Apakah seseorang yang tidak
mengetahui urusan yang berkaitan dengan tauhid diberi uzur?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu
Shalih al-Utsaimin menjawabnya sebagai berikut.
Pemberian uzur karena jahil
(bodoh) adalah satu hal yang pasti dalam seluruh urusan agama seorang hamba.
Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Sesungguhnya Kami wahyukan
kepadamu sebagaimana Kami wahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya.”
sampai firman-Nya:
“Para rasul yang memberi kabar
gembira dan memberi peringatan, agar tidak ada lagi bagi manusia alasan setelah
pengutusan para rasul.” (an-Nisa: 163—165)
Allah juga berfirman:
“Dan Kami tidak akan mengazab
sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (al-Isra: 15)
Demikian pula firman-Nya:
”Dan Allah sekali-kali tidak akan
menyesatkan suatu kaum sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga
dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.” (at-Taubah: 115)
Hal ini juga berdasar sabda Nabi:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seorang pun dari umat ini, baik ia
Yahudi maupun Nasrani, kemudian ia tidak beriman dengan apa yang aku datang
membawanya, melainkan ia termasuk penghuni neraka.”[1]
Nash (dalil) dalam masalah ini
banyak jumlahnya[2].
Oleh karena itu, orang yang jahil
tidak dihukum (dikenai dosa) karena kebodohannya dalam urusan apa pun dari
agama ini. Akan tetapi, kita wajib mengetahui bahwa ada di antara orang-orang
yang bodoh yang pada dirinya ada semacam penentangan. Yakni, pernah disebutkan
kepadanya al-haq/kebenaran, tetapi ia tidak berusaha mencarinya dan tidak pula
mengikutinya. Ia justru tetap berpegang dengan ajaran guru-gurunya serta orang
yang mereka agungkan dan mereka jadikan panutan. Jika seperti ini, hakikatnya
ia bukanlah orang yang patut diberi uzur karena hujah telah sampai kepadanya.
Paling tidak, keadaannya dianggap sebagai syubhat (hal yang samar) yang perlu
dicari hingga kebenaran menjadi jelas baginya.
Keadaan orang yang mengagungkan
panutannya seperti ini[3] layaknya orang yang disebutkan Allah dalam
firman-Nya:
Bahkan, mereka berkata,
“Sesungguhnya, kami mendapati bapak-bapak kami menganut satu agama/ajaran dan
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dengan mengikuti
jejak mereka.” (az-Zukhruf: 22)
dan ayat yang berikutnya:
Dan demikianlah, Kami tidak
mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri,
melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, “Sesungguhnya
kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami
adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (az-Zukhruf: 23)
Yang penting untuk dipahami,
kebodohan/ketidaktahuan yang diberi uzur adalah ketika seseorang sama sekali
tidak mengetahui kebenaran dan tidak pernah ada orang yang menyebutkan
kebenaran itu kepadanya. Dosa orang yang seperti ini diangkat (maksudnya, ia
tidak berdosa akibat penyelisihan yang dilakukannya karena kebodohan). Hukum
terhadap pelakunya sesuai dengan kandungan amalannya.
Berikutnya, jika ia adalah
seorang yang mengaku muslim dan bersaksi la ilaha illallah dan Muhammadan
Rasulullah, ia teranggap sebagai bagian kaum muslimin. Namun, jika ia tidak
termasuk orang yang mengaku muslim, hukumnya adalah hukum pemeluk agama yang
dianutnya di dunia. Adapun di akhirat, keberadaan orang yang tidak mengetahui
al-haq ini sama dengan keadaan ahlul fatrah[4], urusannya diserahkan kepada
Allah pada hari kiamat nanti. Pendapat yang paling sahih tentang mereka adalah
mereka akan diuji dengan apa yang Allah kehendaki. Siapa yang taat, ia akan
masuk surga. Sebaliknya, siapa yang durhaka, ia masuk neraka.
Akan tetapi, hendaklah diketahui
bahwa di hari ini kita berada pada satu masa yang hampir-hampir tidak ada satu
tempat pun di muka bumi ini melainkan dakwah Nabi telah menjangkaunya, dengan
perantaraan media komunikasi yang beragam dan interaksi antar manusia. Dengan
demikian, secara umum kekafiran yang ada disebabkan oleh penentangan (tidak mau
menerima kebenaran). Wallahu a’lam. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh
Ibnu Utsaimin, 2/127—129)
Catatan Kaki:
[1] HR. Muslim dalam Shahih-nya.
[2] Semua dalil di atas
menunjukkan keharusan disampaikannya hujah terlebih dahulu kepada hamba atau
ilmu sama sekali kepadanya, barulah ia pantas dihukumi. Apabila hujah atau ilmu
belum sampai kepadanya, ia diberi uzur.
[3] Merasa cukup dengan orang
yang diikutinya selama ini tanpa peduli dengan al-haq yang datang kepadanya.
[4] Orang-orang yang menemui masa
kekosongan pengutusan rasul sehingga bumi dipenuhi oleh kegelapan. Orang yang
menginginkan kebenaran tidak mengetahui jalan untuk bisa sampai kepadanya.
Sumber: http://asysyariah.com/
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer