Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Pada saat ini dan beberapa posting
mendatang, kami akan mengangkat pembahasan yang mudah-mudahan bermanfaat
yaitu seputar makanan yang haram di dalam al Qur’an. Kenapa di sini
yang dibahas adalah makanan yang haram bukan yang halal? Karena para
ulama membuat kaedah: “Al ashlu fil asy-yaa’ al hillu wa laa yahrumu illa maa harromahullahu wa rosuluhu”
(Hukum asal segala sesuatu adalah halal dan sesuatu tidak diharamkan
kecuali jika Allah dan Rasul-Nya mengharamkannya). Inilah kaedah yang
berlaku untuk masalah makanan. Dari sini berarti kita cukup membahas
yang makanan yang haram saja, maka sisanya itu halal karena itu adalah
hukum asalnya.
Lalu mengapa kita mengutarakan masalah
makanan yang haram ini di tengah-tengah pembaca sekalian? Karena memang
pembahasan ini teramat penting terutama dalam masalah dikabulkan atau
tidaknya do’a. Jika seseorang mengkonsumsi yang haram, akibatnya adalah
doanya sulit terkabul. Sebagaimana hal ini dapat kita lihat dalam hadits
Abu Hurairah berikut ini,
« أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) ». ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ».
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya
Allah itu baik. Dia tidak akan menerima sesuatu melainkan yang baik
pula. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang
mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya:
‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan
kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman!
Makanlah rezeki yang baik-baik yang Telah menceritakan kepada kami telah
kami rezekikan kepadamu.’” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menceritakan tentang seroang laki-laki yang telah lama berjalan karena
jauhnya jarak yang ditempuhnya. Sehingga rambutnya kusut, masai dan
berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai
Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram,
minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan
dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan
do’anya?.” (HR. Muslim no. 1015)
Selanjutnya kita akan melihat apa saja
makanan atau hewan yang diharamkan dalam Al Qur’an Al Karim. Baru
setelah itu kita akan membahas hewan-hewan yang lainnya yang diharamkan
dalam beberapa hadits. Allahumma yassir wa a’in.
Tinjauan Ayat
Di antara ayat yang menyebutkan makanan atau hewan yang diharamkan adalah firman Allah Ta’ala,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al Maidah: 3)
Dari ayat di atas, kita dapat merinci makanan yang diharamkan adalah sebagai berikut.
Pertama: Bangkai (Al Maitah)
Bangkai (al maitah) adalah setiap hewan yang matinya tidak wajar, tanpa lewat penyembelihan yang syar’i. Contohnya adalah:
- Al munkhoniqoh: hewan yang mati dalam keadaan tercekik.
- Al mawquudzah: hewan yang mati karena dipukul dengan tongkat atau selainnya.
- Al mutaroddiyah: hewan yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi.
- An nathiihah: hewan yang mati karena ditanduk.
- Hewan yang diterkam binatang buas.
Jika hewan-hewan di atas ini masih
didapati dalam keadaan bernyawa, lalu disembelih dengan cara yang
syar’i, maka hewan tersebut menjadi halal karena Allah Ta’ala berfirman,
إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ
“kecuali yang sempat kamu menyembelihnya”
Yang termasuk bangkai adalah segala
sesuatu yang terpotong dari hewan yang masih hidup. Karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ فَهِيَ مَيْتَةٌ
“Apa yang dipotong dari binatang dalam keadaan hidup, maka sesuatu tersebut adalah bangkai.”
(HR. Abu Daud no. 2858, At Tirmidzi no. 1480, Ibnu Majah no. 3216,
Ahmad 5/218. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shohihul Jaami’ no. 5652)
Namun ada dua bangkai yang dikecualikan
keharamannya, artinya bangkai tersebut halal yaitu bangkai ikan dan
bangkai belalang. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
“Kami dihalalkan dua bangkai dan
darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan
dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah no. 3218. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Kedua: Darah yang mengalir
Pengharaman hal ini berdasarkan Surat Al
Maidah ayat 3 di atas. Adapun darah yang jumlahnya sedikit semacam darah
yang masih menempel di urat daging sembelihan dan sulit dibersihkan,
maka itu dimaafkan.
Ketiga: Daging babi
Selain pengharamannya dalam surat Al Maidah ayat 3 di atas, Allah Ta’ala juga berfirman,
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ …
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh
dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang
yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor –
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al An’am: 145)
Shidiq Hasan Khon rahimahullah
mengatakan, “Yang diharamkan dari babi adalah seluruh bagian babi.
Sedangkan di sini disebutkan dagingnya saja karena biasanya yang dimakan
adalah dagingnya.”[1]
Keempat: Hewan yang disembelih atas nama selain Allah
Dalil pengharamannya selain surat Al Maidah ayat 3 di atas, Allah Ta’ala juga berfirman,
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al An’am: 121)
Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang
muslim untuk memakan hasil sembelihan orang musyrik, majusi atau orang
yang murtad (non ahli kitab). Sedangkan untuk hasil sembelihan ahli
kitab (yaitu Yahudi dan Nashrani) itu dibolehkan untuk dimakan selama
tidak diketahui jika ia menyebut nama selain Allah. Landasan dari hal
ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu.”
(QS. Al Maidah: 5). Yang dimaksud dengan makanan dalam ayat di sini
adalah hasil sembelihan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani). Hal ini
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Sa’id
bin Jubair, ‘Ikrimah, ‘Atho’, Al Hasan, Makhul, Ibrohim An Nakhoi, As
Sudi, dan Muqotil bin Hayyan.[2]
Bagaimana dengan hewan yang diimpor dari negara non muslim?
Kami dapat merinci hal ini sebagai berikut:
- Jika yang diimpor adalah hewan laut semacam ikan, maka itu halal untuk dimakan. Karena ikan itu dihalalkan meskipun mati tanpa melalui penyembelihan yang syar’i, terserah yang menjaring ikan tersebut muslim atau non muslim.
- Jika yang diimpor adalah hewan daratan yang halal untuk dimakan (semacam unta, sapi, kambing dan burung) dan berasal dari negeri selain Ahli Kitab (seperti Majusi dan penyembah berhala), maka hewan tersebut jadi terlarang untuk dimakan.
- Jika yang diimpor adalah hewan yang berasal dari negeri ahli kitab (Yahudi dan Nashrani), maka boleh dimakan asalkan memenuhi dua syarat: [1] Tidak diketahui jika mereka menyebut nama selain Allah ketika menyembelih (seperti menyebut salib atau nama Isa bin Maryam), dan [2] Tidak diketahui mereka menyembelih dengan penyembelihan yang tidak syar’i.
Kaedah yang mesti diperhatikan dalam masalah hewan sembelihan: “Segala
hewan sesembelihan yang berasal dari orang yang sah untuk menyembelih
(muslim dan ahli kitab), maka hukum asalnya adalah selamat sampai ada
dalil yang menunjukkan bahwa hewan tersebut terlarang untuk dikonsumsi.”
Penerapan kaedah ini:
- Jika ada daging sembelihan yang berasal dari orang yang mengaku muslim, maka kita tidak perlu mencari tahu apakah hewan ini disembelih dengan cara yang syar’i atau tidak, apakah orang yang menyembelih tadi melaksanakan shalat atau tidak. Alasannya, karena seorang muslim adalah orang yang berhak untuk menyembelih hewan tadi. Selama itu datang darinya, maka kita hukumi halal sampai ada indikasi yang menunjukkan bahwa hasil sembelihan tersebut haram untuk dimakan -mungkin- karena cara menyembelihnya jelas-jelas tidak syar’i atau orang yang menyembelih tidak shalat. Menurut pendapat terkuat, orang yang tidak pernah shalat sama sekali dihukumi kafir sehingga sembelihannya haram untuk dimakan.
- Begitu pula jika daging sembelihan tersebut berasal dari orang Nashrani atau Yahudi (Ahlu Kitab). Selama itu berasal dari mereka, kita hukumi halal sampai ada indikasi yang menunjukkan bahwa sembelihan tersebut adalah hasil penyembelihan yang tidak syar’i, mungkin karena ia jelas-jelas menyebut nama selain Allah ketika menyembelihnya. [3]
Kelima: Hewan yang disembelih untuk selain Allah
Seperti disembelih untuk berhala, qubur,
dan orang yang sudah mati seperti ditujukan pada Said Al Badawi. Hal ini
diharamkan sebagaimana disebutkan dalam surat Al Maidah ayat 3 di atas.
Nantikan pembahasan selanjutnya mengenai
dalil diharamkannya anjing. Hal ini perlu dibahas karena sebagian orang
masih meragukan keharamannya. Semoga Allah mudahkan.
Semoga Allah memberi taufik.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[1] Ar Roudhotun Nadhiyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, 2/273, Darul Aqidah, cetakan pertama, tahun 1422 H.
[2] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 5/77, Muassasah Qurthubah.
[3] Kami gabungkan point ini dari pembahasan Syaikh Abu Malik hafizhohullah dalam Shahih Fiqh Sunnah, 2/339-340, Al Maktabah At Taufiqiyah dan penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam Manzhumah Ushulul Fiqh wa Qowa’idihi, hal. 112, Dar Ibnul Jauzi.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer