Kisah-kisah agung dari Nabi Ibrahim
adalah peneguhan nyata akan tauhid. Ketaatan dan keimanan yang luar
biasa kepada Allah mewujud pada tindakan yang niscaya akan teramat berat
ditunaikan manusia pada umumnya. Sebuah keteladanan yang mesti kita
tangkap dan nyalakan dalam kehidupan kita.
Nabi Ibrahim Seorang Teladan Yang Baik
Nabi Ibrahim adalah seorang teladan yang
baik. Perjalanan hidupnya selalu berpijak di atas kebenaran dan tak
pernah meninggalkannya. Posisinya dalam agama amat tinggi (seorang imam)
yang selalu patuh kepada Allah dengan mempersembahkan segala ibadahnya
hanya untuk-Nya semata. Beliau pun tak pernah lupa mensyukuri segala
nikmat dan karunia ilahi. Allah berfirman:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتاً لِلّهِ حَنِيفاً وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ شَاكِراً لِّأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang
imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan selalu
berpegang kepada kebenaran serta tak pernah meninggalkannya (hanif). Dan
sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah.
Dia pun selalu mensyukuri nikmat-nikmat Allah.” (An-Nahl: 120-121)
Nabi Ibrahim merupakan sosok pembawa
panji-panji tauhid. Perjalanan hidupnya yang panjang sarat dengan dakwah
kepada tauhid dan segala liku-likunya. Bahkan Allah jadikan beliau
sebagai teladan dalam hal ini, sebagaimana dalam firman-Nya:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَداً حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن شَيْءٍ رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ – رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِّلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Sesungguhnya telah ada suri teladan
yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya;
ketika mereka berkata kepada kaumnya: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri
dari kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari
(kekafiran) kalian serta telah nyata antara kami dan kalian permusuhan
dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian beriman kepada Allah
saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya; ‘Sesungguhnya aku akan
memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun
dari kamu (siksaan) Allah’. (Ibrahim berkata): ‘Ya Rabb kami, hanya
kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami
bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali. Ya Rabb kami,
janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir,
dan ampunilah kami ya Rabb kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Mumtahanah: 4-5)
Demikian pula, beliau selalu mengajak
umatnya kepada jalan Allah serta mencegah mereka dari sikap taqlid buta
terhadap ajaran sesat nenek moyang. Allah berfirman:
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ – قَالُوا وَجَدْنَا آبَاءنَا لَهَا عَابِدِينَ – قَالَ لَقَدْ كُنتُمْ أَنتُمْ وَآبَاؤُكُمْ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ – قَالُوا أَجِئْتَنَا بِالْحَقِّ أَمْ أَنتَ مِنَ اللَّاعِبِينَ – قَالَ بَل رَّبُّكُمْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الَّذِي فَطَرَهُنَّ وَأَنَا عَلَى ذَلِكُم مِّنَ الشَّاهِدِينَ – وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُم بَعْدَ أَن تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ – فَجَعَلَهُمْ جُذَاذاً إِلَّا كَبِيراً لَّهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ
“(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata
kepada ayahnya dan kaumnya: ‘Patung-patung apakah ini yang kalian tekun
beribadah kepadanya?’ Mereka menjawab: ‘Kami mendapati bapak-bapak kami
menyembahnya.’ Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya kalian dan bapak-bapak
kalian berada dalam kesesatan yang nyata.’ Mereka menjawab: ‘Apakah kamu
datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk
orang-orang yang bermain-main?’ Ibrahim berkata: ‘Sebenarnya Rabb kalian
adalah Rabb langit dan bumi, Yang telah menciptakannya; dan aku
termasuk orang-orang yang bisa memberikan bukti atas yang demikian itu.
Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap
berhala-berhala kalian sesudah kalian pergi meninggalkannya.’ Maka
Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berkeping-keping kecuali yang
terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali
(untuk bertanya) kepadanya.” (Al-Anbiya`: 52-58)
Allah memilihnya, menunjukinya kepada
jalan yang lurus, serta mengaruniakan kepadanya segala kebaikan dunia
dan akhirat. Allah berfirman:
اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ – وَآتَيْنَاهُ فِي الْدُّنْيَا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ
“Allah telah memilihnya dan
menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami karuniakan kepadanya
kebaikan di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat termasuk orang-orang
yang shalih.” (An-Nahl: 121-122)
Bahkan Allah mengangkatnya sebagai khalil (kekasih). Sebagaimana dalam firman-Nya:
وَاتَّخَذَ اللّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً
“Dan Allah mengangkat Ibrahim sebagai kekasih.” (An-Nisa`: 125)
Dengan sekian keutamaan itulah, Allah wahyukan kepada Nabi Muhammad untuk mengikuti agama beliau. Sebagaimana firman Allah :
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad): ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.’ Dan dia
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” (An-Nahl: 123)
Demikianlah sekelumit tentang perjalanan
hidup Nabi Ibrahim dan segala keutamaan yang Allah karuniakan kepadanya.
Barangsiapa mempelajarinya dengan seksama (mentadabburinya) niscaya
akan mendulang mutiara hikmah dan pelajaran berharga darinya. Terkhusus
pada sejumlah momen di bulan Dzulhijjah yang hakikatnya tak bisa
dipisahkan dari sosok Nabi Ibrahim.
Nabi Ibrahim dan Beberapa Amalan Mulia di Bulan Dzulhijjah
Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu
bulan mulia dalam Islam. Karena di dalamnya terdapat amalan-amalan
mulia; shaum Arafah, haji ke Baitullah, ibadah qurban, dan lain
sebagainya, yang sebagiannya tidak bisa dipisahkan dari sosok Nabi
Ibrahim. Di antara amalan mulia tersebut adalah:
a) Haji ke Baitullah
Haji ke Baitullah merupakan ibadah yang
sangat mulia dalam agama Islam. Kemuliaannya nan tinggi memosisikannya
sebagai salah satu dari lima rukun Islam. Rasulullah n bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ
“Agama Islam dibangun di atas lima
perkara; bersyahadat bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi kecuali
Allah dan beliau Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, shaum di bulan Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no.16, dari sahabat Abdullah bin Umar c)
Ibadah haji yang mulia ini tidaklah bisa
dipisahkan dari sosok Nabi Ibrahim. Terlebih tatkala kita menyaksikan
jutaan umat manusia yang datang berbondong-bondong dari segenap penjuru
yang jauh menuju Baitullah, menyambut panggilan ilahi dengan lantunan
talbiyah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْـمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Kusambut panggilan-Mu Ya Allah,
kusambut panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu, kusambut panggilan-Mu.
Sesungguhnya segala pujian, nikmat, dan kerajaan hanyalah milik-Mu tiada
sekutu bagi-Mu.”
Hal ini mengingatkan kita akan firman Allah:
وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ – لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ
“Dan berserulah (wahai Ibrahim)
kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang
datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan
berbagai manfaat bagi mereka.” (Al-Hajj: 27-28)
Asy-Syaikh Abdullah Al-Bassam berkata:
“Ibadah haji mempunyai hikmah yang besar, mengandung rahasia yang tinggi
serta tujuan yang mulia, dari kebaikan duniawi dan ukhrawi. Sebagaimana
yang dikandung firman Allah:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ
“Untuk menyaksikan segala yang bermanfaat bagi mereka.” (Al-Hajj: 28)
Haji merupakan momen pertemuan akbar bagi
umat Islam seluruh dunia. Allah pertemukan mereka semua di waktu dan
tempat yang sama. Sehingga terjalinlah suatu perkenalan, kedekatan, dan
saling merasakan satu dengan sesamanya, yang dapat membuahkan kuatnya
tali persatuan umat Islam, serta terwujudnya kemanfaatan bagi urusan
agama dan dunia mereka.” (Taudhihul Ahkam, juz 4 hal. 4)
Lebih dari itu, ibadah haji mempunyai
banyak hikmah dan pelajaran penting yang apabila digali rahasianya maka
sangat terkait dengan agama dan sosok Nabi Ibrahim q, baik dalam hal
keimanan, ibadah, muamalah, dan akhlak yang mulia. Di antara hikmah dan
pelajaran penting tersebut adalah:
1. Perwujudan tauhid yang murni dari noda-noda kesyirikan dalam hati sanubari, manakala para jamaah haji bertalbiyah.
2. Pendidikan hati untuk senantiasa
khusyu’, tawadhu’, dan penghambaan diri kepada Rabbul ‘Alamin, ketika
melakukan thawaf, wukuf di Arafah, serta amalan haji lainnya.
3. Pembersihan jiwa untuk senantiasa ikhlas dan bersyukur kepada Allah, ketika menyembelih hewan qurban di hari-hari haji.
4. Kepatuhan dalam menjalankan ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya tanpa diiringi rasa berat hati, ketika
mencium Hajar Aswad dan mengusap Rukun Yamani.
5. Tumbuhnya kebersamaan hati dan jiwa
ketika berada di tengah-tengah saudara-saudara seiman dari seluruh
penjuru dunia, dengan pakaian yang sama, berada di tempat yang sama,
serta menunaikan amalan yang sama pula (haji). (Lihat Durus ‘Aqadiyyah
Mustafadah Min Al-hajj)
b) Menyembelih Hewan Qurban
Menyembelih hewan qurban pada hari raya
Idul Adha (tanggal 10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq (tanggal 11,12,
13 Dzulhijjah) merupakan amalan mulia dalam agama Islam. Di antara bukti
kemuliaannya adalah bahwa Rasulullah n senantiasa melakukannya semenjak
berada di kota Madinah hingga wafatnya. Sebagaimana yang diberitakan
sahabat Abdullah bin Umar:
أَقَامَ النَّبِيُّ بِالْـمَدِيْنَةِ عَشْرَ سِنِيْنَ يُضَحِّي
“Nabi selama sepuluh tahun tinggal di
kota Madinah senantiasa menyembelih hewan qurban.” (HR. Ahmad dan
At-Tirmidzi, dia -At-Tirmidzi- berkata: ‘Hadits ini hasan’)
Penyembelihan hewan qurban, bila dirunut
sejarahnya, juga tidak lepas dari sosok Nabi Ibrahim dan putra beliau
Nabi Ismail. Sebagaimana yang Allah beritakan dalam kitab suci
Al-Qur`an:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ – فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ – وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ – قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ – إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاء الْمُبِينُ – وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ – وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ – سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ
“Maka tatkala anak itu (Ismail) telah
sampai (pada umur sanggup) untuk berusaha bersama-sama Ibrahim,
berkatalah Ibrahim: ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi
bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab:
‘Hai bapakku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaallah
kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya
telah berserah diri dan Ibrahim telah membaringkan anaknya atas
pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia:
‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,’
sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan
Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan
untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang
kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’.” (Ash-Shaffat: 102-109)
Demikianlah sosok Ibrahim, yang
senantiasa patuh terhadap segala sesuatu yang Allah perintahkan
kepadanya walaupun berkaitan dengan diri sang anak yang amat
dicintainya. Tak ada keraguan sedikit pun dalam hatinya untuk
menjalankan perintah tersebut. Ini tentunya menjadi teladan mulia bagi
kita semua, dalam hal ketaatan kepada Allah.
Nabi Ibrahim dan Para Da’i (Pegiat Dakwah)
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim mengandung banyak pelajaran berharga bagi para da’i. Di antara pelajaran berharga tersebut adalah:
a) Para da’i hendaknya membangun dakwah
yang diembannya di atas ilmu syar’i. Hal ini sebagaimana yang
dicontohkan Nabi Ibrahim ketika mendakwahi ayahnya (dan juga kaumnya):
يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطاً سَوِيّاً
“Wahai ayahku, sesungguhnya telah
datang kepadaku sebagian dari ilmu yang tidak datang kepadamu, maka
ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Maryam: 43)
Dan demikianlah sesungguhnya jalan dakwah yang ditempuh Rasulullah, sang uswatun hasanah. Sebagaimana firman Allah:
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Inilah
jalanku, aku berdakwah di jalan Allah di atas ilmu, demikian pula
orang-orang yang mengikuti jejakku. Maha Suci Allah dan aku tidaklah
termasuk orang-orang musyrik’.” (Yusuf: 108)
b) Para da’i hendaknya berupaya
menyampaikan kebenaran yang diketahuinya secara utuh kepada umat, serta
memperingatkan mereka dari segala bentuk kebatilan dan para
pengusungnya. Kemudian bersabar dengan segala konsekuensi yang
dihadapinya. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah tentang Nabi
Ibrahim:
وَإِبْرَاهِيمَ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاتَّقُوهُ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ – إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ أَوْثَاناً وَتَخْلُقُونَ إِفْكاً إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقاً فَابْتَغُوا عِندَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ – وَإِن تُكَذِّبُوا فَقَدْ كَذَّبَ أُمَمٌ مِّن قَبْلِكُمْ وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia
berkata kepada kaumnya: ‘Beribadahlah kalian kepada Allah semata dan
bertaqwalah kalian kepada-Nya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian
jika kalian mau mengetahui. Sesungguhnya apa yang kalian ibadahi selain
Allah itu adalah berhala, dan kalian telah membuat dusta. Sesungguhnya
yang kalian ibadahi selain Allah itu tidak mampu memberi rizki kepada
kalian, maka mintalah rizki itu dari sisi Allah dan beribadahlah hanya
kepada-Nya serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kalian
akan dikembalikan. Dan jika kalian mendustakan, maka umat sebelum kalian
juga telah mendustakan dan kewajiban Rasul itu hanyalah menyampaikan
(agama Allah) dengan seterang-terangnya.” (Al-‘Ankabut: 16-18)
Nabi Ibrahim pun tetap bersabar dan
istiqamah di atas jalan dakwah manakala umatnya melancarkan segala
bentuk penentangan dan permusuhan terhadapnya, sebagaimana firman Allah:
فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَن قَالُوا اقْتُلُوهُ أَوْ حَرِّقُوهُ فَأَنجَاهُ اللَّهُ مِنَ النَّارِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Maka tidak ada lagi jawaban kaum
Ibrahim selain mengatakan: ‘Bunuhlah atau bakarlah dia!’, lalu Allah
menyelamatkannya dari api (yang membakarnya). Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang
beriman.” (Al-‘Ankabut: 24)
Demikian pula Nabi besar Muhammad, perjalanan dakwah beliau merupakan simbol kesabaran di alam semesta ini.
Sosok Nabi Ibrahim merupakan teladan bagi
para da’i secara khusus dan masing-masing individu secara umum dalam
hal kepedulian terhadap kondisi umat dan negeri. Hal ini sebagaimana
yang tergambar pada kandungan doa Nabi Ibrahim yang Allah abadikan dalam
Al-Qur`an:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـَذَا بَلَداً آمِناً وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُم بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
“Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini
negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari
kemudian.” (Al-Baqarah: 126)
Nabi Ibrahim dan Para Orangtua
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim, merupakan
cermin bagi para orangtua dalam perkara pendidikan dan agama anak cucu
mereka. Allah berfirman:
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلاَ تَمُوتُنَّ إَلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan
kalimat itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim
berkata): ‘Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan agama
ini bagi kalian, maka janganlah sekali-kali kalian mati kecuali dalam
keadaan memeluk agama Islam’.” (Al-Baqarah: 132)
Bahkan Nabi Ibrahim tak segan-segan
berdoa dan memohon kepada Allah untuk keshalihan anak cucunya,
sebagaimana yang Allah abadikan dalam Al-Qur`an:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
“Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini
(Makkah) negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari
perbuatan menyembah berhala.” (Ibrahim: 35)
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاء
“Wahai Rabbku, jadikanlah aku beserta
anak cucuku orang-orang yang selalu mendirikan shalat. Wahai Rabb kami,
kabulkanlah doaku.” (Ibrahim: 40)
Setiap orangtua mengemban amanat besar
untuk menjaga anak cucu dan keluarganya dari adzab api neraka. Sehingga
dia harus memerhatikan pendidikan, agama dan ibadah mereka. Sungguh
keliru, ketika orangtua acuh tak acuh terhadap kondisi anak-anaknya.
Yang selalu diperhatikan justru kondisi fisik dan kesehatannya,
sementara perkara agama dan ibadahnya diabaikan. Ingatlah akan seruan
Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari adzab api neraka.” (At-Tahrim: 6)
Nabi Ibrahim dan Para Anak
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim juga
mengandung pelajaran berharga bagi para anak, karena beliau adalah
seorang anak yang amat berbakti kepada kedua orangtuanya serta selalu
menyampaikan kebenaran kepada mereka dengan cara yang terbaik. Allah
berfirman:
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنكَ شَيْئاً – يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطاً سَوِيّاً – يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيّاً – يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَن يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحْمَن فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيّاً
“Ingatlah ketika ia (Ibrahim) berkata
kepada bapaknya: ‘Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang
tiada dapat mendengar, tiada pula dapat melihat dan menolongmu
sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian
dari ilmu yang tidak datang kepadamu. Maka ikutilah aku, niscaya aku
akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah
menyembah setan, sesungguhnya setan itu durhaka kepada Allah Dzat Yang
Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa engkau akan
ditimpa adzab dari Allah Dzat Yang Maha Pemurah, maka engkau akan
menjadi kawan bagi setan.” (Maryam: 42-45)
Ketika sang bapak menyikapinya dengan keras, seraya mengatakan (sebagaimana dalam ayat):
قَالَ أَرَاغِبٌ أَنتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْراهِيمُ لَئِن لَّمْ تَنتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيّاً
“Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku,
hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti (dari menasihatiku) niscaya kamu
akan kurajam! Dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama.” (Maryam: 46)
Maka dengan tabahnya Ibrahim menjawab:
قَالَ سَلَامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيّاً
“Semoga keselamatan dilimpahkan
kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Rabb-ku, sesungguhnya
Dia sangat baik kepadaku.” (Maryam: 47)
Demikianlah seyogianya seorang anak
kepada orangtuanya, selalu berupaya memberikan yang terbaik di masa
hidupnya serta selalu mendoakannya di masa hidup dan juga
sepeninggalnya.
Nabi Ibrahim dan Para Suami-Istri
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim juga
mengandung pelajaran berharga bagi para suami-istri, agar selalu membina
kehidupan rumah tangganya di atas ridha Allah. Hal ini tercermin dari
dialog antara Nabi Ibrahim dengan istrinya yang bernama Hajar, ketika
Nabi Ibrahim membawanya beserta anaknya ke kota Makkah (yang masih
tandus dan belum berpenghuni) atas perintah Allah.
Diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas,
beliau berkata: “Kemudian Ibrahim membawa Hajar dan sang putra Ismail
–dalam usia susuan– menuju Makkah dan ditempatkan di dekat pohon besar,
di atas (bakal/calon) sumur Zamzam di lokasi (bakal) Masjidil Haram.
Ketika itu Makkah belum berpenghuni dan tidak memiliki sumber air. Maka
Ibrahim menyiapkan satu bungkus kurma dan satu qirbah/kantong air,
kemudian ditinggallah keduanya oleh Ibrahim di tempat tersebut. Hajar,
ibu Ismail pun mengikutinya seraya mengatakan: ‘Wahai Ibrahim, hendak
pergi kemana engkau, apakah engkau akan meninggalkan kami di lembah yang
tak berpenghuni ini?’ Dia ulang kata-kata tersebut, namun Ibrahim tidak
menoleh kepadanya. Hingga berkatalah Hajar: ‘Apakah Allah yang
memerintahkanmu berbuat seperti ini?’ Ibrahim menjawab: ‘Ya.’ Maka
(dengan serta-merta) Hajar mengatakan: ‘Kalau begitu Dia (Allah) tidak
akan menyengsarakan kami.’ Kemudian Hajar kembali ke tempatnya semula.”
(Lihat Shahih Al-Bukhari, no. 3364)
Atas dasar itulah, seorang suami harus
berupaya membina istrinya dan menjaganya dari adzab api neraka. Demikian
pula sang istri, hendaknya mendukung segala amal shalih yang dilakukan
suaminya, serta mengingatkannya bila terjatuh dalam kemungkaran.
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah
l, demikianlah mutiara hikmah dan pelajaran berharga dari perjalanan
hidup Nabi Ibrahim yang menyentuh beberapa elemen penting dari
masyarakat kita. Semoga kilauan mutiara hikmah tersebut dapat menyinari
perjalanan hidup kita semua, sehingga tampak jelas segala jalan yang
mengantarkan kepada Jannah-Nya. Amin ya Rabbal ‘Alamin….
Sumber : http://asysyariah.com/
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer