Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Setelah kami mengkaji beberapa makanan
atau hewan yang diharamkan dalam Al Qur’an Al Karim dalam posting
sebelumnya. Dalam posting kali ini kami akan menjelaskan bahwa makanan
yang diharamkan bukan sebatas yang disebutkan dalam Al Qur’an saja.
Sebagian kaum muslimin ada yang memahaminya seperti itu. Sehingga
akibatnya mereka nyatakan bahwa anjing itu halal karena tidak diharamkan
dalam Al Qur’an.
Dalil mereka adalah ayat berikut ini,
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh
dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang
yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor –
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al An’am: 145).
Berdasarkan ayat ini ada dua kesimpulan
dari mereka. Pertama, hukum asal setiap makanan itu halal karena ayat
ini jelas menyatakan, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya”.
Kedua, yang dikecualikan dari pernyataan halal sebelumnya artinya
menjadi haram adalah empat macam yaitu bangkai, darah yang mengalir,
daging babi, dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Jadi
ada empat saja yang terlarang. Dalam ayat ini tidak disebutkan anjing,
maka asalnya anjing itu halal.
Baiklah, apakah pemahaman semacam ini
dibenarkan? Itu yang insya Allah akan kita bahas. Intinya, kami akan
memaparkan bahwa hadits nabi seharusnya jadi pegangan dan jangan hanya
memperhatikan Al Qur’an Al Karim saja. Karena hadits Nabawi itu
berfungsi sebagai penjelas dan pelengkap Al Qur’an, maka hukum yang
ditetapkan dalam hadits pun harus diambil. Lebih lanjut mari kita simak
pembahasan berikut ini.
Petunjuk Nabimu Tidak Boleh Diabaikan
Jika ada yang menanyakan, “Apakah makanan
atau hewan yang diharamkan hanya sebatas yang disebutkan dalam Al
Qur’an?” Jawabannya, tidak hanya terbatas dalam Al Qur’an saja. Karena
kita pun diperintahkan untuk mentaati perintah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Jadi apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang tetap kita jauhi. Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
فَعَلَيْنَا أَنْ نَتَّبِعَ الْكِتَابَ وَعَلَيْنَا أَنْ نَتَّبِعَ الرَّسُولَ وَاتِّبَاعُ أَحَدِهِمَا هُوَ اتِّبَاعُ الْآخَرِ ؛ فَإِنَّ الرَّسُولَ بَلَّغَ الْكِتَابَ وَالْكِتَابُ أَمْرٌ بِطَاعَةِ الرَّسُولِ . وَلَا يَخْتَلِفُ الْكِتَابُ وَالرَّسُولُ أَلْبَتَّةَ كَمَا لَا يُخَالِفُ الْكِتَابُ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Wajib bagi kita untuk mengikuti Al
Qur’an, begitu pula wajib bagi kita mengikuti petunjuk Rasul. Mengikuti
salah satu dari keduanya (Al Qur’an dan hadits Rasul), berarti mengikuti
yang lainnya. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bertugas untuk
menyampaikan isi Al Qur’an. Dalam Al Qur’an sendiri terdapat perintah
untuk menaati Rasul. Perlu juga dipahami bahwa Al Qur’an dan petunjuk
Rasul sama sekali tidak saling bertentangan sebagaimana halnya isi Al
Qur’an tidak saling bertentangan antara ayat satu dan ayat lainnya.”[1]
Kita dapat melihat bahwa dalam beberapa ayat, Allah memerintahkan untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ayat pertama,
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imron: 32). Ayat ini menunjukkan dengan jelas kita harus menaati Rasul.
Ayat kedua,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”
(QS. An Nur: 63). Ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang
menyelisihi perintah Rasul akan mendapat ancaman. Hal ini menunjukkan
bahwa perintah beliau pun harus tetap diikuti.
Ayat ketiga,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki
yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah
dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab: 36). Ayat ini menunjukkan orang mukmin tidak lagi punya pilihan jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menetapkan hukumnya.
Ayat keempat,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).” (QS. An Nisa’: 59). Ayat ini menunjukkan agar mengembalikan perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ayat kelima,
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
“Maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian.”(QS. An Nisa’: 59). Ayat ini menunjukkan
bahwa kita diperintahkan untuk mengembalikan perselisihan kepada Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sini menunjukkan benarnya dan
menunjukkan konsekuensi dari keimanan.
Berbagai hadits pun menunjukkan untuk menaati Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits pertama,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Maka, hendaklah kalian berpegang
dengan sunahku, sunah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk,
berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.” (HR. Abu Daud no. 4607, At Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42, Ahmad 4/126. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Hadits kedua,
دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Biarkanlah apa yang aku tinggalkan
untuk kalian, hanyasanya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka
gemar bertanya dan menyelisihi nabi mereka, jika aku melarang kalian
dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan
sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337, dari Abu Hurairah)
Hadits ketiga,
أَلاَ إِنِّى أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلاَ يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلاَلٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ أَلاَ لاَ يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الأَهْلِىِّ وَلاَ كُلُّ ذِى نَابٍ مِنَ السَّبُعِ وَلاَ لُقَطَةُ مُعَاهِدٍ إِلاَّ أَنْ يَسْتَغْنِىَ عَنْهَا صَاحِبُهَا وَمَنْ نَزَلَ بِقَوْمٍ فَعَلَيْهِمْ أَنْ يَقْرُوهُ فَإِنْ لَمْ يَقْرُوهُ فَلَهُ أَنْ يُعْقِبَهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُ
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al
-Qur’an dan yang semisal bersamanya (As Sunnah). Lalu ada seorang
laki-laki yang dalam keadaan kekenyangan duduk di atas kursinya berkata,
“Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Al-Qur’an! Apa yang kalian
dapatkan dalam Al-Qur’an dari perkara halal maka halalkanlah. Dan apa
yang kalian dapatkan dalam Al-Qur’an dari perkara haram maka
haramkanlah. Ketahuilah! Tidak dihalalkan bagi kalian daging keledai
jinak, daging binatang buas yang bertaring dan barang temuan milik orang
kafir mu’ahid (kafir dalam janji perlindungan penguasa Islam, dan
barang temuan milik muslim lebih utama) kecuali pemiliknya tidak
membutuhkannya. Dan barangsiapa singgah pada suatu kaum hendaklah mereka
menyediakan tempat, jika tidak memberikan tempat hendaklah memberikan
perlakukan sesuai dengan sikap jamuan mereka.” (HR. Abu Daud no. 4604.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Perhatikan baik-baik kalimat yang kami
garis bawahi dalam hadits ketiga ini. Seakan-akan apa yang dulu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar terjadi saat ini. Ternyata
saat ini sebagian umat Islam hanya mau mengambil apa yang telah
disebutkan dalam Al Qur’an saja. Sehingga karen anjing tidak disebut
dalam Al Qur’an kalau itu haram, maka mereka pun tidak mengharamkannya.
Sungguh inilah bukti nubuwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Allah
Ta’ala telah memerintahkan kita untuk menataati Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam dan diperintahakan untuk mengikuti petunjuk beliau
secara mutlak dan dalam perintah tersebut tidak dikaitkan dengan syarat
apa pun. Oleh karena itu mengikuti beliau sama halnya dengan mengikuti
Al Qur’an. Sehingga tidak boleh dikatakan, kita mau mengikuti Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam asalkan bersesuaian dengan Al Qur’an.
Sungguh perkataan semacam ini adalah perkataan orang yang menyimpang.”[2]
Ringkasnya dari pembahasan dan
dalil-dalil yang kami kemukakan: Walaupun tidak ada larangan atau
perintah dalam Al Qur’an, namun jika Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan atau melarang, maka seruan beliau tetap harus dipatuhi.
Bukti Haramnya Anjing Dalam Hadits Nabawi
Berikut kami bawakan beberapa bukti tentang haramnya anjing dalam berbagai hadits Nabawi.
Pertama: Hadits yang menerangkan larangan memakan binatang yang bertaring dan taringnya digunakan untuk memangsa binatangnya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933)
Dari Abi Tsa’labah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ .
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring.” (HR. Bukhari no. 5530 dan Muslim no. 1932)
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap
jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934)
An Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Syarh Muslim,
قَالَ أَصْحَابنَا : الْمُرَاد بِذِي النَّاب مَا يُتَقَوَّى بِهِ وَيُصْطَاد
“Yang dimaksud dengan memiliki taring adalah –menurut ulama Syafi’iyah-, taring tersebut digunakan untuk berburu (memangsa).”[3] Dari definisi ini, anjing berarti termasuk dari hewan yang diharamkan untuk dikonsumsi.
Kedua: Anjing termasuk hewan fasik yang boleh dibunuh.
Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِى الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْحُدَيَّا ، وَالْغُرَابُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
“Ada lima jenis hewan fasiq
(berbahaya) yang boleh dibunuh ketika sedang ihram, yaitu tikus,
kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan kalb aqur (anjing
galak).” (HR. Bukhari no. 3314 dan Muslim no. 1198)
An Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan, “Makna fasik dalam bahasa Arab adalah al khuruj
(keluar). Seseorang disebut fasik apabila ia keluar dari perintah dan
ketaatan pada Allah Ta’ala. Lantas hewan-hewan ini disebut fasik karena
keluarnya mereka hanya untuk mengganggu dan membuat kerusakan di jalan
yang biasa dilalui hewan-hewan tunggangan. Ada pula ulama yang
menerangkan bahwa hewan-hewan ini disebut fasik karena mereka keluar
dari hewan-hewan yang diharamkan untuk dibunuh di tanah haram dan ketika
ihram.”[4]
Sedangkan yang dimaksud dengan “kalb aqur” sebenarnya bukan maksudnya untuk anjing semata, inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama. Namun sebenarnya kalb aqur
yang dimaksudkan adalah setiap hewan yang pemangsa (penerkam) seperti
binatang buas,macan, serigala, singa, dan lainnya. Inilah yang dikatakan
oleh Zaid bin Aslam, Sufyan Ats Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Imam Asy
Syafi’i, Imam Ahmad dan selainnya.[5]
Ketiga: Upah jual beli anjing adalah upah yang haram, sehingga anjing haram untuk dimakan.
Dari Abu Mas’ud Al Anshori, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh melarang dari upah jual beli anjing, upah pelacur dan upah tukang ramal.” (HR. Bukhari no. 2237)
Dari Abu Az Zubair, ia berkata bahwa ia
mengatakan pada Jabir bin ‘Abdillah mengenai upah jual beli anjing dan
kucing. Jabir lantas menjawab,
زَجَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari upah jual beli anjing dan kucing.” (HR. Muslim no. 1569)
Perlu ingat pula kaedah, “Jika Allah melarang memakan sesuatu, maka pasti upah hasil jual belinya haram.”
Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ
“Sungguh jika Allah mengharamkan suatu kaum untuk mengkonsumsi sesuatu, Allah pun melarang upah hasil penjualannya.” (HR. Abu Daud no. 3488 dan Ahmad 1/247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari sini jelaslah pula haramnya jual beli anjing karena anjing itu haram untuk dimakan.
Keliru Dalam Memahami Surat Al An’am Ayat 145
Sebagian orang salah dalam memahami surat Al An’am ayat 145 berikut,
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh
dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang
yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor –
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” Kesimpulan
mereka bahwa yang diharamkan hanyalah yang disebutkan dalam ayat ini
saja. Berikut kami bawakan sanggahan dari ulama besar yang hidup 200
tahun silam, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah (terkenal dengan Imam Asy Syaukani). Ketika menafsirkan surat Al An’am ayat 145 dalam Fathul Qodir, beliau memberikan penjelasan yang berisi sanggahan yang sangat bagus terhadap pendapat semacam tadi:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah
mengabarkan pada mereka bahwa tiadalah ia peroleh dalam wahyu sesuatu
yang diharamkan kecuali yang disebutkan dalam ayat ini. Maka ayat ini
menunjukkan bahwa yang diharamkan sebatas yang disebutkan dalam ayat ini
seandainya ayat ini adalah Makiyah. Namun setelah surat ini, turunlah
surat Al Maidah (ayat 3) di Madinah dan ditambahkan lagi hal-hal lain
yang diharamkan selain yang disebutkan dalam ayat ini. Seperti yang
disebutkan terlarang adalah al munkhoniqoh (hewan yang mati dalam keadaan tercekik), al mawquudzah (hewan yang mati karena dipukul dengan tongkat), al mutaroddiyah (hewan yang mati karena lompat dari tempat yang tinggi), dan an nathihah (hewan yang mati karena ditanduk). Juga disebutkan dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenai haramnya setiap binatang buasa yang bertaring dan setiap
burung yang memiliki cakar (untuk menerkam mangsa). Begitu juga
disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai haramnya
keledai piaraan, anjing dan lainnya.
Secara global (yang dimaksud surat Al
An’am ayat 145), keumuman yang ada berlaku jika kita lihat dari hewan
yang dimakan sebagaimana yang dimaksudkan dalam konteks ayat dan
terdapat nantinya istitsna’ (pengecualian). Namun hewan-hewan yang
mengalami pengecualian sehingga dihukumi haram tetap perlu kita
tambahkan dengan melihat dalil lainnya dari Al Quran dan As Sunnah yang
menunjukkan masih ada hewan lain yang diharamkan. Tetapi kenyataannya
diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, dan ‘Aisyah, mereka
menyatakan bahwa tidak ada hewan yang haram kecuali yang disebutkan
dalam surat Al An’am ayat 145. Imam Malik pun berpendapat demikian.
Namun ini adalah pendapat yang sangat-sangat lemah.
Karena ini sama saja mengabaikan pelarangan hewan lainnya setelah
turunnya surat Al An’am ayat 145. Pendapat ini juga sama saja meniadakan
hewan-hewan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai hewan yang haram untuk dimakan, yang beliau menyebutkan hal
tersebut setelah turunnya surat Al An’am ayat 145. Peniadaan yang
dilakukan oleh mereka-mereka tadi tanpa adanya sebab dan tanpa ada
indikator yang menunjukkan diharuskannya peniadaan tersebut.”[6]
Ringkasnya, pendapat yang menyatakan
bahwa yang diharamkan hanyalah yang disebutkan dalam surat Al An’am ayat
145 adalah pendapat yang lemah dilihat dari beberapa sisi:
- Pengecualian dalam ayat tersebut mesti melihat dari dalil lain dalam Al Quran dan Hadits Nabawi.
- Dalam surat Al Maidah ayat 3 masih disebutkan adanya hewan tambahan yang diharamkan.
- Dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disebutkan adanya hewan lain yang diharamkan yang tidak disebutkan dalam Al Quran semacam keledai piaraan, anjing, dan binatang buas yang bertaring.
- Kalau ini dikatakan sebagai pendapat Ibnu ‘Abbas, maka perlu ditinjau ulang karena Ibnu ‘Abbas meriwayatkan hadits mengenai terlarangnya binatang buas yang bertaring. Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934)
- Sebagian ulama katakan bahwa surat Al An’am ayat 145 telah dinaskh (dihapus) dengan surat Al Maidah ayat 3.[7]
Semoga pembahasan ini bisa meluruskan kekeliruan yang selama ini ada. Hanya Allah yang beri taufik.
Diselesaikan di Pangukan-Sleman, 29 Rabi’ul Akhir 1431 H (13/04/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[1] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 19/84, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[2] Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih (2/190-191), dinukil dari Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 126.
[3] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 13/83, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, cetakan kedua, 1392.
[4] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/114.
[5] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/114-115.
[6] Fathul Qodir, Asy Syaukani, 2/490, Mawqi’ At Tafasir.
[7] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 2/427, Mawqi’ At Tafasir.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer