Pertanyaan:
Aku orangnya tak suka bergaul,
tak suka berbagi, tak mau menceritakan apa yang sedang terjadi padaku,
sehingga saat aku sakit pun tak ada yang tahu kecuali ibuku.
Tapi yang ingin kutanyakan, apakah ibuku berdosa jika dia menyalahkan Tuhan dengan keadaan yang sedang menyiksanya? Bisa dibilang jika dia sakit dan beban yang dipikulnya berat sehingga dia menyalahkan apa yang ada disekelilingnya, sedangkan aku tak tahan mendengar keluhan dan rintihan karena penyakitku dan beban hidupku terlalu berat membuat aku tak tahan dengan keadaan ini sedangkan usiaku hanya 16 tahun sudah mengalami sakit yang tak tertahan ini dan ditambahkan cemohan tetangga dan orang orang yang didekatku membuat aku makan hati tiap hari dan membuat penyakitku sulit untuk sembuh.
Tapi yang ingin kutanyakan, apakah ibuku berdosa jika dia menyalahkan Tuhan dengan keadaan yang sedang menyiksanya? Bisa dibilang jika dia sakit dan beban yang dipikulnya berat sehingga dia menyalahkan apa yang ada disekelilingnya, sedangkan aku tak tahan mendengar keluhan dan rintihan karena penyakitku dan beban hidupku terlalu berat membuat aku tak tahan dengan keadaan ini sedangkan usiaku hanya 16 tahun sudah mengalami sakit yang tak tertahan ini dan ditambahkan cemohan tetangga dan orang orang yang didekatku membuat aku makan hati tiap hari dan membuat penyakitku sulit untuk sembuh.
Dari: Intan
Jawaban:
Tiada gading yang tak retak.
Itulah ungkapan pepatah yang sering kita dengar. Sebagaimana gading,
tiada manusia yang tidak pernah sakit. Saya, Anda, dia, mereka, siapapun
dia, pasti pernah merasakan sakit. Karena itu, bukanlah sakit itu
satu-satunya yang menjadi masalah terbesar bagi kita. Namun yang lebih
penting untuk kita perhatikan adalah bagaimana kita bisa menjadi hamba
yang baik ketika sakit. Sakit itu pasti, sementara bagaimana cara
melakukan yang terbaik ketika sakit, itu kembali kepada pilihan kita.
Kita bisa mendapatkan banyak
pahala ketika sakit. Sebaliknya, sakit yang kita derita juga bisa
menjadi sebab munculnya perbuatan dosa.
وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya
Allah ketika mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka denagn
musibah. Siapa yang ridha dengan musibah itu maka dia akan mendapatkan
ridha Allah. Sebaliknya, siapa yang marah dengan musibah itu maka dia
akan mendapatkan murka Allah.” (HR. Ahmad 23623, Tirmidzi 2396 dan dishahihkan al-Albani).
Mari kita perhatikan hadis di
atas. Sesungguhnya ujian yang Allah berikan kepada para hamba,
hakikatnya didasari kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Karena seorang
hamba akan bisa mendapatkan derajat yang lebih tinggi, ketika mereka
mendapatkan ujian dan mampu bersabar terhadap ujian tersebut.
Namun ada dua sikap manusia yang
berbeda. Ada yang memahami musibah itu dengan baik, sehingga dia bisa
ridha terhadap ujian yang Allah berikan. Dia berkeyakinan bahwa ujian
ini adalah sumber pahala baginya. Sehingga sama sekali dia tidak merasa
telah didzalimi oleh Allah. Di saat itulah, Allah akan memberikan
keridhaan dan pahala yang besar kepadanya.
Sebaliknya, ada orang yang
menyikapi musibah itu dengan cara yang salah. Dia menganggap sakit ini
adalah kezaliman dan ketidakadilan. Mengapa dia sakit, sementara orang
lain tidak sakit. Mereka dia tidak bisa mendapatkan kenikmatan hidup,
sementara tetangganya bisa mendapatkan banyak kenikmatan. Dia marah dan
tidak sabar dengan musibahnya. Sebagai hukumannya, Allah justru murka
kepadanya.
Bapak, ibu, pembaca yang budiman.
Satu pertanyaan yang patut kita renungkan, ketika orang itu marah
dengan musibah yang dideritanya, apakah dengan marahnya itu akan bisa
menghilangkan musibahnya? Ketika orang sakit itu merasa marah dengan
musibah sakitnya, apakah dengan marah itu dia bisa cepat mendapatkan
kesembuhan?
Kita sangat yakin, yang terjadi
justru sebaliknya. Mereka yang marah dan tidak ridha dengan sakit yang
dideritanya, akan semakin memperparah sakitnya. Dia sakit badannya dan
juga sakit hatinya. Dia sakit dua kali, lahir dan batin.
Abu Said al-Khudri pernah mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sedang sakit. Ketika Abu Said meletakkan tangannya ke badan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata panasnya luar biasa. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّا كَذَلِكَ يُشَدَّدُ عَلَيْنَا الْبَلَاءُ وَيُضَاعَفُ لَنَا الْأَجْرُ
“Sesungguhnya kami para nabi, diberi ujian yang sangat berat, sehingga pahala kami dilipat gandakan.”
Abu Said-pun bertanya, ‘Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab;
الْأَنْبِيَاءُ
وَالصَّالِحُونَ، لَقَدْ كَانَ أَحَدُهُمْ يُبْتَلَى بِالْفَقْرِ حَتَّى
مَا يَجِدُ إِلَّا الْعَبَاءَةَ يَحْويهَا فَيَلْبَسَهَا، وَيُبْتَلَى
بِالْقُمَّلِ حَتَّى يَقْتُلَهُ، وَلَأَحَدُهُمْ كَانَ أَشَدَّ فَرَحًا
بِالْبَلَاءِ مِنْكُمْ بِالْعَطَاءِ
“Para
nabi, kemudian orang shaleh. Sungguh ada diantara mereka yang diuji
dengan kemiskinan, sehingga harta yang dimiliki tinggal baju yang dia
gunakan. Ada juga yang diuji dengan kutu badan dan rambutnya, sampai
kutu itu membunuhnya. Sungguh para nabi dan orang shaleh itu, lebih
bangga dengan ujian yang dideritanya, melebihi kegembiraan kalian ketika
mendapat rezeki.” (HR. Abu Ya’la dalam al-Musnad 1045, al-baihaqi dalam Sunan al-Kubro (3/372), Hakim dalam al-Mustadrak 119, dan dishahihkan al-Albani).
Seperti itulah yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan orang shaleh. Mereka bisa berbahagia ketika sakit. Mereka lebih
gembira dengan ujian yang dideritanya, melebihi kegembiraan orang yang
baru saja mendapatkan banyak harta. Karena mereka meyakini, sakit adalah
sumber pahala baginya.
Suatu ketika, Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu
datang ke Mekah. Beliau sudah menginjak usia tua dan matanya buta.
Melihat kedatangan Sa’ad, masyarakat pada berdatangan dan menyambutnya.
Mereka berkeyakinan doa Sa’ad sangat mustajab, seperti yang disabdakan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Satu demi satu orang meminta didoakan Sa’ad.
Sampai akhirnya datang seorang
pemuda yang bernama Abdullah bin Saib. Beliau memperkenalkan diri kepada
Sa’ad bin Abi Waqqash. Setelah berkenalan, Abdullah bertanya keheranan,
“Wahai paman, Anda mendoakan banyak orang (dan itu mustajab). Mengapa
Anda tidak berdoa meminta kebaikan untuk diri Anda sendiri, sehingga
Allah akan mengembalikan penglihatan Anda?”
Mendengar uacapan pemuda ini, Sa’ad tersenyum, kemudian mengatakan,
يابني، قضاء اللّه عندي أحسن من بصري
“Wahai anakku, (menerima) takdir Allah untukku, itu lebih baik dari pada mataku.” (Qut al-Qulub, 1/435).
Insya Allah, kita-pun bisa
melakukannnya. Berbahagia ketika mendapat musibah. Berbahagia ketika
sakit. Tinggal saatnya kita sekarang mulai melatihnya.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer