(Oleh: Ustadz ‘Ashim bin Musthafa)
Yusuf berkata: “Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai
daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku.
Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka,
tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka)
dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.”.
Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf,
dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka.
Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(Qs Yusuf/12:33-34)
PENJELASAN AYATdaripada memenuhi ajakan mereka kepadaku.
Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka,
tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka)
dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.”.
Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf,
dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka.
Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(Qs Yusuf/12:33-34)
Kilas Balik Fitnah Wanita yang Mengancam Nabi Yusuf 'Alaihissalam
Setelah selamat dari
lubang sumur dan berpindah-tangan ke pejabat besar Mesir, kemudian Nabi
Yusuf 'alaihissalam tinggal dalam kemewahan. Beliau ternyata
diperlakukan dengan baik, bukan layaknya budak belian pada umumnya.
Tatkala usianya menginjak remaja, ketampanan paras menjadi simbol yang
melekat pada beliau. Dalam peristiwa Isra‘ Mi’râj, Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wa sallam menjumpainya di langit tingkat ketiga dan
beliau berkomentar: “Sungguh, ia diberi separuh ketampanan (Nabi Adam 'alaihissalam)”.[1]
Ketampanan Nabi Yusuf
'alaihissalam ini telah membuat istri majikannya terpikat, dan ia pun
membuat rencana untuk memperdaya dan menjerumuskan Nabi Yusuf
'alaihissalam ke dalam perbuatan fâhisyah (perzinaan). Namun, Allâh Ta'âla melindungi beliau 'alaihissalam dari perbuatan maksiat tersebut.
Berita tergodanya
istri pembesar Mesir dengan budaknya menyebar sampai ke
telinga-telinga kaum Hawa pada masa itu. Awalnya, mereka mencela istri
pembesar Mesir atas kejadian tersebut. Akan tetapi, wanita istri
pembesar Mesir tidak kurang akal. Ia menempuh sebuah cara supaya
wanita-wanita itu membenarkan dirinya sehingga sampai terpikat
dengan seorang remaja bernama Yusuf.
Maka didatangkanlah
wanita-wanita itu supaya menyaksikan sendiri ketampanan Nabi Yusuf
'alaihissalam. Ternyata benar, mereka benar-benar tersihir oleh
keelokannya. Bahkan mereka menganggapnya sebagai malaikat, lantaran
sedemikian tampan paras beliau.
Keterpukauan dan
kekaguman ini sampai mengakibatkan mereka tidak menyadari telah
mengiris tangan-tangan mereka sendiri dengan pisau-pisau yang sengaja
telah disediakan oleh istri pembesar Mesir, untuk membalas tipu daya
wanita-wanita tersebut, yang sebenarnya juga memendam hasrat besar
untuk menyaksikan keelokan wajah Nabi Yusuf 'alaihissalam dengan mata
kepala mereka sendiri. Bukan murni untuk mencela istri sang pembesar
Mesir itu.
Selanjutnya, istri
pembesar Mesir memberitahukan kepada para wanita yang hadir,
mengenai kepribadian bagus yang tertanam pada diri Nabi Yusuf
'alaihissalam. Yaitu, sifat ‘iffah (ketangguhan untuk menjaga
kehormatan diri), tidak sudi menyambut ajakan berbuat tidak senonoh.
Karena penolakan itu, muncullah ancaman dari mulut wanita istri
pembesar Mesir itu. Yakni dijebloskannya Nabi Yusuf 'alaihissalam ke
dalam penjara dan hidup dalam keadaan terhina.
Nabi Yusuf 'Alaihissalam Memohon Perlindungan kepada Allâh Ta'âla.
Saat itulah Nabi
Yusuf 'alaihissalam berlindung diri kepada Rabb-nya, dan beliau memohon
pertolongan kepada-Nya dari keburukan dan tipu-daya.
Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku
(QS Yusuf/12:33)
(QS Yusuf/12:33)
Ini menunjukkan bahwa
para wanita itu menyarankan Nabi Yusuf 'alaihissalam supaya patuh
terhadap tuan putrinya, dan mengupayakan untuk memperdaya Yusuf
'alaihissalam dalam masalah ini. Akan tetapi, Nabi Yusuf 'alaihissalam
lebih menyukai terkurung dalam penjara dan siksaan duniawi ketimbang
kenikmatan sesaat yang akan mendatangkan siksaan pedih.[2]
Sekaligus, ayat di
atas juga mencerminkan bahwasanya istri pejabat itu masih saja mendesak
Nabi Yusuf 'alaihissalam untuk mau menerima ajakannya, dan
mengancamnya dengan penjara dan kurungan, bila menolak ajakan itu.
Pasalnya, seandainya wanita itu tidak menekan dan melancarkan ancaman,
maka mustahil membuat Nabi Yusuf 'alaihissalam sampai mengatakan
“Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka
kepadaku”.[3]
Walaupun banyak
kondisi yang sangat mendukung terjadinya perbuatan zina yang nanti
akan dikemukakan satu-persatu, tetapi Nabi Yusuf 'alaihissalam lebih
mengutamakan ridha dan rasa takut kepada Allâh Ta'âla. Begitu juga
kecintaan kepada-Nya, telah mendorongnya untuk memilih hari-harinya
hidup di bui daripada berbuat zina.[4]
Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka,
tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka)
tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka)
Jika Engkau (wahai
Rabb-ku) menyerahkan pengendalian urusan ini kepada diriku sendiri,
sesungguhnya aku lemah, tiada daya, tidak mempunyai kekuatan, tidak
sanggup mendatangkan bahaya dan kemanfaatan kecuali dengan bantuan dan
kekuatan-Mu. Engkaulah tempat memohon pertolongan, kepada-Mulah tempat
sandaran, jangan Engkau serahkan pada diriku sendiri.[5]
dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh
Imam ath-Thabari
rahimahullâh mengatakan: “Dengan kecondonganku kepada mereka, aku akan
menjadi orang-orang yang tidak mengetahui hak-Mu dan menentang perintah
dan larangan-Mu”.[6]
Penyambutan terhadap
ajakan itu, menyebabkan seseorang terjerumus dalam dosa dan berhak
menyandang celaan atau telah bertindak dengan perbuatan orang-orang
yang tolol. Karena berarti lebih mengutamakan kenikmatan sesaat, dan
akan sangat menyengsarakannya di akhirat kelak daripada kenikmatan
abadi dan kesenangan yang beraneka macam di Jannatun-Na’im. Orang yang
memilih ini (memenuhi ajakan berbuat maksiat, red) daripada itu
(menolaknya, red), apakah ada orang yang lebih bodoh darinya?[7]
Dan berdasarkan ijma’ para ulama, orang yang dipaksa berzina dengan
ancaman penjara, tetap saja tidak boleh untuk melakukannya.[8]
Ibnul-Qayyim
rahimahullâh berkata: “Ia mengetahui kalau dirinya tidak mampu
menghindarkan diri dari ajakan itu. Seandainya Rabb-nya tidak menjaga
dan menyelamatkannya dari makar para wanita itu, atas dasar
nalurinya akan condong kepada mereka dan termasuk dalam golongan
orang-orang yang bodoh. Ini merupakan indikasi kesempurnaan ma’rifat
beliau kepada Allâh dan dirinya (yang lemah)”.[9]
Dengan ini, Nabi
Yusuf 'alaihissalam berarti telah mencapai kedudukan yang sempurna.
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya perzinaan, seperti usianya
yang remaja dan anugerah ketampanan dan kesempurnaan pribadi, digoda
oleh majikan wanita, seorang istri pejabat Mesir yang juga berwajah
elok, kaya dan berkedudukan, namun keadaan seperti itu tidak
menggoyahkan keteguhan hati Nabi Yusuf 'alaihissalam. Beliau lebih
memilih hidup terhina dalam jeruji penjara daripada melakukan
perbuatan buruk, karena beliau takut kepada Allâh Ta'âla dan berharap
pahala dari-Nya.[10]
Syaikh as-Sa’di
rahimahullâh menyebutkan rahasia Nabi Yusuf 'alaihissalam dapat
selamat dari keadaan genting tersebut. Yakni, (setelah taufiq dari
Allâh Ta'âla), juga karena ilmu dan akal pikiran sehat yang
mengajaknya untuk lebih mengutamakan kemaslahatan dan kenikmatan yang
terbesar, serta lebih mengedepankan perkara yang kesudahannya
terpuji.[11]
Artinya, ketika aspek jahâlah
(kebodohan) membelenggu manusia, baik masih dalam taraf yang ringan
ataupun sudah pekat. Hawa nafsu manusia selalu berbisik kepada obyek
yang buruk-buruk, yang tidak bermanfaat lagi membahayakannya di hari
esok. Demikian ini, lantaran sisi jahâlah (kebodohan) yang
menguasai jiwa tersebut. Oleh karena itu, siapa saja yang mencermati
Al-Qur‘anul-Karim, maka akan berhenti pada kesimpulan bahwa faktor
kebodohanlah yang menjadi pemicu terjadinya dosa-dosa dan maksiat.
Tidak mengherankan bila Nabi Yusuf 'alaihissalam, seperti yang
diceritakan oleh Allâh Ta'âla pada ayat di atas, akan menilai dirinya
sebagai manusia bodoh jika menyambut ajakan wanita istri penguasa
Mesir, majikannya.
Nabi Yusuf
'alaihissalam berkata: “Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari
tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan
mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh”.
Imam al-Baghawi
rahimahullâh berkata: “Pada ayat ini terdapat dalil, bahwa seorang
mukmin yang berbuat dosa, ia melakukannya karena dorongan unsur jahâlah (kebodohan pada dirinya, Red.)”.[12]
Begitu juga Syaikh
Abu Bakar al-Jazâiri hafizhahullâh mengatakan, tidak mengenal
(al-jahlu) Allâh, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, janji baik dan
ancaman, serta tidak mengenal syariatnya merupakan penyebab terjadinya
setiap kejahatan di dunia.[13] Banyak ayat yang menjelaskan pengertian yang sama (al-jahlu) dengan ayat di atas.
Di antaranya Allâh Ta'âla berfirman saat menceritakan kaum Nabi Musa 'alaihissalam,
yang artinya: Bani Israil berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami
sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah
(berhala)”. Musa menjawab : “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang
tidak mengetahui (sifat-sifat Ilah)”. (Qs al-A’râf/7:138)
Firman Allâh Ta'âla,
yang artinya: Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada
kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang
kamu melihat(nya)?” Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi)
nafsu(mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum
yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)”. (Qs an-Naml/27: 54-55).
Firman Allâh Ta'âla,
yang artinya: Katakanlah:”Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah
selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?” (Qs
az-Zumar/39:64).
Oleh sebab itu, siapa
saja yang bermaksiat kepada Allâh Ta'âla dan melakukan perbuatan
dosa, maka orang itu adalah jâhil (bodoh), sebagaimana telah menjadi
kenyataan yang dimaklumi oleh generasi Salafush-Shalih.
Allâh Ta'âla berfirman :
Sesungguhnya taubat di sisi Allâh hanyalah taubat
bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan,
yang kemudian mereka bertaubat dengan segera,
maka mereka itulah yang diterima Allâh taubatnya.
(Qs an-Nisâ‘/4:17)
bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan,
yang kemudian mereka bertaubat dengan segera,
maka mereka itulah yang diterima Allâh taubatnya.
(Qs an-Nisâ‘/4:17)
Makna bi jahâlah
adalah kebodohan (ketidaktahuan) pelakunya terhadap akibat buruk dari
perbuatannya, yang dapat mendatangkan kemurkaan dan siksa Allâh Ta'âla.
Sehingga setiap orang yang bermaksiat kepada Allâh Ta'âla, maka ia bodoh
ditinjau dari segi ini. Kendatipun ia mengetahui (memiliki ilmu) kalau
perbuatan itu memang diharamkan; kebodohannya terhadap pengawasan Allâh
Ta'âla, kebodohannya terhadap dampak maksiat yang bisa mengurangi
keimanan atau menghapuskannya.
Qatadah rahimahullâh berkata, ”Para sahabat Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam
pernah berkumpul, dan mereka memandang setiap perkara yang dengannya
Allâh didurhakai, berarti itu bentuk jahâlah (kebodohan), baik
dikerjakan dengan sengaja maupun tidak.”
As-Suddi rahimahullâh berkata: “Selama seseorang masih bermaksiat kepada Allâh Ta'âla , berarti ia masih bodoh”.[14]
Maka Rabb-nya memperkenankan doa Yusuf
dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka
Wanita itu masih saja
bernafsu menggoda Nabi Yusuf 'alaihissalam, dan ia menempuh segala cara
yang mampu ia lakukan, tetapi Nabi Yusuf 'alaihissalam tidak bergeming,
dan membuatnya patah arang, dan Allâh pun memalingkan tipu-daya mereka
dari Nabi Yusuf 'alaihissalam.
Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar
Ini merupakan wujud pertolongan Allâh Ta'âla kepada Nabi Yusuf 'alaihissalam dari fitnah yang menghimpit dan berat ini.[15]
Mengapa disebutkan
bahwa Allâh Ta'âla memperkenankan doa Nabi Yusuf 'alaihissalam,
padahal tidak ada doa yang muncul dari bibirnya, dan Nabi Yusuf
'alaihissalam hanya mengungkapkan jika penjara lebih disukainya
daripada bermaksiat kepada Allâh Ta'âla?
Jawabnya, lantaran
dengan itulah Nabi Yusuf 'alaihissalam menyampaikan pengaduan kepada
Allâh Ta'âla dan [Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu
daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan
mereka)] mengandung makna permohonan doa Nabi Yusuf 'alaihissalam
kepada Allâh Ta'âla agar dihindarkan dari makar para penggoda. Oleh
karena itu, lantas Allâh Ta'âla mengabulkan doanya.[16]
Dalam konteks ini,
sudah tentu Nabi Yusuf 'alaihissalam masuk dalam kandungan hadits
tujuh golongan yang meraih naungan Allâh Ta'âla pada hari tiada
naungan kecuali naungan-Nya.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
سـَــبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ فِـي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ
ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ (و فيه) وَرَجُلٌ ظَلــَــبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ
مَنْصِبٍ وَجَـمَالٍ فَقَالَ إِنِّـي أَخَافُ اللهَ
Ada tujuh golongan, Allâh akan menaungi mereka dengan naungan-Nya
pada hari tiada naungan kecuali naungan dari-Nya.
(Salah satunya disebutkan):
Seorang lelaki yang diajak seorang wanita
yang memiliki kedudukan dan paras elok (untuk berbuat zina),
akan tetapi ia mengatakan: “Saya takut kepada Allâh”.
(HR al-Bukhari dan Muslim).
pada hari tiada naungan kecuali naungan dari-Nya.
(Salah satunya disebutkan):
Seorang lelaki yang diajak seorang wanita
yang memiliki kedudukan dan paras elok (untuk berbuat zina),
akan tetapi ia mengatakan: “Saya takut kepada Allâh”.
(HR al-Bukhari dan Muslim).
WANITA, FITNAH PALING BERBAHAYA BAGI LELAKI
Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kaum lelaki,
bahwa fitnah wanita merupakan fitnah terberat yang dirasakan seorang
lelaki. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِـتْـنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ
Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku sebuah fitnah
yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki melebihi fitnah wanita.
(HR al-Bukhari dan Muslim).
yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki melebihi fitnah wanita.
(HR al-Bukhari dan Muslim).
Bahkan sejumlah ulama
menyimpulkan, bahwasanya makar dan tipu daya wanita lebih berbahaya
dari pada tipu daya setan. Yaitu dengan membandingkan penjelasan Allâh
Ta'âla tentang tipu daya setan dengan tipu daya wanita.
Firman Allâh Ta'âla
tentang tipu daya setan, (karena sesungguhnya tipu daya setan itu
adalah lemah) -Qs an-Nisâ‘/4 ayat 76- sedangkan mengenai tipu-daya
wanita, Allâh Ta'âla berfirman (Sesungguhnya tipu daya mereka itu
sangat besar) -Qs Yusuf/12 ayat 28. Komparasi ini menunjukkan bahwa
tipu daya wanita lebih berbahaya daripada tipu daya setan.[17]
ALANGKAH DAHSYAT FITNAH YANG MENIMPA NABI YUSUF 'ALAIHISSALAM[18]
Allâh Ta'âla telah
menyampaikan betapa besarnya fitnah perzinaan yang menghadang Nabi Yusuf
'alaihissalam. Banyak faktor yang dapat menjerumuskan Nabi Yusuf
'alaihissalam ke dalam lembah kenistaan, yang tidak pernah dijumpai oleh
siapapun.
Penjelasannya sebagai berikut:
-
Naluri Nabi Yusuf 'alaihissalam sebagai lelaki, beliau memiliki hasrat terhadap perempuan.
-
Status sebagai pemuda, yang umumnya memiliki rangsangan nafsu syahwat yang kuat. Terlebih lagi statusnya juga masih lajang, tanpa budak perempuan yang dapat dijadikan untuk menyalurkan hasrat kelelakiannya, sekaligus tak ada anggota keluarga yang membebaninya.
-
Ketampanan yang dimiliki Nabi Yusuf 'alaihissalam menjadi sumber daya pikat yang sangat berpengaruh, sehingga menyebabkan wanita tertarik kepadanya.
-
Keberadaannya sebagai orang asing, jauh dari keluarga dan kampung halaman. Kebiasaan orang yang bermukim di lingkungan sendiri akan merasa malu berbuat tidak senonoh. Khawatir bila perbuatan nistanya terbongkar, yang pada gilirannya kehormatannya pun bisa terpuruk di mata masyarakatnya. Akan tetapi, meski di tempat asing, Nabi Yusuf 'alaihissalam tidak ternoda dengan godaan.
-
Statusnya yang seperti mamlûk (budak belian). Seorang budak, ia sering keluar-masuk ke tempat majikan. Dia pun tidak terlalu memikirkan hal-hal yang dihindari oleh seseorang yang merdeka.
-
Si wanita penggoda memiliki status sosial tinggi, sekaligus rupawan.
-
Yang memulai menggoda adalah wanita itu, bukan Nabi Yusuf 'alaihissalam. Sehingga hilanglah beban seorang lelaki untuk melancarkan jurus-jurus cinta untuk bisa merayu seorang wanita. Hilang pula perasaan takut ditolak wanita itu. Belum lagi agresivitas wanita tersebut dalam mendekati Yusuf 'alaihissalam, yang berarti tindakannya itu bukan ditujukan untuk menguji ketahanan dan kesucian Nabi Yusuf 'alaihissalam, tetapi benar-benar mengajaknya berbuat nista. Akan tetapi, Nabi Yusuf 'alaihissalam bisa menjaga diri sehingga terhindar dari perbuatan yang menjijikkan.
-
Tempat kejadian berada di dalam rumah yang berada dalam kekuasaan pemilik, yaitu wanita penggoda tersebut. Sehingga ia leluasa dan mengetahui waktu-waktu yang sepi, hingga memungkinkannya melakukan perzinaan tanpa diketahui orang lain. Wanita itu pun melakukan ancaman bila hasratnya tidak dipenuhi, Tetapi Nabi Yusuf 'alaihissalam menghindar dan menolaknya.
-
Begitu pula wanita pemilik rumah telah mengunci pintu-pintu dengan rapat, untuk mengantipasi masuknya seseorang secara mendadak. Keadaan rumah benar-benar kosong kecuali Nabi Yusuf 'alaihissalam dan wanita itu. Tetapi Nabi Yusuf 'alaihissalam tetap tegar untuk tidak melakukannya.
-
Ketika gagal merayu Nabi Yusuf 'alaihissalam, maka wanita istri pembesar itu mengundang kaum wanita lainnya, sehingga timbul opini untuk memojokkan Nabi Yusuf 'alaihissalam.
-
Adapun suami wanita pembesar itu tidak terlalu memperlihatkan kecemburuan, sehingga memisahkan keduanya. Terhadap perbuatan nista istrinya, sang pembesar hanya meminta agar Nabi Yusuf 'alaihissalam melupakan kejadian tersebut, dan menuntut istrinya untuk bertaubat. Padahal, kecemburuan seorang suami dapat menjadi penangkal yang tepat dalam kasus semacam ini, supaya tidak terulang di kemudian hari.
Walaupun sangat
mencekam, Nabi Yusuf 'alaihissalam tidak sudi menyambut ajakan wanita
itu. Dia lebih mengutamakan hak Allâh Ta'âla daripada hak majikan
wanitanya. Allâh Ta'âla telah menjaga kehormatannya. Mengapa Nabi
Yusuf 'alaihissalam dikatakan berhasil menjaga kehormatannya, padahal
Al-Qur‘ân menyatakan kalau Nabi Yusuf pun memiliki keinginan
(sebagaimana disampaikan Allâh Ta'âla dalam Qs Yusuf/12:24)?
Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud
(melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf,
dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu
andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Rabbnya.
(Qs Yusuf/12:24)
(melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf,
dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu
andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Rabbnya.
(Qs Yusuf/12:24)
Jawabnya,[19] al hamm (keinginan) yang muncul dari beliau hanya sekedar khatharât
(bisikan hati semata), yang kemudian ia singkirkan karena Allâh Ta'âla.
Maka Allâh Ta'âla membalasnya dengan kebaikan. Sedangkan hasrat yang
berkecamuk pada wanita itu adalah hamm ishrâr (hasrat yang terus-menerus). Dia mengerahkan segala upaya untuk mewujudkannya. Akan tetapi gagal.
Jadi, keinginan
yang ada pada Nabi Yusuf 'alaihissalam dengan wanita itu berbeda.
Imam Ahmad rahimahullâh berkata: “Keinginan itu ada dua macam, hamm khatharât (keinginan yang melintas) dan ishrâr (keinginan yang menetap). Hammul-khatharât tidak diperhitungkan sebagai dosa, dan hammul-ishrâr diperhitungkan sebagai dosa “.
Ringkasnya, Allâh
Ta'âla telah memberikan perlindungan kepada Nabi Yusuf 'alaihissalam
dengan berbagai faktor pendukung, sehingga beliau terhindar dari
perbuatan nista tersebut. Faktor-faktor itu meliputi: ketakwaan kepada
Allâh, memperhatikan hak majikan yang telah memuliakannya, memelihara
diri dari tindakan aniaya (yang tidak akan membuat pelakunya selamat).
Begitu juga, Allâh Ta'âla memberikan anugerah berupa keteguhan iman,
sehingga menghasilkan ketaatan untuk mengerjakan perintah-perintah dan
menghindari larangan-larangan-Nya.
Substansi dari
perlindungan itu, Allâh Ta'âla telah memalingkan Nabi Yusuf
'alaihissalam dari keburukan dan perbuatan keji, karena ia tergolong
hamba-Nya yang ikhlas kepada-Nya dalam beribadah. Allâh Ta'âla juga
telah mengikhlaskan hati, memilih dan mengistimewakannya,
mencurahkan kepada beliau berbagai kenikmatan, dan menyelamatkannya
dari berbagai keburukan. Dengan pemeliharaan Allâh itu, Nabi Yusuf
'alaihissalam pun menjadi insan pilihan-Nya.
Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian.
Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.
(Qs Yusuf/12:24)
Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.
(Qs Yusuf/12:24)
Syaikhul-Islam
rahimahullâh berkata: “Seandainya Nabi Yusuf 'alaihissalam telah berbuat
dosa, niscaya akan bertaubat. Sesungguhnya Allâh Ta'âla tidak
menyebutkan kejadian dosa pada nabi kecuali disertai dengan taubat.
Sedangkan (di sini), Allâh Ta'âla tidak menyebut masalah taubat.
Sehingga dalam kasus yang dialaminya itu dapat diketahui, beliau
'alaihissalam sama sekali tidak berbuat dosa. Wallâhu a’lam”. [20]
PELAJARAN AYAT
-
Nabi yusuf 'alaihissalam lebih memilih menghuni penjara daripada berbuat maksiat. demikianlah seharusnya seorang hamba, bila di hadapkan pada dua pilihan ujian: berbuat maksiat atau hukuman duniawi, maka ia memilih sanksi duniawi ketimbang melakukan perbuatan dosa yang mendatangkan hukuman berat di dunia dan akhirat. Karena itulah, termasuk dari tanda keimanan, yaitu seorang hamba benci kembali kepada kekufuran setelah diselamatkan Allâh Ta'âla darinya, sebagaimana ia benci dicampakkan ke nyala api.
-
Nabi Yusuf 'alaihissalam memilih masuk penjara daripada melakukan kemaksiatan meskipun dibawah ancaman. Sikap ini termasuk dalam kategori tanda kebenaran iman.
-
Nabi Yusuf 'alaihissalam memilih bahaya yang lebih ringan. Ini merupakan kaidah syar’iyyah yang telah dipakai oleh ulama-ulama terdahulu, untuk menghindari bahaya yang lebih berat.
-
Menghuni penjara tidak selalu menjadi bukti bahwa orang itu berkelakukan buruk. Sebab, seperti dicontohkan, Nabi Yusuf 'alaihissalam adalah kekasih Allâh Ta'âla . Bahkan masuk penjara bisa menjadi tonggak awal bagi masa depan yang lebih baik.
-
Jika seorang hamba menyaksikan sebuah tempat yang mengandung fitnah dan faktor-faktor penggoda untuk berbuat maksiat, semestinya ia bergegas pergi dan menjauh darinya.
-
Mewaspadai bahaya khalwat, Yaitu seseorang laki-laki berduaan dengan wanita asing. Juga, harus mewaspadai getaran cinta yang ditakutkan memantik bahaya.
-
Hasrat yang muncul pada Nabi Yusuf 'alaihissalam terhadap wanita tersebut, yang kemudian ia singkirkan karena Allâh Ta'âla, menjadi salah satu tangga yang mengangkatnya kepada Allâh Ta'âla menuju kedudukan yang dekat dengan-Nya.
-
Seorang hamba, seharusnya selalu mencari perlindungan kepada Allah dan bernaung di bawah pemeliharaan-Nya ketika berhadapan dengan pemicu-pemicu maksiat, kemudian berlepas diri sikap percaya diri yang ada pada daya dan kekuatan pribadinya.
-
Seseorang tidak terpelihara dari maksiat kecuali karena pertolongan dari Allâh Ta'âla.
-
Allah tidak akan menyia-nyiakan keteguhan iman, keseriusan hati, dan usaha seorang hamba yang muhsin.
-
Seseorang yang sudah tercelup keimanan pada hatinya, ia adalah seorang yang ikhlas karena Allah pada semua perbuatannya. Allâh Ta'âla akan menyingkirkan berbagai kejelekan, perbuatan keji dan maksiat (dari dirinya) dengan kekuatan iman dan keikhlasannya, sebagai balasan bagi keimanan dan keikhlasannya. Allâh Ta'âla telah berfirman, yang artinya;"Demikianlah agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih."
-
Kisah ini menunjukkan keindahan batin Nabi Yusuf 'alaihissalam, yaitu sifat iffah (penjagaan kehormatan diri) yang besar dari godaan maksiat.
-
Sesungguhnya ilmu yang benar dan akal yang sehat akan membimbing pemiliknya kepada kebaikan dan menahannya dari kejelekan. Sebaliknya, kebodohan akan menjerumuskan seseorang selalu memperturutkan bisikan hawa nafsunya, walaupun merupakan maksiat yang berbahaya bagi pelakunya.
-
Kisah dalam ayat ini memperlihatkan tentang buruknya kebodohan, dan celaan bagi orang bodoh (jahil).
Maraji‘:
-
Al-Qur‘ân dan Terjemahannya, Cet. Mujamma’ Malik Fahd, Madinah.
-
Ad-Dâ‘ wad-Dawâ‘, Imam Ibnul-Qayyim, KSA, Cet. III, Th. 1419 H – 1999 M.
-
Adhwâul-Bayâni fi Idhâhil-Qur‘âni bil-Qur‘ân, Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqithi, Maktabah Ibni Taimiyyah, Kairo, Mesir, 1415 H - 1995 M.
-
Ahkâmul-Qur‘ân, Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdullah (Ibnul-’Arabi), Tahqiq: ‘Abdur-Razzâq al- Mahdi, Dârul- Kitâbil ‘Arabi, Cet I, Th. 1421 H – 2000 M.
-
Aisarut-Tafâsîr, Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal-Hikam, Madinah.
-
Al-Jâmi li Ahkâmîl-Qur‘ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqiq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-’Arabi, Cet. IV, Th. 1422H - 2001M.
-
Asbâbu Ziyâdatil-Imân wa Nuqshâni, Prof. Dr. ‘Abdur- Razzâq bin Abdul-Muhsin al-’Abbâd, Penerbit Ghirâs, Cet. III, Th. 1424 H - 2003 M.
-
Ithâful Ilf bi Dzikril-Fawâidil-Alfi wan-Naif min Sûrati Yûsuf 'Alaihissalam, Muhammad bin Mûsa Alu Nashr dan Salîm bin ‘Id al- Hilâli, Maktabah ar-Rusyd, Cet. I, Th. 1424 H - 2003 M.
-
Jami’ul-Bayân ‘an Ta`wîl Ay Al-Qur`ân, Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr ath-Thabari, Dar Ibnu Hazm, Cet. I, Th. 1423 H – 2002 M.
-
Ma’âlimut-Tanzîl, Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ûd al-Baghawi, Tahqîq dan Takhrîj: Muhammad ‘Abdullah an-Namr, ‘Utsmân Jum’ah Dhumairiyyah, dan Sulaimân Muslim al-Kharsy Dâr Thaibah, Th. 1411 H.
-
Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm, al-Hafizh Abul-Fida Isma’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Tahqîq: Sâmi bin Muhammad as- Salâmah, Dar Thaibah, Riyâdh, Cet. I, Th. 1422 H - 2002 M.
-
Taisîrul-Karîmir-Rahmân, ‘Allâmah Syaikh Abdur-Rahmân bin Nâshir as-Sa’di, Dârul-Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H – 1999 M.
[1] |
HR Muslim no. 162 dari Sahabat Anas bin Mâlik radhiyallâhu'anhu. As-Suhaili dan imam yang lain menyatakan: Maknanya separuh ketampanan Nabi Adam 'alaihissalam, karena Allâh Ta'âla telah menciptakan Adam 'alaihissalam
dengan tanganNya dan meniupkan ruh ciptaanNya, sehingga jadilah
beliau pada puncak ketampanan manusia. (Qashashul Ambiya’ karya Imam
Ibnu Katsir).
|
|
[2] |
Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur‘ân (9/159), Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 419.
|
|
[3] |
Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wîli Ay Al-Qur`ân (12/262).
|
|
[4] |
Ad-Dâ‘ wad-Dawâ‘, hlm. 322.
|
|
[5] |
Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm (4/386).
|
|
[6] |
Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wîli Ay Al-Qur`ân (12/263).
|
|
[7] |
Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 419.
|
|
[8] |
Ahkâmul-Qur‘ân (3/39).
|
|
[9] |
Ad-Dâ‘ wad-Dawâ‘, hlm. 322.
|
|
[10] |
Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm (4/386-387).
|
|
[11] |
Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 419.
|
|
[12] |
Ma’âlimut-Tanzîl (4/239).
|
|
[13] |
Aisarut-Tafâsîr (2/610).
|
|
[14] |
Tentang korelasi antara kebodohan dengan perbuatan maksiat seorang
muslim, dikutip dari kitab Asbâbu Ziyâdatil-Imân wa Nuqshânihi,
hlm. 62-64.
|
|
[15] |
Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 419.
|
|
[16] |
Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wîli Ay Al-Qur`ân (12/264).
|
|
[17] |
Adhwâ-ul Bayân (3/63).
|
|
[18] |
Diringkas dari ad-Dâ‘ wad-Dawâ‘, hlm. 319-322. Lihat Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm (4/387) dan Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 419.
|
|
[19] |
Ithâful lf bi Dzikril-Fawâidil-Alfi wan-Naif min Sûrati Yûsuf 'Alaihissalam (1/324).
|
|
[20] |
Al-Fatâwa (15/149, 17/30-31).
|
(Majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XI)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer