Kaedah yang Dimaksud
Kaedah tersebut berbunyi,
لا يجوز لأحد أن يتصرف في ملك الغير بلا إذن
“Tidak boleh seseorang memanfaatkan kepemilikian orang lain tanpa izinnya.”[1]
Di antara dalil kaedah tersebut adalah,
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta seseorang kecuali dengan ridho pemiliknya” (HR. Ahmad 5: 72. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa hadits tersebut shahih lighoirihi).
Izin di sini boleh jadi: (1) Izin secara langsung, (2) Izin tidak langsung (izin dalalah)
yaitu misalnya secara ‘urf (kebiasaan), hal seperti itu sudah dimaklumi
tanpa ada izin lisan atau sudah diketahui ridhonya si pemilik jika
barangnya dimanfaatkan.
Mengenai bentuk izin jenis kedua
ini kita bisa berdalil dengan kisah Khidr yang menghancurkan perahu
orang miskin yang nantinya akan dirampas oleh raja. Ia sengaja
menghancurkannya karena ia tahu bahwa mereka (para pemilik) ridho akan
perbuatan Khidr. Allah Ta’ala berfirman,
أَمَّا
السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ
فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ
سَفِينَةٍ غَصْبًا
“Adapun
bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut,
dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada
seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (QS. Al Kahfi: 79). Oleh karenanya, mengenai izin jenis kedua ini, Ibnu Taimiyah memiliki kaedah,
وَالْإِذْنُ الْعُرْفِيُّ كَالْإِذْنِ اللَّفْظِيِّ
“Izin secara ‘urf (kebiasaan) teranggap sama dengan izin secara lisan” (Majmu’ Al Fatawa, 11: 427).
Di tempat lain, beliau rahimahullah mengatakan,
وَكُلُّ مَا دَلَّ عَلَى الْإِذْنِ فَهُوَ إذْنٌ
“Segala sesuatu yang bermakna izin maka dihukumi sebagai izin” (Majmu’ Al Fatawa, 28: 272).
Contoh Kaedah
1- Tidak boleh masuk dalam rumah atau kebun seseorang tanpa izinnya.
2- Dalam akad mudhorobah
(usaha bagi hasil), jika pengelola telah diberi syarat oleh pemodal
untuk menjalankan usaha di tempat tertentu, atau menjual barang
tertentu, atau ditentukan waktu tertentu, lalu syarat ini dilanggar,
maka itu berarti telah memanfaatkan sesuatu tanpa izin.
3- Jika ada seseorang yang
dititipi sejumlah uang, lantas ia memanfaatkannya tanpa izin orang yang
menitipkan, maka jika ada kehilangan, dialah yang mengganti rugi karena
ia telah memanfaatkan barang tanpa izin.
4- Jika suatu jalan khusus
terlarang dilewati lalu pintunya sengaja dibuka tanpa meminta izin pada
pemiliknya, itu berarti telah memanfaatkan milik orang lain tanpa izin.
5- Jika seseorang mengetahui dari
keadaan sahabatnya bahwa ia selalu ridho jika diambil sesuatu miliknya,
maka barang milik sahabatnya tadi boleh diambil tanpa izinnya. Ini
termasuk izin jenis kedua yang disebutkan di atas.[2]
6- Di antara contoh lain dari
izin jenis kedua, misalnya ada orang yang dititipkan uang. Lalu ia
meminjam uang tersebut dan ia tahu si pemilik uang ridho apalagi pada
orang yang sifatnya amanah, maka boleh saja ia manfaatkan. Namun jika ia
ragu apakah si pemilik meridhoi ataukah tidak, maka tidak boleh ia
memanfaatkannya.[3]
Wallahul muwaffiq.
Referensi Utama:
Al Mufasshol fil Qowa’idil Fiqhiyyah,
Dr. Ya’qub ‘Abdul Wahab Al Bahisin, taqdim: Syaikh Prof. Dr.
‘Abdurrahman As Sudais (Imam Masjidil Haram), terbitan Dar At
Tadmuriyah, cetakan kedua, tahun 1432 H, hal. 557-558.
Al Qowa’id wadh Dhowabith Al Fiqhiyyah lil Mu’amalat Al Maaliyah ‘inda Ibni Taimiyyah, ‘Abdussalam bin Ibrahim bin Muhammad Al Hushoin, terbitan Dar At Ta’shil, cetakan pertama, tahun 1422 H, 2: 117-125.
@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 20 Shafar 1434 H
www.rumaysho.com
[1] Lihat Ad Durul Mukhtaar fii Syarh Tanwirul Abshor pada Kitab Ghoshob, oleh ‘Alaud-din Al Hashkafiy.
[2] Shorim Al Maslul, Ibnu Taimiyah, hal. 195.
[3] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, 30: 394-395.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer