Hukum anak temuan
dimasukkan para ulama dalam ranah pembahasan barang temuan. Karena
sejatinya, pendekatan masalah ini tidak jauh beda. Hanya yang satu untuk
barang, sementara satunya untuk manusia yang hilang. Berikut beberapa
catatan yang disimpulkan dari keterangan Dr. Sholeh Al-Fauzan,
Pertama, seseorang tergolong sebagai orang hilang, ketika dia tidak mampu mengurusi dirinya sendiri, baik karena masih kecil atau akalnya yang kurang sehat, sementara tidak diketahui walinya atau nasabnya. Karena itu, bukan disebut orang hilang, ketika dia masih mampu mengurusi dirinya sendiri atau mereka yang bisa pulang ke daerahnya.
Pertama, seseorang tergolong sebagai orang hilang, ketika dia tidak mampu mengurusi dirinya sendiri, baik karena masih kecil atau akalnya yang kurang sehat, sementara tidak diketahui walinya atau nasabnya. Karena itu, bukan disebut orang hilang, ketika dia masih mampu mengurusi dirinya sendiri atau mereka yang bisa pulang ke daerahnya.
Kedua, mengasuh
anak hilang, statusnya fardhu kifayah. Sehingga jika sudah ada orang
yang merawatnya dengan kadar mencukupi, maka itu menggugurkan kewajiban
yang lainnya. Jika tidak ada satupun yang bersedia merawat, padahal hal
itu memungkinkan untuk dilakukan, maka semua masyarakat di tempat itu
berdosa. Allah berfirman,
وتعاونوا على البر والتقوى
“Lakukanlah kerja sama dalam kebaikan dan taqwa” (QS. Al-Maidah: 2)
Berdasarkan keumuman ayat ini
menunjukkan wajibnya merawat anak yang hilang, karena itu termasuk
bentuk kerja sama dalam kebaikan dan taqwa. Sebab merawat anak hilang
termasuk menjaga kehidupannya, sehingga statusnya wajib, sebagaimana
hukum memberikan makanan kepadanya ketika anak hilang itu dalam kondisi
mengancam kematian.
Ketiga, anak
temua statusnya orang merdeka dan bukan budak. Karena hukum asal semua
manusia adalah merdeka. Untuk itu, semua harta dan apapun yang dibawa
anak ini tetap menjadi miliknya, yang juga harus dijaga oleh orang yang
merawatnya.
Keempat, nafkah
untuk anak hilang, diambilkan dari harta yang dia bawa. Namun jika dia
tidak membawa apapun maka nafkahnya menjadi tanggungan negara. Umar bin
Khattab mengatakan kepada orang yang merawat anak hilang,
اذهب ، فهو حر ، ولك ولاؤه ، وعلينا نفقته
“Anak ini statusnya merdeka, kamu mendapatkan wala’nya, dan kami yang menanggung nafkahnya.”
Yang dimaksud wala’ : hak untuk memperlakukan anak ini sebagaimana keluarganya sendiri.
Sementara maksud Umar: “kami yang menanggung nafkahnya” diambilkan dari baitul mal (kas negara).
Keterangan Umar ini menunjukkan bahwa pada asalnya orang yang menemukan anak yang hilang, tidak berkewajiban menanggung nafkah hidupnya, biaya nafkah ini diambilkan dari baitul mal. Jika tidak memungkinkan maka nafkahnya ditanggung oleh kaum muslimin.
Keterangan Umar ini menunjukkan bahwa pada asalnya orang yang menemukan anak yang hilang, tidak berkewajiban menanggung nafkah hidupnya, biaya nafkah ini diambilkan dari baitul mal. Jika tidak memungkinkan maka nafkahnya ditanggung oleh kaum muslimin.
Kelima, anak muslim ataukah anak non muslim?
Ini dikembalikan kepada kondisi
penduduknya. Jika si anak ditemukan di negeri islam atau negara yang
mayoritas penduduknya muslim maka si anak dihukumi sebagai anak muslim.
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كل مولود يولد على الفطرة
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah”
Sebaliknya, jika dia ditemukan di
negeri non-muslim atau negeri yang penduduk muslimnya minoritas maka
dia dihukumi sebagai non muslim, mengikuti negerinya.
Keenam, jika
yang menemukan bayi adalah orang baik dan bisa bertanggung jawab dalam
merawat dengan baik, maka dia yang paling berhak untuk merawatnya dan
mendapatkan wala’nya. Sebagaimana Umar bin Khatab menyetujui anak temuan
di zamannya untuk diasuh Abu Jamilah, karena Umar tahu dia adalah orang
soleh.
Sebaliknya, jika yang menemukan
adalah orang fasik atau orang kafir, dan dia tidak layak untuk merawat
anak maka negara tidak boleh menyerahkan anak itu kepadanya, karena akan
membahayakan akhlak dan agamanya.
Ketujuh, warisan
anak temuan, setelah dia dewasa dan belum berkeluarga, menjadi milik
baitul mal. Ini jika dia belum menikah sehingga tidak punya anak istri.
Jika dia sudah berkeluarga maka anak istrinya adalah orang yang paling
berhak kepadanya. Demikian pula ketika anak temuan ini seorang perempuan
dan hendak menikah maka yang menjadi wali adalah hakim (KUA).
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Pemerintah menjadi wali bagi orang yang tidak memiliki wali. (HR. Abu Daud, Turmudzi, dll).
Kedelapan, jika
orang yang menemukan hendak menjadikannya sebagai anak, maka
diperbolehkan dengan jalan ilhaq nasab, yaitu dengan mengikutkan anak
pada nasab orang yang menemukannya. Bisa jadi itu akan lebih baik
baginya, sehingga anak ini memiliki nasab yang bersambung, disamping hal
ini tidak membahayakan orang lain. Ketentuan ini dengan syarat, tidak
ada keterangan tentang nasabnya dan tidak ada orang yang mengklaim
nasabnya.
Hukum ilhaq nasab,
berbeda dengan adopsi anak yang dilarang dalam islam. Karena adopsi
anak, telah diketahui nasab dari anak yang diadopsi, sehingga tidak
boleh dinasabkan kepada ayah angkat. Demikian pula untuk kasus anak
hasil zina. Dia tidak boleh dinasabkan ke bapak biologisnya, karena
nasab si anak disambungkan ke ibunya.
Allahu a’lam
Disadur dari Fatawa Al-Mulakhas Al-Fiqhi, Syaikh Soleh Al-Fauzan, hlm. 155.
Oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer