Sebagian salaf berkata, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah
tanpa ilmu maka dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.”
(lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 93).
Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tidak akan diterima
ucapan kecuali apabila dibarengi dengan amalan. Tidak akan diterima
ucapan dan amalan kecuali jika dilandasi dengan niat. Dan tidak akan
diterima ucapan, amalan, dan niat kecuali apabila bersesuaian dengan
as-Sunnah.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil munkar karya Ibnu Taimiyah, hal. 77 cet. Dar al-Mujtama’)
Imam Bukhari rahimahullah membuat bab dalam Shahihnya di dalam Kitab al-’Ilmu sebuah bab dengan judul ‘Ilmu sebelum berkata dan beramal, berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah.” (QS. Muhammad: 19).’ Lalu beliau [Imam Bukhari] berkata, “Allah memulai dengan ilmu.” (lihat Fath al-Bari [1/194])
Imam al-’Aini rahimahullah berkata, “Artinya: Ini adalah bab
yang akan menerangkan bahwasanya ilmu didahulukan sebelum perkataan dan
perbuatan. Beliau bermaksud untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu
hendaknya diilmui terlebih dahulu, baru kemudian diucapkan dan
diamalkan. Sehingga ilmu lebih dikedepankan daripada keduanya secara
hakikatnya. Demikian pula ilmu lebih diutamakan di atas keduanya dari
sisi kemuliaan. Sebab ilmu adalah amalan hati, sementara hati adalah
anggota badan yang paling mulia.” (lihat ‘Umdat al-Qari [2/58])
Ibnul Munayyir rahimahullah berkata, “Beliau -Imam Bukhari-
bermaksud menjelaskan bahwa ilmu merupakan syarat benarnya ucapan dan
amalan. Sehingga keduanya tidak dianggap tanpanya. Maka ilmu itu lebih
didahulukan daripada keduanya, sebab ilmu menjadi faktor yang meluruskan
niat, sedangkan lurusnya niat itulah yang meluruskan amalan. Penulis
ingin menggarisbawahi hal itu supaya tidak muncul anggapan dari sebagian
orang bahwa ‘ilmu tidak ada gunanya tanpa amalan’ yang menimbulkan
sikap meremehkan ilmu dan bermudah-mudahan dalam mempelajarinya.” (lihat
Fath al-Bari [1/195])
Kebutuhan Terhadap Ilmu
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus aku untuk
mendakwahkannya laksana hujan deras yang membasahi bumi. Di muka bumi
itu ada tanah yang baik sehingga bisa menampung air dan menumbuhkan
berbagai jenis pohon dan tanam-tanaman. Adapula jenis tanah yang tandus
sehingga bisa menampung air saja dan orang-orang mendapatkan manfaat
darinya. Mereka mengambil air minum untuk mereka sendiri, untuk ternak,
dan untuk mengairi tanaman. Hujan itu juga menimpa tanah yang licin, ia
tidak bisa menahan air dan tidak pula menumbuhkan tanam-tanaman.
Demikian itulah perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah
kemudian ajaran yang kusampaikan kepadanya memberi manfaat bagi dirinya.
Dia mengetahui ilmu dan mengajarkannya. Dan perumpamaan orang yang
tidak mau peduli dengan agama dan tidak mau menerima hidayah Allah yang
aku sampaikan.” (HR. Bukhari)
Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan segi keserupaan
antara hujan dengan ilmu agama. Beliau berkata, “Sebagaimana hujan akan
menghidupkan tanah yang mati (gersang), demikian pula ilmu-ilmu agama
akan menghidupkan hati yang mati.” (lihat Fath al-Bari [1/215]). Imam Ibnu Baththal rahimahullah
menjelaskan, “Di dalam hadits ini juga terkandung pelajaran bahwa tidak
akan bisa menerima petunjuk dan agama yang diturunkan Allah kecuali
orang yang hatinya bersih dari syirik dan keragu-raguan.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Baththal [1/163])
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di
atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas.
Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah
kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan
hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa
terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan
ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai.
Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak
ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.”
(lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah orang yang
telah mati [hatinya] lalu Kami hidupkan kembali dan Kami jadikan baginya
cahaya yang bisa membuatnya berjalan di tengah-tengah manusia seperti
keadaan orang yang sama dengannya yang masih berada di dalam
kegelapan-kegelapan dan tidak keluar darinya.” (QS. Al-An’am: 122)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, bahwa yang
dimaksud oleh ayat di atas adalah orang yang dahulunya mati hatinya
karena kebodohan lantas Allah hidupkan kembali dengan ilmu, kemudian
Allah berikan cahaya iman kepadanya sehingga ia bisa berjalan di
tengah-tengah umat manusia (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/232])
Ilmu Ada Pada Atsar
Imam al-Auza’i rahimahullah berkata, “Ilmu yang sebenarnya adalah apa yang datang dari para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ilmu apapun yang tidak berada di atas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah ilmu.” (lihat Da’a'im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 390-391).
al-Maimuni rahimahullah berkata: Ahmad bin Hanbal pernah
berpesan kepadaku, “Wahai Abul Hasan! Berhati-hatilah kamu, jangan
sampai engkau berbicara dalam suatu masalah yang engkau tidak memiliki
imam dalam hal itu.” (lihat Manaqib al-Imam Ahmad oleh Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, hal. 245)
Syaikh Muhammad Sa’id Ruslan hafizhahullah berkata, “Suatu
cacat yang banyak terdapat pada putra-putra umat ini adalah ketika
mereka tidak mengikuti prinsip yang telah dijamin keterjagaannya.
Padahal, prinsip itu merupakan jalan kenabian. Keterjagaan sesungguhnya
hanya ada pada wahyu, bukan pemikiran. Keterjagaan itu hanya ada pada
ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat Da’a'im Minhaj an-Nubuwwah,
hal. 376). Beliau juga menegaskan, “Sesungguhnya hakikat jalan kenabian
adalah mengikuti atsar/riwayat para pendahulu. Barangsiapa yang
menyelisihi jalan ini maka dia tidak berjalan di atas manhaj nubuwwah.”
(lihat Da’a'im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 377)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang
menaati rasul maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS.
an-Nisaa’: 80). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaklah
merasa takut orang-orang yang menyelisihi perintah rasul itu, karena
mereka akan tertimpa fitnah atau siksaan yang sangat pedih.” (QS.
an-Nuur: 63)
Dari Ubaidullah bin Abi Rafi’, dari ayahnya, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda, “Jangan sampai aku jumpai ada diantara kalian
seseorang yang bersandar di atas pembaringannya sementara telah datang
kepadanya perintah diantara perintah yang aku berikan atau larangan yang
aku sampaikan lantas dia justru berkata, “Kami tidak tahu. Apa yang
kami temukan dalam Kitabullah maka itulah yang kami ikuti!”.” (HR. Abu
Dawud, disahihkan Syaikh al-Albani)
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Hendaknya kamu tetap
berpegang dengan atsar dan jalan kaum salaf, dan jauhilah olehmu segala
ajaran yang diada-adakan, karena itu adalah bid’ah.” (lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub Ittiba’ as-Salaf al-Kiram, hal. 46).
Menempuh Jalan Keselamatan
Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ketahuilah bahwa kaum ahli kitab sebelum kalian berpecah
menjadi tujuh puluh dua golongan, dan sungguh agama ini akan terpecah
menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua di neraka, dan satu
di surga; yaitu al-Jama’ah.” (HR. Abu Dawud, dihasankan Syaikh
al-Albani)
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya Bani Isra’il berpecah menjadi tujuh puluh dua
golongan. Adapun umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan,
semuanya di neraka kecuali satu golongan saja.” Mereka pun bertanya,
“Siapakah golongan itu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Orang-orang
yang mengikuti aku dan para sahabatku.” (HR. Tirmidzi, dihasankan
Syaikh al-Albani)
Dari al-’Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, beliau menuturkan: Pada suatu hari tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sholat mengimami kami, kemudian beliau menghadap kepada kami. Beliau
pun menasehati kami dengan suatu nasehat yang membuat air mata berlinang
dan hati merasa takut. Maka ada seseorang yang berkata, “Wahai
Rasulullah! Seakan-akan ini adalah nasehat seorang yang hendak berpisah.
Apakah yang hendak anda pesankan kepada kami?”. Beliau pun bersabda,
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap
mendengar dan patuh, meskipun pemimpinmu adalah seorang budak Habasyi.
Barangsiapa diantara kalian yang masih hidup sesudahku akan melihat
banyak perselisihan. Oleh sebab itu berpegang teguhlah kalian dengan
Sunnah/ajaranku dan Sunnah para khalifah yang lurus lagi mendapat
hidayah. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi
geraham kalian! Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan, karena
setiap ajaran yang diada-adakan itu bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah
sesat.” (HR. Abu Dawud, disahihkan Syaikh al-Albani)
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Kami
mengikuti Sunnah dan Jama’ah, dan kami menjauhi ajaran-ajaran yang
nyleneh, perselisihan, dan perpecahan.” (lihat al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hasyiyah Syaikh Muhammad bin Mani’ dan ta’liq Syaikh Bin Baz, hal. 69 cet. Adhwa’ as-Salaf).
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sunnah adalah jalan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun al-Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin; mereka itu adalah para
sahabat, dan para pengikut setia mereka hingga hari kiamat. Mengikuti
mereka adalah petunjuk, sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan.”
(lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, takhrij Syaikh al-Albani, hal. 382 cet. al-Maktab al-Islami)
Imam al-Ajurri rahimahullah berkata, “Ciri orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah adalah meniti jalan ini; Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta Sunnah para Sahabatnya radhiyallahu’anhum
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dia mengikuti jalan
para imam kaum muslimin yang ada di setiap negeri sampai para ulama yang
terakhir diantara mereka; semisal al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Malik
bin Anas, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Qasim bin Sallam, dan
orang-orang yang berada di atas jalan yang mereka tempuh serta dengan
menjauhi setiap madzhab/aliran yang dicela oleh para ulama tersebut.”
(lihat Da’a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 49)
Imam ad-Darimi meriwayatkan dalam Sunannya, demikian juga al-Ajurri dalam asy-Syari’ah, dari az-Zuhri rahimahullah,
beliau berkata, “Para ulama kami dahulu senantiasa mengatakan,
“Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan.”.” ‘Umar bin Abdul
‘Aziz rahimahullah berkata, “Hendaknya kamu berpegang teguh dengan Sunnah, karena ia -dengan izin Allah- akan menjaga dirimu.” (lihat Da’a'im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 340-341)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Ikutilah tuntunan, dan jangan membuat ajaran-ajaran baru, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan.” Beliau radhiyallahu’anhu
juga berkata, “Sesungguhnya kami ini hanya meneladani, bukan memulai.
Kami sekedar mengikuti, bukan mengada-adakan sesuatu yang baru. Kami
tidak akan tersesat selama kami tetap berpegang teguh dengan atsar.”
(lihat Da’a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 46)
Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu berkata, “Sesungguhnya
bersikap sederhana di atas Sunnah dan kebaikan itu lebih baik daripada
bersungguh-sungguh dalam menyelisihi jalan yang benar dan menentang
Sunnah.” (lihat Da’a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 46)
Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Para ulama kita
dahulu senantiasa mengatakan: Apabila seseorang itu berada di atas
atsar, maka itu artinya dia berada di atas jalan yang benar.” (lihat Da’a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 47).
Ahmad bin Sinan al-Qaththan rahimahullah berkata, “Tidaklah
ada di dunia ini seorang ahli bid’ah kecuali membenci ahli hadits. Maka
apabila seorang membuat bid’ah niscaya akan dicabut manisnya hadits dari
dalam hatinya.” (lihat Da’a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 124)
Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih
kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu
dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan
dalih untuk beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk
menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45)
Suatu saat Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah dicela karena
sedemikian sering mencari hadits. Beliau pun ditanya, “Sampai kapan kamu
akan terus mendengar hadits?”. Beliau menjawab, “Sampai mati.” (lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 58)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer