Sekali waktu, tengoklah status facebook anakmu. Jelajahilah alam
pikirannya. Pahamilah apa yang sedang terjadi padanya. Dan
bersiap-siaplah untuk terkejut disebabkan apa yang berharga bagi
hidupnya, membanggakan dirinya, menyenangkan hatinya dan menjadi
keinginannya justru perkara yang kita membencinya. Mereka sangat
berhasrat justru terhadap apa-apa yang kita ajarkan kepada mereka untuk
menjauhi. Astaghfirullahal ‘adzim.
Sekali saat, periksalah status facebook anak-anakmu. Ketahuilah apa yang
sedang berkecamuk dalam dirinya. Rasakan apa yang menjadi keinginan
kuatnya. Rasakan pula yang membuatnya terkagum-kagum. Dan
bersiap-siaplah untuk terperangah jika anak-anak itu lebih fasih
mengucapkan kalimat-kalimat yang tak berharga, ucapan yang tak bernilai,
pembicaraan yang mendekatkan kepada maksiat, dan bahkan ada yang
mendekati kekufuran.
Mereka berbicara kepada kita dengan bahasa yang
kita inginkan, tetapi mereka membuka dirinya kepada manusia di seluruh
dunia dengan perkataan-perkataan ingkar. Mereka menyiarkan keburukan
dirinya sendiri, tetapi mereka tidak menyadarinya. Astaghfirullahal
‘adzim.
Kalau suatu saat ada kesempatan, cermatilah apa yang ditulis oleh
anakmu, gambar apa yang ditampilkan dan siapa yang dielu-elukan di
facebooknya. Sadari apa yang telah terjadi dan sedang terjadi pada diri
mereka.
Ketahui perubahan apa yang menerpa jiwa mereka. Dan bersiaplah
untuk terkejut bahwa apa yang tampak di depan mata tak selalu sama
dengan apa yang terjadi di belakang kita. Mereka bisa bertutur tentang
keshalihan karena berharap terhindar dari kedukaan atau bahkan kemurkaan
kita. Tetapi di facebook, mereka merasa merdeka mengungkapkan apa pun
yang menjadi kegelisahan, keinginannya dan kebanggaannya yang
benar-benar terlahir dari dalam diri mereka.
Beberapa waktu saya memeriksa akun facebook anak-anak SDIT, alumni
SDIT dan mereka yang masih belajar di SMPIT maupun SMAIT. Hasilnya?
Sangat mengejutkan. Harapan saya tentang isi pembicaraan anak-anak yang
telah memperoleh tempaan bertahun-tahun di sekolah Islam terpadu itu
atau yang sejenis dengannya adalah sosok anak-anak yang hidup jiwanya,
cerdas akalnya, tajam pikirannya dan jernih hatinya. Tetapi ternyata
saya harus terkejut. Sekolah-sekolah Islam itu ternyata hanya mampu
menyentuh fisiknya, tetapi bukan jiwanya.
Betapa sedih ketika melihat
anak-anak yang dulu jilbabnya besar berkibar-kibar, hanya beberapa bulan
sesudah lulus dari SDIT atau SMPIT, sudah berganti dengan busana yang
menampakkan auratnya dan ia perlihatkan kepada orang lain melalui
foto-foto yang mereka pajang di facebook.
Tentu saja saya tidak dapat mengatakan bahwa pendidikan Islam
terpadu, integral atau apa pun istilahnya telah gagal total. Tetapi apa
yang dapat dengan mudah kita telusuri dari tulisan mereka di facebook
maupun media sosial lainnya memberi gambaran betapa kita perlu berbenah
dengan segera.
Selagi aqidah, akhlak dan secara umum agama ini hanya kita sampaikan
secara kognitif, maka tak banyak perubahan yang dapat kita harapkan.
Jika yang kita berikan adalah pelajaran tentang agama, dan bukan
pendidikan beragama yang dikuati oleh budaya karakter yang kuat di
sekolah, maka anak-anak itu mampu berbicara agama dengan fasih tapi
tidak menjiwai. Tak ada kebanggaan pada diri mereka terhadap apa-apa
yang datang dari agama; apa-apa yang menjadi tuntunan Allah Ta’ala dan
rasul-Nya.
Astaghfirullahal ‘adzim. Na’udzubillahi min dzaalik.
Astaghfirullahal ‘adzim. Na’udzubillahi min dzaalik.
Lalu apa yang merisaukan dari anak-anak itu? Sekurangnya ada tiga
hal. Pertama, cara mereka berbahasa. Ini menggambarkan alam berpikir
sekaligus kesehatan mental mereka. Kedua, sosok yang mereka banggakan
dan mereka elu-elukan kehadirannya maupun tingkah-lakunya. Sosok yang
menjadi panutan (role model). Ketiga, nilai-nilai dan keyakinan yang
mereka banggakan sehingga mempengaruhi sikap dan perilaku mereka,
meskipun tak tampak di mata orangtua dan guru.
Betapa Mengenaskan Bahasa Mereka
Salah satu kelebihan Bani Sa’diyah adalah kefasihannya berbahasa. Kepada Halimah dari Bani Sa’diyah
Salah satu kelebihan Bani Sa’diyah adalah kefasihannya berbahasa. Kepada Halimah dari Bani Sa’diyah
Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam
disusukan, sehingga masa kecilnya memperoleh pengalaman berbahasa yang
baik. Tampaknya sepele, tetapi bagaimana kita berbahasa sangat
mempengaruhi pertumbuhan mental dan perkembangan cara berpikir. Adalah
Alfred Korzybski, ahli semantik asal Rusia yang menunjukkan bahwa cara
berbahasa yang salah berhubungan erat dengan mental yang sakit pada
masyarakat. Terlebih jika kesalahan serius dalam berbahasa itu secara
intens dilakukan oleh seseorang, utamanya lagi yang masih dalam tahap
perkembangan sangat menentukan, yakni anak atau remaja. Dan kondisi
mengenaskan inilah yang sedang terjadi pada anak-anak kita; dalam
pergaulan dan terutama terlihat dari SMS maupun status facebook mereka.
Mari kita ingat kembali ketika Lev Vygotsky, seorang psikolog yang
juga asal Rusia. Ia menunjukkan bahwa apa pun kecerdasan yang ingin kita
bangun, kuncinya adalah bahasa. Ia juga menunjukkan betapa erat kaitan
antara bahasa dan pemikiran. Penggunaan bahasa mempengaruhi cara
berpikir. Siapa diri kita tercermin dari bagaimana kita berbahasa.
Sebaliknya, cara kita berbahasa akan berpengaruh besar terhadap diri
kita.
Nah, lalu apa yang bisa kita katakan terhadap anak-anak yang
berbahasa alay dan berbicara dengan perkataan yang tak berguna penuh
sampah? Sungguh, tengoklah status facebook dan SMS mereka. Dan
bersiaplah terkejut dengan apa yang terjadi pada diri mereka.
Khawatirilah apa yang akan terjadi pada diri mereka di masa-masa
mendatang. Astaghfirullah. Laa ilaaha illa Anta subhanaKa ini kuntu
minazh-zhaalimin.
Bukan Rasulullah Saw. yang Mereka Kagumi
Cara berbahasa mempengaruhi apa yang berharga dan apa yang tidak. Sulit
bagi seseorang untuk mengagumi dan menjadikan seseorang yang cara
berbahasanya sangat berbeda –apalagi bertolak-belakang—sedang sosok yang
ingin mereka tiru, mereka banggakan dan mereka pelajari kehidupannya.
Maka jangan heran jika mereka lebih terharu-biru oleh Justin Bieber
daripada para shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Jangan terkejut pula
jika Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam justru sosok yang sangat
asing bagi mereka. Ironisnya, anak-anak yang seperti itu justru banyak
lahir dari lembaga-lembaga Islam; sejak jenjang pendidikan dasar hingga
perguruan tinggi.
Apa pengaruhnya? Jika Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam yang
menjadi sosok panutan (role model) yang mereka banggakan, maka mereka
akan berusaha untuk mempelajari jejak-jejaknya, mengingati kata-katanya
dan mencoba melaksanakan apa yang mereka mampu dalam hidupnya. Mereka
juga bangga terhadap orang yang meniru sosok panutannya. Itu juga
berarti, jika sosok panutan mereka adalah Justin Bieber atau Lady Gaga,
maka atribut, kata-kata dan segala hal yang berkait dengan mereka akan
mereka buru dengan penuh kebanggaan. Mereka juga berusaha
mengidentifikasikan diri dengan sosok panutannya.
Na’udzubillahi min dzaalik. Laa haula wa laa quwwata illa biLlah.
Pacaran Online Pun Terjadi
Maka, jangan terkejut jika anak-anak alumni SDIT yang masih belajar di SMPIT atau sekolah Islam sejenis justru amat liar pikirannya. Jangan terkejut juga jika menemukan anak seorang ustadz asyik pacaran online, mengungkapkan perasaan yang tidak sepatutnya ia ungkapkan kepada lawan jenis, apalagi membiarkannya diketahui oleh orang banyak. Sungguh, kemaksiatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi lebih ringan nilainya dibanding kemaksiatan yang ia umumkan sendiri.
Ingin sekali berbincang lebih panjang. Tetapi tak tega rasanya berbicara blak-blakan tentang masalah ini.
Semoga catatan sederhana ini dapat menjadi pengingat untuk kita semua. Semoga Allah mudahkan kita menempuh kebaikan. Semoga pula Allah Ta’ala menjaga iman kita dan anak-anak kita.
Maka, jangan terkejut jika anak-anak alumni SDIT yang masih belajar di SMPIT atau sekolah Islam sejenis justru amat liar pikirannya. Jangan terkejut juga jika menemukan anak seorang ustadz asyik pacaran online, mengungkapkan perasaan yang tidak sepatutnya ia ungkapkan kepada lawan jenis, apalagi membiarkannya diketahui oleh orang banyak. Sungguh, kemaksiatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi lebih ringan nilainya dibanding kemaksiatan yang ia umumkan sendiri.
Ingin sekali berbincang lebih panjang. Tetapi tak tega rasanya berbicara blak-blakan tentang masalah ini.
Semoga catatan sederhana ini dapat menjadi pengingat untuk kita semua. Semoga Allah mudahkan kita menempuh kebaikan. Semoga pula Allah Ta’ala menjaga iman kita dan anak-anak kita.
Sebelum kita akhiri perbincangan ini, mari sejenak kita ingat firman Allah ‘Azza wa Jalla:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan
yang benar.” (QS. An-Nisaa’, 4: 9).
Wallahu a’lam bishawab
Ust. Mohammad Fauzil Adhim
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer