhari no. 400).
Kondisi di kapal dan di pesawat
adalah kondisi sulit untuk turun dari kendaraan. Namun jika shalat wajib
bisa dikerjakan dengan turun dari kendaraan, maka itu yang
diperintahkan. Sehingga jika shalat wajib itu bisa dilakukan dnegan
turun dari kendaraan dengan cara dijamak dengan shalat sebelum atau
sesudahnya, maka baiknya shalat tersebut dijamak.
Akan tetapi, jika khawatir keluar
waktu shalat atau shalat tersebut tidak bisa dijamak, maka tetap yang
jadi pilihan adalah shalat wajib tersebut dikerjakan di atas kendaraan.
Tidak boleh sama sekali shalat tersebut diakhirkan. Semisal shalat
Shubuh yang waktunya sempit, tetap harus dilaksanakan di atas kapal atau
pesawat.
Melaksanakan shalat di atas kapal
dihukumi sah menurut kesepakatan para ulama karena kapal sudah ada
sejak masa silam. Sedangkan mengenai shalat di pesawat tersirat dari
perkataan Imam Nawawi dalam kitab Al Majmu’, beliau berkata, “Shalat
seseorang itu sah walau ia berada di atas ranjang di udara.”[1] Sehingga dari perkataan beliau ini diambil hukum bolehnya shalat di atas pesawat.
Menghadap Kiblat dan Syarat Shalat
Menghadap kiblat saat shalat
wajib termasuk syarat shalat. Adapun dalam shalat sunnah di atas
kendaraan bisa jadi gugur menghadap kiblat[2]. Namun tetap disunnahkan ketika takbiratul ihram menghadap kiblat sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik, ia berkata,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا سَافَرَ فَأَرَادَ أَنْ
يَتَطَوَّعَ اسْتَقْبَلَ بِنَاقَتِهِ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ ثُمَّ صَلَّى
حَيْثُ وَجَّهَهُ رِكَابُهُ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersafar dan ingin melaksanakan
shalat sunnah lantas beliau mengarahkan kendaraannya ke arah kiblat.
Kemudian beliau bertakbir, lalu beliau shalat sesuai arah kendaraannya.” (HR. Abu Daud no. 1225. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Adapun dalam shalat fardhu (shalat wajib), menghadap kiblat merupakan syarat.
Menghadap Kiblat Saat Shalat di Kapal dan Pesawat
Dari penjelasan di atas, kita
beralih pada masalah menghadap kiblat ketika shalat di kapal atau
pesawat. Menghadap kiblat kala itu tidak lepas dari dua keadaan:
(1) Jika mampu menghadap kiblat karena ada tempat yang luas seperti di kapal, maka wajib menghadap kiblat.
(2) Jika tidak mungkin menghadap kiblat karena tempat yang sempit, maka gugur menghadap kiblat.
Allah Ta’ala berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At Taghabun: 16).
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Dan apa yang diperintahkan bagi kalian, maka lakukanlah semampu kalian” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337).
Mengenai Berdiri
Berdiri bagi yang mampu merupakan
rukun dalam shalat wajib. Dalilnya adalah hadits dari ‘Imron bin
Hushoin yang punya penyakit bawasir, lalu ia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai shalatnya, beliau pun bersabda,
صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah sambil berdiri. Jika tidak mampu, maka sambil duduk. Jika tidak mampu, maka sambil berbaring (ke samping).”
(HR. Bukhari no. 1117). Jika ketika shalat di pesawat atau kapal
berdiri saat itu tidak mampu, maka shalat sambil duduk sebagai gantinya[3].
Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Wallahul muwaffiq.
Referensi Utama:
Fiqh An Nawazil fil ‘Ibadah, Syaikh Prof. Dr. Kholid bin ‘Ali Al Musyaiqih, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan pertama, tahun 1433 H, hal. 96-98.
* Syaikh Kholid Al Musyaiqih
adalah di antara murid Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin. Beliau
saat ini adalah Professor di Jurusan Fikih, Fakultas Syari’ah,
Universitas Qoshim Kerajaan Saudi Arabia.
@ Sakan 27, Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 19 Shafar 1434 H
[1] Al Majmu’, 3: 214.
[2] Lihat At Tadzhib, hal. 54.
[3] Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 154.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer