Manusia itu berbeda-beda
keadaannya, baik dalam hal bentuk fisik maupun sifat. Karena itulah, di antara
manusia ada yang elok rupa dan perawakannya, ada pula yang tidak.
Ada di antara mereka yang tinggi,
ada yang pendek. Ada yang sempurna anggota tubuhnya, ada pula yang cacat,
demikian seterusnya. Begitu pula sifat dan kepribadian masing-masing. Ada yang
tidak mempunyai kepribadian, akhlak, etika, perasaan halus, dan sebagainya, ada
pula yang berwatak mulia, bercita-cita tinggi, tekad yang luhur, dan
seterusnya.
Para nabi adalah golongan manusia
yang memiliki berbagai kesempurnaan sebagai seorang manusia, baik jasmani
maupun rohani. Mengapa? Karena Allah memang memilih mereka untuk diri-Nya, sehingga
sudah pasti memilih orang-orang yang paling baik dan sempurna; hati, akhlak,
kepribadian, dan sebagainya.
“Allah lebih mengetahui di mana
Dia menempatkan tugas kerasulan.” (al-An’am: 124)
Allah berfirman:
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan
sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah
berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya
beberapa derajat.” (al-Baqarah: 253)
Namun, bukan berarti kesempurnaan
fisik para nabi dan rasul sebagai manusia, menunjukkan mereka berada dalam satu
keadaan yang sama. Kesempurnaan yang ada pada mereka juga berbeda-beda. Itulah
salah satu bukti keindahan karya dan kesempurnaan kekuasaan Allah Yang Maha
Esa. Allah berfirman:
“(Begitulah) perbuatan Allah yang
membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu.” (an-Naml: 88)
Artinya, Dia melakukan sesuatu
dengan kekuasaan-Nya yang besar dan mengokohkan segala sesuatu yang telah
diciptakan-Nya.
Rasulullah pernah menceritakan
tentang perawakan fisik sebagian nabi, di antaranya tentang Nabi Musa, yang
dikatakan beliau seperti laki-laki dari suku Himyar (Yaman), tinggi, dan
berkulit gelap.[1] Nabi ‘Isa, seorang laki-laki yang bertubuh sedang, dengan
rambut basah seolah-olah baru keluar dari kamar mandi.[2]
Para sahabat juga pernah
menerangkan kepada kita tentang sebagian ciri-ciri Nabi, kata mereka, “Beliau
laki-laki yang paling gagah, rupawan, tidak terlalu tinggi, dan tidak pula
pendek. Dadanya bidang, pipinya halus, rambutnya sangat hitam, dan sepasang
matanya bercelak. Warna kulitnya cerah, tidak terlalu putih seperti bule dan
tidak gelap (sawo matang). Rambutnya tidak terlalu keriting dan tidak pula
lurus.”[3]
Adapun kesempurnaan sikap,
kepribadian, watak, perasaan, dan sebagainya, mereka juga berada pada tingkatan
paling sempurna sebagai manusia. Cukuplah pujian Allah terhadap mereka dalam
banyak ayat-Nya di dalam Al-Qur’an.
Allah berfirman tentang
Khalil-Nya Ibrahim:
“Sesungguhnya Ibrahim itu
benar-benar seorang yang penyantun lagi pengiba, dan suka kembali kepada
Allah.” (Hud: 75)
Allah berfirman menceritakan
pujian anak perempuan laki-laki saleh di Madyan tentang pribadi Nabi Musa:
“Wahai ayah, ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
engkau ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya.” (al-Qashash: 26)
Namun, kesempurnaan itu hanya
tinggal sebagai cerita yang dibaca. Banyak di antara manusia yang tidak
menempatkan kesempurnaan itu pada tempatnya. Ada yang melampaui batas, hingga
menjadikan pemilik kesempurnaan itu sederajat dengan Zat yang memberi
kesempurnaan tersebut, yaitu Allah. Artinya, kesempurnaan itu menjadi alasan
bagi mereka untuk menyerahkan peribadatan kepada para nabi dan rasul. Mereka
meminta syafaat, berkah, keselamatan, kemuliaan, kesehatan, dan rezeki kepada
para nabi dan rasul. Ada pula yang menyembelih korban, shalat, puasa, sedekah,
nazar, dan sebagainya untuk para nabi tersebut. Subhanallah.
Sebaliknya, ada pula yang tidak
peduli, hingga merendahkan para nabi tersebut, seperti tindakan orang-orang
kafir dari kalangan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Kalau kita membalik
lembaran-lembaran kitab mereka, tentu kita akan melihat kitab yang mereka
katakan sebagai pedoman hidup itu, penuh dengan tuduhan-tuduhan keji yang
dialamatkan kepada para nabi tersebut. Hampir tidak satu pun nabi yang selamat
dari kata-kata mereka yang tidak senonoh. Tak hanya itu, Allah yang telah
menciptakan dan menyelamatkan mereka dari kehinaan, juga tidak luput dari
ejekan mereka.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah
mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah miskin dan
kami kaya’.” (Ali ‘Imran: 181)
Juga firman Allah:
“Orang-orang Yahudi berkata,
‘Tangan Allah terbelenggu’, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan
merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu.”
(al-Maidah: 64)
INILAH
BEBERAPA KEJELEKAN YANG DITUDUHKAN OLEH AHLI KITAB KEPADA PARA NABI DAN RASUL
YANG PERNAH HIDUP BERSAMA MEREKA.
1. Mereka menuduh Nabi Harun
membuatkan patung anak sapi lalu disembah oleh Bani Israil (Kitab Keluaran
32:1). Padahal, Al-Qur’an dengan tegas mengungkapkan bahwa yang membuat patung
anak sapi adalah Samiri. Nabi Harun justru menentang perbuatan mereka,
sampai-sampai mereka hampir membunuh beliau.
2. Nabi Ibrahim menyerahkan
istrinya Sarah kepada Pharao (Fir’aun) sehingga memperoleh hadiah (Kitab
Kejadian 12:14). Sementara itu, Rasulullah mengisahkan kepada kita, Nabi
Ibrahim memasuki Mesir yang ketika itu diperintah oleh seorang raja zalim, yang
tidak pernah membiarkan seorang wanita cantik yang bersuami, melainkan membunuh
suaminya lalu merampas wanita itu untuk dirinya. Setelah Nabi Ibrahim ditanya
tentang Sarah, beliau mengatakan bahwa itu adalah saudaranya, yakni saudara
se-Islam. Rasulullah menerangkan pula bahwa Allah memelihara Sarah ketika
dibawa kepada raja tersebut, hingga dia tidak dapat didekati sama sekali oleh
raja zalim tersebut.
3. Mereka menuduh Nabi Luth
meminum tuak sampai mabuk lalu menyetubuhi kedua putrinya (Kitab Kejadian
19:30). Mahasuci Allah, tidak mungkin Nabi Luth berbuat demikian. Beliaulah
yang sepanjang hidupnya selalu mengajak kepada kemuliaan dan memerangi
perbuatan hina kaumnya. Akan tetapi, kedengkian kaum Yahudi mendorong mereka
menutup-nutupi kemuliaan yang beliau miliki.
4. Tuduhan mereka terhadap Nabi
Ya’qub, bapak moyang mereka sendiri, sebagai pencuri ternak dari kandangnya,
lantas membawa keluarganya tanpa memberitahu (Kitab Kejadian 31:17).
5. Mereka menuduh Dawud berzina
dengan istri prajuritnya, kemudian melakukan tipu daya agar membunuh laki-laki
itu. Akhirnya prajurit itu tewas, dan Dawud menikahi wanita tersebut hingga
melahirkan Sulaiman (Kitab Samuel II 11:1).
6. Mereka menuduh Sulaiman murtad
di akhir usianya dan menyembah berhala serta membangun kuil-kuil peribadatan
(Kitab Raja-Raja I 11:5).
7. Yesus bersaksi bahwa nabi-nabi
yang sebelum dia di kalangan Bani Israil adalah perampok dan pencuri. (Injil
Yohannes, 10:8)
Itulah sebagian perbuatan hina
yang dinisbatkan oleh bangsa yang paling dilaknat ini kepada para nabi Allah
yang suci. Mahasuci Allah dari apa yang mereka ada-adakan. Namun, kebusukan
jiwa membuat mudah menisbatkan kehinaan itu kepada manusia pilihan Allah, agar
mudah pula bagi mereka melakukan perbuatan dosa sesuai dengan selera mereka.
Tidak sampai di situ, bahkan ada
pula yang mereka bunuh.
Nabi Musa, salah seorang nabi dan
rasul paling mulia yang diutus memimpin mereka, tak luput dari ejekan mereka.
Mereka pernah mengatakan kepada beliau agar membuatkan satu sesembahan untuk
mereka, seperti dalam firman Allah:
“Bani Israil berkata, ‘Wahai
Musa, buatlah untuk kami sebuah sesembahan, sebagaimana mereka mempunyai
beberapa sesembahan’.” (al-A’raf: 138)
Atau mengatakan, “Kami tidak akan
beriman kepadamu sampai kami melihat Allah dengan terang-terangan.” Sebagaimana
Allah ceritakan:
“Dan (ingatlah), ketika kamu
berkata, ‘Wahai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat
Allah dengan terang’, karena itu kamu disambar halilintar, sedangkan kamu
menyaksikannya.” (al-Baqarah: 55)
Atau berkata kepada beliau,
“Pergilah engkau bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua. Sungguh, kami
akan duduk di sini (menunggu).”
Abu Hurairah berkata, Rasulullah
bersabda:
Sesungguhnya Musa adalah seorang
pemalu, menutup rapat tubuhnya hingga tidak terlihat kulitnya sedikitpun karena
malu. Karena itulah beberapa orang dari Bani Israil menyakiti beliau, kata
mereka, “Dia menutup diri seperti itu, tidak lain karena cacat pada kulitnya,
entah itu sopak (belang), udrah[4], atau penyakit lain.”
Dan sesungguhnya Allah ingin
membersihkan beliau dari tuduhan yang mereka lontarkan kepada Musa. Pada suatu
hari, beliau menyepi sendirian dan meletakkan pakaiannya di atas sebuah batu,
lalu mandi.
Setelah selesai, beliau mendekati
batu itu untuk memungut pakaiannya. Ternyata, batu itu berlari membawa pakaian
beliau. Nabi Musa pun mengambil tongkatnya mengejar batu itu sambil berseru,
‘Pakaianku, hai batu! Pakaianku, hai batu!’ sampai di dekat sekumpulan
orang-orang Bani Israil. Akhirnya, mereka pun melihat beliau dalam keadaan
tidak berpakaian dan tubuh yang paling bagus. Allah membersihkan beliau dari
ejekan yang pernah mereka ucapkan.
Batu itu pun berhenti dan Nabi
Musa segera mengenakan pakaiannya, kemudian mulai memukul batu itu dengan
tongkatnya. Demi Allah, masih ada bekas tiga, empat, atau lima pukulan pada
batu tersebut.
Itulah yang Allah firmankan:
“Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah
membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia
seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.”[5] (al-Ahzab: 69)
Akan tetapi, demikianlah watak
orang-orang Yahudi.
Ketika Nabi Musa sendirian, lalu
keluar dari dalam air, beliau tidak melihat bajunya yang diletakkan di atas
sebongkah batu. Beliau pun mengejar batu tersebut agar tidak terlihat oleh
seorang pun bahwa beliau dalam keadaan tidak berpakaian. Namun, ternyata ada
sekelompok Bani Israil duduk-duduk di sekitar situ, maka terpaksa beliau
melewati mereka.
Melihat keadaan Nabi Musa itu,
mereka pun menyadari ketidakbenaran tuduhan mereka. Ternyata, Nabi Musa
memiliki tubuh yang sempurna tanpa cacat.
Walhamdu lillah.
Catatan Kaki:
[1] HR. al-Bukhari no. 3394 dan
Muslim no. 172 & 178.
[2] HR. al-Bukhari no. 3394.
[3] HR. al-Bukhari (3547, 3548)
dan Muslim (2347), lihat juga Shahihul Jami’ (4/199).
[4] Udrah, pembengkakan scrotum
(kemaluan) –red.
[5] HR. al-Imam al-Bukhari no.
278, 3404, dan 4799, Muslim (1/183) dari Abu Hurairah.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer