Kemungkinan akan ternyadi perbedaan dalam penentuan awal puasa ramadhan.
Antara ormas yang menggunakan hisab dan rukyah. Sementara pemerintah
hrs melalui sidang itsbat. Sebagai muslim, sikap yang tepat bagaimana?
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Telah menjadi agenda tahunan bangsa indonesia, polemik penentuan awal bulan ramadhan atau awal bulan syawal. Hampir tidak kita jumpai, kaum muslimin melakukan puasa
atau hari raya secara serempak. Terlebih pemerintah negara kita sangat
permisif terhadap berbagai perbedaan yang berkembang di tanah air.
Selagi di sana tidak ada aduhan, semua orang bebas menyebarkan
gagasannya.
Kehadiran berbagai macam kelompok
thariqat, yang memiliki metode penentuan tanggal sendiri-sendiri,
membuat situasi semakin runyam. Selama pemerintah mengakomodasi setiap
metode yang mereka tetapkan, selamanya kaum muslimin indonesia tidak
akan pernah berpuasa dan berhari raya secara serempak. Cita-cita untuk
menyatukan kalender umat islam, sejatinya hanya pepesan kosong yang
tidak akan pernah terwujud.
Antara Ormas Islam dan Pemerintah
Setidaknya ada dua ormas besar
yang menentukan aktivitas masyarakat dalam beribadah di bulan ramadhan
dan syawal. Ketika dua ormas ini memberikan keputusan yang seragam,
setidaknya kita bisa berharap, mayoritas kaum muslimin akan berpuasa dan
berhari raya dalam waktu yang bersamaan. Namun sayangnya, dua ormas ini
memiliki pendekatan yang sama sekali berbeda. Hisab dan rukyah. Lebih
dari itu, dalam menentukan awal bulan dan agenda ibadah, masyarakat
lebih cenderung menaruh kepercayaan kepada keputusan ormas, ketimbang
kepada keputusan lembaga resmi pemerintah.
Sejatinya, pemerintah telah
berupaya menjembatani dua pendekatan yang berbeda ini. Dalam hal ini,
pemerintah kita menggunakan metode pendekatan Imkanur Rukyah.
Imkanur Rukyah
Kriteria penentuan awal bulan
(kalender) Hijriyah ini, ditetapkan berdasarkan Musyawarah
Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan
Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan
Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah. Secara bahasa, Imkanur Rukyah
berasal dari dua kata: imkan [arab: إمكان] yang artinya mengukur tingkat
kemungkinan, dan ruyah [arab: رؤية] yang artinya melihat hilal.
Gabungan dua kata ini dapat artikan sebagai bentuk mempertimbangkan
kemungkinan terlihatnya hilal.
Jika kita perhatikan, secara
praktis, Imkanur Rukyah dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyah dan
metode hisab, yang mewakili metode dua ormas islam terbesar di
indonesia.
Prinsip Imkanur Rukyah
Dalam kriteria imkan rukyah, hilal dianggap bisa terlihat, jika salah satu dari dua syarat berikut terpenuhi:
Pertama, Pada saat matahari terbenam, tinggi terkoreksi hilal di atas
cakrawala lebih dari 2 derajat dan usia bulan lebih minimal 8 jam
dihitung sejak ijtimak (peristiwa dimana bumi dan bulan berada di posisi
bujur langit yang sama).
Kedua, tinggi terkoreksi lebih
dari 2 derajat dan elongasi (jarak lengkung Bulan-Matahari) lebih dari 3
derajat. (tinggi terkoreksi 2 derajat = tinggi hilal 2,25 derajat).
[sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat#Imkanur_Rukyat_MABIMS]
Hal menarik yang penting kita
garis bawahi, untuk bisa menentukan keadaan di atas, metode imkanur
rukyah yang dilakukan pemerintah akan menggunakan pendekatan hisab.
Karena itu, klaim sebagian orang bahwa pemerintah anti hisab, pemerintah
tidak mengadopsi hisab adalah komentar yang salah, karena metode
imkanur rukyah sangat mengadopsi metode hisab.
Kemudian, dari dua syarat di atas, terdapat 3 kemungkinan keadaan yang bisa terjadi,
1. Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat.
Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk
bulan baru. Metode rukyah dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
2. Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat.
Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan
rukyah kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga
awal bulan baru telah masuk malam itu. Metode rukyah dan hisab sepakat
dalam kondisi ini.
3. Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara rukyah. Tetapi secara metode hisab hilal sudah di atas cakrawala.
- Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika rukyah maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyah dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
- Tetapi jika rukyah tidak berhasil melihat hilal maka metode rukyah menggenapkan bulan menjadi 30 hari, sehingga malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyah dan hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.
Sebelum lebih lanjut terhadap
pembahasan, saya tertarik untuk menggaris bawahi satu himbauan yang
disampaikan dalam sidang Itsbat, penetapan tanggal 1 syawal 1432 H, pada
akhir agustus 2011. Dalam majlis tersebut, salah satu peserta
menghimbau agar seluruh ormas menyatukan kriteria yang digunakan dalam
menentukan awal bulan. Karena selama kriteria ini tidak disatukan, akan
rentan dengan munculnya perbedaan. Terutama ketika ketinggian hilal,
kurang dari 2 derajat.
Penyatuan kriteria tidak sama dengan menganulir ijtihad ormas. Karena
kriteria yang digunakan pemerintah sejatinya telah mewakili dua
pendekatan yang dilakukan oleh dua ormas besar itu. Pemerintah tidak
meninggalkan hisab sama sekali, juga tidak meninggalkan rukyah.
Sekali lagi, jika ada yang
beranggapan bahwa pemerintah lebih memihak kepada pendekatan rukyah, ini
jelas anggapan yang tidak benar. Demikian pula sebaliknya.
Semangat Menyatukan
Terlepas dari metode apapun yang ditetapkan pemerintah ataupun ormas
dalam menentukan awal bulan, sejatinya ada satu pertanyaan yang bisa
kita gunakan untuk mendekati kasus semacam ini, Siapakah yang paling
berhak menentukan awal bulan dalam sebuah negara?
Seperti yang kita pahami bahwa
sejatinya, penentuan tanggal puasa ramadhan atau kapan tanggal 1 syawal
untuk berhari raya, kapan tanggal 10 Dzulhijah, statusnya sama dengan
kegiatan wukuf di arafah. Karena semuanya adalah ibadah yang dilakukan
berdasarkan kalender islam. Dalam sejarah kaum muslimin, anda mungkin
belum pernah menjumpai para jamaah haji melakukan wukuf pada dua hari
yang berbeda. Yang kita jumpai, mereka – jamaah haji – dari berbagai
negara, wukuf pada hari yang sama.
Ini memberikan kesimpulan kepada kita bahwa kapan tanggal 1 ramadhan
atau kapan tanggal 1 syawal untuk berhari raya, kapan tanggal 10
Dzulhijah, dan kapan seseorang melakukan wukuf di Arafah, semuanya
adalah ibadah yang ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama. Atau
lebih ringkasnya ibadah jama’i. Dan satu ibadah dinilai jama’i, ketika
dilakukan serempak di semua tempat. Diantara dalil yang menunjukkan
kesimpulan ini adalah,
Pertama, Allah menjadikan hilal sebagai acuan waktu ibadah bagi seluruh manusia
Allah berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Jawablah, hilal adalah mawaqit (acuan waktu) bagi manusia dan acuan ibadah haji.” (QS. Al-Baqarah: 189).
Karena itulah, hilal disebut hilal, sebab dia ustuhilla bainan-nas (terkenal di tengah masyarakat).
Syaikhul Islam mengatakan:
وَالْهِلَالُ اسْمٌ لَمَا اُسْتُهِلَّ بِهِ
فَإِنَّ اللَّهَ جَعَلَ الْهِلَالَ مَوَاقِيتَ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
وَهَذَا إنَّمَا يَكُونُ إذَا اسْتَهَلَّ بِهِ النَّاسُ وَالشَّهْرُ
بَيِّنٌ
“Hilal adalah nama (acuan waktu) ketika dia terkenal. Karena Allah
jadikan hilal sebagai acuan waktu bagi seluruh umat manusia dan untuk
acuan haji. Dan semacam ini hanya bisa terjadi ketika dia dikenal
masyarakat dan sangat masyhur.” (Majmu’ Fatawa, 6:65)
Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan acuan waktu puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha, berdasarkan kesepakatan masyarakat.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari
berpuasa (tanggal 1 Ramadhan) adalah pada hari dimana kalian semua
berpuasa. Hari fitri (tanggal 1 Syawal) adalah pada hari dimana kalian
semua melakukan hari raya, dan hari Idul Adha adalah pada hari dimana
kalian semua merayakan Idul Adha.” (HR. Turmudzi 697, Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 2181, dan hadis ini dinilai shahih oleh Al-Albani)
Apa makna hadis?
Setelah menyebutkan hadis ini, At-Turmudzi mengatakan:
وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ هَذَا
الحَدِيثَ، فَقَالَ: إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالفِطْرَ
مَعَ الجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ
“Sebagian ulama menjelaskan hadis
ini, dimana beliau mengatakan: “Makna hadis ini, bahwa puasa dan hari
raya dilakukan bersama jamaah (kaum muslimin) dan seluruh masyarakat.”
(Sunan At-Turmudzi, 3:71)
Untuk mendapatkan penjelasan ini lebih lengkap, anda bisa mempelajari: Berpuasa Bersama Pemerintah
Kita kembali pada pertanyaan di
atas, Siapakah yang paling berhak menentukan awal bulan dalam sebuah
negara? Karena ini terkait komando kaum muslimin dalam menentukan awal
bulan.
Tentu saja anda tidak akan
menjawab, ‘Masing-masing orang berhak menentukannya.’ Karena jawaban ini
tidak sejalan dengan prinsip jamaah. Anda juga tidak boleh menjawab,
‘Ormas berhak menentukannya.’ Karena jika semacam ini dikembalikan ke
salah satu ormas, tentu saja ormas yang lain tidak akan menerima.
Sehingga jawaban ini kembali
kepada pihak yang berwenang. Dalam hal ini adalah keputusan sidang
itsbat yang diadakan oleh kementrian agama. Betapa tidak, karena
sejatinya keputusan inilah yang menampung berbagai saran dan masukan
ormas, serta kriteria penetapan awal bulan yang dilakukan berbagai
ormas. Sikap pemerintah dalam hal ini sudah sangat akomodatif, tidak
memutuskan sendiri, namun diputuskan berdasarkan masukan dari berbagai
pihak. Apabila masih ada kaum muslimin yang memilih keputusan berbeda
dari kesepakatan semacam ini, berarti semangat dia untuk menyatukan
umat, perlu dipertanyakan.
Sikap Rakyat Jika Terjadi Perbedaan 1 Ramadhan
Berdasarkan keterangan di atas,
kita bisa menyimpulkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi masyarakat,
selain mengikuti keputusan sidang itsbat. Karena forum ini paling
berwenang untuk menentukan komando penentuan waktu ibadah jama’i.
Dan semacam inilah yang diajarkan
para ulama masa silam. Bahkan mereka tegaskan masalah ini dalam
buku-buku aqidah. Karena bersatu dalam ibadah jama’i dengan mengacu pada
keputusan pemerintah, merupakan prinsip ahlus sunah, yang membedakan
mereka dengan kelompok khawarij dan mu’tazilah.
Dalam kitab Al-Wajiz fi Aqidati Ahlis Sunah wal Jamaah, ditegaskan:
وأَهل
السنة والجماعة :يرون الصلاة والجُمَع والأَعياد خلف الأُمراء والولاة ،
والأَمر بالمعروف والنهي عن المنكر والجهاد والحج معهم أَبرارا كانوا أَو
فجارا
Ahlus sunah wal jamaah memiliki
prinsip: Shalat (di masjid negara pen.), jumatan, hari raya harus
dilakukan di atas komando pemimpin. Amar ma’ruf nahi munkar, jihad, dan
pelaksanaan manasik haji harus dilakukan bersama pemimpin. Baik dia
pemimpin yang jujur maupun pemimpin yang fasik… (Al-Wajiz fi Aqidati
Ahlis Sunah, Hal. 130)
Imam Ahmad mengatakan,
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasa harus bersama pemimpin
dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik dalam keadaan
cuaca cerah atau mendung.”
Imam Ahmad juga mengatakan,
يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Pertolongan Allah bersama orang yang berpegang teguh dengan jama’ah”. (Majmu’ Al Fatawa, 25/117).
Ketika menjelaskan hadis tentang penentuan awal puasa yang benar, Imam Al Munawi menegaskan:
أي الصوم والفطر مع الجماعة وجمهور الناس
“Artinya berpuasa dan berbuka bersama jama’ah dan mayoritas manusia.” (At Taisir bisyarhi Al jami’ Ash Shaghir, 2/208)
Ketika menjelaskan hadis A’isyah
yang menyebutkan penentuan awal puasa dan awal hari raya, Amir Ash
Shan’ani dalam karya monumentalnya ‘Subulus Salam’ mengatakan dengan
tegas:
فيه
دليل على أنه يعتبر في ثبوت العيد الموافقة للناس وأن المنفرد بمعرفة يوم
العيد بالرؤية يجب عليه موافقة غيره ويلزمه حكمهم في الصلاة والإفطار
والأضحية
“Pada hadits ini ada dalil bahwa
yang diambil ‘ibrah dalam menetapkan hari raya adalah kebersamaan
manusia. Dan bahwasanya seorang yang menyendiri dalam mengetahui
masuknya hari raya dengan melihat hilal tetap wajib mengikuti kebanyakan
manusia. Hukum ini harus dia ikuti, apakah dalam waktu shalat, ber’idul
Fithri atau pun berkurban (Idul Adha). (Subulus Salam, 1/425)
Deikian pula yang ditegaskan Imam
As-Sindi, ketika menjelaskan hadis Abu Hurairah di atas, dalam Hasyiah
As-Sindi ‘Ala Sunan Ibni Majah:
وَالظَّاهِر
أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل
وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام
وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ
وَالْجَمَاعَة وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ
الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ
هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة فِي ذَلِكَ
“Jelasnya, makna hadits ini
adalah bahwasanya perkara-perkara semacam menentukan awal bulan
Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adha, keputusannya bukanlah di tangan
individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri.
Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada pemimpin (imam) dan
mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk
mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka jika ada seseorang
yang melihat hilal namun penguasa menolak persaksiannya, sudah
sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya
untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiah
As Sindi ‘Ala Ibni Majah, 3/431)
Allahu a’lam
Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer