Wihdatul mashdar menjadi salah satu ciri Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam penetapan masâil aqidah, Mereka hanya berlandaskan misykâtun nubuwwah, wahyu dari Allâh Ta'âla, tidak memandang akal, qiyas dan kasyf sebagai bagian sandaran aqidah. Karena tiga hal tersebut (akal, qiyas dan kasyf
) akan bertentangan banyak dengan nash al-Kitab dan Sunnah. Sehingga
amat aneh bila ada orang yang mendahulukan akal, qiyas dan kasyf di atas hujjah-hujjah al-Qur`an dan Hadits.
Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam saja pernah menegur ‘Umar bin Khaththâb –radhiyallâhu 'anhu– dari sekedar melihat-lihat lembar Taurat[1] yang
sebelumnya merupakan kitab yang diturunkan dari langit namun telah
dimasuki oleh tahrif-tahrif hasil penyelewengan tangan para pemuka agama
mereka. Dan tentunya Taurat dalam konteks ini lebih afdhal daripada
hasil qiyas akal manusia dan khayalan kalangan Sufi.[2]
Seiring dengan perjalanan waktu dan semakin jauh
umat dari masa kenabian, muncullah berbagai keyakinan dan ideologi dari
luar al-Qur`ân dan Sunnah yang mengintervensi aqidah Islamiyyah. Sufi
dengan ajaran tasawufnya pun ikut menodai kejernihan dan keutuhan aqidah
Islamiyyah. Masuknya ideologi ini di tengah masyarakat menyebabkan
terjadinya kegoncangan pada akidah kebanyakan umat Islam, pemikiran dan
pandangan-pandangan mereka sehingga secara otomatis menjauhkan mereka
dari aqidah yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Salah satu dampak buruk yang harus dirasakan bila
kekeliruan dan penyimpangan sangat dominan di masyarakat adalah
kekeliruan dan penyimpangan tersebut dianggap sebagai kebenaran. Pihak
yang menentangnya dipandang keluar dari al-haq. Tidaklah aneh bila
bangsa Barat (kaum kuffar) memberikan atensi besar pada pengkajian
khazanah ‘ilmiah’ Sufi, mencetak dan menyebarluaskannya serta
menterjemahkannya ke berbagai bahasa, karena mereka sudah mengetahui
bahaya Tasawuf bagi Islam dan umat Islam. Wallâhul musta’ân.
Dibangun di Atas Kedustaan
Kerusakan aqidah bila ditampakkan dengan
terang-terangan, pasti akan ditolak oleh manusia-manusia yang berfitrah
lurus dan berakal sehat. Maka, sebagian tokoh ajaran ini (tarekat Sufi)
memperkenalkan tasawuf dengan slogan-slogan, visi dan misi yang menarik
agar mudah menggandeng manusia sebanyak mungkin, menegaskan bahwa dakwah
mereka sesuai dengan ajaran Islam, misi mereka untuk mensucikan kalbu,
membina akhlak dan slogan-slogan menarik guna mengelabui umat.
Seorang pemuka tarekat di Mesir, Mahmûd as-Sathûhî
menjelaskan bahwa Tasawuf merupakan inti sari pengamalan ajaran Islam,
mengamalkan al-Qur`ân dan Sunnah, berjihad melawan musuh dan hawa nafsu
(!!). Sebagian pemuka aliran Tasawuf bahkan memandang bahwa seluruh
Sahabat Nabi, generasi Tâbi’în dan Tâbi’ît Tâbi’în adalah pioner aliran
Tasawuf karena sikap zuhud dan semangat berjihad mereka (!?).
Ungkapan-ungkapan di atas hanyalah klaim kosong dan
pernyataan yang tidak mendasar. Seorang Muslim yang berilmu akan merasa
keheranan dengan klaim-klaim (kosong tanpa bukti) tersebut. Bagaimana
mungkin mereka disebut mengikut al-Qur’ân dan Sunnah, serta menjadi para
pengikut dan penerus generasi terbaik umat, padahal dari sisi aqidah
terjadi perbedaan tajam antara aqidah para Sahabat dengan kalangan
Tasawuf, apalagi dengan aqidah tokoh besar Sufi, semisal Ibnu Arabi?
Jawabannya adalah, karena klaim-klaim palsu dan tuduhan-tuduhan asal-asalan merupakan salah satu uslub (metode) memasarkan ajaran mereka dan menjauhkan umat dari kebenaran.
Benar-benar Merusak Aqidah Islamiyah
Kekhawatiran terhadap ideologi Sufi tidak hanya
lantaran kandungan penyelewengan akidah yang ada padanya. Akan tetapi,
juga karena penyebarannya yang begitu luas di dunia Islam. Akibatnya,
terbentuk semacam opini bahwa kebenaran adalah apa yang ada pada kaum
Sufi (?!).
Seperti pepatah Arab, wabil mitsâl yatt adhihul maqâl
(dengan contoh, pernyataan akan bertambah jelas), maka di sini akan
disebutkan beberapa contoh bagaimana ajaran tasawuf merubah kemurnian
aqidah Islam:
- Aqidah Islam telah menetapkan Allâh Ta'âla menciptakan makhluk-makhluk-Nya dari ‘adam (tidak ada sebelumnya), tidak dari Dzat-Nya dan bahwa semesta alam ini bukan khaliq (pencipta). Inilah aqidah yang dibawa al-Qur`an dan Hadits-hadits Nabi. Sementara dalam kamus Sufi, diyakini bahwa segala yang ada di alam ini merupakan perwujudan Dzat Allâh Ta'âla dengan aqidahnya yang dikenal dengan wihdatul wujud, kesatuan wujud.
- Aqidah Islam berdasarkan nash-nash al-
Qur`ân dan Hadits telah menentukan abahwa Allâh Ta'âla berada di atas
langit, bersemayam di atas Arsy sesuai dengan keagungan dan
kebesaran-Nya. Allâh Ta'âla berfirman:
(Yaitu) Rabb yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy.
(QS. Thâhâ/20:5)
Sementara dalam ilmu Tasawuf diajarkan bahwa Allâh Ta'âla berada dimana-mana.
- Aqidah Islam menyatakan bahwa kenabian
mutlak merupakan keutamaan yang Allâh Ta'âla anugerahkan kepada insan
yang Dia kehendaki. Kenabian dan kerasulan tidak datang melalui
keinginan nabi dan rasul yang bersangkutan atau atas permintaan mereka
kepada Allah Ta'âla.
Allâh Ta'âla berfirman:
Allâh memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
(QS. al-Hajj/22:75)
Dalam hal ini, tokoh Sufi memandang kenabian dapat diraih melalui ketekunan melakukan riyâdhah. Seorang tokoh Sufi, Ibnu Sab’in[3] mengatakan, “Ibnu Aminah (Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam) telah membatasi sesuatu yang lingkupnya luas ketika mengatakan, “Tidak ada nabi sepeninggalku”. - Aqidah Islam menegaskan bahwa Nabi
Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam dan nabi serta rasul yang lain
juga manusia-manusia seperti orang-orang yang lain dan masih
berkewajiban menjalankan syariat. Akan tetapi, Allâh Ta'âla memilih
mereka dan mengutamakan mereka di atas kebanyakan orang sebagai
utusan-utusan-Nya.
Adapun golongan Sufi berpandangan bahwa Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam adalah sumber terciptanya makhluk-makhluk yang lain (keyakinan ini dikenal dengan aqidah Nur Muhammadi). Mereka pun membawakan hadits-hadits palsu yang menyatakan jika tidak ada Muhammad maka alam semesta ini tidak akan pernah ada. Mereka pun memandang manusia bila sudah mencapai derajat tertentu tidak terkena kewajiban menjalankan syariat Islam. - Sumber hukum aqidah Islam hanya dua: al-Qur`ân dan Hadits shahih, tidak ada sumber ketiga atau keempat dan seterusnya… Sementara itu, kaum Sufi memiliki sumber aqidah yang lain yang dikenal dengan istilah al-kasyf dan al-faidh. Mereka secara nyata meyakininya sebagai landasan keyakinan.
- Aqidah Islam menjunjung tinggi tauhîdullâh dan datang untuk memberantas syirik dengan seluruh jenisnya, termasuk praktek penyembahan kepada selain Allâh Ta'âla. Sedangkan pada ajaran Tasawuf, praktek syirik sangat kentara dalam bentuk meminta kepada penghuni kubur, istighotsah kepada orang-orang yang telah mati, pengagungan kuburan dan lain-lain.
- Aqidah Islam telah menetapkah hanya Allâh Ta'âla saja yang mengetahui alam gaib. Allâh Ta'âla berfirman:
Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.
(QS. an-Naml/27:65)
Dalam hal ini, kaum Sufi menyatakan bahwa syaikh-syaikh tarekat memiliki kemampuan meneropong dan mengetahui alam gaib melalui jalan kasyf, dan menurut mereka ilmu tersebut mereka peroleh dari Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam .
Masih banyak keyakinan mereka lainnya yang
jelas-jelas berseberangan dengan aqidah yang dibawa oleh Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Pendek kata, ajaran Tasawuf berdiri di atas landasan-landasan berikut:
- Membagi agama menjadi lahir yang diketahui oleh orang-orang awam dan batin yang hanya dimengerti oleh kaum khos (orang-orang khusus saja).
- Menjadikan kasyf (melihat hal-hal yang ghaib) dan dzauq (perasaan) sebagai dasar dalam penetapan masalah-masalah aqidah dan ibadah.
- Melegalkan praktek syirik dan bahkan melakukan pembelaan untuknya.
- Menshahihkan hadits melalui jalan kasyf.
- Beramal berdasarkan hasil mimpi.
- Beribadah dengan dasar dzauq dan wajd (perasaan).
- Menyebarkan hadits-hadits lemah dan palsu dan mengamalkannya.
- Membiasakan dzikir jama’i dan beribadah dengan menari-nari diiringi oleh suarasuara alunan bunyi seruling dan alat-alat musik lainnya. Bahkan penulis kitab Ihya Ulûmuddîn menulis satu bab di dalamnya dukungannya terhadap ‘ibadah’ dengan tarian dan musik disertai penjelasan tentang adab-adab dan menetapkan bahwa musik lebih menggelorakan hati daripada al-Qur`ân dari tujuh aspek. (al-Ihyâ:2/325-328).
Demikian point-point prinsip aqidah yang diajarkan
dalam ilmu Tasawuf dan diyakini kalangan Sufi. Semoga Allâh Ta'âla
menjauhkan kita dari segala kerusakan dalam keyakinan kita. Wallâhu
a’lam.
(Firaq: Majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun XV)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer