Para ulama sepakat akan haramnya membuat gambar (tashwir) namun mereka berselisih pendapat mengenai tashwir seperti apa yang hukumnya haram.
Tashwir ada dua macam:
Pertama, pembuat gambar melakukan kerja keras dan berperan dalam terbentuknya gambar yang dia buat. Membuat gambar semisal ini hukumnya haram. Inilah tashwir yang dimaksudkan dalam berbagai hadits. Contohnya adalah membuat atau membentuk patung dan melukis dengan tangan.
Kedua, pembuat gambar tidak memiliki peran dan tidak memiliki peran dalam terbentuknya gambar. Itulah gambar dalam foto dan video. Membuat gambar jenis kedua ini diperselisihkan oleh para ulama kontemporer. Pendapat yang kuat adalah pendapat yang membolehkannya. Inilah pendapat Ibnu Utsaimin.
Dalam pembagian di atas adalah dua hadits berikut ini:

 “يقال للمصورين يوم القيامة أحيُوا ما خلقتم”
“Dikatakan kepada pembuat gambar pada hari Kiamat ‘Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan’ [HR Bukhari dan Muslim].
“من الذي ذهب يخلق كخلقي”؟!
“Siapakah yang mencipta sebagaimana Aku mencipta?!” [HR Bukhari dan Muslim].
Sisi Pendalilan:
Kata-kata ‘mencipta’ menunjukkan bahwa membuat gambar yang haram itu khusus untuk gambar yang pembuat gambar itu memiliki peran dalam terbentuknya gambar yang dia buat.
Ditambah lagi, dalil-dalil tentang larangan membuat gambar itu terkait dengan membuat gambar dengan tangan baik dengan bentuk melukis, memahat atau membentuk patung karena foto dan video itu belum ada saat Nabi menyampaikan hadits-hadits tersebut.
Menyamakan gambar foto dan video dengan gambar yang diharamkan oleh berbagai dalil dengan alasan keduanya disebut tashwir (membuat gambar) adalah penyamaan yang kurang tepat karena dua alasan:
Pertama, syariat menjadikan tashwir sebagai illah dan sebab diharamkannya tashwir.
Kedua, membuat gambar foto dan video disebut tashwir adalah penamaan ‘urfi [bukan lughawi] yang baru [baru muncul belakangan] sehingga tidak bisa menjadi alasan dan landasan hukum.
Keterangan Tambahan:
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa gambar (surah) itu digunakan dalam pengertian lukisan dan dalam pengertian patung.
Hukum permasalahan foto dan video adalah permasalahan yang diperselisihkan oleh ulama kontemporer sehingga tidak selayaknya ada orang yang fanatik buta dengan salah salah pendapat yang dia pilih. Pilihan dalam permasalahan ini tidak boleh menjadi sebab timbulnya perdebatan sengit apalagi permusuhan.
Diantara ulama yang berpendapat bolehnya membuat gambar dengan alat modern [kamera, video] adalah Syaikh Ibnu Utsaimin. Memang beliau memiliki banyak fatwa yang tidak tegas membolehkan namun beliau memiliki fatwa tegas yang membolehkan dan menegaskan bahwa membuat gambar yang haram adalah gambar yang pembuat gambar memiliki peran di dalamnya. Bacalah Majmu Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin.
Sedangkan diantara ulama yang mengharamkan tashwir dengan alat apapun adalah Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Shalih al Fauzan.
Jika foto itu dibuat karena adanya maslahat dan kebutuhan maka ulama yang mengharamkan foto sekalipun membolehkannya semisal foto untuk KTP dan semisalnya.
Hukum membuat gambar (tashwir) itu berbeda dengan hukum sikap berlebih-lebihan terhadap foto, hukum meratapi foto orang yang telah meninggal dunia dan hukum memoto wanita dan aurat laki-laki apalagi aurat perempuan.
Perbedaan pendapat dalam masalah hukum tashwir itu khusus untuk tashwir manusia atau hewan. Sedangkan gambar [foto atau video] benda mati semisal gunung dan pohon tidaklah haram.
Bukti bahwa pembuat gambar dengan menggunakan piranti modern itu tidak memiliki peran dalam terbentuknya gambar adalah realita bahwa orang buta itu bisa memfoto atau membuat rekaman video dengan semata-mata menekan tombol. Demikian pula anak kecil yang belum punya akal yang sempurna.
Mengkaji hukum tashwir modern itu tidak ada sangkut pautnya dengan hawa nafsu, lemahnya iman, mencari-cari pendapat ulama yang diangkat enak atau mengambil ketergelinciran ulama namun dia adalah kajian dengan prinsip mengikuti dalil yang ada.
Bukanlah tujuan dari tulisan ini mempropagandakan tashwir modern dan bermudah-mudah dengannya namun tujuannya adalah mendudukkan permasalahan sehingga tidak ada pihak-pihak tertentu yang dicela dengan keras karena perbedaan pilihan pendapat dalam masalah ini. Siapa yang mengambil pendapat yang mengharamkan karena taklid dengan ulama yang mengharamkan maka dia wajib dihormati. Demikian pula orang yang mengambil pendapat yang membolehkan karena taklid dengan ulama yang membolehkan juga wajib dihormati [Diringkas dari makalah yang ditulis oleh Bundar bin Nayif al Mahyani al Utaibi yang berjudul at Tashwir bil Alat al Haditsah Bahtsun Mukhtashar Mufashshal yang bisa dibaca pada tautan berikut ini:
http://islamancient.com/articles,item,815.html ].


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers