Penulis
yakin bahwa para pembaca sekalian pernah menaiki bus. Dan tentu
masing-masing memiliki pengalaman yang berbeda. Mungkin ada yang pernah
menaiki bus yang dikemudikan oleh supir yang ugal-ugalan, targetnya
hanya mengejar setoran, tanpa memperhatikan keselamatan. Tentu saat itu
Anda dipaksa untuk sport jantung, sembari tidak lupa untuk membasahi
lisan dengan kalimat tahlil, sebagai bentuk persiapan jika terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Namun sebagai penumpang yang baik, tidak
cukup hanya itu saja yang dilakukan. Anda perlu menegur sang sopir,
supaya Anda-dan juga dia-tidak menjadi korban kecelakaan.
Selain
itu tentu ada juga pengalaman indah, saat Anda disopiri oleh pengemudi
yang santun dan mahir. Rasanya nikmat sekali perjalanan, hingga
penumpang satu bus, termasuk Anda, terkantuk-kantuk. Akibatnya sopirnya
pun tertular hawa kantuk. Dalam kondisi nyaman seperti ini pun, jika
Anda tidak berperan aktif mengingatkan pak sopir, bisa jadi kenikmatan
berkendaraan akan berbalik menjadi malapetaka yang mengerikan.
Begitulah
ilustrasi tentang pentingnya kerjasama yang apik antara berbagai pihak
yang berkepentingan, untuk meraih sebuah tujuan.
Rumah
tangga juga mirip seperti kendaraan. Ada sopirnya; yakni suami, dan ada
pula penumpangnya; yakni istri serta anak-anak. Keberhasilan mahligai
rumah tangga bukan hanya ditentukan oleh sang nahkoda, namun harus ada
peran aktif dari para anggota keluarga. Kesuksesan itu dinilai dari
keberhasilan seluruh peserta rumah tangga untuk mencapai tujuan di
terminal akhir.
Terminal
pemberhentian terakhir tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah
peristirahatan di negeri keabadian; surga Allah ta’ala. Di dalam
al-Qur’an disebutkan,
فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Artinya: “Barang
siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga; sungguh dia telah
meraih kesuksesan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang
memperdaya”. QS. Ali Imran (3): 185.
Inilah
barometer kesuksesan hakiki; selamat dari siksa neraka dan berhasil
masuk surga. Kesuksesan sebenarnya berumah tangga bukan dinilai dari
keberhasilan menempati rumah megah, menaiki mobil mewah atau menjadi
tuan tanah. Walaupun bukan berarti itu semua haram didapat, terlebih
bila dengan jalan yang halal. Namun yang perlu dipahami bahwa kesuksesan
hakiki berumah tangga bukanlah dinilai dari itu semua. Tapi dilihat
dari keberhasilan seluruh anggota keluarga untuk masuk ke dalam surga
kelak!
Gotong royong berumah tangga
Jika
tujuan utama keluarga muslim adalah meraih surga bersama, tentu itu
bukanlah target yang ringan. Harus ada taufik dari Allah ta’ala dan
perlu adanya kerja sama yang baik antara seluruh anggota keluarga;
komandan, wakil komandan dan para prajuritnya.
Semuanya
harus menjadi team work yang saling bahu membahu. Poin-poin berikut
semoga bisa membantu kita untuk mewujudkan tim ideal dambaan
tersebut, amien.
1. Saling memahami kelebihan dan kekurangan[1]
Tidak ada manusia biasa yang sempurna di muka bumi ini. Semuanya, selain mempunyai kelebihan, tentu juga memiliki kekurangan.
Sebelum
menikah, sah-sah saja Anda sebagai calon suami membayangkan bahwa
pasangan hidup Anda cantik rupawan, bangsawan, kaya-raya, patuh, pandai
mengurus rumah, penyayang, tanggap, sabar, dan berbagai gambaran indah
lainnya.
Sebaliknya,
sebagai calon istri, Anda juga berhak untuk mendambakan pasangan hidup
yang tampan, gagah, kaya raya, pandai, berkedudukan tinggi, penuh
perhatian, setia, penyantun, dermawan, dan lain sebagainya.
Itulah
impian indah di benak Anda dahulu. Terwujudkah seluruh angan-angan
tersebut? Ataukah impian tinggal impian? Kalaupun seluruh kriteria ideal
di atas berhasil Anda temukan dalam pasangan Anda, maka bersyukurlah
kepada Allah atas kesuksesan Anda berpasangan dengan manusia langka.
Namun penulis haqqul yaqin bahwa kebanyakan orang tidaklah menemukan
mimpi itu dalam alam nyata.
Jika
demikian kenyataannya, tidak ada gunanya kita meratapi nasib tersebut.
Karena untuk mencari pengganti lain pun, nantinya Anda akan mendapati
ternyata pasangan baru Anda pun juga memiliki kekurangan.
Maka
langkah yang bijak untuk menjaga keharmonisan rumah tangga adalah,
saling memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan suami
digunakan untuk melengkapi kekurangan istri. Begitu pula sebaliknya,
kelebihan istri dimanfaatkan untuk menutupi kekurangan suami. Sambil
masing-masing berusaha untuk memperbaiki kekurangan dirinya.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَاآخَرَ
“Tidak
pantas bagi lelaki yang beriman untuk meremehkan wanita yang beriman.
Bila ia tidak menyukai satu perangai darinya, pasti ia puas dengan
perangainya yang lain”. HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Anda
kecewa karena istri Anda kurang pandai memasak? Tidak perlu khawatir,
karena ternyata istri Anda adalah seorang wanita penyayang.
Anda
kurang puas dengan istri Anda yang kurang pandai mengurus rumah dan
kurang sabar? Tidak usah berkecil hati, karena ia begitu cantik rupawan.
Anda
berkecil hati karena istri Anda kurang cantik? Segera besarkan hati,
karena ternyata sang istri subur sehingga Anda mendapatkan karunia
keturunan yang salih dan salihah. Coba Anda bayangkan, betapa besar
kesedihan Anda bila menikahi wanita cantik akan tetapi mandul.
Demikianlah seterusnya…
Tidak
etis dan tidak manusiawi bila Anda hanya pandai mengorek kekurangan
istri, namun Anda tidak mahir dalam menemukan kelebihan-kelebihannya.
Buktikan Saudaraku, bahwa Anda benar-benar seorang suami yang berjiwa
besar, sehingga Anda peka dan lihai dalam membaca kelebihan pasangan.
Temukan berbagai kelebihan padanya, dan selanjutnya tersenyumlah, karena
ternyata istri Anda memiliki banyak kelebihan.
Begitu
pula sebaliknya, Anda wahai para istri, harus bersikap sama. Besarkan
hatimu, bahwa pada pasangan hidup Anda ternyata terdapat banyak
kelebihan.
Bila
selama ini, Anda ciut hati karena suami Anda miskin harta, maka tidak
perlu khawatir, karena ia penuh dengan perhatian dan tanggung jawab.
Bila selama ini, Anda kecewa karena suami Anda ternyata kurang tampan, maka percayalah bahwa ia setia dan bertanggung jawab.
Andai
selama ini, Anda kurang puas karena suami Anda kurang perhatian dengan
urusan dalam rumah, tetapi ia begitu membanggakan dalam urusan luar
rumah.
Juga,
andai selama ini, sikap suami Anda terhadap Anda kurang simpatik, maka
tidak perlu hanyut dalam duka dan kekecawaan, karena ia masih punya jasa
baik yang tidak ternilai dengan harta. Ternyata, selama ini, suami Anda
telah menjaga kehormatan Anda, menjadi penyebab Anda merasakan
kebahagiaan menimang putra-putri Anda.
Saudariku,
Anda tidak perlu hanyut dalam kekecewaan karena suatu hal yang ada pada
diri suami Anda. Betapa banyak kelebihan-kelebihan yang ada padanya.
Berbahagia dan nikmatilah kedamaian hidup rumah tangga bersamanya.
Berlarut-larut dalam kekecewaan terhadap
suatu perangai suami, dapat menghancurkan segala keindahan dalam rumah
tangga Anda. Bukan hanya hancur di dunia, bahkan berkelanjutan hingga di
akhirat kelak.
Saudariku,
simaklah peringatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.
Agar anda dapat menjadikan bahtera rumah tangga Anda seindah dambaan.
أُرِيتُ
النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ، قِيلَ:
أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ
الإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ
مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Aku
diberi kesempatan untuk menengok ke dalam neraka, dan ternyata
kebanyakan penghuninya ialah para wanita, akibat ulah mereka yang selalu
kufur/ingkar.” Spontan, para sahabat bertanya, “Apakah yang engkau
maksud adalah mereka kufur/ingkar kepada Allah?” Beliau menjawab,
“Mereka terbiasa ingkar terhadap suami, dan ingkar terhadap jasa baik.
Andai engkau berbuat baik kepadanya seumur hidupmu, lalu ia mendapatkan
suatu hal (yang tidak mengenakkan) padamu, niscaya mereka begitu mudah
berkata, ‘Aku tidak pernah mendapatkan kebaikan sedikit pun
darimu.’” HR. Bukhari dan Muslim.
Demikianlah
caranya agar Anda dapat senantiasa puas dan bangga dengan pasangan
hidup Anda. Anda selalu dapat merasa bahwa ladang Anda tampak hijau,
sehijau ladang tetangga, dan bahkan lebih hijau lagi!
Perbaiki diri!
Seluruh keterangan di atas tentu bukan
dalam rangka untuk membiarkan kekurangan masing-masing, tanpa ada upaya
untuk memperbaiki diri.
Namun
satu hal yang perlu untuk selalu diingat, bahwa perbaikan itu
membutuhkan proses. Menunggu keberhasilan sebuah proses itulah yang
membutuhkan kesabaran dan kebesaran jiwa. Juga memerlukan dukungan dan
usaha tanpa henti dari kedua belah pihak.
2. Saling menunaikan hak dan kewajiban
Inilah
kunci kesuksesan berikutnya dalam membina rumah tangga. Bahwa
masing-masing pasangan sebagaimana memiliki hak, ia pun memiliki
kewajiban. Maka jangan sampai hanya menuntut haknya saja, lalu melupakan
kewajibannya.
Hak
pasangan Anda setimpal dengan kewajiban yang ia tunaikan kepada Anda.
Semakin banyak Anda menuntut hak Anda, maka semakin banyak pula
kewajiban yang harus Anda tunaikan untuknya.
Allah ta’ala berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan satu tingkat
daripada istrinya”. QS. Al-Baqarah (2): 228.
Suami
berkewajiban untuk memberikan nafkah lahir dan batin kepada istrinya.
Seperti sandang, pangan, papan, keamanan dan yang semisal.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
أَلاَ
إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ
حَقًّا، فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ
مَنْ تَكْرَهُونَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُونَ،
أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي
كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah
bahwa sesungguhnya kalian memiliki hak atas istri kalian, sebagaimana
istri kalian memiliki hak atas kalian. Adapun hak kalian atas istri
kalian, mereka tidak diperkenankan untuk berbincang-bincang dengan orang
yang tidak kalian sukai dan membiarkan orang lain yang tidak kalian
sukai untuk memasuki rumahmu. Adapun hak mereka atas kalian adalah:
kalian berbuat baik kepada mereka dalam sandang dan pangan”.HR. Tirmidzy
dan dinilai hasan sahih oleh beliau.
Sebaliknya
istri memiliki kewajiban untuk mentaati suaminya dalam sesuatu yang
baik, melayaninya, menjaga kehormatannya dan lain-lain.
Ketaatan
kepada suami adalah merupakan kewajiban istri yang paling utama. Yang
akan mengantarkannya ke surga.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,
إِذَا
صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ
فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا؛ قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ
أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika
seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan
Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan
dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau
mau”. HR. Ahmad dari Abdurrahman bin ‘Auf dan dinyatakan hasan oleh
Syaikh al-Albany.
Jadi
seorang istri harus mentaati perintah suaminya, terlebih dalam hal-hal
yang sudah menjadi kewajibannya. Seperti melayani suami dalam masalah
makan, minum, urusan ‘kasur’ dan yang semisalnya.
Tapi
wajib untuk diketahui oleh para istri, bahwa ketaatannya kepada suami
hanyalah dalam perkara-perkara yang diizinkan syariat. Maka, apabila
sang suami memerintahkannya untuk melakukan hal-hal yang dilarang
syariat, sang istri tidak boleh mentaatinya, dengan dalih apapun.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menegaskan,
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Tidak
boleh bagi seseorang untuk taat kepada seorang makhluk dalam bermaksiat
kepada Allah”. HR. Ahmad dari Ali bin Abi Thalib dan dinilai sahih
oleh al-Albany.
3. Saling bahu membahu
Poin
ini tidak kalah penting dibanding poin-poin sebelumnya. Walaupun suami
dan istri sudah memiliki kewajiban yang jelas, namun amat elok jika
masing-masing membantu pasangannya dalam pekerjaannya, sesuai dengan
aturan yang digariskan agama.
Misalnya,
secara hukum asal, urusan dapur, kasur, sumur dan tetek bengeknya
memang merupakan kewajiban istri. Namun, meskipun demikian, akan sangat
indah bila suami ikut membantu istrinya dalam tugas tersebut.
Panutan
kita; Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pun ikut turun tangan
membantu pekerjaan para istrinya. Ini menunjukkan betapa tingginya
kemuliaan akhlak yang beliau miliki. Juga menjelaskan urgensi hal
tersebut untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.
عَنْ
عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ: “يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ
كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
كَانَ عِنْدَكِ؟” قَالَتْ: “مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ
يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ
Urwah
bertanya kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?”
Aisyah menjawab,“Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah
seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol
sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember”. HR. Ibnu
Hibban dan dinyatakan sahih oleh al-Albany.
Begitu
pula dalam hal mendidik anak, perlu adanya kekompakan untuk menggapai
keberhasilan. Tidak boleh terjadi adanya saling lempar tanggung jawab.
Justru masing-masing berusaha berandil dan bersinergi di dalamnya. Ayah
biasanya identik dengan kewibawaan dan ketegasannya. Sedangkan ibu
identik dengan kasih sayang dan kelemahlembutannya. Alangkah indahnya
manakala dua potensi tersebut dipadupadankan!
Selain
itu, orang tua juga harus memiliki kata sepakat dalam mendidik
anak-anaknya. Anak dapat dengan mudah menangkap rasa yang menyenangkan
dan tidak menyenangkan bagi dirinya. Misal, seorang ibu melarang anaknya
menonton TV dan memintanya untuk mengerjakan PR. Namun pada saat yang
bersamaan, si bapak membela si anak dengan dalih tidak mengapa nonton TV
terus agar anak tidak stres. Jika hal ini terjadi, anak akan menilai
ibunya jahat dan bapaknya baik. Akibatnya setiap kali ibunya memberi
perintah, ia akan mulai melawan dengan berlindung di balik pembelaan
bapaknya. Demikian juga pada kasus sebaliknya.
Oleh
karena itu, orang tua harus kompak dalam mendidik anak. Usahakan di
hadapan anak, jangan sampai berbeda pendapat untuk hal-hal yang
berhubungan langsung dengan persoalan mendidik anak. Pada saat salah
satu dari kita sedang mendidik anak, maka pasangan kita harus
mendukungnya. Contoh, ketika si ibu mendidik anaknya untuk berlaku baik
terhadap si kakak, dan si ayah mengatakan,”Kakak juga sih yang mulai
duluan buat gara-gara…”. Idealnya, si ayah mendukung pernyataan, “Betul
kata ibu, dik. Kakak juga perlu kamu sayang dan hormati….”
4. Saling menasehati
Timbulnya
riak-riak dalam kehidupan rumah tangga merupakan suatu hal yang lumrah.
Namun, jika hal itu sampai mengotori keharmonisan jalinan kasih sayang
antara suami dan istri, atau bahkan menghancurkan bahtera pernikahan,
tentulah sangat berbahaya.
Agar
mimpi buruk itu tidak terjadi, seyogyanya ditumbuhkan budaya saling
memahami dan kebiasaan saling menasehati antara suami dan istri.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam berpesan,
“أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا”.
“Ingatlah, hendaknya kalian berwasiat yang baik kepada para istri”. HR. Tirmidzi dan dinilaihasan oleh Syaikh al-Albani.
Daripada
itu, benih-benih kesalahan yang ada dalam diri pasangan suami-istri
hendaknya tidaklah didiamkan begitu saja hanya karena dalih menjaga
keharmonisan rumah tangga. Justru sebaliknya, kesalahan-kesalahan itu
harus segera diluruskan. Dan tentunya hal itu harus dilakukan dengan
cara yang elegan: tutur kata yang lembut, raut muka yang manis dan
metode yang tidak menyakiti hati pasangan.
Istri
yang salihah akan senantiasa membantu suami dalam menaati
Allah ta’ala, begitu pula sebaliknya, suami yang salih. Keduanya saling
bahu membahu dan nasehat-menasehati untuk meraih ridha Allah dan
surga-Nya.
Alangkah indahnya jika hadits nabawi berikut diterapkan dalam rumah tangga kita:
“رَحِمَ
اللَّهُ رَجُلًا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ،
فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ. رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً
قَامَتْ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا، فَإِنْ أَبَى
نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ”.
“Semoga
Allah merahmati seorang suami yang bangun pada malam hari untuk
mengerjakan shalat malam, lalu membangunkan istrinya. Bila si istri
enggan, ia memercikkan air ke wajahnya. Semoga Allah merahmati pula
seorang istri yang bangun di malam hari untuk melakukan shalat malam,
lalu membangunkan suaminya. Bila si suami enggan, ia memercikkan air ke
wajah suaminya”. HR. Abu Dawud dari Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu.Al-Hakim, Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban
menilainya sahih.
Semua berhak menasehati!
Jadi
yang berhak menyampaikan nasehat bukan hanya kepala rumah tangga. Namun
‘bawahannya’ pun, yakni istri dan anak-anak, juga berhak untuk
memberikan nasehat. Sebab semuanya berpeluang untuk melakukan kesalahan.
Di sinilah dituntut adanya kebesaran jiwa untuk menerima nasehat, terutama dari yang berposisi di atas, yakni sang suami.
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat!
Oleh Ust. Abdullah zain, MA dalam websitenya http://tunasilmu.com
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Purbalingga, 12 Ramadhan 1434 / 21 Juli 2013
[1] Poin
pertama ini penulis adaptasi dengan bebas dari makalah Ust Dr. M.
Arifin Badri yang berjudul “Istriku Bukan Bidadari, Tapi Aku Pun Bukan
Malaikat”, yang termuat dalam website pengusahamuslim.com dan
muslimah.or.id
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer